Alhamdulillah 'ala Ni'matil Iman, Walhamdulillah 'ala Ni'matil Islam
Di antara riuh rendahnya kehidupan dunia, di tengah hiruk pikuk pencapaian materi dan status sosial, ada dua kalimat agung yang sering terucap namun jarang direnungi kedalamannya. Dua kalimat yang menjadi esensi dari seluruh eksistensi seorang hamba di hadapan Rabb-nya: Alhamdulillah 'ala ni'matil iman, walhamdulillah 'ala ni'matil Islam. Segala puji bagi Allah atas nikmat iman, dan segala puji bagi Allah atas nikmat Islam. Kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pengakuan, sebuah deklarasi syukur atas dua anugerah terbesar yang tidak ternilai harganya. Anugerah ini melampaui kekayaan dunia, kesehatan jasad, dan kedudukan terhormat, karena ia adalah kunci kebahagiaan sejati di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.
Betapa sering kita mensyukuri hal-hal yang tampak oleh mata: rezeki yang lapang, rumah yang nyaman, keluarga yang harmonis, atau keberhasilan dalam karir. Semua itu memang nikmat yang patut disyukuri. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan benar-benar merasakan getaran syukur di dalam jiwa atas nikmat yang paling fundamental? Nikmat yang membuat semua nikmat lain menjadi berarti. Nikmat yang menjadi pondasi bagi seluruh bangunan kehidupan kita. Itulah nikmat iman dan Islam. Tanpa keduanya, apalah arti segala kemewahan dunia jika jiwa hampa dan arah hidup tak menentu? Artikel ini adalah sebuah ajakan untuk menyelam lebih dalam, membedah makna, dan meresapi kembali betapa luar biasanya anugerah ini, agar lisan, hati, dan perbuatan kita senantiasa basah dengan rasa syukur yang tulus kepada-Nya.
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Membedah Makna Agung: Iman sebagai Cahaya Batin
Iman seringkali diartikan secara sederhana sebagai 'percaya'. Namun, makna iman dalam terminologi Islam jauh lebih dalam dan komprehensif. Iman bukanlah kepercayaan buta atau sekadar pengakuan intelektual. Ia adalah at-tashdiqul jazim, sebuah pembenaran yang kokoh dan mantap di dalam hati, yang kemudian diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan melalui amal perbuatan. Ia adalah energi internal yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan seorang manusia. Ia adalah cahaya yang menerangi kegelapan jiwa, memberikan panduan di saat tersesat, dan menanamkan ketenangan di tengah badai kehidupan.
Rukun Iman: Enam Pilar Penopang Keyakinan
Struktur iman dibangun di atas enam pilar yang kokoh, yang tanpanya bangunan keyakinan akan runtuh. Mensyukuri nikmat iman berarti mensyukuri hidayah untuk memahami dan meyakini keenam pilar ini.
Pertama, Iman kepada Allah. Ini adalah pilar utama dan fondasi dari segalanya. Ia bukan sekadar percaya akan adanya Tuhan, tetapi meyakini keesaan-Nya (Tauhid), bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia. Meyakini sifat-sifat kesempurnaan-Nya (Asma'ul Husna wa Sifat), bahwa Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tersembunyi maupun yang tampak. Keimanan ini melahirkan rasa cinta, takut, dan harap hanya kepada-Nya, membebaskan jiwa dari perbudakan kepada makhluk dan materi.
Kedua, Iman kepada Malaikat-Nya. Meyakini adanya makhluk-makhluk mulia yang diciptakan dari cahaya, yang senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Mereka memiliki tugas-tugas spesifik seperti Jibril yang menyampaikan wahyu, Mikail yang mengatur rezeki, Israfil yang akan meniup sangkakala, hingga Raqib dan 'Atid yang mencatat setiap amal perbuatan kita. Keimanan ini menumbuhkan rasa muraqabah, perasaan selalu diawasi oleh Allah, sehingga mendorong kita untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi kemaksiatan.
Ketiga, Iman kepada Kitab-kitab-Nya. Meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab suci sebagai pedoman hidup bagi umat manusia, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan puncaknya adalah Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah kalamullah yang terjaga keasliannya hingga akhir zaman, menjadi petunjuk yang sempurna, pembeda antara yang hak dan yang batil. Mensyukuri nikmat ini berarti kita dianugerahi akses langsung kepada firman Sang Pencipta, sebuah manual kehidupan yang paling lengkap dan akurat.
Keempat, Iman kepada Rasul-rasul-Nya. Meyakini bahwa Allah telah mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan risalah-Nya, mengajak manusia kembali ke jalan tauhid. Dari Adam hingga puncaknya, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai penutup para nabi dan rasul, yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Keimanan ini melahirkan kecintaan dan keinginan untuk meneladani akhlak mulia mereka, terutama akhlak Nabi Muhammad sebagai uswatun hasanah (teladan terbaik).
