Al Mulk Artinya: Menggali Makna Terdalam Kerajaan Mutlak Allah
Ilustrasi SVG mahkota sebagai simbol Kerajaan Allah dalam Surah Al-Mulk
Di tengah hamparan alam semesta yang tak terbatas, di antara miliaran galaksi yang berputar dalam keheningan kosmik, manusia seringkali merenung tentang eksistensi, kekuasaan, dan tujuan hidup. Al-Qur'an, sebagai petunjuk abadi, menjawab perenungan ini melalui salah satu surahnya yang paling agung: Surah Al-Mulk. Ketika kita mencari tahu tentang al mulk artinya, kita tidak hanya menemukan sebuah terjemahan kata, melainkan membuka pintu menuju pemahaman fundamental tentang siapa penguasa sejati alam semesta ini. Surah ini adalah deklarasi kemahakuasaan, sebuah penegasan bahwa segala kerajaan, kekuasaan, dan kendali berada mutlak di Tangan Allah SWT.
Surah ke-67 dalam Al-Qur'an ini, yang terdiri dari 30 ayat, dikenal dengan banyak nama yang mulia, seperti Al-Mani'ah (Pencegah) dan Al-Munjiyah (Penyelamat), karena keutamaannya yang luar biasa dalam melindungi pembacanya dari siksa kubur. Namun, kekuatan utamanya terletak pada pesan sentral yang terkandung dalam namanya sendiri. "Al-Mulk" secara harfiah berarti "Kerajaan" atau "Kekuasaan". Namun, makna ini jauh lebih dalam daripada kerajaan duniawi yang kita kenal. Ini adalah kerajaan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, tidak terikat oleh kelemahan, dan tidak akan pernah lekang oleh zaman. Memahami al mulk artinya adalah langkah awal untuk menyelaraskan kembali pandangan hidup kita, dari yang berpusat pada diri sendiri menjadi yang berpusat pada Sang Pencipta.
Membedah Makna Fundamental "Al-Mulk": Bukan Sekadar Kerajaan
Sebelum menyelami tafsir setiap ayat, penting bagi kita untuk mengapresiasi kedalaman makna kata "Al-Mulk". Dalam benak manusia, kata "kerajaan" seringkali diasosiasikan dengan raja, istana, tentara, dan wilayah teritorial yang terbatas. Kerajaan manusia selalu memiliki awal dan akhir. Ia bisa direbut, dihancurkan, atau diwariskan. Kekuasaan seorang raja manusia bersifat relatif, terbatas oleh hukum, penasihat, dan kekuatan lain di sekitarnya. Ia bisa sakit, lelah, tidur, dan pada akhirnya, akan mati.
Kerajaan Allah, atau Al-Mulk dalam konteks surah ini, adalah antitesis dari semua itu. Ia bersifat mutlak, absolut, dan total. Mari kita bedah beberapa aspek fundamentalnya:
- Kepemilikan Absolut: Kerajaan Allah berarti Dia adalah Pemilik sejati segala sesuatu. Langit, bumi, dan apa pun yang ada di antara keduanya adalah milik-Nya. Manusia hanya diberi hak guna atau amanah untuk sementara waktu. Rumah yang kita tinggali, harta yang kita kumpulkan, bahkan tubuh yang kita gunakan, pada hakikatnya bukan milik kita. Kesadaran ini menumbuhkan rasa rendah hati dan melepaskan kita dari belenggu keserakahan.
- Kendali Penuh: Allah tidak hanya memiliki, tetapi juga mengendalikan segala aspek ciptaan-Nya. Dari pergerakan planet di orbitnya hingga detak jantung seekor semut di dalam tanah, semua berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Tidak ada satu daun pun yang jatuh tanpa sepengetahuan-Nya. Ini memberikan ketenangan bahwa alam semesta tidak berjalan secara acak, melainkan diatur oleh Yang Maha Bijaksana.
- Kekuasaan Tanpa Batas: Tidak ada yang dapat menandingi atau membatasi kekuasaan Allah. Fir'aun dengan bala tentaranya, Namrud dengan arogansinya, atau kekuatan adidaya modern dengan teknologi canggihnya, semuanya tidak berarti di hadapan kekuasaan Allah. Jika Dia berkehendak, Dia bisa menciptakan dan menghancurkan dalam sekejap.
