Syukur Tertinggi: Meresapi Makna Alhamdulillah 'ala Ni'matil Iman wal Islam
الحمد لله على نعمة الإيمان والإسلام
"Segala puji bagi Allah atas nikmat Iman dan Islam"
Di antara sekian banyak kalimat syukur yang terucap dari lisan seorang hamba, ada satu ungkapan yang menempati kedudukan paling istimewa dan paling agung. Ia bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pengakuan tulus dari lubuk hati yang paling dalam, sebuah deklarasi kesadaran atas anugerah terbesar yang pernah diterima manusia. Kalimat itu adalah Alhamdulillah 'ala Ni'matil Iman wal Islam. Sebuah kalimat yang ringan di lisan, namun berat timbangannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia adalah esensi dari seluruh rasa syukur, karena ia mensyukuri pondasi dari segala kebaikan dunia dan akhirat.
Dalam hiruk pikuk kehidupan dunia, manusia seringkali terjebak dalam mensyukuri nikmat-nikmat yang kasat mata: kesehatan yang prima, harta yang melimpah, keluarga yang harmonis, atau jabatan yang terpandang. Semua itu memang nikmat yang patut disyukuri. Namun, seringkali kita lupa atau bahkan tidak menyadari adanya dua nikmat yang menjadi akar dari semua kebahagiaan sejati, yaitu nikmat Iman dan nikmat Islam. Tanpa keduanya, semua nikmat duniawi tersebut akan kehilangan nilainya di hadapan Allah dan tidak akan mampu menyelamatkan pemiliknya di kehidupan abadi kelak. Oleh karena itu, memahami dan meresapi makna kalimat agung ini adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim yang ingin mencapai derajat syukur yang sempurna.
Membedah Makna Setiap Kata: Sebuah Lautan Ilmu
Untuk dapat menyelami kedalaman makna kalimat ini, kita perlu membedahnya kata demi kata. Setiap lafadz yang terkandung di dalamnya membawa makna yang luas dan mendalam, yang jika direnungkan akan menambah keyakinan dan rasa cinta kita kepada Sang Pemberi Nikmat.
1. Al-Hamdu (الحمد)
Kata ini seringkali diterjemahkan sebagai "pujian". Namun, maknanya jauh lebih luas dari sekadar pujian biasa. Dalam bahasa Arab, ada kata lain untuk pujian yaitu Al-Madhu (المدح). Perbedaannya sangat signifikan. Al-Madhu bisa diberikan kepada siapa saja, baik karena sifat-sifat baik yang dimilikinya maupun karena pemberian yang ia berikan, dan bisa jadi pujian tersebut tidak tulus atau berlebihan.
Adapun Al-Hamdu adalah pujian yang tulus, yang lahir dari rasa cinta (mahabbah) dan pengagungan (ta'zhim). Ia adalah pujian yang ditujukan kepada Dzat yang memiliki kesempurnaan dalam sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya, terlepas dari apakah kita menerima nikmat dari-Nya atau tidak. Kita memuji Allah karena Dia memang Maha Terpuji, karena keagungan Dzat-Nya. Penggunaan partikel "Al" (ال) di depannya menunjukkan istighraq, yang berarti mencakup seluruh jenis pujian. Jadi, "Alhamdulillah" berarti segala bentuk pujian yang sempurna hanya dan mutlak milik Allah semata. Ini adalah sebuah deklarasi tauhid yang fundamental.
2. Li-llah (لله)
Gabungan dari huruf lam (ل) yang berarti kepemilikan atau kekhususan, dan lafadz Allah (الله). Ini menegaskan bahwa segala pujian sempurna itu hanya ditujukan, dimiliki, dan berhak diterima oleh Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang layak menerima pujian absolut sebagaimana Allah menerimanya. Pujian kepada makhluk bersifat nisbi dan terbatas, sedangkan pujian kepada Allah bersifat mutlak dan tak terbatas. Lafadz "Allah" adalah nama teragung bagi Rabb semesta alam, yang mencakup seluruh Nama-Nama-Nya yang Indah (Asma'ul Husna) dan Sifat-Sifat-Nya yang Maha Tinggi.
3. 'Ala Ni'mah (على نعمة)
Kata "'Ala" berarti "atas", menunjukkan sebab atau objek dari pujian tersebut. "Ni'mah" berarti nikmat, karunia, atau anugerah. Nikmat Allah tidak akan pernah bisa dihitung oleh manusia. Sebagaimana firman-Nya:
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nahl: 18)
Nikmat Allah terbagi menjadi dua kategori besar: nikmat duniawi (seperti kesehatan, harta, udara untuk bernapas) dan nikmat ukhrawi atau nikmat agama. Kalimat ini secara spesifik menunjuk pada dua nikmat terbesar dari kategori kedua.