Kelima, Iman kepada Hari Akhir. Meyakini seyakin-yakinnya bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara. Akan ada hari kebangkitan, padang mahsyar, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan), surga, dan neraka. Keimanan ini memberikan visi dan orientasi hidup. Ia menjadikan dunia bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai ladang untuk menanam amal kebaikan demi panen abadi di akhirat. Ia menjadi rem yang kuat dari perbuatan dosa dan pendorong semangat untuk beribadah.
Keenam, Iman kepada Qada dan Qadar. Meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik yang kita sukai maupun yang kita benci, adalah atas ketetapan dan takdir Allah. Keimanan ini melahirkan jiwa yang tangguh. Saat mendapat nikmat, ia bersyukur dan tidak sombong. Saat ditimpa musibah, ia bersabar dan tidak putus asa, karena ia tahu bahwa di balik setiap kejadian, ada hikmah agung dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Buah Manis dari Pohon Iman
Ketika keenam pilar ini tertanam kokoh di dalam hati, pohon iman akan tumbuh subur dan menghasilkan buah-buah yang manis dalam kehidupan sehari-hari. Buah tersebut adalah ketenangan jiwa (sakinah) yang tidak bisa dibeli dengan harta. Hati seorang mukmin akan selalu merasa damai karena ia bersandar pada Dzat Yang Maha Kuat. Buah lainnya adalah optimisme dan husnudzon (prasangka baik) kepada Allah. Ia yakin bahwa setiap skenario Allah adalah yang terbaik baginya. Ia akan memiliki kekuatan untuk menghadapi ujian seberat apapun, karena ia tahu bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Yang terpenting, iman memberikan kejelasan tujuan hidup. Ia tahu dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Merenungi Hakikat Islam: Jalan Lurus Menuju Keridhaan
Jika iman adalah keyakinan yang bersemayam di dalam hati, maka Islam adalah manifestasi dari keyakinan tersebut dalam bentuk tindakan dan cara hidup. Kata 'Islam' berasal dari akar kata 'aslama', yang berarti berserah diri, tunduk, dan patuh. Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang paripurna, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (habluminallah), hubungan manusia dengan sesamanya (habluminannas), dan hubungan manusia dengan alam semesta. Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matil Islam" adalah wujud syukur karena kita telah ditunjukkan sebuah jalan yang lurus (shiratal mustaqim), sebuah panduan yang jelas untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rukun Islam: Lima Tiang Penyangga Kehidupan
Bangunan Islam ditopang oleh lima tiang utama yang disebut Rukun Islam. Kelimanya merupakan fondasi amal yang harus ditegakkan oleh setiap muslim.
Pertama, Syahadat (Persaksian). Ini adalah gerbang utama menuju Islam. Mengucapkan "Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Persaksian ini adalah sebuah kontrak agung, sebuah komitmen seumur hidup untuk mentauhidkan Allah dan mengikuti ajaran Rasulullah. Ia adalah pembebasan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah, dan merupakan deklarasi identitas seorang muslim.
Kedua, Shalat. Ini adalah tiang agama. Shalat lima waktu adalah bentuk komunikasi langsung seorang hamba dengan Penciptanya. Ia adalah momen untuk berdzikir, berdoa, memohon ampun, dan mensyukuri nikmat-Nya. Shalat yang dikerjakan dengan khusyuk akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ia adalah sumber ketenangan, pengingat konstan akan tujuan hidup, dan pembersih dosa-dosa kecil yang kita lakukan sehari-hari. Nikmat Islam adalah nikmat diberikannya kesempatan untuk "bertemu" Allah lima kali sehari.
Ketiga, Zakat. Ibadah ini adalah manifestasi dari kepedulian sosial dalam Islam. Zakat membersihkan harta dari hak-hak orang lain yang mungkin melekat padanya, sekaligus membersihkan jiwa dari sifat kikir dan cinta dunia yang berlebihan. Zakat adalah instrumen keadilan ekonomi, yang memastikan sirkulasi kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang membutuhkan. Ia membangun rasa persaudaraan (ukhuwah) dan solidaritas dalam masyarakat.
Keempat, Puasa di Bulan Ramadan. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah madrasah (sekolah) ruhaniyah untuk melatih kesabaran, pengendalian diri (self-control), dan empati terhadap penderitaan kaum fakir miskin. Selama sebulan penuh, seorang muslim dididik untuk mengendalikan hawa nafsunya, meningkatkan kualitas ibadahnya, dan mendekatkan diri kepada Allah. Puasa adalah detoksifikasi fisik dan spiritual yang hasilnya adalah ketaqwaan.