- Keabadian: Kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir. Ia ada sebelum segala sesuatu ada dan akan tetap ada setelah segala sesuatu musnah. Ini kontras tajam dengan kerajaan fana di dunia yang selalu silih berganti.
Dengan demikian, pemahaman awal tentang al mulk artinya membawa kita pada kesimpulan bahwa surah ini adalah pengingat konstan tentang posisi kita di alam semesta. Kita adalah hamba, makhluk yang diciptakan, di dalam sebuah Kerajaan yang Maha Agung milik Sang Pencipta.
Tafsir Surah Al-Mulk: Perjalanan Ayat demi Ayat Menyingkap Keagungan-Nya
Surah Al-Mulk membawa kita dalam sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang menakjubkan. Setiap ayat adalah sebuah jendela untuk menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah, merenungkan tujuan hidup, dan memahami konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Mari kita selami makna yang terkandung di dalamnya.
Bagian 1: Deklarasi Kekuasaan dan Ciptaan yang Sempurna (Ayat 1-5)
Surah ini dibuka dengan sebuah deklarasi yang agung dan penuh pujian, langsung menetapkan tema utamanya.
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Mulk: 1)
Kata "Tabaraka" berasal dari akar kata barakah, yang berarti kebaikan yang melimpah, konstan, dan abadi. Ayat ini menyatakan bahwa sumber segala kebaikan adalah Dia yang memegang Al-Mulk (Kerajaan). Frasa "biyadihi" (di tangan-Nya) adalah sebuah kiasan yang menunjukkan kendali dan kepemilikan yang penuh dan mutlak. Ayat ini ditutup dengan penegasan "wa huwa 'ala kulli syai'in qadir" (dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), yang menyapu bersih keraguan apa pun tentang kapasitas kekuasaan-Nya. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
Setelah mendeklarasikan kekuasaan-Nya, Allah langsung menjelaskan salah satu manifestasi terbesar dari kerajaan-Nya: penciptaan hidup dan mati.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk: 2)
Ayat ini adalah jawaban fundamental atas pertanyaan "mengapa kita ada?". Kehidupan bukanlah sebuah kebetulan, dan kematian bukanlah akhir dari segalanya. Keduanya adalah arena ujian. Allah sengaja menyebutkan kematian (al-mawt) sebelum kehidupan (al-hayat), sebuah urutan yang unik. Para ulama tafsir menjelaskan ini sebagai pengingat bahwa kita berasal dari ketiadaan (seperti kematian) menuju keberadaan (kehidupan), dan akan kembali pada kematian sebelum dibangkitkan. Tujuan ujian ini bukanlah untuk mencari siapa yang paling banyak amalnya, melainkan siapa yang "ahsanu 'amala" (paling baik amalnya). Kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas. Amal yang baik adalah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan syariat. Di akhir ayat, Allah menyandingkan dua nama-Nya: Al-'Aziz (Maha Perkasa), yang menunjukkan bahwa Dia mampu melaksanakan ujian dan memberikan balasan, dan Al-Ghafur (Maha Pengampun), yang membuka pintu harapan bagi mereka yang berbuat salah namun mau bertaubat.
Selanjutnya, Allah mengajak kita untuk mengalihkan pandangan ke atas, ke langit, sebagai bukti nyata kesempurnaan ciptaan-Nya.
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ
"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (QS. Al-Mulk: 3)
Ini adalah sebuah tantangan terbuka. Allah, Sang Raja, memamerkan karya-Nya dan menantang siapa pun untuk menemukan cacat. Kata "tibaqan" (berlapis-lapis) menunjukkan sebuah struktur yang kompleks dan harmonis. Kata "tafawut" berarti ketidakseimbangan, cacat, atau kontradiksi. Allah menegaskan bahwa dalam ciptaan Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), tidak ada hal semacam itu. Tantangan diulang dengan perintah "farji'il-basar" (maka lihatlah kembali). Pandanglah langit, periksa dengan saksama. Adakah kamu temukan "futur" (keretakan atau celah)?