4. Al-Iman (الإيمان)
Inilah nikmat pertama yang disyukuri secara khusus. Iman bukan sekadar kepercayaan atau pengetahuan. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, iman adalah keyakinan dalam hati (tasdiqun bil qalbi), ucapan dengan lisan (qaulun bil lisan), dan amalan dengan anggota badan ('amalun bil arkan). Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Iman adalah cahaya yang Allah tanamkan di dalam hati seorang hamba, yang membuatnya mampu melihat kebenaran, membedakan antara yang hak dan yang batil, dan merasakan ketenangan jiwa. Tanpa iman, hati akan gelap, hidup akan hampa tanpa tujuan, dan akhirat akan menjadi sebuah penyesalan abadi.
5. Wal-Islam (والإسلام)
Kata "wa" berarti "dan", menyambungkan nikmat agung berikutnya. Islam secara bahasa berarti ketundukan, kepasrahan, dan penyerahan diri. Secara istilah, Islam adalah penyerahan diri secara total kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan menjalankan segala ketaatan, dan berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan dan para pelakunya. Jika iman adalah aspek internal (keyakinan hati), maka Islam adalah manifestasi eksternal dari keyakinan tersebut dalam bentuk amal perbuatan dan syariat. Islam adalah sistem hidup paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari ibadah ritual hingga muamalah sosial, ekonomi, dan politik. Islam adalah jalan lurus (shiratal mustaqim) yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mengapa Iman dan Islam Adalah Nikmat Terbesar?
Seseorang mungkin bertanya, mengapa dari sekian banyak nikmat Allah, hanya Iman dan Islam yang disebutkan secara eksplisit dalam ungkapan syukur ini? Jawabannya terletak pada nilai dan dampak abadi dari kedua nikmat ini dibandingkan dengan nikmat-nikmat lainnya.
1. Kunci Menuju Surga dan Keselamatan Abadi
Semua nikmat dunia, sekecil atau sebesar apapun, akan berakhir seiring dengan berakhirnya kehidupan. Harta akan ditinggalkan, jabatan akan hilang, dan tubuh yang sehat pada akhirnya akan menua dan fana. Tidak ada satupun dari nikmat duniawi yang bisa kita bawa ke alam kubur sebagai penolong. Satu-satunya bekal yang bernilai abadi adalah Iman dan Islam. Keduanya adalah paspor untuk memasuki surga Allah dan syarat mutlak untuk terhindar dari siksa neraka yang kekal. Allah berfirman:
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali 'Imran: 85)
Seorang miskin yang beriman jauh lebih mulia dan beruntung di sisi Allah daripada seorang raja terkaya di dunia yang tidak beriman. Karena kemiskinan si mukmin akan berakhir dengan kematiannya dan digantikan dengan kenikmatan surga yang abadi, sementara kekayaan si kafir akan sirna dan digantikan dengan azab yang pedih. Inilah perspektif yang seharusnya dimiliki setiap muslim.
2. Sumber Ketenangan Jiwa (Sakinah)
Dunia modern menawarkan berbagai macam resep kebahagiaan: hiburan, kekayaan, popularitas, dan terapi. Namun, semua itu hanya memberikan kesenangan sesaat. Kebahagiaan dan ketenangan sejati (sakinah) hanya bisa didapatkan melalui iman kepada Allah. Dengan iman, hati menjadi tenang karena ia bersandar kepada Dzat Yang Maha Kuat dan Maha Pengasih. Dengan Islam, hidup menjadi terarah karena memiliki pedoman yang jelas. Seorang mukmin tidak akan putus asa saat ditimpa musibah, karena ia yakin itu adalah ujian yang akan mengangkat derajatnya. Ia juga tidak akan sombong saat mendapatkan nikmat, karena ia sadar semua itu adalah titipan dari Allah.
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28)
3. Pedoman Hidup yang Lengkap dan Sempurna
Islam bukanlah sekadar sekumpulan ritual ibadah. Ia adalah sebuah way of life, sebuah manhaj atau metode hidup yang komprehensif. Ia memberikan petunjuk dalam segala hal: bagaimana berinteraksi dengan orang tua, bagaimana mendidik anak, bagaimana berbisnis secara adil, bagaimana menjaga kebersihan, bagaimana makan dan minum, bahkan bagaimana berhubungan dengan tetangga dan lingkungan. Kehidupan yang diatur oleh syariat Islam adalah kehidupan yang teratur, adil, dan penuh berkah. Ini adalah nikmat berupa keteraturan dan kepastian di tengah dunia yang penuh dengan kebingungan ideologi dan ketidakpastian moral.
4. Anugerah Hidayah yang Tak Ternilai
Mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam dan merasakan manisnya iman bukanlah hasil dari kecerdasan, kekuatan, atau kekayaan seseorang. Hidayah adalah murni pilihan dan anugerah dari Allah. Berapa banyak orang yang cerdas secara intelektual namun hatinya buta dari kebenaran Islam? Berapa banyak orang yang berkuasa namun hidupnya tersesat dalam kegelapan syirik? Kita dipilih oleh Allah dari miliaran manusia untuk menerima nikmat ini. Kesadaran inilah yang seharusnya membuat kita sujud syukur setiap saat. Kita tidak lebih baik dari mereka, tetapi Allah dengan rahmat-Nya telah memilih kita.
