An Nasr Urutan Surat ke Berapa? Sebuah Penyelaman Mendalam

Pertanyaan mengenai An Nasr urutan surat ke berapa dalam mushaf Al-Qur'an seringkali muncul sebagai salah satu kueri dasar bagi mereka yang sedang mempelajari kitab suci. Jawaban singkatnya sangat lugas, namun di balik nomor urut tersebut tersembunyi lautan makna, konteks sejarah yang monumental, serta pelajaran abadi yang relevan sepanjang zaman. Artikel ini akan mengupas tuntas tidak hanya jawaban atas pertanyaan tersebut, tetapi juga menyelami setiap aspek dari surat yang agung ini.

Ilustrasi simbolis pertolongan Allah dan manusia yang datang berbondong-bondong نَصْرٌ Pertolongan Ilustrasi simbolis pertolongan Allah (cahaya) dan manusia yang datang berbondong-bondong (siluet), merepresentasikan makna Surat An-Nasr.

Posisi dan Identitas Surat An-Nasr dalam Al-Qur'an

Untuk menjawab pertanyaan inti, Surat An-Nasr adalah surat ke-110 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Ia tergolong sebagai salah satu surat pendek yang berada di bagian akhir kitab suci, tepatnya di Juz 30 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Juz 'Amma. Surat ini terdiri dari 3 ayat, menjadikannya salah satu surat terpendek bersama dengan Surat Al-'Asr dan Al-Kautsar.

Secara penempatan, Surat An-Nasr terletak setelah Surat Al-Kafirun (surat ke-109) dan sebelum Surat Al-Masad (surat ke-111). Urutan ini memiliki kesinambungan makna yang indah. Setelah deklarasi tegas pemisahan akidah dalam Al-Kafirun ("Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku"), datanglah An-Nasr yang menunjukkan kemenangan dari akidah yang lurus tersebut. Kemudian, disusul oleh Al-Masad yang menggambarkan kehancuran bagi mereka yang menentang kebenaran dengan permusuhan yang membabi buta.

Klasifikasi Surat: Madaniyah

Surat An-Nasr tergolong sebagai surat Madaniyah. Klasifikasi ini tidak didasarkan pada lokasi geografis (turun di kota Madinah), melainkan berdasarkan periode waktu. Surat Madaniyah adalah surat yang diturunkan setelah peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Para ulama sepakat bahwa Surat An-Nasr diturunkan pada periode akhir kenabian, bahkan ada yang menyebutnya sebagai surat lengkap terakhir yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Waktu spesifik penurunannya seringkali dikaitkan dengan peristiwa Haji Wada' (haji perpisahan) Nabi, tidak lama sebelum beliau wafat.

Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Wahyu

Memahami konteks atau Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) adalah kunci untuk membuka tabir makna Surat An-Nasr. Surat ini tidak turun dalam kehampaan, melainkan sebagai respons ilahi terhadap sebuah puncak peristiwa dalam sejarah Islam: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah).

Setelah bertahun-tahun berdakwah di Makkah dengan penuh penindasan, pengusiran, dan peperangan, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin akhirnya kembali ke Makkah. Namun, kembalinya mereka bukan dengan dendam, melainkan dengan kekuatan dan kemenangan yang dianugerahkan oleh Allah. Penaklukan Makkah terjadi hampir tanpa pertumpahan darah. Ini adalah sebuah kemenangan moral, spiritual, dan fisik yang luar biasa. Ka'bah dibersihkan dari berhala-berhala, dan penduduk Makkah yang dahulu memusuhi Islam diberikan pengampunan massal.

Setelah peristiwa monumental ini, reputasi dan pengaruh Islam menyebar ke seluruh Jazirah Arab. Suku-suku yang tadinya ragu-ragu atau bahkan memusuhi, kini melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran dan kekuatan yang ada bersama kaum muslimin. Mereka menyadari bahwa kekuatan ini bukanlah kekuatan manusia biasa, melainkan pertolongan dari Tuhan. Akibatnya, delegasi dari berbagai kabilah mulai berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara massal. Periode ini bahkan dikenal sebagai 'Am al-Wufud' (Tahun Delegasi).

