Prinsip Perubahan: Menggenggam Takdir dengan Ikhtiar
Manusia adalah makhluk yang dinamis, senantiasa berada dalam pusaran waktu dan keadaan. Ada kalanya ia berada di puncak kejayaan, merasakan manisnya keberhasilan. Namun, tak jarang pula ia terjerembap dalam lembah kesulitan, merasakan pahitnya kegagalan. Di tengah fluktuasi kehidupan ini, seringkali muncul pertanyaan fundamental: siapakah yang memegang kendali atas nasib kita? Apakah kita hanya bidak catur yang digerakkan oleh takdir, ataukah kita memiliki kekuatan untuk membentuk jalan hidup kita sendiri?
Islam, sebagai panduan hidup yang komprehensif, memberikan jawaban yang sangat kuat dan memberdayakan. Jawaban ini terangkum dalam sebuah firman Allah SWT yang agung, sebuah prinsip universal yang menjadi kunci bagi setiap perubahan, baik pada level individu maupun komunal.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Ayat ini bukan sekadar untaian kata, melainkan sebuah deklarasi ilahi tentang kedaulatan manusia atas dirinya. Ia adalah cetak biru perubahan, sebuah manifesto yang menempatkan inisiatif, usaha, dan kehendak internal sebagai katalisator utama transformasi. Pesan ini menembus batas ruang dan waktu, relevan bagi setiap jiwa yang merindukan perbaikan, bagi setiap komunitas yang mendambakan kemajuan, dan bagi setiap bangsa yang bercita-cita meraih kebangkitan.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam makna, dimensi, dan implikasi praktis dari prinsip agung ini. Kita akan menyelami bagaimana ayat ini menjadi fondasi bagi pengembangan diri, kebangkitan sosial, dan keseimbangan spiritual antara usaha manusia (ikhtiar) dan kebergantungan kepada Tuhan (tawakkal). Mari kita mulai perjalanan untuk memahami bahwa kunci perubahan nasib sesungguhnya telah Allah letakkan di dalam genggaman kita sendiri.
Membedah Makna: Sebuah Kaidah Universal
Untuk memahami kekuatan penuh dari firman Allah ini, kita perlu membedah setiap frasa yang terkandung di dalamnya. Setiap kata dipilih dengan presisi ilahi untuk menyampaikan pesan yang mendalam.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah..." (إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ). Frasa ini diawali dengan "inna", sebuah partikel penegas dalam bahasa Arab yang menunjukkan kepastian mutlak. Ini bukanlah sebuah kemungkinan, melainkan sebuah hukum, sebuah sunnatullah (ketetapan Allah) yang berlaku pasti. Allah, dengan segala kekuasaan-Nya yang tak terbatas, menetapkan sebuah mekanisme bagi perubahan. Dia tidak akan secara sewenang-wenang mengubah kondisi nikmat menjadi azab, atau kondisi terpuruk menjadi jaya, tanpa adanya sebab yang berasal dari manusia itu sendiri.
"...keadaan suatu kaum..." (مَا بِقَوْمٍ). Kata "qaum" (kaum) merujuk pada sekelompok manusia, sebuah komunitas, masyarakat, atau bahkan sebuah bangsa. Ini menunjukkan bahwa prinsip ini tidak hanya berlaku untuk individu, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Keadaan yang dimaksud bisa mencakup segala aspek: ekonomi (kemiskinan atau kemakmuran), sosial (keteraturan atau kekacauan), politik (keadilan atau kezaliman), dan spiritual (ketaatan atau kemaksiatan).
"...sampai mereka mengubah..." (حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا). Kata "hatta" (sampai) menandakan sebuah syarat. Perubahan dari Allah "ditangguhkan" atau "tergantung" pada terpenuhinya syarat ini. Ini adalah titik di mana agensi dan kehendak bebas manusia memegang peranan sentral. Allah memberikan inisiatif pertama kepada manusia.
"...keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (مَا بِأَنْفُسِهِمْ). Inilah inti dari seluruh pesan. Perubahan eksternal (keadaan kaum) berakar dari perubahan internal (keadaan diri). Apa yang dimaksud dengan "keadaan yang ada pada diri mereka sendiri"? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini mencakup spektrum yang sangat luas, di antaranya:
- Pola Pikir (Mindset): Dari pola pikir pesimis menjadi optimis, dari statis (fixed mindset) menjadi bertumbuh (growth mindset), dari menyalahkan keadaan menjadi mengambil tanggung jawab.