Tantangan ini tidak berhenti sampai di situ.
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ
"Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah." (QS. Al-Mulk: 4)
Allah meminta kita melihat lagi dan lagi, "karratain" (dua kali lagi, atau berulang kali). Hasilnya? Penglihatan kita akan kembali dalam keadaan "khasi'an" (hina, tertunduk karena gagal menemukan cacat) dan "hasir" (lelah, payah karena usaha yang sia-sia). Ini adalah bukti empiris yang bisa disaksikan siapa saja. Langit yang terbentang luas tanpa tiang, dengan segala keteraturannya, adalah saksi bisu atas kesempurnaan Kerajaan Allah. Pesan yang terkandung dalam al mulk artinya menjadi semakin jelas melalui bukti visual ini.
Ayat kelima menambahkan dimensi lain pada keindahan langit, yaitu fungsi benda-benda langit yang tidak hanya sebagai hiasan.
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِّلشَّيَاطِينِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
"Dan sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala." (QS. Al-Mulk: 5)
Langit dunia (langit yang paling dekat dengan kita) dihiasi dengan "masabih" (lampu-lampu), yaitu bintang-bintang. Namun, fungsinya tidak hanya estetis. Bintang-bintang ini juga dijadikan "rujuman lisy-syayatin" (alat pelempar bagi para setan) yang mencoba mencuri dengar berita dari alam langit. Ini memberikan kita gambaran bahwa Kerajaan Allah tidak hanya mencakup dimensi fisik yang terlihat, tetapi juga dimensi gaib yang terjaga dengan rapi. Ayat ini juga menjadi transisi yang mulus ke bagian berikutnya, yaitu tentang nasib mereka yang ingkar, seperti para setan dan pengikutnya.
Bagian 2: Akibat Mengerikan bagi Para Pengingkar Kerajaan (Ayat 6-11)
Setelah memaparkan bukti-bukti kekuasaan-Nya yang tak terbantahkan, Allah SWT beralih untuk menjelaskan konsekuensi bagi mereka yang dengan sombong mengingkari-Nya. Kontrasnya begitu tajam, dari keindahan ciptaan menuju kengerian azab.
وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
"Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (QS. Al-Mulk: 6)
Ayat ini menetapkan dengan jelas: kekafiran kepada Sang Rabb, Pemilik Kerajaan, akan berujung pada azab Jahannam. Allah menyebutnya sebagai "bi'sal-masir", seburuk-buruknya tempat kembali. Ini bukan sekadar hukuman, melainkan tujuan akhir yang paling mengerikan bagi para pembangkang.
Gambaran neraka Jahannam kemudian dideskripsikan dengan audio yang menakutkan, seolah-olah neraka itu sendiri adalah makhluk hidup yang murka.
إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ
"Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak," (QS. Al-Mulk: 7)
Bayangkan kengeriannya. Ketika para pendurhaka dilemparkan (ulqu fiha), suara pertama yang mereka dengar adalah "syahiq", suara tarikan napas yang keras dan mengerikan, seperti suara keledai yang meringkik kesakitan. Dan neraka itu "tafur", bergejolak dan mendidih dengan dahsyatnya, seperti panci raksasa yang isinya meluap-luap karena panas yang ekstrem.
Kemarahan neraka itu begitu hebat hingga ia nyaris pecah berkeping-keping.
تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ ۖ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
"hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: 'Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?'" (QS. Al-Mulk: 8)
Frasa "takadu tamayyazu minal-ghaiz" adalah gambaran yang luar biasa kuat. Neraka itu seakan-akan memiliki emosi, yaitu kemarahan (ghaiz) yang begitu hebat kepada para musuh Allah hingga ia nyaris meledak. Di tengah kengerian itu, terjadi sebuah dialog. Setiap kali sekelompok (fauj) penghuni baru dilemparkan, para malaikat penjaga (khazanatuha) bertanya dengan nada mencela, "Apakah belum pernah datang seorang pemberi peringatan (nadhir) kepadamu?" Pertanyaan ini bukan untuk mencari informasi, melainkan untuk menegaskan keadilan Allah dan menyoroti kebodohan para penghuni neraka itu sendiri.