Dalam konteks inilah Surat An-Nasr diturunkan. Surat ini adalah konfirmasi dari Allah atas kemenangan yang telah diraih, sebuah pemberitahuan tentang buah dari kesabaran dan perjuangan, sekaligus sebuah arahan tentang bagaimana seorang mukmin seharusnya menyikapi sebuah puncak kesuksesan.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr

Meskipun hanya terdiri dari tiga ayat, setiap kata dalam Surat An-Nasr mengandung makna yang sangat dalam. Mari kita bedah satu per satu.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (١)

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Analisis Ayat Pertama: Janji Pertolongan dan Kemenangan

إِذَا (Idzaa) - "Apabila": Penggunaan kata 'Idzaa' dalam bahasa Arab menandakan sesuatu yang pasti akan terjadi. Ini bukan 'jika' yang mengandung keraguan, melainkan 'ketika' atau 'apabila' yang menunjukkan sebuah kepastian. Allah seakan-akan memberitahu Nabi Muhammad SAW dan kaum beriman, "Perhatikan, ketika momen yang pasti ini tiba..."

جَاءَ (Jaa'a) - "Telah datang": Kata ini menggunakan bentuk lampau (fi'il madhi), yang memberikan kesan bahwa peristiwa tersebut sudah menjadi sebuah ketetapan yang sedang dalam proses perwujudan atau bahkan sudah terwujud di hadapan mata. Ini menguatkan makna kepastian yang dibawa oleh kata 'Idzaa'.

نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah) - "Pertolongan Allah": Ini adalah poin paling krusial. Kemenangan yang diraih bukanlah hasil dari strategi militer semata, jumlah pasukan, atau kehebatan manusia. Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa sumber utama kemenangan adalah pertolongan (nasr) dari Allah. Kata 'Nasr' berarti bantuan, dukungan, dan pertolongan yang membawa kepada kemenangan atas musuh. Penyandaran kata 'nasr' kepada 'Allah' (Nashrullah) adalah untuk memurnikan tauhid dan menghilangkan segala bentuk kesombongan dari hati orang beriman. Kemenangan adalah murni anugerah-Nya.

وَالْفَتْحُ (Wal-fath) - "Dan kemenangan/penaklukan": Kata 'Al-Fath' secara harfiah berarti 'pembukaan'. Dalam konteks ini, para mufasir sepakat bahwa yang dimaksud adalah Fathu Makkah, 'Pembukaan Kota Makkah'. Mengapa disebut 'pembukaan'? Karena dengan takluknya Makkah, terbukalah pintu bagi manusia untuk masuk ke dalam agama Allah, terbukalah hati yang tadinya tertutup, dan terbukalah Jazirah Arab bagi cahaya Islam. Hubungan antara 'Nasrullah' dan 'Al-Fath' sangat erat. 'Nasrullah' adalah sebab (pertolongan ilahi yang abstrak), sedangkan 'Al-Fath' adalah akibatnya (kemenangan fisik yang nyata). Kemenangan sejati tidak akan pernah terwujud tanpa pertolongan dari Allah.

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (٢)

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Analisis Ayat Kedua: Buah Manis dari Kemenangan

وَرَأَيْتَ (Wa ra'aita) - "Dan engkau melihat": Kata ganti 'engkau' di sini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW, namun juga berlaku bagi siapa saja yang menyaksikan fenomena agung ini. Penggunaan kata 'melihat' (ra'aita) menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah kabar ghaib di masa depan, melainkan sebuah realitas yang dapat disaksikan dengan mata kepala. Ini adalah bukti nyata dari pertolongan Allah yang disebutkan di ayat pertama.

