Allah Maha Adil: Menyelami Samudra Keadilan Ilahi yang Sempurna
Ilustrasi timbangan keadilan yang seimbang, merepresentasikan sifat Allah Yang Maha Adil.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan, di antara suka dan duka, tawa dan tangis, seringkali terbersit sebuah pertanyaan fundamental di benak manusia: di manakah letak keadilan? Kita menyaksikan orang baik menderita, sementara pelaku kejahatan seolah hidup dalam kemewahan. Kita melihat bencana menimpa tanpa pandang bulu, dan takdir terasa begitu acak. Pertanyaan-pertanyaan ini, jika tidak dijawab dengan pondasi iman yang kokoh, dapat menggoyahkan keyakinan dan menumbuhkan benih keputusasaan. Namun, Islam datang dengan sebuah jawaban yang menenangkan jiwa dan meluruskan akal: sesungguhnya Allah Maha Adil.
Keadilan Allah bukanlah konsep abstrak yang hanya ada dalam teks-teks suci. Ia adalah sebuah realitas yang menopang seluruh alam semesta, terukir dalam setiap hukum alam, tersirat dalam setiap lembar syariat, dan akan terwujud secara sempurna pada puncaknya di Hari Perhitungan. Memahami sifat Allah sebagai Al-'Adl (Yang Maha Adil) dan Al-Hakam (Yang Maha Menetapkan Hukum) adalah kunci untuk menemukan ketenangan, kesabaran, dan harapan dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh ombak dan badai.
Artikel ini akan mengajak kita untuk menyelami lebih dalam makna keadilan Ilahi. Kita akan menjelajahi bagaimana keadilan-Nya termanifestasi dalam ciptaan-Nya yang megah, dalam aturan-aturan-Nya yang penuh hikmah, dalam setiap ujian yang kita hadapi, dan puncaknya, dalam pengadilan-Nya yang mutlak di akhirat kelak. Dengan pemahaman ini, semoga hati kita semakin yakin bahwa tidak ada satu pun perbuatan, sekecil apa pun, yang luput dari timbangan-Nya yang sempurna.
Memahami Nama Mulia: Al-'Adl dan Al-Hakam
Untuk mengapresiasi keadilan Allah, kita harus terlebih dahulu memahami nama-nama-Nya yang berkaitan dengan sifat ini. Dua nama yang paling menonjol adalah Al-'Adl dan Al-Hakam. Meskipun keduanya berkaitan erat dengan keadilan, mereka memiliki nuansa makna yang saling melengkapi.
Al-'Adl: Keadilan yang Meletakkan Segala Sesuatu pada Tempatnya
Secara bahasa, kata 'adl dalam bahasa Arab berarti lurus, seimbang, sama, dan menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Keadilan dalam konteks ini bukan berarti "sama rata" dalam segala hal, melainkan proporsionalitas dan kesesuaian yang sempurna. Al-'Adl berarti Allah adalah Dzat yang mutlak adil dalam segala perbuatan dan ketetapan-Nya. Keadilan-Nya bersih dari segala bentuk kezaliman, pilih kasih, atau kesalahan. Setiap keputusan-Nya didasarkan pada ilmu-Nya yang tak terbatas dan hikmah-Nya yang tak terhingga.
Keadilan Allah berarti Dia memberikan setiap makhluk haknya sesuai dengan kodrat dan fungsinya. Dia tidak membebani jiwa di luar kesanggupannya. Dia tidak akan menghukum seseorang karena dosa orang lain. Semua yang Dia ciptakan berada dalam keseimbangan yang presisi. Langit tidak runtuh, bumi tidak berguncang tanpa izin-Nya, dan ekosistem berjalan dalam harmoni yang rumit. Semua ini adalah manifestasi dari sifat Al-'Adl. Allah berfirman:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. Ali 'Imran: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa penegakan keadilan (al-qist) adalah esensi dari tauhid itu sendiri. Mengakui keesaan Allah berarti juga mengakui keadilan-Nya yang absolut.