Dialog ini berlanjut dengan pengakuan penuh penyesalan dari para penghuni neraka.
قَالُوا بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ
"Mereka menjawab: 'Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan: 'Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar'.'" (QS. Al-Mulk: 9)
Mereka tidak bisa mengelak. Mereka mengakui "Bala" (Benar!). Peringatan telah sampai kepada mereka. Namun, mereka melakukan dua dosa besar: "fakadzdzabna" (kami mendustakannya) dan "wa qulna" (dan kami bahkan berkata dengan lancang), menuduh para rasul berada dalam kesesatan yang nyata. Ini adalah puncak arogansi: tidak hanya menolak kebenaran, tetapi juga menghina pembawanya.
Penyesalan mereka mencapai puncaknya ketika mereka menyadari akar dari kehancuran mereka: kegagalan menggunakan akal dan pendengaran.
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
"Dan mereka berkata: 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala'." (QS. Al-Mulk: 10)
Inilah inti dari tragedi mereka. "Seandainya kami mau mendengar (nasma') dengan saksama atau menggunakan akal kami (na'qil) untuk berpikir, kami tidak akan berakhir di sini." Ini adalah pengakuan bahwa Allah telah memberikan perangkat yang cukup—pendengaran untuk menerima informasi dan akal untuk memprosesnya—namun mereka memilih untuk menonaktifkannya. Mereka tuli terhadap kebenaran dan buta terhadap bukti-bukti yang jelas.
Bagian ini ditutup dengan kesimpulan yang tak terhindarkan.
فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ فَسُحْقًا لِّأَصْحَابِ السَّعِيرِ
"Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala itu." (QS. Al-Mulk: 11)
Akhirnya, mereka mengakui dosa mereka sendiri. Namun, pengakuan di akhirat sudah tidak ada gunanya. Kalimat "fa suhqan" adalah sebuah kutukan, sebuah pernyataan bahwa mereka pantas mendapatkan kebinasaan dan kejauhan dari rahmat Allah. Keadilan Kerajaan Allah telah ditegakkan.
Bagian 3: Janji Indah bagi Mereka yang Takut dalam Kesendirian (Ayat 12-14)
Setelah menggambarkan nasib buruk para pembangkang, Al-Qur'an dengan indahnya langsung menyajikan antitesisnya: balasan bagi orang-orang yang beriman. Ini adalah ciri khas gaya bahasa Al-Qur'an, menyeimbangkan antara targhib (motivasi/harapan) dan tarhib (ancaman/peringatan).
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar." (QS. Al-Mulk: 12)
Fokusnya adalah pada mereka yang "yakhsyauna rabbahum bil-ghaib" (takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib/tidak terlihat). Khasyyah bukanlah sekadar rasa takut biasa, melainkan rasa takut yang timbul dari pengagungan dan pengetahuan akan kebesaran Allah. Kualitas tertinggi dari rasa takut ini adalah ketika ia hadir "bil-ghaib", yaitu ketika tidak ada orang lain yang melihat, ketika seseorang sendirian di dalam kamarnya, di tengah malam yang sunyi. Iman mereka tidak memerlukan penonton. Balasan bagi mereka ada dua: "maghfirah" (ampunan) yang menutupi dosa-dosa mereka, dan "ajrun kabir" (pahala yang besar), yaitu surga.
Untuk menekankan bahwa tidak ada yang tersembunyi dari Allah, ayat berikutnya menegaskan kemahatahuan-Nya.
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
"Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah ia; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati." (QS. Al-Mulk: 13)
Ini adalah sebuah pernyataan yang melingkupi segala bentuk komunikasi dan niat. Apakah kamu berbisik (asirru) atau berteriak (ijharu), bagi Allah sama saja. Karena Dia bahkan mengetahui apa yang lebih dalam dari itu: "dzatish-shudur", esensi dari apa yang tersembunyi di dalam dada—niat, motif, dan rahasia yang paling dalam. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari Raja alam semesta.
Logika dari kemahatahuan ini kemudian dijelaskan dengan sebuah pertanyaan retoris yang sangat kuat dan tak terbantahkan.