النَّاسَ (An-naas) - "Manusia": Penggunaan kata 'An-naas' yang bersifat umum menunjukkan cakupan yang luas. Bukan hanya satu atau dua orang, bukan hanya satu suku, tetapi manusia secara umum dari berbagai kabilah dan latar belakang.

يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ (Yadkhuluuna fii diinillah) - "Mereka masuk ke dalam agama Allah": Frasa ini menggambarkan sebuah proses perpindahan keyakinan yang fundamental. Mereka tidak hanya tunduk secara politik, tetapi benar-benar 'masuk ke dalam' (fii) ajaran Islam. Ini menunjukkan penerimaan yang tulus dan menyeluruh. Agama ini disandarkan kepada Allah ('diinillah') untuk menegaskan bahwa ini adalah sistem hidup yang berasal dari Tuhan, bukan ciptaan manusia.

أَفْوَاجًا (Afwaajaa) - "Berbondong-bondong": Ini adalah kata kunci dari ayat kedua. 'Afwaajaa' adalah bentuk jamak dari 'fauj', yang berarti rombongan besar atau kelompok. Ini melukiskan pemandangan yang luar biasa. Jika sebelum Fathu Makkah orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan seringkali menghadapi perlawanan, maka setelah kemenangan itu, mereka datang dalam kelompok-kelompok besar, suku demi suku, tanpa rasa takut dan dengan penuh keyakinan. Ini adalah tanda bahwa rintangan utama dakwah telah sirna.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (٣)

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Analisis Ayat Ketiga: Sikap yang Benar dalam Menghadapi Anugerah

Ayat terakhir ini adalah inti dari pesan surat An-Nasr. Setelah diberi anugerah terbesar berupa kemenangan dan keberhasilan dakwah, apa respons yang seharusnya ditunjukkan? Ayat ini memberikan tiga perintah fundamental.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (Fasabbih bihamdi Rabbika) - "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu": Perintah pertama adalah gabungan dua zikir agung.

وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirhu) - "Dan mohonlah ampunan kepada-Nya": Perintah kedua ini mungkin terdengar mengejutkan. Di saat puncak kemenangan, mengapa justru diperintahkan untuk memohon ampun (istighfar)? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang sangat mendalam:

Sebagai bentuk kerendahan hati yang paripurna. Istighfar adalah pengakuan bahwa seberapa pun besar usaha dan pencapaian kita, pasti ada kekurangan, kelalaian, atau ketidaksempurnaan dalam menjalankannya. Ini adalah cara untuk mengatakan, "Ya Allah, ampuni segala kekurangan kami dalam perjuangan ini."

Istighfar juga berfungsi sebagai benteng dari penyakit hati bernama 'ujub (kagum pada diri sendiri) dan takabur (sombong) yang seringkali menyertai kesuksesan. Dengan beristighfar, seorang hamba selalu mengingat posisinya yang lemah di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.

إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahuu kaana tawwaabaa) - "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat": Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Kata 'Tawwaab' adalah bentuk superlatif yang berarti Dzat yang senantiasa, selalu, dan terus-menerus menerima tobat hamba-Nya. Ini adalah jaminan dari Allah: "Mohonlah ampun, karena Aku pasti akan menerimanya." Ini memberikan harapan dan motivasi yang luar biasa untuk selalu kembali kepada-Nya, tidak peduli dalam keadaan susah maupun senang.

Isyarat Tersembunyi: Tanda Dekatnya Ajal Rasulullah SAW

Di balik makna literal tentang kemenangan, mayoritas sahabat besar, terutama Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab, memahami sebuah isyarat yang lebih dalam dari surat ini. Mereka menafsirkannya sebagai pemberitahuan bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah paripurna dan ajalnya sudah dekat.