Al-Hakam: Penetap Hukum dan Hakim yang Tertinggi
Jika Al-'Adl adalah sifat keadilannya, maka Al-Hakam adalah manifestasi dari sifat itu dalam bentuk hukum dan keputusan. Al-Hakam berarti Yang Maha Menetapkan Hukum, Sang Hakim Tertinggi yang keputusan-Nya tidak dapat diganggu gugat dan tidak mengandung sedikit pun kekeliruan. Hukum-Nya adalah puncak keadilan, dan penghakiman-Nya adalah seadil-adilnya penghakiman.
Manusia mungkin membuat hukum, tetapi hukum manusia terbatas oleh pengetahuan, dipengaruhi oleh hawa nafsu, dan seringkali tidak mampu mencakup semua situasi. Sebaliknya, hukum Allah (syariat) bersumber dari Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Oleh karena itu, hukum-Nya adalah yang terbaik dan paling adil bagi seluruh umat manusia di setiap waktu dan tempat. Allah berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Ma'idah: 50)
Al-'Adl adalah prinsipnya, dan Al-Hakam adalah pelaksanaannya. Allah adalah Al-'Adl dalam esensi-Nya, dan Dia adalah Al-Hakam dalam setiap keputusan dan ketetapan-Nya. Keduanya memastikan bahwa alam semesta dan seluruh isinya berjalan di atas rel kebenaran dan keseimbangan yang sempurna.
Manifestasi Keadilan Allah di Alam Semesta
Sebelum kita mencari keadilan dalam urusan manusia, marilah kita sejenak merenungkan alam semesta yang terbentang luas. Di sanalah bukti keadilan Allah yang paling nyata dan tak terbantahkan terpampang dengan jelas. Keadilan di sini bukan dalam arti sosial, melainkan dalam arti keteraturan, keseimbangan, dan proporsionalitas yang sempurna (miizan).
Keseimbangan Kosmik (Al-Miizan)
Allah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran dan meletakkan padanya sebuah "timbangan" atau keseimbangan. Timbangan ini adalah hukum-hukum alam (sunnatullah) yang mengatur segala sesuatu dengan presisi luar biasa. Pergerakan planet-planet di orbitnya, siklus siang dan malam, pergantian musim, hingga gaya gravitasi yang menjaga kita tetap berpijak di bumi—semuanya adalah bentuk keadilan kosmik.
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
"Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan keseimbangan (neraca)." (QS. Ar-Rahman: 7)
Bayangkan jika jarak bumi dari matahari sedikit lebih dekat atau lebih jauh, kehidupan mungkin tidak akan ada. Bayangkan jika komposisi atmosfer sedikit saja berbeda, kita tidak akan bisa bernapas. Keseimbangan yang rumit ini menunjukkan bahwa setiap elemen di alam semesta diletakkan pada posisi dan fungsi yang paling tepat. Inilah keadilan dalam skala makrokosmos. Tidak ada yang sia-sia atau kebetulan dalam ciptaan-Nya.
Keadilan dalam Dunia Biologis
Keadilan Allah juga tampak jelas dalam dunia biologis. Setiap makhluk hidup, dari mikroba terkecil hingga paus terbesar, diciptakan dengan desain yang sempurna untuk lingkungannya. Seekor ikan memiliki insang untuk bernapas di air, seekor burung memiliki sayap untuk terbang, dan unta diciptakan dengan kemampuan luar biasa untuk bertahan hidup di padang pasir. Masing-masing diberi "alat" yang adil dan sesuai untuk menjalankan perannya di muka bumi.
