Membedah Makna Bacaan Pembuka Diba' Alhamdulillah
Sebuah untaian pujian agung yang membuka pintu kecintaan kepada Sang Nabi, tertuang dalam bait-bait Maulid Diba'. Bagian pembukanya, yang dimulai dengan lafaz "Alhamdulillah", bukan sekadar kalimat syukur biasa. Ia adalah sebuah samudra makna yang merangkum sifat-sifat keagungan Allah SWT, menjadi fondasi teologis yang kokoh sebelum kita menyelami kisah kehidupan manusia termulia, Rasulullah SAW.
Setiap lantunan Maulid Diba' adalah perjalanan spiritual. Pembukaannya merupakan gerbang yang harus kita masuki dengan penuh kesadaran dan penghayatan. Di sinilah letak esensi pengakuan seorang hamba atas Tuhannya. Mari kita selami bersama bait demi bait, kata demi kata, untuk menemukan mutiara hikmah yang tersembunyi di dalamnya.
Teks Lengkap Pembuka Maulid Diba'
اَلْحَمْدُ ِللهِ الْقَوِيِّ الْغَالِبِ، اَلْوَلِيِّ الطَّالِبِ، بَاعِثِ الْوَارِثِ الْجَامِعِ الْحَاسِبِ. الَّذِيْ أَذَاقَ قُلُوْبَ أَوْلِيَائِهِ صَفْوَ شَرَابِ الْمَحَبَّةِ فَأَصْبَحُوْا مُتَلَذِّذِيْنَ بِكَأْسِهِ وَشُرْبِهِ، وَأَطْلَعَ فِيْ سَمَاءِ قُلُوْبِهِمْ شُمُوْسَ الْقُرْبِ وَالْمَحْبُوْبِيَّةِ وَأَنْوَارِهَا وَقُرْبِهِ. يُسَبِّحُهُ فِى الْإِشْرَاقِ وَالْغُرُوْبِ جَمِيْعُ مَا فِى الْأَكْوَانِ مِنْ مَخْلُوْقٍ وَمَحْبُوْبٍ. مُكَوِّنِ الْأَشْيَاءِ مِنَ الْعَدَمِ وَمُبِيْدِهَا، وَجَامِعِ الْأُمَمِ لِيَوْمِ الْوَعْدِ وَمُعِيْدِهَا، مُقَدِّرِ الرِّزْقِ لِلْخَلَائِقِ وَقَاسِمِهِ، وَمُصَرِّفِ الْأَحْوَالِ لِلْبَرَايَا وَحَاكِمِهِ. اَلَّذِيْ نَزَّهَ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالنَّظِيْرِ وَتَعَالَى عَنِ الْمِثَالِ وَالشَّرِيْكِ الْوَزِيْرِ.
Alhamdulillâhil qawiyyil ghâlibi, al waliyyith thâlibi, bâ’itsil wâritsil jâmi’il hâsibi. Alladzî adzâqa qulûba auliyâ-ihi shafwa syarâbil mahabbati fa ashbahû mutaladz-dzidzîna bika’sihi wa syurbihi, wa athla’a fî samâ-i qulûbihim syumûsal qurbi wal mahbûbiyyati wa anwârihâ wa qurbihi. Yusabbihuhu fîl isyrâqi wal ghurûbi jamî’u mâ fîl akwâni min makhlûqin wa mahbûbin. Mukawwinil asy-yâ-i minal ‘adami wa mubîdihâ, wa jâmi’il umami liyaumil wa’di wa mu’îdihâ, muqaddirir rizqi lil khalâ-iqi wa qâsimihi, wa musharrifil ahwâli lil barâyâ wa hâkimihi. Alladzî nazzaha ‘anisy syabîhi wan nadhîri wa ta’âlâ ‘anil mitsâli was syarîkil wazîri.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Unggul, Sang Pelindung yang Mencari, Yang Membangkitkan, Yang Mewarisi, Yang Mengumpulkan, dan Yang Menghisab. Dialah yang telah memberikan rasa kepada hati para kekasih-Nya akan kemurnian minuman cinta, sehingga mereka menjadi orang-orang yang merasakan kelezatan dengan piala dan minumannya. Dan Dia telah menerbitkan di langit hati mereka matahari-matahari kedekatan, kecintaan, cahaya-cahayanya, dan kedekatannya. Bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang, segala apa yang ada di alam semesta, baik makhluk maupun yang dicintai. Pencipta segala sesuatu dari ketiadaan dan yang membinasakannya, Pengumpul seluruh umat pada hari yang dijanjikan dan yang mengembalikannya. Penentu rezeki bagi seluruh makhluk dan yang membagikannya, Pengatur keadaan bagi seluruh ciptaan dan yang menghakiminya. Dialah yang Maha Suci dari segala penyerupaan dan perbandingan, dan Maha Tinggi dari segala permisalan, sekutu, dan pembantu.