Logikanya sederhana: Tujuan utama diutusnya seorang rasul adalah untuk menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah. Ketika pertolongan Allah (nasr) telah datang, kemenangan (fath) telah terwujud, dan manusia telah berbondong-bondong masuk ke dalam agama-Nya, maka misi tersebut telah selesai. Selesainya sebuah misi menandakan berakhirnya masa tugas.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih, ketika surat ini turun, Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat senior dari kaum Muhajirin dan Anshar dan bertanya tentang makna surat ini. Sebagian besar dari mereka menjawab sesuai makna lahiriahnya, yaitu perintah untuk memuji Allah dan memohon ampun ketika diberi kemenangan. Namun, ketika giliran Ibnu Abbas (yang saat itu masih muda) ditanya, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau." Umar pun membenarkan penafsiran tersebut seraya berkata, "Aku tidak mengetahui dari surat ini kecuali apa yang engkau ketahui."

Oleh karena itu, Surat An-Nasr sering disebut sebagai 'Surat Perpisahan'. Ia membawa kabar gembira berupa kemenangan, sekaligus kabar yang menyedihkan berupa dekatnya waktu wafat sang Nabi tercinta. Hal ini mengajarkan bahwa setiap puncak pencapaian dalam hidup sejatinya adalah penanda bahwa kita semakin dekat dengan akhir perjalanan.

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat An-Nasr

Meski konteks historisnya sangat spesifik, pesan-pesan dalam Surat An-Nasr bersifat universal dan abadi. Berikut adalah beberapa hikmah yang dapat kita petik:

1. Hakikat Pertolongan dan Kemenangan

Surat ini mengakar dalam benak setiap muslim bahwa kemenangan dalam bentuk apa pun—baik dalam skala besar seperti pembebasan suatu negeri, maupun skala kecil seperti kesuksesan pribadi dalam karier atau studi—semuanya berasal dari "Nashrullah", pertolongan Allah. Ini menumbuhkan sikap tawakal dan ketergantungan total hanya kepada-Nya.

2. Etika Merayakan Kesuksesan

Dunia modern seringkali merayakan kesuksesan dengan pesta pora, arogansi, dan pamer kemewahan. Al-Qur'an menawarkan etika yang jauh lebih mulia: sujud syukur, tasbih, tahmid, dan istighfar. Kesuksesan bukanlah panggung untuk membesarkan diri, melainkan mimbar untuk mengagungkan Allah dan mengakui kelemahan diri.

3. Pentingnya Istighfar di Setiap Keadaan

Jika di saat kemenangan saja kita diperintahkan untuk beristighfar, apalagi di saat kita melakukan kesalahan dan dosa. Surat ini mengajarkan bahwa istighfar bukanlah amalan untuk para pendosa saja, melainkan amalan rutin bagi orang-orang saleh untuk menyempurnakan ibadah dan menjaga hati dari kelalaian.

4. Setiap Misi Memiliki Garis Akhir

Isyarat tentang wafatnya Nabi mengajarkan kita tentang siklus kehidupan. Setiap amanah, setiap tugas, setiap jabatan, dan bahkan hidup itu sendiri memiliki titik akhir. Kesadaran ini mendorong kita untuk memaksimalkan setiap kesempatan yang diberikan untuk berbuat baik sebelum waktu kita habis.

Kesimpulan

Jadi, menjawab pertanyaan awal, An Nasr adalah urutan surat ke-110 dalam Al-Qur'an. Namun, seperti yang telah kita jelajahi, angka ini hanyalah gerbang pembuka menuju samudra hikmah yang tak bertepi. Surat An-Nasr adalah surat tentang kemenangan, tetapi juga tentang kerendahan hati. Ia adalah surat kabar gembira, tetapi juga pengingat tentang kefanaan. Ia adalah deklarasi final dari sebuah perjuangan panjang dan penunjuk arah tentang bagaimana seorang hamba harus bersikap ketika Allah membukakan pintu-pintu kesuksesan untuknya. Dengan memahami maknanya secara mendalam, kita tidak hanya mengetahui posisinya dalam mushaf, tetapi juga posisinya dalam membimbing kehidupan kita sehari-hari.

🏠 Homepage