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
"Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?" (QS. Al-Mulk: 14)
"Ala ya'lamu man khalaq?" (Masakan Dia yang menciptakan tidak mengetahui?). Ini adalah argumen yang mematikan. Seorang insinyur yang merancang mesin pasti tahu seluk-beluk mesin tersebut. Seorang seniman pasti paham setiap detail karyanya. Maka, bagaimana mungkin Sang Pencipta segala sesuatu tidak mengetahui ciptaan-Nya? Pengetahuan-Nya disempurnakan oleh dua sifat: Al-Latif (Maha Halus), yang ilmunya dapat menembus hal-hal yang paling tersembunyi dan detail, dan Al-Khabir (Maha Mengetahui), yang pengetahuannya mencakup aspek luar dan dalam dari segala urusan. Memahami ini memperkuat keyakinan bahwa setiap amal baik yang dilakukan dalam kesendirian pasti tercatat, dan setiap niat buruk yang terlintas pun tidak luput dari pengawasan-Nya.
Bagian 4: Bukti Kekuasaan di Bumi dan di Udara (Ayat 15-22)
Dari pengawasan yang tak terlihat, Allah kembali mengajak kita untuk melihat bukti nyata Kerajaan-Nya di bumi yang kita pijak. Bumi ini, dengan segala sumber dayanya, ditundukkan untuk kemaslahatan manusia.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk: 15)
Allah menjadikan bumi ini "dzalulan", artinya mudah untuk dijelajahi, jinak, dan tunduk. Kita bisa mencangkulnya untuk bertani, menggalinya untuk fondasi, dan berjalan di atasnya tanpa kesulitan. Perintah "famsyu fi manakibiha" (berjalanlah di segala penjurunya) adalah dorongan untuk bekerja, berusaha, dan menjelajahi bumi untuk mencari rezeki-Nya (wa kulu min rizqihi). Namun, ayat ini ditutup dengan pengingat penting: "wa ilaihin-nusyur" (dan hanya kepada-Nya kamu akan dibangkitkan). Kenikmatan dunia ini hanyalah sarana, bukan tujuan. Tujuan akhirnya adalah kembali kepada Sang Pemilik Kerajaan.
Namun, bumi yang jinak ini bisa berubah menjadi buas atas perintah-Nya. Ayat berikutnya adalah peringatan keras agar manusia tidak merasa terlalu aman.
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
"Apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?" (QS. Al-Mulk: 16)
أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
"Atau apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku." (QS. Al-Mulk: 17)
Dua ayat ini mengajukan pertanyaan yang mengguncang rasa aman palsu kita. Apakah kalian merasa aman dari Dia yang di Langit (frasa yang menunjukkan ketinggian dan keagungan-Nya) untuk menelanmu ke dalam bumi (yakhsifa bikumul-ardh) sehingga ia bergoncang dahsyat (tamur)? Atau mengirimkan badai batu dari langit (hasiban)? Ini adalah pengingat akan bencana alam seperti gempa bumi, likuifaksi, atau hujan meteor, yang semuanya berada dalam kendali-Nya. Peringatan ini nyata, dan kelak orang-orang kafir akan tahu betapa benarnya peringatan tersebut, namun saat itu sudah terlambat.
Untuk menguatkan peringatan ini, Allah mengingatkan tentang nasib umat-umat terdahulu.
وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ
"Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku!" (QS. Al-Mulk: 18)
Sejarah adalah bukti. Kaum 'Ad, Tsamud, kaum Luth, dan Fir'aun adalah contoh nyata dari bangsa-bangsa yang mendustakan peringatan Allah dan berakhir dengan kebinasaan. Kemurkaan-Nya (nakir) bukanlah isapan jempol, melainkan fakta historis yang tercatat.
Dari ancaman yang menakutkan, pandangan kita kembali diarahkan pada keindahan dan keajaiban ciptaan-Nya, kali ini pada burung-burung yang terbang di angkasa.
