Kemenangan Hakiki: Membedah Makna Ayat Kedua Surah An-Nasr

Ilustrasi Ka'bah dengan orang-orang datang berbondong-bondong يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا Ilustrasi grafis Ka'bah dengan siluet orang-orang yang datang berbondong-bondong, merepresentasikan ayat kedua Surah An-Nasr.

Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam Al-Qur'an, meskipun hanya terdiri dari tiga ayat pendek, memuat makna yang luar biasa dalam dan signifikansi historis yang monumental. Surah ini diyakini sebagai salah satu surah terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, berfungsi sebagai penanda puncak dari sebuah perjuangan panjang dan sebagai pengantar menuju fase akhir dari risalah kenabian. Di jantung surah ini terletak ayat kedua, sebuah kalimat yang melukiskan pemandangan agung yang menjadi buah dari kesabaran, pengorbanan, dan pertolongan ilahi selama lebih dari dua dekade.

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."

Ayat ini bukan sekadar sebuah laporan atau deskripsi, melainkan sebuah proklamasi kemenangan, sebuah nubuat yang terwujud di depan mata Sang Nabi, dan sebuah pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia tentang hakikat pertolongan Allah (An-Nasr) dan penaklukan (Al-Fath). Untuk memahami kedalaman maknanya, kita perlu membedah setiap kata, menelusuri konteks sejarah penurunannya, menggali tafsir para ulama, dan merenungkan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Analisis Linguistik: Membedah Setiap Kata

Keindahan dan kedalaman Al-Qur'an seringkali tersimpan dalam pilihan kata-katanya yang presisi. Setiap komponen dalam ayat kedua Surah An-Nasr memiliki bobot makna yang signifikan.

وَرَأَيْتَ (Wa ra'ayta) - Dan Engkau Melihat

Ayat ini dimulai dengan kata kerja "ra'ayta" yang berarti "engkau melihat". Kata ini berasal dari akar kata ra-a (رَأَى), yang secara harfiah berarti melihat dengan mata kepala. Penggunaan kata kerja ini sangat penting. Allah tidak berfirman, "dan engkau mengetahui" atau "dan telah sampai kepadamu kabar". Sebaliknya, Allah menggunakan kata "melihat", yang menandakan sebuah kesaksian langsung dan tak terbantahkan. Ini adalah penglihatan yang bersifat visual, nyata, dan empiris.

Subjek dari kata kerja ini adalah "ta", kata ganti untuk orang kedua tunggal maskulin, yang secara langsung merujuk kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini menjadikan pesan ayat ini sangat personal. Setelah bertahun-tahun berdakwah dalam kesulitan, menghadapi penolakan, penganiayaan, dan peperangan, kini Allah Swt. secara langsung berfirman kepada Rasul-Nya, "Lihatlah, wahai Muhammad, dengan matamu sendiri, buah dari kesabaranmu. Saksikanlah pemandangan yang dulu hanya ada dalam keyakinanmu, kini menjadi kenyataan yang terhampar di hadapanmu." Penglihatan ini adalah validasi ilahi, sebuah peneguhan atas kebenaran risalah yang beliau bawa, sekaligus sebuah anugerah dan penghiburan besar di akhir hayat beliau.

النَّاسَ (An-Nasa) - Manusia

Kata selanjutnya adalah "An-Nas", yang berarti "manusia" atau "orang-orang". Penggunaan kata ini, yang bersifat umum dan inklusif, memiliki implikasi yang luas. Al-Qur'an tidak menyebutkan "orang-orang Arab" atau "penduduk Makkah" secara spesifik. Kata "An-Nas" mencakup seluruh umat manusia. Meskipun konteks langsungnya adalah bangsa Arab pada saat itu, pemilihan kata ini mengisyaratkan universalitas pesan Islam. Pemandangan yang disaksikan oleh Nabi ﷺ di Jazirah Arab adalah sebuah mikrokosmos dari apa yang akan terjadi di seluruh dunia. Islam bukanlah agama untuk satu suku atau bangsa, melainkan untuk seluruh "An-Nas".

Para mufasir (ahli tafsir) menjelaskan bahwa "An-Nas" di sini secara primer merujuk pada berbagai kabilah dan suku bangsa Arab yang sebelumnya memusuhi Islam. Mereka yang tadinya menunggu-nunggu hasil dari pertarungan antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy di Makkah, kini melihat dengan jelas kebenaran Islam setelah peristiwa Fathu Makkah. Namun, cakupan makna "An-Nas" melampaui batas geografis dan etnis tersebut, memberikan visi tentang tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia di masa-masa yang akan datang.

يَدْخُلُونَ (Yadkhuluna) - Mereka Masuk

Kata kerja "yadkhuluna" berarti "mereka masuk". Bentuk kata kerja ini (fi'il mudhari') dalam bahasa Arab menunjukkan sebuah tindakan yang sedang atau akan terus berlangsung. Ini bukan peristiwa sesaat yang terjadi lalu selesai. Sebaliknya, ini menggambarkan sebuah proses yang dinamis, berkelanjutan, dan terus mengalir. Orang-orang tidak hanya "telah masuk", tetapi "sedang dan akan terus masuk" ke dalam agama Allah. Ini menandakan bahwa gelombang konversi ini memiliki momentum yang kuat dan akan berlanjut bahkan setelah peristiwa spesifik yang menyebabkannya.

Penggunaan kata kerja ini juga mengandung makna pilihan dan kesadaran. Mereka "masuk" (yadkhuluna), bukan "dimasukkan". Ini menggarisbawahi prinsip fundamental dalam Islam: "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama" (QS. Al-Baqarah: 256). Mereka masuk dengan kesadaran, ketertarikan, dan keyakinan setelah melihat bukti nyata dari kebenaran, keadilan, dan rahmat yang dibawa oleh Islam dan Nabinya.

فِي دِينِ اللَّهِ (Fi dinillah) - Ke dalam Agama Allah

Frasa "Fi dinillah" secara harfiah berarti "ke dalam agama Allah". Penekanan pada "agama Allah" adalah poin krusial. Orang-orang ini tidak masuk ke dalam agama Muhammad, atau agama suku Quraisy, atau kekuatan politik baru. Mereka masuk ke dalam agama yang bersumber dari Allah semata. Ini membersihkan niat dan tujuan dari konversi tersebut. Tujuannya adalah untuk tunduk dan patuh (Islam) kepada Sang Pencipta, bukan kepada manusia atau entitas duniawi lainnya. Frasa ini menegaskan kembali esensi tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadahan dan ketundukan.

Ini juga membedakan kemenangan Islam dari penaklukan-penaklukan lainnya dalam sejarah. Kemenangan Romawi atau Persia adalah tentang memperluas kekaisaran dan menundukkan bangsa lain di bawah kekuasaan seorang kaisar. Kemenangan Islam, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an, adalah tentang membebaskan manusia dari penyembahan kepada selain Allah dan membawa mereka ke dalam "agama Allah", di mana semua manusia setara di hadapan-Nya.

أَفْوَاجًا (Afwajan) - Berbondong-bondong

Kata terakhir dan mungkin yang paling dramatis dalam ayat ini adalah "afwajan". Kata ini merupakan bentuk jamak dari "fawj", yang berarti sekelompok besar, rombongan, atau delegasi. "Afwajan" berarti kelompok demi kelompok, gelombang demi gelombang, atau dalam bahasa Indonesia yang lebih puitis, "berbondong-bondong".

Kata ini menciptakan citra visual yang sangat kuat. Ia melukiskan kontras yang tajam dengan hari-hari awal dakwah di Makkah. Dahulu, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, seringkali dengan risiko besar terhadap nyawa dan harta mereka. Abu Bakar, Khadijah, Ali, Bilal, keluarga Yasir—mereka adalah para pionir yang menerima Islam sebagai individu. Sekarang, situasinya telah berbalik total. Bukan lagi individu yang datang, melainkan seluruh suku, klan, dan delegasi dari berbagai penjuru Jazirah Arab datang untuk menyatakan keislaman mereka secara kolektif. Pemandangan ini adalah manifestasi fisik dari pertolongan Allah yang dijanjikan. Kesulitan telah berganti dengan kemudahan, dan ketakutan telah berganti dengan kemenangan yang gemilang.

Konteks Sejarah: Fathu Makkah dan Tahun Delegasi

Untuk memahami sepenuhnya dampak dari ayat ini, kita harus menyelami latar belakang sejarahnya. Ayat ini tidak turun dalam ruang hampa. Ia adalah puncak dari serangkaian peristiwa monumental yang mengubah wajah Jazirah Arab selamanya, terutama peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Makkah).

Perjanjian Hudaibiyah: Gerbang Menuju Kemenangan

Kunci menuju Fathu Makkah sebenarnya terletak pada Perjanjian Hudaibiyah. Meskipun pada awalnya tampak merugikan kaum Muslimin, Nabi Muhammad ﷺ dengan visi kenabiannya melihatnya sebagai "kemenangan yang nyata" (fathan mubina). Perjanjian ini menghentikan permusuhan terbuka antara Makkah dan Madinah, memungkinkan interaksi yang lebih bebas antara kedua belah pihak. Selama masa gencatan senjata ini, banyak orang Quraisy dan suku-suku lain yang dapat melihat Islam dari dekat, berinteraksi dengan kaum Muslimin, dan mendengar dakwah tanpa tekanan peperangan. Mereka menyaksikan akhlak, kejujuran, dan kedisiplinan umat Islam, yang sangat kontras dengan kehidupan jahiliyah. Periode damai inilah yang menabur benih-benih keimanan di banyak hati.

Fathu Makkah: Penaklukan Tanpa Pertumpahan Darah

Ketika kaum Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyah, Nabi Muhammad ﷺ memobilisasi pasukan besar yang terdiri dari 10.000 sahabat untuk menuju Makkah. Namun, tujuan utama beliau bukanlah balas dendam atau pertumpahan darah. Beliau memasuki kota kelahirannya, tempat di mana beliau dan para pengikutnya pernah diusir dan disiksa, dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati. Beliau menawarkan keamanan bagi siapa saja yang berlindung di rumahnya, di rumah Abu Sufyan, atau di dalam Masjidil Haram.

Makkah ditaklukkan hampir tanpa perlawanan. Momen puncaknya adalah ketika Rasulullah ﷺ menghancurkan 360 berhala yang mengelilingi Ka'bah sambil membacakan ayat, "Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh, yang batil itu pasti lenyap" (QS. Al-Isra': 81). Setelah itu, beliau mengumpulkan penduduk Makkah dan bertanya, "Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka, yang sadar akan kejahatan mereka di masa lalu, menjawab, "Kebaikan. Engkau adalah saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia."

Maka, Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimatnya yang bersejarah, "Pergilah kalian, kalian semua bebas." Sikap pengampunan yang luar biasa inilah yang meruntuhkan benteng kesombongan terakhir di hati penduduk Makkah. Mereka menyaksikan secara langsung rahmat dan keagungan akhlak yang diajarkan oleh Islam. Peristiwa ini menjadi titik balik yang tak terelakkan. Makkah, sebagai pusat spiritual dan budaya Arab, telah kembali ke pangkuan tauhid. Kabar tentang penaklukan damai dan pengampunan besar ini menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru Jazirah Arab.

'Am al-Wufud (Tahun Delegasi)

Setelah Fathu Makkah, suku-suku Arab yang tadinya bersikap menunggu dan melihat kini tidak lagi memiliki keraguan. Mereka berpikir, "Jika Muhammad mampu menaklukkan Quraisy, suku yang paling dihormati dan penjaga Ka'bah, tanpa perlawanan berarti, maka ia pasti berada di atas kebenaran." Logika mereka sederhana: jika beliau bukan seorang nabi yang didukung oleh Tuhan, mustahil beliau bisa mencapai hal ini.

Maka, dimulailah periode yang dikenal sebagai 'Am al-Wufud (Tahun Delegasi). Dari Yaman di selatan hingga perbatasan Syam di utara, delegasi-delegasi (wufud) dari berbagai kabilah mulai berdatangan ke Madinah. Mereka datang bukan untuk berperang, melainkan untuk menyatakan ketundukan mereka kepada kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ dan untuk memeluk Islam. Mereka datang "berbondong-bondong" (afwajan), persis seperti yang digambarkan oleh ayat ini. Sejarah mencatat puluhan delegasi, seperti dari Bani Tamim, Bani Sa'd, Thaqif, Kindah, dan suku-suku dari Yaman. Inilah pemandangan yang disaksikan oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya setiap hari di Madinah—pemandangan manusia yang berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah.