Manifestasi Syukur atas Nikmat Iman dan Islam
Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matil iman wal islam" adalah langkah awal. Namun, syukur sejati tidak berhenti di lisan. Ia harus terwujud dalam tiga pilar utama: syukur dengan hati, syukur dengan lisan, dan syukur dengan perbuatan.
1. Syukur dengan Hati (Syukrul Qalbi)
Ini adalah pondasi dari segala bentuk syukur. Wujudnya adalah sebagai berikut:
- Meyakini Sepenuh Hati: Meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa nikmat Iman dan Islam ini murni datang dari Allah, bukan karena usaha atau kehebatan kita.
- Mencintai Nikmat Tersebut: Merasa bahagia dan bangga menjadi seorang muslim. Mencintai Allah, Rasul-Nya, Al-Qur'an, dan syariat Islam lebih dari apapun.
- Takut Kehilangan Nikmat Ini: Rasa syukur akan memunculkan rasa takut jika nikmat ini dicabut oleh Allah. Hal ini akan mendorong kita untuk senantiasa berdoa memohon keteguhan hati (tsabat) di atas agama-Nya, seperti doa yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah: "Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbii 'alaa Diinik" (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).
2. Syukur dengan Lisan (Syukrul Lisan)
Hati yang penuh syukur akan meluap melalui lisan. Bentuknya antara lain:
- Memperbanyak Hamdalah: Senantiasa membasahi lisan dengan zikir "Alhamdulillah" dalam setiap keadaan, baik saat lapang maupun sempit.
- Menuturkan Kebenaran: Menggunakan lisan untuk membaca Al-Qur'an, berzikir, menuntut ilmu, dan menyampaikan kebaikan.
- Berdakwah: Mengajak orang lain untuk merasakan manisnya nikmat Iman dan Islam. Menceritakan keindahan Islam kepada dunia adalah salah satu bentuk syukur tertinggi, karena kita ingin orang lain juga merasakan nikmat agung yang kita rasakan.
3. Syukur dengan Perbuatan (Syukrul Jawarih)
Inilah bukti nyata dari sebuah kesyukuran. Tanpa amal, pengakuan hati dan ucapan lisan menjadi rapuh. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan seluruh anggota tubuh dan potensi yang Allah berikan untuk taat kepada-Nya.
- Meningkatkan Kualitas Ibadah: Menjalankan shalat dengan khusyuk, berpuasa dengan penuh penghayatan, menunaikan zakat dengan ikhlas, dan melaksanakan rukun Islam lainnya dengan sebaik-baiknya.
- Mempelajari Agama (Thalabul 'Ilmi): Rasa syukur atas nikmat Islam akan mendorong seseorang untuk ingin tahu lebih dalam tentang agamanya. Ia akan bersemangat mempelajari Al-Qur'an, Hadits, Fiqih, dan cabang ilmu Islam lainnya agar ibadahnya benar dan keyakinannya kokoh.
- Mengamalkan Syariat Secara Kaffah: Berusaha menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan, tidak memilih-milah mana yang disuka dan meninggalkan yang tidak disuka.
- Menjauhi Maksiat: Menjaga mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang dimurkai Allah. Ini adalah bentuk nyata dari rasa syukur, yaitu menggunakan nikmat (anggota tubuh) sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat.
Kesimpulan: Sebuah Perenungan Abadi
Kalimat Alhamdulillah 'ala Ni'matil Iman wal Islam adalah sebuah samudra makna yang tak akan pernah kering untuk diselami. Ia adalah pengingat konstan bagi kita tentang anugerah terbesar yang sering kita lupakan. Ia adalah standar kebahagiaan sejati yang melampaui materi dan kefanaan dunia. Ia adalah kompas yang mengarahkan seluruh hidup kita untuk satu tujuan: meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Marilah kita jadikan kalimat ini bukan hanya sebagai zikir rutin, tetapi sebagai sebuah kesadaran yang meresap dalam jiwa. Setiap kali kita mengucapkannya, bayangkanlah jutaan manusia yang hidup dalam kegelapan tanpa cahaya hidayah ini. Rasakan betapa beruntungnya kita dipilih oleh-Nya. Kemudian, wujudkan rasa syukur itu dengan pembuktian amal, dengan kesungguhan dalam berislam, dan dengan istiqamah hingga akhir hayat. Semoga Allah senantiasa menjaga nikmat Iman dan Islam ini di dalam hati kita, dan mewafatkan kita semua dalam keadaan husnul khatimah di atas kalimat tauhid.
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
"Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan."