Membedah Makna Surah An-Nasr: Pertolongan, Kemenangan, dan Sebuah Isyarat Perpisahan

Di antara surah-surah pendek dalam Al-Qur'an, Surah An-Nasr menempati posisi yang sangat istimewa. Terdiri dari hanya tiga ayat, surah ke-110 ini membawa muatan makna yang luar biasa padat, merangkum esensi perjuangan, buah dari kesabaran, adab dalam menyikapi kemenangan, dan sebuah isyarat halus yang dipahami oleh para sahabat utama sebagai pertanda akan berakhirnya sebuah era agung. Surah ini bukan sekadar proklamasi kemenangan militer, melainkan sebuah manifesto spiritual tentang bagaimana seorang hamba seharusnya bersikap di puncak kejayaan. Di dalamnya terkandung pelajaran abadi tentang tauhid, kerendahan hati, dan persiapan untuk kembali kepada Sang Pencipta. Untuk memahami kedalamannya, kita perlu menyelami tidak hanya teksnya, tetapi juga konteks historis yang melingkupinya serta tafsir para ulama yang mengungkap lapisan-lapisan maknanya.

الكعبة

Ilustrasi Ka'bah sebagai simbol Fathu Makkah dan kemenangan Islam.

Teks Surah An-Nasr, Transliterasi, dan Terjemahan

Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita resapi firman Allah SWT dalam Surah An-Nasr.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (١)

1. iżā jā`a naṣrullāhi wal-fat-ḥ

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,

وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (٢)

2. wa ra`aitan-nāsa yadkhulụna fī dīnillāhi afwājā

2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (٣)

3. fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfir-h, innahụ kāna tawwābā

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

Konteks Sejarah: Peristiwa Agung Fathu Makkah

Surah An-Nasr tidak dapat dipisahkan dari sebuah peristiwa monumental dalam sejarah Islam: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Peristiwa ini adalah puncak dari perjuangan dakwah Rasulullah SAW selama lebih dari dua dekade. Untuk memahami betapa dahsyatnya makna "kemenangan" yang disebut dalam surah ini, kita perlu menengok kembali ke belakang.

Akar Peristiwa: Perjanjian Hudaibiyah

Kunci menuju Fathu Makkah sejatinya diletakkan dua tahun sebelumnya, melalui Perjanjian Hudaibiyah. Pada saat itu, kaum muslimin yang berangkat dari Madinah untuk melaksanakan umrah dihalangi oleh kaum Quraisy Makkah. Ketegangan nyaris memuncak menjadi peperangan. Namun, Rasulullah SAW, dengan bimbingan ilahi, memilih jalan diplomasi. Lahirlah Perjanjian Hudaibiyah yang secara kasat mata tampak merugikan kaum muslimin. Beberapa isinya antara lain gencatan senjata selama sepuluh tahun dan keharusan bagi muslimin untuk memulangkan orang Makkah yang hijrah ke Madinah tanpa izin walinya, sementara Quraisy tidak wajib melakukan hal sebaliknya.

Banyak sahabat, termasuk Umar bin Khattab, pada awalnya merasa berat menerima perjanjian ini. Namun, Allah menamakan perjanjian ini sebagai "kemenangan yang nyata" (fathan mubina) dalam Surah Al-Fath. Mengapa? Karena gencatan senjata memberikan ruang bagi dakwah Islam untuk menyebar secara damai. Orang-orang dapat melihat akhlak kaum muslimin secara langsung tanpa dibayangi ancaman perang. Selama dua tahun masa damai ini, jumlah orang yang masuk Islam meroket, jauh melampaui jumlah pemeluk Islam selama 19 tahun sebelumnya. Ini adalah kemenangan strategis yang luar biasa.

Pelanggaran Perjanjian oleh Kaum Quraisy

Salah satu klausul perjanjian adalah kebebasan bagi suku-suku Arab untuk bersekutu dengan pihak Muslim atau Quraisy. Suku Khuza'ah memilih bersekutu dengan Rasulullah SAW, sementara suku Bani Bakr bersekutu dengan Quraisy. Dua suku ini memiliki sejarah permusuhan lama. Di saat gencatan senjata seharusnya berlaku, Bani Bakr dengan dukungan persenjataan dan personel dari beberapa tokoh Quraisy secara licik menyerang perkampungan suku Khuza'ah di malam hari, membunuh sejumlah orang dari mereka.

Tindakan ini adalah pelanggaran yang fatal terhadap Perjanjian Hudaibiyah. Perwakilan dari suku Khuza'ah segera berangkat ke Madinah, melaporkan pengkhianatan tersebut kepada Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW sangat marah atas pelanggaran perjanjian dan pertumpahan darah yang tidak adil ini. Beliau menawarkan tiga pilihan kepada Quraisy: membayar denda (diyat) bagi korban dari suku Khuza'ah, memutuskan persekutuan dengan Bani Bakr, atau menganggap Perjanjian Hudaibiyah batal. Quraisy, dengan kesombongannya, memilih opsi ketiga, secara resmi membatalkan perjanjian damai. Mereka tidak menyadari konsekuensi besar dari keputusan tersebut.

Mobilisasi Terbesar dalam Sejarah Islam

Rasulullah SAW segera memerintahkan persiapan untuk sebuah ekspedisi besar. Beliau menjaga kerahasiaan tujuan perjalanan ini dengan sangat rapat, bahkan kepada para sahabat terdekat pada awalnya. Tujuannya adalah untuk mencapai Makkah secara tiba-tiba, untuk menghindari pertumpahan darah. Beliau berdoa, "Ya Allah, butakanlah mata-mata dan informan Quraisy hingga kami tiba-tiba sudah berada di negeri mereka."

Pasukan Muslim yang berhasil dimobilisasi berjumlah 10.000 orang, sebuah kekuatan yang belum pernah terkumpul sebelumnya. Kabilah-kabilah yang telah masuk Islam dari berbagai penjuru Jazirah Arab turut serta. Ini adalah demonstrasi nyata dari buah kesabaran dan dakwah selama bertahun-tahun. Pasukan bergerak menuju Makkah. Di tengah perjalanan, paman Nabi, Abbas bin Abdul Muththalib, beserta keluarganya, bergabung dengan pasukan. Begitu pula sepupu Nabi sekaligus menantunya, Abu Sufyan bin Harits.

Ketika pasukan tiba di Marr Az-Zahran, sebuah lembah dekat Makkah, Rasulullah SAW memerintahkan setiap prajurit untuk menyalakan api unggun di malam hari. Sepuluh ribu api unggun menyala serentak, menciptakan pemandangan yang menggetarkan jiwa siapa pun yang melihatnya dari kejauhan. Ini adalah perang urat syaraf yang brilian. Abu Sufyan bin Harb, pemimpin utama Quraisy yang saat itu keluar untuk mencari informasi, terkejut melihat pemandangan tersebut. Dengan perantaraan Abbas, Abu Sufyan dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Melihat kekuatan yang tak mungkin dilawan dan keagungan pribadi Nabi, Abu Sufyan akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Keislamannya menjadi faktor kunci dalam penaklukan Makkah tanpa darah.

Penaklukan Tanpa Pertumpahan Darah

Rasulullah SAW, dalam kemurahan hatinya, memberikan penghormatan kepada Abu Sufyan. Beliau mengumumkan, "Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barangsiapa yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barangsiapa yang masuk ke Masjidil Haram, maka ia aman."

Pasukan Muslim yang besar itu dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memasuki Makkah dari berbagai penjuru, dengan instruksi tegas untuk tidak memulai pertempuran kecuali terpaksa. Makkah, kota yang selama bertahun-tahun memusuhi, mengusir, dan memerangi Nabi serta para pengikutnya, akhirnya takluk tanpa perlawanan berarti. Hanya ada sedikit insiden kecil di salah satu sisi kota yang segera teratasi. Rasulullah SAW memasuki kota dengan kepala tertunduk di atas untanya, sebuah gestur kerendahan hati yang luar biasa di puncak kemenangan. Beliau tidak masuk sebagai penakluk yang sombong, melainkan sebagai hamba Allah yang bersyukur.

Tujuan pertama beliau adalah Ka'bah. Di sekelilingnya, masih berdiri 360 berhala yang disembah oleh kaum jahiliyah. Dengan tongkat di tangannya, beliau menunjuk satu per satu berhala itu sambil membacakan ayat Al-Qur'an dari Surah Al-Isra ayat 81, "Dan katakanlah, 'Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sungguh, yang batil itu pasti lenyap." Setiap berhala yang ditunjuknya jatuh tersungkur. Ka'bah, rumah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah Yang Esa, akhirnya dibersihkan dari kemusyrikan.

Setelah itu, beliau mengumpulkan penduduk Makkah. Mereka adalah orang-orang yang pernah menyiksanya, membunuh para sahabatnya, dan mengusirnya dari tanah kelahirannya. Mereka menunduk pasrah, menunggu keputusan nasib mereka. Rasulullah SAW bertanya, "Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka menjawab, "Yang baik. Engkau adalah saudara yang mulia, dan putra dari saudara yang mulia." Maka, Rasulullah SAW mengucapkan kalimatnya yang bersejarah, meniru ucapan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya, "Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Semoga Allah mengampuni kalian. Pergilah, kalian semua bebas."

Pengampunan massal ini menjadi puncak dari kemenangan. Ini bukan sekadar kemenangan militer, tetapi kemenangan moral dan spiritual. Akhlak agung yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW membuka hati ribuan orang Makkah. Mereka melihat kebenaran Islam tidak hanya dari kekuatan militernya, tetapi dari rahmat dan kasih sayangnya.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat

Dengan latar belakang sejarah Fathu Makkah yang agung tersebut, mari kita bedah makna setiap ayat dalam Surah An-Nasr.

Ayat 1: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat ini membuka surah dengan dua kata kunci: "Nashrullah" (Pertolongan Allah) dan "Al-Fath" (Kemenangan). Urutannya sangat penting. Pertolongan Allah datang terlebih dahulu, baru kemudian terwujudlah kemenangan. Ini adalah penegasan fundamental dalam akidah Islam: segala kemenangan hakikatnya berasal dari Allah. Usaha manusia, strategi, dan kekuatan hanyalah sarana, tetapi hasil akhir mutlak berada dalam genggaman-Nya.

"Nashrullah" bukan sekadar bantuan militer. Ia mencakup segala bentuk dukungan ilahi: diturunkannya ketenangan (sakinah) di hati kaum mukminin, dikirimkannya malaikat untuk menguatkan mereka, dilemahkannya kekuatan musuh, hingga dibukakannya jalan-jalan yang tidak terduga. Pertolongan ini telah dijanjikan Allah sejak lama kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan sabar. Dalam konteks ini, "Nashrullah" adalah kulminasi dari pertolongan yang terus-menerus Allah berikan selama 23 tahun masa kenabian.

"Al-Fath" secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah. Kata "Al-Fath" sendiri berarti "pembukaan". Ini bukan sekadar penaklukan fisik sebuah kota. Fathu Makkah adalah "pembukaan" Makkah bagi cahaya tauhid setelah sekian lama terkunci dalam kegelapan syirik. Ia adalah "pembukaan" hati penduduk Jazirah Arab untuk menerima Islam, karena runtuhnya otoritas spiritual dan politik Quraisy, yang selama ini menjadi penghalang utama. Ia juga "pembukaan" jalan bagi penyempurnaan risalah Islam di seluruh semenanjung Arab. Dengan takluknya Makkah, pusat spiritual Arab, maka tak ada lagi kekuatan signifikan yang mampu menghalangi laju dakwah Islam.

Ayat 2: وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat ini menggambarkan buah langsung dari "pertolongan Allah dan kemenangan". Sebelum Fathu Makkah, konversi ke Islam seringkali bersifat individual dan penuh risiko. Setelah Makkah ditaklukkan, situasinya berubah drastis. Kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya bersikap menunggu dan melihat (wait and see), kini yakin bahwa Muhammad SAW adalah benar-benar utusan Tuhan. Kekalahan Quraisy, penjaga Ka'bah, adalah bukti terkuat bagi mereka.

Kata "An-Naas" (manusia) di sini merujuk pada suku-suku dan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru Jazirah Arab. Setelah Fathu Makkah, tahun berikutnya dalam sejarah Islam dikenal sebagai 'Aamul Wufud atau "Tahun Delegasi". Delegasi dari berbagai suku seperti Tsaqif, Hawazin, Tamim, dan suku-suku dari Yaman datang silih berganti ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara kolektif.

Kata "Afwaajan" (berbondong-bondong) melukiskan skala konversi yang masif. Bukan lagi satu atau dua orang, melainkan seluruh suku, seluruh kabilah, masuk ke dalam agama Allah secara bersamaan. Fenomena ini adalah bukti nyata bahwa penghalang utama telah sirna. Apa yang dirintis oleh Rasulullah SAW dengan kesabaran dan perjuangan selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil yang melimpah ruah. Pemandangan ini adalah pemandangan yang paling menyejukkan hati Rasulullah SAW, melihat buah dari dakwahnya terwujud di depan matanya.

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Ini adalah ayat yang mengandung adab kemenangan dan makna yang paling dalam. Ketika tujuan tertinggi telah tercapai, ketika kemenangan gemilang diraih, dan ketika manusia berbondong-bondong mengikuti risalah yang dibawa, apa respons yang Allah perintahkan? Bukan pesta pora, bukan arogansi, bukan pula euforia yang melenakan. Perintahnya justru bersifat introspektif dan spiritual.

"Fasabbih" (maka bertasbihlah). Tasbih (mengucapkan Subhanallah) berarti menyucikan Allah dari segala kekurangan. Dalam konteks kemenangan, ini adalah pengakuan bahwa kemenangan ini murni karena keagungan dan kekuasaan Allah, bukan karena kehebatan manusia. Ini adalah cara untuk menepis benih-benih kesombongan yang mungkin muncul di hati. Dengan bertasbih, seorang hamba mengembalikan segala pujian dan kehebatan kepada sumbernya yang hakiki, yaitu Allah SWT.

"bi-Hamdi Rabbika" (dengan memuji Tuhanmu). Tahmid (mengucapkan Alhamdulillah) adalah ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan. Jika tasbih adalah menafikan kekurangan dari Allah, maka tahmid adalah menetapkan segala kesempurnaan dan pujian bagi-Nya. Perintah ini mengajarkan untuk mengiringi kesucian Allah dengan rasa syukur yang mendalam atas karunia kemenangan dan hidayah yang Dia limpahkan. Gabungan antara tasbih dan tahmid adalah bentuk dzikir yang sempurna: menyucikan Allah dari segala cela sambil memuji-Nya atas segala anugerah.

"Wastaghfirhu" (dan mohonlah ampun kepada-Nya). Inilah bagian yang paling menyentuh dan seringkali menimbulkan pertanyaan. Mengapa di saat kemenangan justru diperintahkan untuk beristighfar, memohon ampun? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang sangat mendalam:

Surah ini ditutup dengan kalimat penegas yang menenangkan hati: "Innahu kaana Tawwaabaa" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Ini adalah jaminan dari Allah. Sebanyak apa pun kekurangan kita, sebesar apa pun kelalaian kita, pintu tobat-Nya selalu terbuka lebar. Allah senantiasa menyambut hamba-Nya yang kembali, yang memohon ampun dengan tulus, terutama hamba yang melakukannya di saat-saat kejayaan, menunjukkan kesadaran diri yang tinggi.

Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW

Meskipun secara lahiriah Surah An-Nasr adalah berita gembira tentang kemenangan, para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam mampu menangkap isyarat lain yang terkandung di dalamnya. Surah ini diyakini sebagai salah satu surah terakhir yang turun, bahkan ada yang berpendapat inilah surah terakhir yang turun secara lengkap.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Umar biasa mengajakku masuk ke dalam majelis para tokoh senior Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa kurang nyaman dan bertanya, 'Mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami, padahal kami juga memiliki anak-anak seusianya?' Umar menjawab, 'Kalian tahu sendiri siapa dia.' Suatu hari, Umar memanggilku dan mengajakku masuk bersama mereka. Aku yakin ia memanggilku hari itu untuk menunjukkan sesuatu kepada mereka. Umar bertanya, 'Apa pendapat kalian tentang firman Allah: Iżā jā`a naṣrullāhi wal-fat-ḥ?' Sebagian dari mereka menjawab, 'Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya ketika Dia menolong kita dan memberi kita kemenangan.' Sebagian lain diam tidak berkomentar. Lalu Umar bertanya kepadaku, 'Apakah begitu juga pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?' Aku menjawab, 'Tidak.' Umar bertanya lagi, 'Lalu apa pendapatmu?' Aku menjawab, 'Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan"—yang merupakan tanda dekatnya ajalmu—"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."' Maka Umar bin Khattab berkata, 'Aku tidak mengetahui dari surah ini kecuali apa yang engkau katakan.'" (HR. Bukhari)

Pemahaman tajam dari Ibnu Abbas, yang didoakan secara khusus oleh Nabi untuk diberi pemahaman mendalam tentang agama, mengungkap makna tersembunyi dari surah ini. Logikanya sederhana namun sangat dalam: jika tugas utama seorang utusan telah selesai dengan sempurna, ditandai dengan kemenangan akhir dan diterimanya dakwah oleh umat manusia secara massal, maka tidak ada lagi alasan bagi sang utusan untuk tinggal lebih lama di dunia. Misi telah tuntas.

Aisyah RA juga meriwayatkan bahwa setelah turunnya surah ini, Rasulullah SAW sangat sering membaca dalam rukuk dan sujudnya: "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai pengamalan langsung dari perintah dalam surah ini.

Benar saja, tidak lama setelah turunnya surah ini, pada saat Haji Wada' (Haji Perpisahan), Rasulullah SAW menyampaikan khutbahnya yang monumental, yang di dalamnya juga terkandung nada-nada perpisahan. Beliau bersabda, "...Boleh jadi aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini untuk selamanya..." Beberapa bulan setelah itu, Rasulullah SAW pun wafat, kembali ke haribaan Rabb-nya. Surah An-Nasr adalah pengumuman kemenangan sekaligus pengantar perpisahan yang indah dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya yang paling mulia.

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah An-Nasr

Meskipun turun dalam konteks spesifik, pelajaran yang terkandung dalam Surah An-Nasr bersifat universal dan abadi, relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman.

🏠 Homepage