Rantai makanan, yang mungkin terlihat kejam di mata manusia, sejatinya adalah bentuk keadilan ekologis. Ia menjaga keseimbangan populasi dan memastikan keberlangsungan ekosistem. Siklus air, di mana air laut menguap menjadi awan lalu turun sebagai hujan untuk menghidupkan tanah yang mati, adalah sebuah sistem distribusi rezeki yang sangat adil. Allah tidak hanya menurunkan hujan di satu tempat, tetapi menyebarkannya ke seluruh penjuru bumi sesuai dengan kehendak dan hikmah-Nya.
Keadilan dalam Fitrah Manusia
Salah satu bukti keadilan Allah yang paling personal adalah ditanamkannya fitrah di dalam diri setiap manusia. Fitrah adalah potensi bawaan untuk mengakui Tuhan, mencintai kebaikan, dan membenci keburukan. Di belahan dunia mana pun, tanpa diajari sekalipun, manusia secara naluriah memahami bahwa kejujuran itu baik dan kebohongan itu buruk, bahwa menolong itu terpuji dan mencuri itu tercela.
Fitrah ini adalah "kompas moral" internal yang Allah berikan secara adil kepada setiap insan. Ia menjadi modal dasar bagi manusia untuk dapat menerima petunjuk dan membedakan antara yang hak dan yang batil. Dengan adanya fitrah, tidak ada seorang pun yang bisa berdalih di hadapan Allah bahwa ia sama sekali tidak tahu tentang kebenaran. Ini adalah bentuk keadilan-Nya dalam memberikan kesempatan yang sama kepada semua hamba-Nya untuk menemukan jalan yang lurus.
Keadilan Allah dalam Syariat Islam
Jika alam semesta diatur oleh hukum fisika yang adil, maka kehidupan manusia diatur oleh syariat yang adil. Syariat Islam bukanlah sekumpulan aturan yang mengekang, melainkan sebuah sistem yang dirancang oleh Sang Pencipta untuk mewujudkan keadilan, kemaslahatan, dan kebahagiaan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.
Keadilan dalam Hukum Pidana (Jinayat)
Hukum pidana dalam Islam, seperti qisas (hukuman setimpal) dan hudud (hukuman yang telah ditetapkan), seringkali disalahpahami sebagai hukum yang kejam. Padahal, tujuan utamanya adalah untuk melindungi lima hak asasi manusia (al-kulliyat al-khams): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hukuman yang tegas bagi pembunuh adalah keadilan bagi keluarga korban dan peringatan bagi calon pelaku, sehingga nyawa manusia menjadi lebih terjaga. Hukuman bagi pencuri adalah keadilan bagi pemilik harta dan cara untuk menciptakan rasa aman di masyarakat.
Penerapan hukum ini pun dikelilingi oleh syarat-syarat yang sangat ketat dan pembuktian yang sulit, memastikan tidak ada orang yang dihukum secara zalim. Prinsip utamanya adalah "mencegah kejahatan lebih baik daripada menghukum", dan hukuman itu sendiri berfungsi sebagai benteng terakhir untuk menjaga tatanan sosial yang adil.
Keadilan Ekonomi dan Sosial
Syariat Islam memuat prinsip-prinsip keadilan ekonomi yang luar biasa. Pelarangan riba (bunga) adalah salah satu pilar utamanya. Riba dilarang karena ia adalah sistem eksploitatif di mana si kaya menjadi semakin kaya dengan membebani si miskin, tanpa adanya risiko riil. Sebaliknya, Islam mendorong sistem bagi hasil (mudharabah, musyarakah) yang lebih adil, di mana untung dan rugi ditanggung bersama.
Institusi zakat, infak, dan sedekah adalah mekanisme distribusi kekayaan yang diwajibkan oleh Allah. Ini bukan sekadar sumbangan sukarela, melainkan hak kaum fakir miskin yang ada pada harta orang-orang kaya. Sistem ini memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan atas, tetapi juga mengalir ke bawah, mengurangi kesenjangan sosial dan menciptakan jaring pengaman bagi mereka yang membutuhkan. Ini adalah keadilan sosial yang terintegrasi langsung dalam ibadah.