Tafsir Para Ulama: Perspektif Mendalam

Para ulama tafsir telah memberikan wawasan yang kaya mengenai ayat ini, menghubungkannya tidak hanya dengan peristiwa sejarah tetapi juga dengan makna teologis yang lebih dalam.

Tafsir Ibn Kathir

Imam Ibn Kathir dalam tafsirnya yang monumental menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "An-Nas" di sini adalah suku-suku Arab. Beliau menjelaskan bahwa setelah Fathu Makkah, seluruh Jazirah Arab tunduk pada Islam. Orang-orang dari Yaman dan berbagai kabilah lainnya datang dalam rombongan besar untuk memeluk agama Allah. Beliau mengutip hadis dari Amr bin Salamah yang menceritakan bagaimana ayahnya dan kaumnya menunggu hasil dari penaklukan Makkah. Setelah Makkah jatuh ke tangan kaum Muslimin, suku-suku tersebut berkata, "Biarkan dia (Muhammad) dan kaumnya (Quraisy). Jika dia menang atas mereka, maka dia adalah seorang nabi yang benar." Ketika kemenangan itu terjadi, mereka pun bergegas masuk Islam. Ini adalah bukti nyata bagaimana Fathu Makkah menjadi kunci pembuka bagi konversi massal di seluruh Arabia.

Tafsir Al-Qurtubi

Imam Al-Qurtubi menekankan aspek kontras antara masa awal dan akhir dakwah. Beliau menggambarkan bagaimana dulu hanya satu atau dua orang yang masuk Islam, sedangkan setelah kemenangan, seluruh kabilah masuk Islam sekaligus. Beliau juga menyoroti salah satu makna terpenting dari Surah An-Nasr secara keseluruhan: surah ini merupakan pertanda dekatnya ajal Rasulullah ﷺ.

Ini adalah pemahaman yang dipegang oleh banyak sahabat senior. Diriwayatkan bahwa ketika surah ini turun, Nabi ﷺ membacakannya kepada para sahabat. Banyak yang bergembira karena melihatnya sebagai kabar kemenangan, tetapi Abu Bakar menangis. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda wafatnya Rasulullah ﷺ." Logikanya adalah, ketika misi seorang nabi telah sempurna dan tujuannya telah tercapai—yaitu kemenangan agama Allah—maka tugasnya di dunia telah selesai. Ayat "masuknya manusia berbondong-bondong" adalah penanda kesempurnaan misi tersebut. Kemenangan total ini adalah sinyal bahwa sang utusan akan segera kembali kepada Yang Mengutusnya.

Perspektif Ibn Abbas

Pemahaman ini diperkuat oleh riwayat terkenal tentang Ibn Abbas. Diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab sering mengundang Ibn Abbas, yang saat itu masih sangat muda, untuk bergabung dalam majelis para sahabat senior dari Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa heran. Suatu hari, Umar ingin menunjukkan keistimewaan pemahaman Ibn Abbas. Beliau bertanya kepada para sahabat senior tentang makna Surah An-Nasr. Sebagian menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta ampunan-Nya ketika kita diberi kemenangan dan penaklukan." Yang lain diam. Lalu Umar bertanya kepada Ibn Abbas, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ibn Abbas?" Beliau menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda ajalmu (wahai Muhammad), maka 'bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya'." Umar pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui makna lain dari surah ini selain apa yang engkau katakan."

Perspektif ini mengubah cara kita memandang ayat kedua. Pemandangan orang-orang yang masuk Islam berbondong-bondong bukan hanya klimaks dari sebuah perjuangan, tetapi juga sebuah sinyal perpisahan. Kemenangan terbesar di dunia adalah penanda dekatnya pertemuan dengan Sang Kekasih di akhirat.

Pelajaran dan Hikmah Abadi

Ayat kedua Surah An-Nasr bukan hanya catatan sejarah. Ia adalah sumber inspirasi dan pelajaran yang tak lekang oleh waktu bagi umat Islam di setiap generasi.