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ ۚ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَٰنُ ۚ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ
"Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu." (QS. Al-Mulk: 19)
Pernahkah kita berhenti sejenak untuk benar-benar memperhatikan burung? Bagaimana mereka bisa terbang, melawan gravitasi, terkadang mengepakkan sayapnya (yaqbidhna) dan terkadang hanya membentangkannya (saffat) sambil meluncur dengan anggun. Siapa yang menahan mereka di atas sana? Jawabannya bukan sekadar hukum aerodinamika, melainkan "Ar-Rahman". Rahmat-Nya-lah yang menciptakan hukum fisika tersebut dan menahan burung-burung itu di angkasa. Pemilihan nama Ar-Rahman di sini menunjukkan bahwa bahkan dalam hukum alam yang paling "biasa" sekalipun, ada sentuhan kasih sayang Allah yang menopang kehidupan. Dia "bi kulli syai'in bashir" (Maha Melihat segala sesuatu), tidak ada detail sekecil apa pun yang luput dari penglihatan-Nya.
Bagian ini diakhiri dengan serangkaian pertanyaan retoris yang menelanjangi kelemahan sesembahan selain Allah dan menegaskan ketergantungan mutlak manusia kepada-Nya.
أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ جُندٌ لَّكُمْ يَنصُرُكُم مِّن دُونِ الرَّحْمَٰنِ ۚ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ
"Atau siapakah yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain dari Allah Yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu." (QS. Al-Mulk: 20)
أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ ۚ بَل لَّجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ
"Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri." (QS. Al-Mulk: 21)
Siapakah "tentara" (jund) yang bisa menolongmu dari azab Allah? Siapakah yang bisa memberimu rezeki jika Allah menahannya? Jawabannya tentu saja tidak ada. Orang-orang kafir yang mengandalkan berhala, kekuatan materi, atau koneksi manusia, mereka semua berada dalam "ghurur" (tipu daya) yang besar. Mereka terus-menerus berada dalam "'utuwwin wa nufur" (kesombongan dan penolakan yang membabi buta).
Kemudian, perumpamaan yang sangat jelas diberikan untuk membedakan antara orang yang mendapat petunjuk dan yang tersesat.
أَفَمَن يَمْشِي مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِ أَهْدَىٰ أَمَّن يَمْشِي سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
"Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?" (QS. Al-Mulk: 22)
Bayangkan dua orang: yang satu berjalan dengan wajah tersungkur ke tanah (mukibban 'ala wajhihi), tidak bisa melihat ke depan, rentan tersandung, dan tidak tahu arah. Itulah perumpamaan orang kafir. Yang satu lagi berjalan tegap (sawiyyan) di atas jalan yang lurus ('ala siratin mustaqim), dengan pandangan lurus ke depan, jelas tujuannya, dan langkah yang pasti. Itulah perumpamaan orang mukmin. Pertanyaan "siapa yang lebih mendapat petunjuk?" jawabannya sudah sangat jelas, bahkan bagi orang yang paling sederhana sekalipun.
Bagian 5: Peringatan Terakhir dan Pertanyaan Penutup yang Mematikan (Ayat 23-30)
Di bagian akhir surah, Allah mengingatkan manusia akan asal-usul mereka dan kenikmatan dasar yang sering dilupakan, sebagai dasar untuk menuntut pertanggungjawaban.
قُلْ هُوَ الَّذِي أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
"Katakanlah: 'Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati'. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur." (QS. Al-Mulk: 23)
Allah-lah yang "ansya'akum" (menciptakanmu dari ketiadaan). Dan Dia memberimu perangkat-perangkat luar biasa: pendengaran (as-sam'a), penglihatan (al-abshar), dan hati/akal (al-af'idah). Ini adalah tiga gerbang utama ilmu pengetahuan dan pemahaman. Namun, ironisnya, "qalilan ma tasykurun" (sangat sedikit sekali kalian bersyukur). Manusia seringkali lalai atas nikmat-nikmat paling fundamental ini.
Penciptaan ini bukan tanpa tujuan. Ada kelanjutannya.
قُلْ هُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
"Katakanlah: 'Dialah Yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan'." (QS. Al-Mulk: 24)
Dia yang menyebarkanmu (dzara'akum) di muka bumi ini juga yang akan mengumpulkanmu kembali (tuhsyarun) pada hari kiamat. Proses penyebaran di dunia akan berakhir dengan proses pengumpulan di akhirat untuk diadili.