- Keyakinan (Aqidah): Perubahan dari syirik kepada tauhid, dari keraguan kepada keyakinan yang kokoh.
- Sikap Mental (Attitude): Dari malas menjadi rajin, dari sombong menjadi rendah hati, dari putus asa menjadi penuh harapan.
- Kebiasaan (Habits): Mengubah kebiasaan buruk seperti menunda-nunda, boros, atau bergunjing, menjadi kebiasaan baik seperti disiplin, gemar membaca, atau menjaga lisan.
- Moral dan Akhlak: Transformasi dari ketidakjujuran menjadi integritas, dari kebencian menjadi kasih sayang.
Dengan demikian, ayat ini menegaskan sebuah hubungan sebab-akibat yang jelas: perubahan internal adalah sebab, dan perubahan eksternal adalah akibat. Allah tidak akan mengubah nasib suatu masyarakat yang terbelenggu kebodohan jika masyarakat itu sendiri tidak berinisiatif untuk mencari ilmu. Allah tidak akan mengangkat kemiskinan dari suatu bangsa jika bangsa itu pasrah dalam kemalasan dan tidak mau bekerja keras. Sebaliknya, nikmat dan kemuliaan bisa dicabut jika suatu kaum mengubah rasa syukur mereka menjadi kekufuran dan ketaatan menjadi kemaksiatan.
Dimensi Psikologis: Membangun Pribadi Proaktif
Prinsip dalam Surah Ar-Ra'd ayat 11 ini beresonansi kuat dengan berbagai teori psikologi modern tentang pemberdayaan diri dan kesuksesan. Ayat ini, yang diturunkan berabad-abad lalu, ternyata menjadi fondasi bagi konsep-konsep yang dianggap sebagai penemuan mutakhir dalam ilmu kejiwaan manusia.
1. Locus of Control (Pusat Kendali)
Psikologi mengenal konsep Locus of Control yang diperkenalkan oleh Julian B. Rotter. Konsep ini membagi individu menjadi dua tipe: mereka yang memiliki internal locus of control dan mereka yang memiliki external locus of control.
- Internal Locus of Control: Individu dengan tipe ini percaya bahwa mereka memiliki kendali atas hidup mereka. Mereka meyakini bahwa kesuksesan atau kegagalan adalah hasil dari usaha, keputusan, dan tindakan mereka sendiri. Mereka adalah pribadi yang proaktif.
- External Locus of Control: Sebaliknya, individu dengan tipe ini percaya bahwa hidup mereka ditentukan oleh faktor-faktor di luar kendali mereka, seperti takdir, keberuntungan, atau perlakuan orang lain. Mereka cenderung pasif dan reaktif, seringkali merasa menjadi korban keadaan.
Ayat "sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri" adalah penegasan ilahiah untuk mengadopsi internal locus of control. Islam mengajarkan kita untuk menjadi arsitek bagi ikhtiar kita. Kita tidak diajarkan untuk duduk pasrah menunggu takdir, melainkan diperintahkan untuk "mengubah diri" terlebih dahulu, mengambil inisiatif, dan meyakini bahwa tindakan kita memiliki dampak signifikan terhadap hasil yang akan kita peroleh.
2. Growth Mindset vs. Fixed Mindset
Psikolog Carol Dweck mempopulerkan teori tentang dua jenis pola pikir: growth mindset (pola pikir bertumbuh) dan fixed mindset (pola pikir tetap).
- Fixed Mindset: Orang dengan pola pikir ini percaya bahwa kualitas dasar seperti kecerdasan atau bakat adalah sifat bawaan yang tidak bisa diubah. Mereka cenderung menghindari tantangan, mudah menyerah saat menghadapi rintangan, dan melihat usaha sebagai sesuatu yang sia-sia.