Hakikat Kemenangan dari Allah

Surah ini dimulai dengan "Apabila telah datang pertolongan Allah (Nasrullah) dan kemenangan (Al-Fath)". Ini menegaskan bahwa kemenangan sejati bukanlah hasil dari kekuatan militer, strategi jenius, atau jumlah pasukan semata. Itu semua adalah sebab, tetapi penyebab utamanya adalah pertolongan dari Allah. Kemenangan di Fathu Makkah dan gelombang konversi sesudahnya adalah buah dari janji Allah yang ditepati. Pelajaran bagi kita adalah untuk tidak pernah menyandarkan keberhasilan pada kemampuan diri sendiri, melainkan selalu mengembalikannya kepada Allah. Dalam setiap kesuksesan, baik dalam skala pribadi maupun komunal, sumbernya adalah Allah Swt.

Respon yang Tepat Terhadap Kemenangan: Tasbih, Hamd, dan Istighfar

Apa yang diperintahkan Allah setelah menyaksikan pemandangan agung ini? Bukan pesta pora, arak-arakan kemenangan, atau pendirian monumen. Perintahnya adalah spiritual: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya" (ayat 3). Ini adalah pelajaran yang luar biasa dalam kerendahan hati.

Pelajaran ini sangat relevan. Ketika kita meraih kesuksesan dalam karier, pendidikan, atau kehidupan keluarga, respons terbaik bukanlah kebanggaan, melainkan sujud syukur, memperbanyak zikir, dan memohon ampun atas segala kekurangan kita.

Optimisme dan Buah Kesabaran

Ayat ini adalah sumber optimisme yang luar biasa. Ia mengingatkan kita bahwa setelah setiap kesulitan, ada kemudahan. Setelah perjuangan yang panjang dan melelahkan, akan datang pertolongan Allah. Selama 13 tahun di Makkah, kaum Muslimin mengalami penindasan yang hebat. Bahkan setelah hijrah ke Madinah, mereka harus melalui serangkaian peperangan yang mengancam eksistensi mereka. Namun, mereka tetap sabar dan teguh dalam iman. Ayat ini adalah manifestasi dari janji Allah bahwa "sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat" (QS. Al-Baqarah: 214). Bagi siapa pun yang sedang berjuang di jalan Allah, ayat ini adalah pengingat bahwa kesabaran dan keteguhan pada akhirnya akan membuahkan hasil yang gemilang.

Kekuatan Dakwah Melalui Akhlak

Mengapa orang-orang masuk Islam berbondong-bondong? Alasan utamanya bukanlah pedang, melainkan pesona kebenaran dan keindahan akhlak yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Pengampunan massal saat Fathu Makkah adalah strategi dakwah yang paling efektif. Orang-orang melihat secara langsung bahwa agama ini membawa rahmat, bukan dendam; keadilan, bukan penindasan; dan persaudaraan, bukan perpecahan. Ini mengajarkan kita bahwa cara terbaik untuk menyebarkan pesan Islam adalah melalui karakter yang mulia, tindakan yang adil, dan kasih sayang kepada sesama. Akhlak adalah duta terbaik bagi agama ini.

Kesimpulan: Sebuah Pemandangan Penutup yang Sempurna

Ayat "Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah" adalah sebuah lukisan verbal yang merangkum esensi dari risalah Nabi Muhammad ﷺ. Ia adalah titik kulminasi dari sebuah perjalanan epik yang dimulai dari Gua Hira, melalui penindasan di Makkah, hijrah yang penuh bahaya, perjuangan di Madinah, hingga akhirnya mencapai kemenangan yang dijanjikan.

Pemandangan ini bukan hanya akhir yang bahagia bagi sebuah kisah perjuangan. Ia adalah penegasan atas kebenaran universal: bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang atas kebatilan, bahwa kesabaran akan dibalas dengan pertolongan, dan bahwa kemenangan sejati bukanlah tentang menaklukkan tanah, melainkan tentang memenangkan hati manusia untuk kembali kepada Tuhan mereka. Lebih dari itu, ayat ini, dalam konteks keseluruhan surahnya, mengajarkan kita bahwa puncak dari segala pencapaian duniawi adalah momentum untuk kembali kepada Allah dengan penuh kerendahan hati, memuji kebesaran-Nya, dan memohon ampunan-Nya, sebagai persiapan untuk pertemuan akhir dengan-Nya. Inilah pelajaran terbesar dari pemandangan agung masuknya manusia secara berbondong-bondong ke dalam agama Allah.

🏠 Homepage