Jalan Tengah Kehidupan: Membedah Makna Surah Al-Qasas Ayat 77

Ilustrasi keseimbangan dunia dan akhirat Sebuah timbangan yang seimbang, dengan simbol dunia di satu sisi dan simbol akhirat di sisi lain, melambangkan pesan utama dari Al-Qasas 77. Dunia Akhirat Ilustrasi timbangan yang seimbang melambangkan keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Di tengah lautan petunjuk Al-Qur'an, terdapat satu ayat yang bersinar laksana mercusuar, memberikan panduan komprehensif tentang bagaimana seorang hamba seharusnya menavigasi kehidupannya. Ayat tersebut adalah Surah Al-Qasas ayat 77. Bukan sekadar perintah atau larangan, ayat ini adalah sebuah formula lengkap, sebuah manifesto tentang gaya hidup seorang Muslim yang ideal: produktif di dunia, namun tetap berorientasi pada kebahagiaan abadi di akhirat.

Ayat ini diturunkan dalam konteks kisah Qarun, seorang konglomerat pada zaman Nabi Musa AS yang dilimpahi kekayaan tak terhingga. Namun, kekayaan itu membuatnya sombong, lalai, dan lupa daratan. Ia menganggap semua hartanya adalah hasil dari kecerdasan dan ilmunya semata. Sebagai nasihat dari kaumnya yang beriman, turunlah ayat ini. Meskipun ditujukan sebagai teguran bagi Qarun, pesannya bersifat universal dan abadi, relevan bagi setiap manusia di setiap zaman yang diamanahi nikmat oleh Allah SWT, baik itu berupa harta, ilmu, jabatan, kesehatan, maupun waktu luang.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."

Ayat mulia ini mengandung empat pilar utama yang menjadi fondasi kehidupan seimbang. Mari kita bedah satu per satu pilar-pilar tersebut untuk memahami kedalaman maknanya dan bagaimana kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pilar Pertama: Prioritas Utama Adalah Akhirat

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ

"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu..."

Perintah pertama dan utama dalam ayat ini adalah menetapkan tujuan akhir. Allah SWT menegaskan bahwa orientasi fundamental dari setiap aktivitas kita haruslah untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Kalimat "فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ" (dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu) memiliki cakupan yang sangat luas. Ini bukan hanya tentang harta benda seperti yang dimiliki Qarun. Anugerah Allah meliputi segalanya:

Prinsip ini mengubah paradigma kita secara total. Bekerja di kantor bukan lagi sekadar mencari gaji, tetapi menjadi ladang ibadah untuk menafkahi keluarga. Belajar di universitas bukan hanya untuk meraih gelar, tetapi sebagai sarana untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi umat. Bahkan aktivitas sederhana seperti makan dan tidur, jika diniatkan untuk menguatkan diri agar bisa beribadah, akan bernilai pahala. Inilah esensi dari menjadikan seluruh hidup sebagai ibadah, dengan akhirat sebagai kompas utamanya.

Kesalahan fatal Qarun adalah ia memutus hubungan antara nikmat yang ia terima dengan Sang Pemberi Nikmat. Ia melihat hartanya sebagai hasil jerih payahnya sendiri, "Aku diberi harta itu semata-mata karena ilmu yang ada padaku" (QS. Al-Qasas: 78). Pandangan inilah yang membutakan hatinya dari tujuan akhirat dan menjerumuskannya ke dalam kesombongan yang menghancurkan.

Pilar Kedua: Menikmati Dunia Secara Proporsional

وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

"...tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia..."

Inilah letak keindahan dan kesempurnaan ajaran Islam. Setelah menekankan akhirat sebagai prioritas, Allah SWT segera mengingatkan kita untuk tidak melupakan hak kita di dunia. Islam bukanlah agama yang mengajarkan kerahiban (rahbaniyyah) atau penarikan diri total dari kehidupan duniawi. Islam tidak menyuruh kita untuk hidup miskin, berpakaian compang-camping, dan mengabaikan kebutuhan jasmani demi fokus pada ruhani semata.

Kata "نَصِيبَكَ" (bagianmu) menunjukkan adanya porsi yang wajar dan halal untuk kita nikmati. Apa saja bagian kita di dunia ini?

Pesan ini menciptakan keseimbangan yang luar biasa. Ia mencegah dua ekstrem yang berbahaya. Ekstrem pertama adalah materialisme total seperti Qarun, yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir dan melupakan akhirat. Ekstrem kedua adalah spiritualisme berlebihan yang menolak dunia sama sekali, sehingga membuat seorang Muslim menjadi lemah, tidak produktif, dan menjadi beban bagi orang lain.

Seorang Muslim yang seimbang adalah ia yang bekerja keras seolah-olah akan hidup selamanya, namun beribadah dengan khusyuk seolah-olah akan mati esok hari. Ia memiliki mobil yang bagus dan rumah yang nyaman, namun hatinya tidak terikat pada semua itu. Ia menggunakan fasilitas duniawi tersebut sebagai sarana untuk lebih taat kepada Allah, bukan sebagai tujuan yang membuatnya lalai.

Dalam sebuah riwayat, Salman Al-Farisi menasihati Abu Darda' yang terlalu berlebihan dalam beribadah hingga mengabaikan hak istrinya. Salman berkata, "Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak atasmu, dirimu sendiri memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu. Maka berikanlah setiap hak kepada pemiliknya." Rasulullah SAW pun membenarkan perkataan Salman tersebut. Ini adalah bukti nyata bahwa keseimbangan adalah inti ajaran Islam.