Keadilan dalam Hukum Keluarga dan Waris
Hukum keluarga dalam Islam mengatur hubungan antara suami, istri, anak, dan kerabat dengan sangat adil. Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang jelas. Suami wajib menafkahi keluarga, sementara istri memiliki hak untuk dihormati dan dilindungi. Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan kasih sayang, sekaligus kewajiban untuk berbakti kepada orang tua.
Hukum waris (faraid) adalah contoh menakjubkan dari keadilan distributif Allah. Pembagian harta warisan telah diatur secara rinci dalam Al-Qur'an, tidak diserahkan pada kehendak manusia yang bisa dipengaruhi emosi atau keserakahan. Bagian laki-laki yang umumnya dua kali bagian perempuan sering dipertanyakan, namun jika dilihat dalam sistem nafkah, ini sangat adil. Laki-laki (suami, ayah, saudara) memiliki kewajiban finansial untuk menafkahi perempuan dalam keluarganya, sementara harta yang diterima perempuan adalah murni miliknya dan tidak wajib digunakan untuk menafkahi siapa pun. Keadilan di sini terletak pada keseimbangan antara hak dan tanggung jawab.
Ujian Hidup: Perspektif Keadilan Ilahi
Inilah bagian yang paling sering menjadi sumber keraguan: jika Allah Maha Adil, mengapa ada penderitaan? Mengapa orang-orang saleh diuji dengan penyakit berat, kemiskinan, dan fitnah, sementara para koruptor dan penindas hidup bergelimang harta?
Untuk menjawabnya, kita harus mengubah paradigma kita. Keadilan Allah tidak bisa diukur hanya dengan kacamata dunia yang sempit dan sementara. Dunia ini bukanlah surga, ia adalah tempat ujian. Keadilan sejati dan pembalasan final akan terjadi di akhirat. Apa yang kita lihat di dunia ini hanyalah sepotong kecil dari sebuah gambaran besar yang hanya Allah yang tahu secara utuh.
Dunia sebagai Arena Ujian
Allah dengan tegas menyatakan bahwa kehidupan dunia adalah ujian untuk melihat siapa di antara kita yang paling baik amalnya. Ujian datang dalam dua bentuk: kebaikan (nikmat) dan keburukan (musibah).
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
"Dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS. Al-Anbiya: 35)
Kekayaan adalah ujian syukur, sementara kemiskinan adalah ujian kesabaran. Kesehatan adalah ujian untuk memanfaatkannya dalam kebaikan, sementara sakit adalah ujian untuk tetap berbaik sangka kepada Allah. Bagi seorang mukmin, kedua kondisi tersebut bisa menjadi ladang pahala. Keadilan Allah terletak pada fakta bahwa Dia tidak akan membiarkan kesabaran dan syukur seorang hamba sia-sia. Setiap tetes air mata, setiap keluh kesah yang ditahan, dan setiap ucapan "Alhamdulillah" dalam kesulitan, semuanya tercatat dan akan mendapat balasan yang jauh lebih besar dari ujian itu sendiri.
Hikmah di Balik Musibah
Dari sudut pandang kita yang terbatas, musibah tampak seperti sebuah keburukan murni. Namun dalam pandangan Allah Yang Maha Bijaksana, di baliknya terkandung banyak hikmah dan keadilan:
- Penggugur Dosa: Rasulullah ﷺ bersabda bahwa tidak ada satu pun musibah yang menimpa seorang muslim, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari dosa-dosanya. Ini adalah bentuk kasih sayang dan keadilan-Nya, di mana penderitaan dunia menjadi pembersih sebelum menghadap-Nya di akhirat.
- Pengangkat Derajat: Terkadang Allah ingin mengangkat derajat seorang hamba ke tingkat yang tinggi di surga, namun amalannya belum mencukupi. Maka Allah menimpakan ujian kepadanya, dan dengan kesabarannya, ia pun mencapai derajat mulia tersebut.