Kelima, Haji ke Baitullah. Ibadah ini diwajibkan bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial. Haji adalah puncak dari perjalanan spiritual seorang muslim. Di sana, jutaan manusia dari berbagai bangsa, warna kulit, dan status sosial berkumpul di satu tempat, mengenakan pakaian yang sama (ihram), dan melakukan ritual yang sama. Haji adalah miniatur dari Padang Mahsyar, yang mengingatkan kita bahwa di hadapan Allah, semua manusia setara. Ia menghapuskan dosa-dosa dan menanamkan semangat persatuan umat Islam sedunia.
Hubungan Erat Iman dan Islam: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Iman dan Islam adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Iman adalah fondasi internal, sementara Islam adalah bangunan eksternal yang berdiri di atasnya. Iman tanpa Islam adalah seperti keyakinan tanpa bukti. Seseorang bisa saja mengaku beriman, tetapi jika ia tidak shalat, tidak puasa, dan tidak menjalankan syariat Islam lainnya, maka keimanannya patut dipertanyakan. Sebaliknya, Islam tanpa iman adalah seperti jasad tanpa ruh. Seseorang bisa saja melakukan semua ritual ibadah secara fisik, tetapi jika hatinya kosong dari keyakinan yang tulus kepada Allah, maka amalnya menjadi sia-sia, hanya sebatas gerakan fisik tanpa makna.
Hubungan keduanya digambarkan dengan indah dalam sebuah analogi pohon. Iman adalah akarnya yang tersembunyi di dalam tanah (hati). Semakin dalam dan kuat akarnya, semakin kokoh pula pohon tersebut. Islam adalah batang, dahan, dan ranting yang tumbuh di atas tanah, yang terlihat oleh semua orang. Ia adalah wujud nyata dari keberadaan akar tersebut. Sementara itu, buah yang dihasilkan dari pohon itu adalah Ihsan, yaitu kesadaran bahwa kita beribadah seolah-olah melihat Allah, dan jika tidak bisa, kita yakin bahwa Allah melihat kita. Iman menjadi pendorong, Islam menjadi panduan, dan Ihsan menjadi kualitasnya.
Keduanya saling menguatkan dalam sebuah siklus yang positif. Ketika iman di dalam hati kuat, maka menjalankan syariat Islam akan terasa ringan dan penuh kenikmatan. Shalat bukan lagi beban, melainkan kebutuhan. Puasa bukan lagi siksaan, melainkan kesempatan. Sebaliknya, ketika seseorang konsisten menjalankan syariat Islam dengan ilmu dan kesadaran, maka hal itu akan menyirami dan memupuk benih iman di dalam hatinya, membuatnya semakin kuat dan bercahaya.
Wujud Syukur Tertinggi: Bagaimana Kita Menjaga Nikmat Ini?
Setelah merenungi betapa agungnya nikmat iman dan Islam, pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana cara kita mensyukurinya secara nyata? Syukur bukan hanya ucapan "Alhamdulillah" di lisan. Syukur yang sejati harus melibatkan tiga komponen: syukur dengan hati, syukur dengan lisan, dan syukur dengan perbuatan.
Syukur dengan Hati
Ini adalah fondasi dari segala bentuk syukur. Ia terwujud dalam bentuk keyakinan dan perasaan di dalam hati bahwa semua nikmat, terutama iman dan Islam, murni datang dari Allah. Bukan karena kecerdasan kita, bukan karena keturunan kita, dan bukan pula karena usaha kita semata. Ia adalah hidayah, sebuah hadiah yang dipilihkan Allah untuk kita. Perasaan ini akan melahirkan kerendahan hati (tawadhu) dan menyingkirkan kesombongan. Hati akan senantiasa merasa bergantung dan membutuhkan Allah, mengakui kelemahan diri di hadapan keagungan-Nya.
Syukur dengan Lisan
Ini adalah ekspresi verbal dari perasaan hati. Lisan senantiasa dibasahi dengan ucapan hamdalah, tasbih, tahlil, dan takbir. Kita memuji Allah atas keagungan-Nya dan berterima kasih atas karunia-Nya. Selain itu, syukur dengan lisan juga berarti menggunakan lisan untuk hal-hal yang diridhai-Nya, seperti membaca Al-Qur'an, berdakwah dengan hikmah, menasihati dalam kebaikan, dan berkata-kata yang baik. Lisan menjadi alat untuk menyebarkan keindahan Islam, bukan untuk mencela atau menyakiti orang lain.
Syukur dengan Perbuatan
Ini adalah bukti nyata dari syukur di hati dan lisan. Mensyukuri nikmat iman dan Islam dengan perbuatan berarti menggunakan seluruh anggota tubuh dan potensi yang diberikan Allah untuk taat kepada-Nya. Cara mensyukurinya adalah dengan:
- Mempelajari Agama: Syukur yang hakiki menuntut kita untuk tidak puas dengan pengetahuan agama yang dangkal. Kita harus bersemangat untuk terus belajar, memahami Al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang lurus, agar ibadah dan muamalah kita dilandasi oleh ilmu yang benar.