- Growth Mindset: Orang dengan pola pikir ini percaya bahwa kemampuan mereka dapat dikembangkan melalui dedikasi, kerja keras, dan strategi yang tepat. Mereka menyukai tantangan, gigih dalam menghadapi kesulitan, dan melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
Perintah untuk "mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri" secara inheren mendorong kita untuk memiliki growth mindset. Ayat ini menyiratkan bahwa "apa yang ada pada diri kita" bukanlah sesuatu yang statis. Kelemahan kita, kekurangan ilmu kita, kebiasaan buruk kita—semuanya bisa diubah, diperbaiki, dan dikembangkan. Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki potensi tak terbatas untuk tumbuh mendekati kesempurnaan (insan kamil), dan kunci untuk membuka potensi itu adalah keyakinan bahwa kita bisa berubah dan kemauan untuk melakukan usaha perubahan tersebut.
3. Self-Efficacy (Efikasi Diri)
Konsep yang dikemukakan oleh Albert Bandura ini merujuk pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk berhasil dalam situasi tertentu atau menyelesaikan suatu tugas. Efikasi diri adalah fondasi dari motivasi, kinerja, dan pencapaian. Orang dengan efikasi diri yang tinggi melihat tugas yang sulit sebagai tantangan untuk dikuasai, bukan sebagai ancaman yang harus dihindari.
Ayat ini secara tidak langsung membangun efikasi diri. Dengan menyatakan bahwa perubahan nasib ada di tangan kita, Allah memberikan kita kepercayaan dan tanggung jawab. Ini adalah sebuah pengakuan atas potensi yang Dia titipkan kepada kita. Ketika seorang hamba merenungi ayat ini, ia akan sadar bahwa Allah telah memberinya kapasitas untuk menjadi agen perubahan. Kesadaran ini menumbuhkan keyakinan diri bahwa, dengan izin Allah, ia mampu mengatasi masalah, mempelajari keterampilan baru, dan memperbaiki keadaannya melalui usaha yang sungguh-sungguh.
Dimensi Sosial: Dari Individu Menuju Kebangkitan Umat
Penggunaan kata "qaum" (kaum) dalam ayat ini secara eksplisit membawa prinsip perubahan ke ranah kolektif. Kemajuan atau kemunduran sebuah masyarakat adalah cerminan dari kondisi internal individu-individu yang menyusunnya. Sebuah bangunan yang megah tidak akan bisa berdiri kokoh jika batu batanya rapuh. Demikian pula, sebuah peradaban tidak akan bangkit jika manusianya memiliki mentalitas yang terbelakang.
Sejarah telah membuktikan kebenaran sunnatullah ini. Mari kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menerapkan prinsip ini dalam membangun masyarakat Madinah. Sebelum hijrah, masyarakat Yatsrib (nama lama Madinah) adalah sebuah kaum yang terpecah-belah oleh perang saudara selama puluhan tahun antara suku Aus dan Khazraj. Mereka diliputi oleh dendam, kesukuan yang sempit, dan kebodohan jahiliyah.
Apa yang diubah oleh Rasulullah SAW terlebih dahulu? Beliau mengubah "apa yang ada dalam diri mereka".
- Perubahan Aqidah: Beliau menanamkan tauhid yang murni, mengubah penyembahan berhala menjadi penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa. Ini menyatukan fokus dan tujuan hidup mereka.
- Perubahan Mentalitas: Beliau mengubah mentalitas kesukuan (ashabiyah) menjadi persaudaraan universal atas dasar iman (ukhuwah islamiyah). Ikatan suku digantikan oleh ikatan akidah.
- Perubahan Akhlak: Beliau menanamkan nilai-nilai mulia seperti kejujuran, amanah, kasih sayang, dan itsar (mengutamakan orang lain).
Ketika perubahan internal yang fundamental ini terjadi pada diri individu-individu Muhajirin dan Anshar, maka keadaan eksternal mereka pun berubah secara drastis. Dari masyarakat yang berperang, mereka menjadi masyarakat yang bersatu dan saling menopang. Dari kaum yang tidak diperhitungkan, mereka menjadi kekuatan politik, sosial, dan militer baru yang disegani. Madinah menjelma menjadi pusat peradaban yang memancarkan cahaya ilmu dan keadilan ke seluruh penjuru dunia. Perubahan kondisi sosial ini adalah buah langsung dari perubahan yang terjadi di dalam jiwa para sahabat.