Menanggapi peringatan tentang hari kebangkitan, orang-orang kafir selalu bertanya dengan nada mengejek.
وَيَقُولُونَ مَتَىٰ هَٰذَا الْوَعْدُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
"Dan mereka berkata: 'Kapankah datangnya ancaman itu jika kamu adalah orang-orang yang benar?'" (QS. Al-Mulk: 25)
Ini adalah pertanyaan yang menunjukkan ketidakpercayaan dan arogansi. Mereka tidak bertanya untuk mencari tahu, melainkan untuk meremehkan. Jawabannya datang dengan tegas.
قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
"Katakanlah: 'Sesungguhnya ilmu (tentang hari kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan'." (QS. Al-Mulk: 26)
Ilmu tentang kapan kiamat terjadi adalah hak prerogatif Allah. Tugas seorang rasul hanyalah sebagai "nadhirun mubin", pemberi peringatan yang jelas. Ketidaktahuan tentang waktunya justru seharusnya membuat manusia lebih waspada, bukan malah lalai.
Meskipun waktunya dirahasiakan, kedatangannya adalah sebuah kepastian. Dan ketika mereka melihatnya dari dekat, reaksi mereka adalah kengerian.
فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَقِيلَ هَٰذَا الَّذِي كُنتُم بِهِ تَدَّعُونَ
"Ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat) sudah dekat, muka orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka) inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya." (QS. Al-Mulk: 27)
Ketika azab itu terlihat "zulfatan" (sangat dekat), wajah-wajah orang kafir menjadi "si'at" (hitam, muram, dan penuh penderitaan). Lalu, sebuah suara akan berkata kepada mereka, "Inilah yang dulu kalian tantang dan minta untuk disegerakan!" Ejekan mereka di dunia berbalik menjadi kenyataan pahit di akhirat.
Dua ayat berikutnya adalah jawaban atas doa-doa buruk kaum kafir Makkah yang menginginkan kematian Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya, dengan harapan ajaran Islam akan lenyap.
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَن مَّعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَن يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
"Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama dengan aku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang yang kafir dari azab yang pedih?'" (QS. Al-Mulk: 28)
Nabi diperintahkan untuk mengatakan, "Pikirkanlah. Jika Allah mematikanku atau memberiku rahmat, itu urusan kami dengan-Nya. Tapi pertanyaannya adalah: siapa yang akan menyelamatkan KALIAN dari azab yang pedih?" Ini membalikkan fokus, dari urusan pribadi nabi menjadi nasib kaum kafir itu sendiri, yang jauh lebih genting.
Lalu, Nabi mendeklarasikan sumber keyakinan dan ketergantungannya.
قُلْ هُوَ الرَّحْمَٰنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
"Katakanlah: 'Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal. Kelak kamu akan mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata'." (QS. Al-Mulk: 29)
Dialah Ar-Rahman! Kami beriman kepada-Nya dan hanya kepada-Nya kami bertawakal. Ini adalah deklarasi tauhid yang murni. Kemudian diakhiri dengan sebuah kalimat yang membalikkan tuduhan mereka: "Kelak kalian akan tahu siapa yang sebenarnya berada dalam kesesatan yang nyata."
Surah ini ditutup dengan sebuah pertanyaan terakhir yang sangat fundamental, kuat, dan relevan bagi setiap manusia di setiap zaman. Sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat kita semua terdiam dan merenung.
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا فَمَن يَأْتِيكُم بِمَاءٍ مَّعِينٍ
"Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?'" (QS. Al-Mulk: 30)
Air adalah sumber kehidupan. Bayangkan jika suatu pagi kita bangun dan semua sumber air di bumi—sumur, sungai, danau—telah amblas ke dalam perut bumi (ghauran). Siapa, selain Allah, yang mampu mengembalikan air yang mengalir (ma'in ma'in) itu? Tidak ada teknologi, tidak ada kekuatan, tidak ada sesembahan yang mampu melakukannya. Pertanyaan ini adalah metafora untuk semua nikmat Allah. Jika Allah menahan rahmat-Nya, nikmat-Nya, atau hidayah-Nya, siapakah yang bisa mendatangkannya kembali? Jawabannya: tidak ada. Surah ini berakhir dengan meninggalkan pembacanya dalam perenungan mendalam tentang ketergantungan total kita kepada Sang Pemilik Kerajaan, Allah SWT.