- Mengamalkan Ajaran Islam Secara Kaffah (Menyeluruh): Islam bukan agama yang hanya diamalkan di masjid. Ia harus mewarnai seluruh aspek kehidupan: cara kita berbisnis, cara kita berinteraksi dengan tetangga, cara kita mendidik anak, hingga cara kita berpolitik dan bernegara. Mengamalkan Islam secara utuh adalah bentuk syukur tertinggi.
- Meningkatkan Kualitas Ibadah: Tidak hanya menjaga kuantitas ibadah wajib, tetapi juga berusaha meningkatkan kualitasnya. Shalat dikerjakan dengan lebih khusyuk, puasa dijalani dengan lebih bermakna, dan sedekah diberikan dengan lebih ikhlas. Ditambah dengan amalan-amalan sunnah sebagai pelengkap.
- Menjaga Diri dari Kemaksiatan: Konsekuensi logis dari rasa syukur adalah menjaga nikmat tersebut agar tidak hilang. Kemaksiatan adalah perusak iman dan perusak nikmat. Dengan menjauhi larangan-larangan Allah, kita sedang berusaha menjaga anugerah terindah ini.
- Berdakwah dan Mengajak kepada Kebaikan: Bagian dari mensyukuri nikmat hidayah adalah dengan berupaya agar orang lain juga merasakannya. Berbagi keindahan Islam dengan cara yang bijak dan penuh kasih sayang adalah bentuk syukur yang manfaatnya meluas.
Tantangan di Era Modern dan Cara Bertahan
Menjaga nikmat iman dan Islam di zaman sekarang memiliki tantangannya tersendiri. Arus informasi yang tak terbendung membawa serta berbagai macam pemikiran, ideologi, dan gaya hidup yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Keraguan (syubhat) disebarkan secara masif melalui internet, sementara godaan syahwat (keinginan duniawi) dipertontonkan tanpa henti melalui media sosial dan hiburan. Materialisme dan hedonisme diagungkan sebagai tujuan hidup, mengikis spiritualitas dan orientasi akhirat.
Di tengah badai tantangan ini, seorang muslim harus menjadi seperti karang yang kokoh. Bagaimana caranya? Pertama, dengan membentengi diri dengan ilmu agama yang shahih. Ilmu adalah cahaya yang akan menyingkap kegelapan syubhat. Kedua, dengan menjaga lingkungan pergaulan. Berteman dengan orang-orang saleh akan saling menguatkan dan mengingatkan dalam kebaikan. Ketiga, dengan doa yang tak pernah putus. Kita harus senantiasa memohon kepada Allah, Sang Pembolak-balik Hati, agar senantiasa menetapkan hati kita di atas agama-Nya. Doa "Yaa Muqallibal quluub, tsabbit qalbii 'alaa diinik" (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu) harus menjadi wirid harian. Keempat, dengan senantiasa melakukan muhasabah (introspeksi diri), mengevaluasi amal dan keimanan kita setiap hari. Dan yang terakhir, menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai kompas utama yang tidak akan pernah menyesatkan.
Sebuah Kesimpulan: Hidup dalam Bingkai Syukur
Nikmat iman dan Islam bukanlah barang warisan yang otomatis akan terus melekat. Ia adalah amanah agung yang harus dijaga, dirawat, dan diperjuangkan hingga akhir hayat. Ia adalah permata termahal yang jika hilang, maka hilanglah segalanya. Ucapan "Alhamdulillah 'ala ni'matil iman, walhamdulillah 'ala ni'matil Islam" harus menjelma dari sekadar kalimat menjadi sebuah falsafah hidup. Sebuah kesadaran yang terpatri dalam jiwa, yang mewarnai setiap tarikan napas, setiap detak jantung, dan setiap langkah perbuatan kita.
Mari kita renungkan kembali. Betapa banyak manusia di muka bumi ini yang hidup dalam kegelapan tanpa cahaya petunjuk. Betapa banyak yang mencari kebahagiaan di tempat yang salah, mengejar fatamorgana yang tak pernah berujung. Dan kita, dengan rahmat-Nya, telah dipilih untuk menerima hidayah ini. Maka, rasa syukur seperti apa yang pantas kita persembahkan? Sungguh, jika seluruh lautan menjadi tinta dan seluruh pepohonan menjadi pena, tak akan cukup untuk menuliskan betapa besar nikmat iman dan Islam ini. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, yang istiqamah memegang teguh tali agama-Nya, dan mewafatkan kita semua dalam keadaan husnul khatimah di atas iman dan Islam. Aamiin.