Sebaliknya, sejarah juga mencatat kejatuhan peradaban-peradaban besar ketika mereka mengubah kondisi internal mereka dari yang baik menjadi yang buruk. Ketika kaum Muslimin mulai meninggalkan nilai-nilai luhur agamanya, mengganti semangat jihad dan ilmu dengan cinta dunia, kemewahan, dan perpecahan, maka kejayaan yang pernah mereka genggam pun perlahan-lahan sirna. Allah mengubah keadaan mereka dari kemuliaan menjadi kehinaan, karena mereka sendiri yang terlebih dahulu mengubah apa yang ada dalam diri mereka.
Oleh karena itu, setiap upaya untuk melakukan reformasi sosial atau kebangkitan umat harus dimulai dari fondasi yang benar: yaitu reformasi individu (ishlah al-fard). Mustahil kita mengharapkan lahirnya negara yang adil dan makmur jika individu-individunya masih berkubang dalam korupsi, ketidakjujuran, dan kemalasan. Perubahan sejati tidak datang dari atas ke bawah melalui dekrit atau undang-undang semata, tetapi harus tumbuh dari bawah ke atas, berakar dari kesadaran dan transformasi setiap pribadi.
Keseimbangan Spiritual: Harmoni Antara Ikhtiar dan Tawakkal
Sebagian orang mungkin salah memahami ayat ini. Mereka mungkin berpikir, "Jika semua tergantung pada usaha kita, lalu di mana peran Tuhan?" Pemahaman semacam ini keliru dan mengarah pada kesombongan, seolah-olah manusia bisa mencapai segalanya dengan kekuatannya sendiri. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat sebaliknya, "Semua sudah ditakdirkan, usaha kita tidak ada gunanya." Pemahaman ini juga keliru dan menjerumuskan pada kepasrahan yang fatalistik (jabariyah).
Islam mengajarkan jalan tengah yang sempurna, yaitu keseimbangan antara ikhtiar (usaha maksimal) dan tawakkal (berserah diri dan percaya penuh pada hasil ketetapan Allah). Ayat Ar-Ra'd: 11 adalah perintah untuk berikhtiar, sedangkan ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an menyempurnakannya dengan perintah untuk bertawakkal.
Perhatikan firman Allah:
...فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Ayat ini menunjukkan urutan yang benar: Azam (tekad/rencana) ➔ Tawakkal. Bukan tawakkal dulu baru berbuat, atau berbuat tanpa tawakkal. Ikhtiar dan tawakkal adalah dua sayap bagi seorang mukmin. Tanpa ikhtiar, tawakkal menjadi angan-angan kosong. Tanpa tawakkal, ikhtiar menjadi sumber stres, kecemasan, dan kesombongan.
Bagaimana cara kerja harmoni ini?
- Ranah Manusia (Ikhtiar): Allah telah memberikan kita akal, tenaga, dan sumber daya. Ranah kita adalah menggunakan semua itu secara maksimal. Kita wajib berpikir, merencanakan, belajar, bekerja keras, dan mengambil sebab-sebab yang logis untuk mencapai tujuan. "Mengubah apa yang ada pada diri kita" adalah domain ikhtiar. Ini adalah tanggung jawab kita sepenuhnya.
- Ranah Allah (Hasil): Setelah kita melakukan ikhtiar terbaik kita, hasil akhirnya berada sepenuhnya dalam genggaman Allah. Apakah usaha kita akan berhasil seratus persen, berhasil sebagian, atau bahkan gagal total, itu adalah ketetapan-Nya yang Maha Bijaksana. Di sinilah peran tawakkal. Kita menyerahkan hasilnya kepada Allah, dengan keyakinan penuh bahwa apa pun yang Dia tetapkan adalah yang terbaik bagi kita, baik kita memahaminya maupun tidak.
Kisah seorang Badui yang datang kepada Rasulullah SAW dengan untanya adalah ilustrasi terbaik. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah aku ikat untaku ini lalu aku bertawakal, atau aku biarkan saja lalu aku bertawakal?" Rasulullah SAW menjawab dengan tegas, "Iqilha wa tawakkal" (Ikatlah untamu, lalu bertawakallah). Mengikat unta adalah ikhtiar, sebuah tindakan logis untuk mencegahnya hilang. Setelah unta diikat, barulah hati berserah diri kepada Allah untuk menjaganya. Inilah keseimbangan yang sempurna.
