Dalam khazanah kebijaksanaan Islam, perkataan dan nasihat dari Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, selalu menjadi rujukan utama. Beliau dikenal dengan kefasihan lidahnya dalam merangkai kata yang mengandung makna filosofis mendalam mengenai kehidupan, spiritualitas, dan manajemen diri. Salah satu nasihat yang sering dikutip dan sangat relevan di era modern ini adalah mengenai sikap kita terhadap pencapaian duniawi: "Jangan terlalu dikejar."
Kalimat singkat ini menyiratkan sebuah peringatan halus terhadap ambisi yang tidak terkontrol. Di tengah masyarakat yang mendewakan kecepatan, kesuksesan instan, dan akumulasi materi, sangat mudah bagi seseorang untuk terjebak dalam siklus pengejaran tanpa henti. Pengejaran yang dimaksud di sini bukan berarti meninggalkan usaha atau berdiam diri, melainkan tentang intensitas emosional dan keterikatan jiwa terhadap hasil akhir.
Nasihat Ali bin Abi Thalib menekankan pentingnya memisahkan antara usaha dan keterikatan. Usaha adalah kewajiban seorang Muslim; kita diperintahkan untuk bekerja keras, berikhtiar, dan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki. Namun, ketika usaha tersebut dibungkus dengan kegelisahan berlebihan, kekhawatiran akan kegagalan, dan rasa kepemilikan yang absolut atas hasilnya, saat itulah kita mulai "terlalu mengejar."
Bahaya Mengejar Dunia Secara Berlebihan
Ketika dunia (rizki, popularitas, jabatan) dikejar secara berlebihan, dampaknya seringkali negatif terhadap kondisi hati dan spiritualitas. Pertama, hal ini menimbulkan stres kronis. Ketakutan kehilangan atau gagal meraih menjadi bayangan konstan yang menggerogoti kedamaian batin. Kedua, fokus yang terlalu tajam pada tujuan duniawi sering kali menggeser prioritas ibadah dan hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Waktu untuk tafakur, shalat, dan berbuat baik menjadi terpotong demi memuaskan hasrat mengejar yang seolah tak bertepi.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan sebuah perspektif kosmik bahwa segala sesuatu di alam semesta ini telah ditetapkan (qadar). Jika rezeki kita telah ditentukan, maka energi yang kita habiskan untuk mencemaskan rezeki yang belum datang, atau merasa putus asa ketika belum tercapai, adalah pemborosan spiritual. Energi tersebut seharusnya dialihkan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan pelayanan kita kepada sesama.
Keseimbangan antara Ikhtiar dan Tawakkal
Pesan "jangan terlalu dikejar" bukanlah seruan untuk pasif. Ia adalah fondasi dari konsep tawakkal yang paripurna. Tawakkal bukanlah diam sambil menunggu mukjizat, melainkan mengambil semua sebab yang diperintahkan (ikhtiar) sambil menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Setelah panah dilepaskan, seorang pemanah sejati tidak lagi mengkhawatirkan arah angin atau posisi sasaran; ia hanya fokus pada persiapan berikutnya.
Dalam konteks modern, ini berarti kita harus disiplin dalam pekerjaan, berinovasi, dan bekerja dengan etos terbaik. Namun, setelah semua upaya dilakukan, kita harus melepaskan genggaman kita terhadap hasilnya. Jika hasil yang datang berbeda dari ekspektasi, kita menerimanya dengan lapang dada karena kita yakin bahwa apa yang tertunda atau terlewatkan mengandung hikmah yang mungkin belum kita pahami saat ini.
Oleh karena itu, menghayati nasihat Ali bin Abi Thalib ini membawa kita kembali pada inti tujuan hidup: mencari keridhaan Ilahi, bukan sekadar mengumpulkan catatan keberhasilan duniawi. Dengan menyeimbangkan usaha keras dan penyerahan diri yang tenang, kita akan menemukan bahwa apa yang kita kejar dengan tergesa-gesa sering kali datang dengan lebih mudah dan membawa keberkahan yang lebih besar saat kita mendekatinya dengan hati yang damai. Jadikan aktivitas kita sebagai bentuk ibadah, dan biarkan hasilnya menjadi ketetapan Yang Maha Mengatur.