Pilar Ketiga: Menebar Kebaikan Sebagai Wujud Syukur

وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

"...dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu..."

Pilar ketiga ini adalah tentang etika sosial dan dimensi kemanusiaan. Perintah "أَحْسِن" (berbuat baiklah) berasal dari kata "ihsan". Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam beragama setelah Islam dan Iman. Ia berarti melakukan sesuatu dengan cara terbaik, sempurna, dan tulus. Namun, ayat ini memberikan landasan filosofis yang sangat mendalam bagi perintah berbuat baik: "sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu".

Ini adalah pengingat bahwa segala kebaikan yang kita lakukan kepada makhluk lain pada hakikatnya adalah cerminan rasa syukur kita atas kebaikan Allah yang tak terhingga kepada kita. Sebelum kita mampu berbuat baik, Allah telah lebih dahulu berbuat baik kepada kita. Kebaikan Allah meliputi:

Ketika kita merenungkan betapa besarnya kebaikan Allah ini, maka dorongan untuk berbuat baik kepada sesama akan muncul secara alami dari hati yang bersyukur. Kebaikan yang diperintahkan di sini bersifat umum, mencakup segala aspek:

Prinsip ini mengajarkan kita bahwa kebaikan bukanlah transaksi. Kita berbuat baik bukan untuk mengharapkan balasan dari manusia, tetapi karena meneladani sifat Allah yang Maha Baik dan sebagai wujud syukur kepada-Nya. Inilah yang akan membersihkan hati dari sifat riya' (pamer) dan 'ujub (bangga diri), karena kita sadar bahwa sumber segala kebaikan adalah dari Allah dan untuk Allah.

Pilar Keempat: Menjadi Agen Perbaikan, Bukan Kerusakan

وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

"...dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."

Setelah tiga perintah konstruktif, ayat ini ditutup dengan satu larangan yang fundamental. Larangan ini adalah antitesis dari semua kebaikan yang telah disebutkan. Jika pilar pertama, kedua, dan ketiga adalah tentang membangun, maka pilar keempat adalah larangan untuk merusak.

Kata "الْفَسَادَ" (kerusakan) memiliki makna yang sangat komprehensif. Ia bukan hanya berarti kerusakan fisik atau lingkungan, tetapi mencakup segala bentuk kebobrokan moral, sosial, ekonomi, dan spiritual. Qarun, dengan kesombongannya, penolakannya terhadap kebenaran, dan potensi eksploitasinya terhadap orang miskin, adalah contoh nyata seorang pelaku kerusakan (mufsid).

Bentuk-bentuk kerusakan di muka bumi yang harus dihindari meliputi:

Ayat ini ditutup dengan penegasan yang sangat kuat: "إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ" (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan). Ini bukan sekadar larangan, tetapi sebuah pernyataan tentang konsekuensi. Ketika seseorang tidak dicintai oleh Allah, maka ia telah kehilangan segalanya. Cintanya Allah adalah sumber dari segala rahmat, berkah, dan pertolongan. Kehilangan cinta-Nya berarti terjerumus ke dalam kehinaan di dunia dan azab di akhirat.

Kesimpulan: Peta Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki

Surah Al-Qasas ayat 77 bukanlah sekadar ayat. Ia adalah sebuah kurikulum kehidupan yang utuh. Ia mengajarkan kita untuk menjadi individu yang memiliki visi jauh ke depan (akhirat), namun tetap berpijak kokoh di bumi (dunia). Ia mendorong kita untuk menjadi pribadi yang dermawan dan penuh empati (ihsan), sekaligus menjadi garda terdepan dalam mencegah segala bentuk kerusakan (fasad).

Empat pilar ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Mengejar akhirat tanpa memedulikan dunia akan membuat kita lemah. Mengejar dunia dan melupakan akhirat akan membuat kita celaka seperti Qarun. Berbuat baik tanpa landasan syukur kepada Allah akan membuat amal kita hampa. Dan mencegah kerusakan adalah konsekuensi logis dari keinginan untuk membangun peradaban yang diridhai Allah.

Di zaman modern yang penuh dengan tarikan materialisme dan godaan hedonisme, ayat ini menjadi relevan lebih dari sebelumnya. Ia adalah pengingat konstan bagi kita untuk selalu memeriksa kembali kompas hidup kita. Sudahkah setiap nikmat yang kita miliki—gaji, gelar, jabatan, kesehatan, dan waktu—kita jadikan sebagai modal untuk investasi akhirat? Sudahkah kita menunaikan hak-hak duniawi kita secara wajar tanpa berlebihan? Sudahkah kebaikan Allah kepada kita tercermin dalam perlakuan kita kepada sesama makhluk? Dan sudahkah kita menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah di muka bumi ini?

Dengan menjadikan Surah Al-Qasas ayat 77 sebagai falsafah hidup, kita dapat menapaki jalan tengah yang lurus, meraih kebaikan di dunia (hasanah fi al-dunya) dan kebaikan di akhirat (hasanah fi al-akhirah), serta terhindar dari siksa api neraka. Itulah puncak kesuksesan dan kebahagiaan yang sejati.

🏠 Homepage