Maka, ayat Ar-Ra'd: 11 bukanlah ajakan untuk menafikan takdir atau kekuasaan Allah. Justru sebaliknya, ayat ini mengajarkan kita tentang adab dan cara kerja sunnatullah yang telah Dia tetapkan. Allah, dalam kebijaksanaan-Nya, telah menjadikan usaha kita sebagai salah satu "sebab" dari terwujudnya takdir-Nya. Dengan berikhtiar, kita sedang menjalankan peran kita dalam skenario ilahi, sambil tetap menyadari bahwa sutradara utamanya adalah Allah SWT.
Langkah-Langkah Praktis Menuju Perubahan
Memahami sebuah prinsip adalah satu hal, tetapi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah hal lain. Ayat ini menuntut kita untuk bergerak. Lalu, dari mana kita harus memulai? Berikut adalah langkah-langkah praktis yang bisa kita tempuh untuk "mengubah apa yang ada pada diri kita sendiri", yang terinspirasi dari ajaran Islam.
1. Muhasabah: Cermin Introspeksi Diri
Langkah pertama dari setiap perubahan adalah kesadaran. Kita tidak bisa memperbaiki sesuatu jika kita tidak tahu apa yang rusak. Muhasabah adalah proses introspeksi yang jujur dan mendalam. Duduklah dalam keheningan dan tanyakan pada diri sendiri:
- Apa keadaan hidup saya saat ini yang ingin saya ubah (finansial, spiritual, kesehatan, hubungan)?
- Sifat, kebiasaan, atau pola pikir apa dalam diri saya yang berkontribusi pada keadaan ini? (Apakah saya malas? Suka menunda? Pesimis? Boros?)
- Apa saja kekuatan dan potensi yang saya miliki namun belum saya optimalkan?
- Bagaimana kondisi hubungan saya dengan Allah? Apakah shalat saya khusyuk? Apakah saya rutin membaca Al-Qur'an?
Lakukan ini secara rutin. Umar bin Khattab berkata, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab." Muhasabah adalah fondasi, titik nol dari perjalanan perubahan.
2. Niat dan 'Azam: Menetapkan Kompas Tujuan
Setelah mengetahui apa yang perlu diubah, langkah selanjutnya adalah menetapkan niat yang lurus dan tekad yang kuat ('azam). Niat adalah mesin penggerak. Niatkan perubahan ini semata-mata karena Allah, untuk menjadi hamba yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Niat karena Allah akan memberikan kekuatan spiritual yang luar biasa dan membuat usaha kita bernilai ibadah.
Setelah niat, bulatkan tekad. Jangan biarkan ia hanya menjadi angan-angan. Ubah keinginan menjadi keputusan. Katakan pada diri sendiri, "Saya memutuskan untuk berubah, mulai hari ini, mulai saat ini." Tekad yang kuat akan menjadi perisai saat godaan untuk kembali ke kebiasaan lama datang.
3. Ilmu dan Perencanaan: Membangun Peta Jalan
Perubahan yang serampangan seringkali berakhir dengan kegagalan. Berubahlah dengan ilmu. Jika ingin memperbaiki kondisi finansial, belajarlah tentang manajemen keuangan dan investasi syariah. Jika ingin lebih sehat, carilah ilmu tentang nutrisi dan olahraga yang benar. Jika ingin memperbaiki ibadah, belajarlah fiqih dan cara mencapai kekhusyukan.
Setelah memiliki ilmu, buatlah rencana yang konkret, terukur, dan realistis. Pecah tujuan besar menjadi langkah-langkah kecil yang bisa dikerjakan setiap hari. Misalnya, jika tujuannya adalah "menjadi lebih sehat", rencananya bisa berupa: "berjalan kaki 30 menit setiap pagi", "mengganti minuman manis dengan air putih", dan "tidur 7 jam setiap malam". Rencana yang jelas mengubah niat yang abstrak menjadi aksi yang nyata.