- Peringatan dan Jalan Kembali: Musibah bisa menjadi "teguran cinta" dari Allah untuk menyadarkan kita dari kelalaian. Saat kita sehat dan kaya, kita mungkin lupa kepada-Nya. Namun saat kesulitan datang, kita kembali merengek dan berdoa kepada-Nya. Musibah yang membawa kita lebih dekat kepada Allah adalah sebuah nikmat tersembunyi.
Istidraj: Kenikmatan yang Melenakan
Lalu bagaimana dengan para pelaku maksiat yang hidupnya tampak mudah dan mewah? Ini bukanlah tanda cinta Allah, melainkan bisa jadi sebuah istidraj. Istidraj adalah ketika Allah membiarkan seseorang terus menerus dalam kesesatan dan memberinya kenikmatan duniawi, sehingga ia semakin sombong dan jauh dari Allah. Kenikmatan itu sebenarnya sedang menumpuk dosa dan mempersiapkan azab yang lebih pedih baginya, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah menangguhkan hukuman mereka sebagai bentuk keadilan-Nya, memberi mereka kesempatan untuk bertaubat. Namun jika mereka terus melampaui batas, maka saat azab itu datang, tidak ada lagi yang bisa menolong. Keadilan-Nya memastikan bahwa penundaan ini bukanlah pengabaian.
Puncak Keadilan: Pengadilan di Hari Akhir
Manifestasi tertinggi dan termutlak dari keadilan Allah akan terjadi di Yaumul Hisab, Hari Perhitungan. Di hari itu, tidak akan ada lagi keraguan, tidak ada lagi pertanyaan tentang "mengapa". Semua akan terungkap dengan sejelas-jelasnya. Pengadilan Allah adalah pengadilan yang sempurna, bebas dari segala kekurangan pengadilan dunia.
Mizan Al-A'mal: Timbangan yang Maha Teliti
Di Padang Mahsyar, akan ditegakkan sebuah timbangan (Mizan) yang akan menimbang seluruh amal perbuatan manusia. Timbangan ini begitu adil dan teliti, bahkan hal-hal yang kita anggap remeh pun akan ditimbang.
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ
"Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan." (QS. Al-Anbiya: 47)
Senyuman tulus kepada saudara, menyingkirkan duri dari jalan, niat baik yang terlintas di hati, semua akan memiliki berat di timbangan kebaikan. Sebaliknya, kata-kata menyakitkan, pandangan yang khianat, kesombongan di dalam dada, semua akan memberatkan timbangan keburukan. Tidak ada yang terlewat, tidak ada yang tertukar. Inilah keadilan yang absolut.
Saksi-Saksi yang Tidak Bisa Berdusta
Di pengadilan Allah, tidak akan ada pengacara yang bisa memutarbalikkan fakta. Saksi-saksinya adalah mereka yang tidak mungkin berdusta. Mulut akan dikunci, dan yang akan berbicara adalah tangan, kaki, kulit, serta pendengaran dan penglihatan kita. Mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka perbuat.
Para malaikat pencatat amal akan memperlihatkan catatan yang tidak meninggalkan perkara kecil maupun besar. Bahkan bumi tempat kita berbuat akan menjadi saksi. Keadilan Allah begitu sempurna sehingga terdakwa sendiri tidak akan bisa mengingkari perbuatannya.
Keadilan yang Disertai Rahmat
Meskipun keadilan Allah begitu tegas, ia tidak terlepas dari rahmat-Nya yang maha luas. Rahmat Allah mendahului murka-Nya. Di hari itu, Allah akan menunjukkan kasih sayang-Nya yang luar biasa kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh, tujuh ratus, bahkan tak terhingga. Sedangkan satu keburukan hanya akan dibalas setimpal, atau bahkan bisa diampuni jika diiringi dengan taubat yang tulus.