Keutamaan Surah Al-Mulk: Pelindung dan Penyelamat
Memahami al mulk artinya tidak hanya memperkaya wawasan teologis kita, tetapi juga membuka pintu kepada keutamaan-keutamaan agung yang dijanjikan bagi mereka yang rutin membacanya. Surah ini memiliki kedudukan istimewa, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis shahih. Keutamaan yang paling masyhur adalah perannya sebagai pelindung dari siksa kubur.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Ada suatu surah dari Al-Qur'an yang terdiri dari tiga puluh ayat dan dapat memberi syafaat bagi yang membacanya, sampai dia diampuni. Yaitu: Tabaarakalladzii biyadihil mulku... (Surah Al-Mulk)."
Hadis lain, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, memberikan gambaran yang lebih detail tentang bagaimana surah ini melindungi pembacanya. Beliau berkata, "Ketika seseorang (yang rajin membaca Al-Mulk) diletakkan di dalam kuburnya, maka siksa akan datang dari arah kakinya, lalu kedua kakinya berkata, 'Tidak ada jalan bagimu dari arahku, karena dia dahulu sering berdiri (dalam shalat) dengan membaca Surah Al-Mulk.' Kemudian siksa datang dari arah dadanya, maka dadanya berkata, 'Tidak ada jalan bagimu dari arahku, karena dia telah menghafal Surah Al-Mulk di dalamku.' Kemudian siksa datang dari arah kepalanya, maka kepalanya berkata, 'Tidak ada jalan bagimu dari arahku, karena dia dahulu sering membacaku.' Surah ini adalah Al-Mani'ah, sang pencegah. Ia mencegah dari siksa kubur."
Surah Al-Mulk seolah-olah menjadi 'pengacara' bagi pembacanya di alam barzakh. Ia akan berdebat dan memohonkan ampunan kepada Allah hingga orang tersebut diselamatkan. Karena keutamaannya inilah, Rasulullah SAW tidak pernah tidur di malam hari sebelum beliau membaca Surah As-Sajdah dan Surah Al-Mulk. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjadikan pembacaan surah ini sebagai amalan rutin harian, terutama sebelum tidur.
Kesimpulan: Hidup di Bawah Naungan Sang Raja
Pada akhirnya, perjalanan kita memahami al mulk artinya membawa kita pada sebuah kesadaran yang transformatif. Surah Al-Mulk bukanlah sekadar rangkaian kata untuk dibaca, melainkan sebuah kacamata untuk melihat dunia. Ia mengajarkan kita untuk melihat tangan Sang Pencipta dalam setiap detail alam semesta: dari langit yang sempurna, bumi yang terhampar, hingga burung yang terbang.
Surah ini meluruskan prioritas kita. Ia mengingatkan bahwa hidup ini adalah ujian untuk meraih predikat "ahsanu 'amala", dan segala nikmat yang kita miliki adalah fasilitas untuk ujian tersebut. Ia menanamkan rasa takut yang sehat (khasyyah) yang mencegah kita dari perbuatan dosa, bahkan saat tak ada seorang pun yang melihat. Sekaligus, ia menumbuhkan harapan yang besar akan ampunan dan pahala dari Al-Ghafur dan Ar-Rahman.
Dengan merenungi Surah Al-Mulk, kita belajar untuk hidup sebagai seorang hamba yang sadar akan posisinya di dalam sebuah Kerajaan yang Maha Agung. Kesadaran ini melahirkan ketenangan, karena kita tahu alam semesta diatur oleh Yang Maha Bijaksana. Ia melahirkan keberanian, karena kita hanya bertawakal kepada Yang Maha Perkasa. Dan ia melahirkan kerendahan hati, karena kita sadar betapa kecilnya kita dan betapa bergantungnya kita pada setiap tetes air—setiap tarikan napas—yang dianugerahkan oleh Sang Raja, Allah SWT, Pemilik Al-Mulk yang sesungguhnya.