4. Ikhtiar dan Aksi: Melangkah dengan Bismillah
Inilah inti dari "mengubah diri". Teori, rencana, dan niat tidak ada artinya tanpa eksekusi. Musuh terbesar di tahap ini adalah penundaan (taswif). Lawan bisikan "nanti saja" atau "mulai besok". Mulailah dengan langkah terkecil sekalipun. Rasulullah SAW bersabda bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten (istiqamah) meskipun sedikit.
Satu langkah kecil yang dilakukan hari ini jauh lebih baik daripada rencana besar yang terus ditunda hingga esok. Jangan menunggu motivasi datang. Disiplinlah untuk bertindak, dan motivasi akan mengikuti. Setiap kali merasa berat, ingatlah bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan kita jika kita tidak memulai langkah pertama ini.
5. Doa dan Tawakkal: Mengundang Pertolongan Langit
Sertai setiap tetes keringat ikhtiar dengan untaian doa. Doa adalah pengakuan atas kelemahan kita dan kekuasaan Allah. Doa adalah senjata orang beriman. Mintalah kepada Allah agar Dia memudahkan usahamu, memberkahi langkahmu, dan memberimu kekuatan untuk tetap istiqamah. Jangan pernah meremehkan kekuatan doa.
Setelah berusaha dan berdoa, pasrahkan hasilnya kepada-Nya. Inilah tawakkal. Jika berhasil, bersyukurlah dan sadari itu adalah pertolongan Allah. Jika menghadapi kesulitan atau kegagalan, bersabarlah dan yakinlah ada hikmah di baliknya. Tawakkal akan memberikan ketenangan jiwa dan menghindarkan kita dari stres dan keputusasaan.
6. Sabar dan Istiqamah: Kunci Menuju Garis Finis
Perubahan bukanlah sprint, melainkan maraton. Akan ada hari-hari di mana kita merasa lelah, bosan, atau bahkan ingin menyerah. Di sinilah kesabaran dan konsistensi (istiqamah) diuji. Sabar dalam menjalani proses, sabar saat hasil tak kunjung terlihat, dan sabar saat menghadapi rintangan.
Istiqamah berarti terus melakukan kebaikan atau kebiasaan baru secara konsisten. Lebih baik membaca satu halaman Al-Qur'an setiap hari daripada membaca satu juz tapi hanya sebulan sekali. Kunci dari pembentukan kebiasaan baru adalah pengulangan. Teruslah berjalan, selangkah demi selangkah. Jangan biarkan satu kali kegagalan membuatmu berhenti total. Bangkit lagi, perbaiki, dan lanjutkan perjalanan.
Kesimpulan: Genggam Kuncimu, Mulailah Berubah
Firman Allah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 11 adalah salah satu ayat yang paling memberdayakan dalam Al-Qur'an. Ia bukanlah ayat yang membebani, melainkan ayat yang membebaskan. Ia membebaskan kita dari belenggu kepasrahan yang fatalistik dan mentalitas korban. Ia memberikan kita sebuah kunci, sebuah alat, sebuah mekanisme yang jelas untuk meraih kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa Allah Maha Adil. Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan terpuruk selamanya, dan tidak akan membiarkan mereka yang tenggelam dalam kemaksiatan terus menikmati nikmat tanpa konsekuensi. Sunnatullah-Nya jelas: perubahan di luar dimulai dari perubahan di dalam.
Maka, jika hari ini kita merasa hidup kita stagnan, rezeki terasa sempit, ibadah terasa hambar, atau masyarakat kita terpuruk dalam masalah, jangan terburu-buru menyalahkan keadaan atau orang lain. Arahkan cermin itu ke dalam diri kita sendiri. Tanyakan, "Apa yang ada dalam diriku yang perlu aku ubah?"
Apakah itu kemalasan yang perlu diubah menjadi semangat? Apakah itu kebodohan yang perlu diubah dengan ilmu? Apakah itu kesombongan yang perlu diubah dengan kerendahan hati? Apakah itu hubungan yang renggang dengan Allah yang perlu diperbaiki dengan taubat dan ketaatan?
Kunci perubahan ada di tangan kita. Allah telah menjanjikan respons-Nya, tetapi Dia menunggu inisiatif kita. Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal terkecil, dan mulailah saat ini juga. Karena sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan kita, sampai kita sendiri yang bangkit untuk mengubahnya.