Keadilan-Nya menuntut pembalasan, namun rahmat-Nya membuka pintu ampunan yang seluas-luasnya. Keseimbangan antara keadilan yang mutlak (Al-'Adl) dan kasih sayang yang tak terbatas (Ar-Rahman, Ar-Rahim) adalah puncak kesempurnaan Ilahi.
Mengimani Keadilan Allah dalam Kehidupan
Memahami dan mengimani bahwa Allah Maha Adil bukanlah sekadar pengetahuan teologis. Ia adalah sebuah keyakinan yang harus meresap ke dalam hati dan terefleksi dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. Iman ini adalah sumber kekuatan, ketenangan, dan optimisme.
Menumbuhkan Sabar dan Ridha
Ketika kita yakin bahwa setiap musibah yang menimpa kita adalah bagian dari skenario keadilan dan hikmah Allah, hati akan lebih mudah untuk bersabar dan ridha. Kita tahu bahwa penderitaan ini bukan kesia-siaan, melainkan proses pemurnian atau pengangkatan derajat. Kita berhenti bertanya "mengapa saya?" dan mulai bertanya "apa hikmah yang Allah inginkan dari saya?". Kesabaran ini bukan berarti pasif, tetapi tetap berusaha sambil menyerahkan hasilnya kepada Hakim yang paling adil.
Menjauhi Iri dan Dengki
Iman kepada keadilan Allah membebaskan kita dari penyakit hati seperti iri dan dengki. Ketika melihat orang lain mendapat nikmat yang lebih, kita yakin bahwa Allah memberikan rezeki kepada siapa pun yang Dia kehendaki dengan takaran yang paling adil berdasarkan ilmu-Nya. Mungkin nikmat yang ia terima adalah ujian syukur baginya, dan apa yang tidak kita dapatkan adalah perlindungan bagi kita dari sesuatu yang mungkin membahayakan. Kita menjadi lebih fokus untuk mensyukuri apa yang kita miliki, bukan merisaukan apa yang dimiliki orang lain.
Mendorong untuk Berlaku Adil
Keyakinan bahwa Allah Maha Adil seharusnya memotivasi kita untuk menjadi cerminan sifat tersebut dalam skala kita sebagai manusia. Kita akan berusaha untuk berlaku adil dalam setiap peran: sebagai orang tua yang adil kepada anak-anaknya, sebagai pemimpin yang adil kepada bawahannya, sebagai pedagang yang adil kepada pembelinya, dan sebagai individu yang adil dalam setiap perkataan dan kesaksiannya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS. Al-Ma'idah: 8)
Menanamkan Harapan dan Optimisme
Pada akhirnya, iman kepada keadilan Allah adalah sumber harapan yang tak pernah padam. Di dunia yang seringkali terasa tidak adil ini, kita memiliki kepastian bahwa ada satu Pengadilan Tertinggi di mana tidak ada kezaliman yang akan dibiarkan dan tidak ada kebaikan yang akan dilupakan. Kepastian ini memberikan kita kekuatan untuk terus berbuat baik meskipun tidak dihargai oleh manusia. Ia memberikan kita keberanian untuk melawan kezaliman meskipun risikonya besar. Karena kita tahu, Hakim Yang Maha Adil sedang menyaksikan, mencatat, dan pasti akan memberikan balasan yang sempurna.
Keadilan Allah adalah sauh yang menambatkan kapal jiwa kita di tengah badai kehidupan. Ia adalah kompas yang mengarahkan kita pada kebaikan, dan cahaya yang menerangi jalan kita menuju keridhaan-Nya. Dengan meyakini sepenuh hati bahwa Allah Maha Adil, kita akan menemukan kedamaian sejati, karena kita menyerahkan seluruh urusan kita kepada Dzat yang keputusan-Nya adalah puncak dari segala kebenaran dan kebijaksanaan.