Kajian Mendalam Setiap Frasa Pujian
Untuk memahami keagungan pujian ini, kita perlu membedahnya kalimat per kalimat. Setiap kata yang dipilih oleh Al-Imam As-Sayyid Ja'far bin Hasan Al-Barzanji, sang penyusun Maulid Diba', bukanlah pilihan acak, melainkan untaian permata yang mengandung makna teologis yang sangat dalam.
اَلْحَمْدُ ِللهِ الْقَوِيِّ الْغَالِبِ (Alhamdulillâhil Qawiyyil Ghâlibi)
Segala Puji Bagi Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Unggul.
Kalimat pembuka ini langsung menegaskan esensi dari segala pujian. "Alhamdulillah" bukan sekadar berarti 'terima kasih, ya Allah'. Kata 'Al-Hamdu' dengan 'Alif Lam' di depannya menunjukkan makna 'istighraq', yaitu mencakup seluruh jenis pujian. Artinya, segala bentuk pujian yang pernah ada, yang sedang ada, dan yang akan ada, baik yang terucap maupun yang terbersit di hati, pada hakikatnya hanya layak dan tertuju kepada Allah SWT. Pujian kepada makhluk hanyalah bersifat sementara dan majazi (kiasan), karena segala kebaikan dan keindahan pada makhluk bersumber dari-Nya.
Setelah pujian umum, langsung disusul dengan dua sifat spesifik: "Al-Qawiy" (Maha Kuat). Kekuatan Allah tidak seperti kekuatan makhluk. Kekuatan-Nya mutlak, tidak berawal dan tidak berakhir, tidak bergantung pada apapun, dan tidak bisa dikalahkan. Dialah sumber segala kekuatan di alam semesta. Kekuatan seorang raja, kekokohan gunung, dahsyatnya ombak, semuanya adalah manifestasi kecil dari kekuatan-Nya. Mengingat sifat Al-Qawiy menanamkan dalam diri kita rasa tawakal dan perlindungan, bahwa kita bersandar pada Dzat yang kekuatannya tidak terbatas.
Sifat berikutnya adalah "Al-Gholib" (Maha Unggul/Maha Menang). Sifat ini menegaskan dominasi mutlak Allah atas segala sesuatu. Kehendak-Nya pasti terjadi. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalangi atau mengalahkan ketetapan-Nya. Dalam konteks perjuangan hidup, sifat ini memberikan keyakinan bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang, karena Allah adalah Al-Gholib. Kemenangan Firaun adalah kemenangan sesaat, kemenangan Namrud adalah fatamorgana. Kemenangan sejati dan abadi hanyalah milik Allah dan siapa saja yang berada di jalan-Nya.
اَلْوَلِيِّ الطَّالِبِ (Al Waliyyith Thâlibi)
Sang Pelindung yang Mencari.
Frasa ini menghadirkan dimensi hubungan yang lebih intim antara hamba dan Tuhannya. "Al-Waliyy" berarti Pelindung, Penolong, atau Sahabat Dekat. Allah adalah pelindung bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia menjaga mereka dari kesesatan, menolong mereka dalam kesulitan, dan membimbing mereka menuju cahaya. Berada dalam 'wilayah' (perlindungan) Allah adalah anugerah terbesar, sebuah jaminan keamanan dan ketenangan jiwa yang tidak ternilai. Ini adalah pengakuan bahwa tanpa perlindungan-Nya, kita akan binasa dalam kegelapan dunia.
Yang menarik adalah gandengannya, "Ath-Tholib" (Yang Mencari). Ini adalah ungkapan sastrawi yang indah. Bagaimana mungkin Dzat Yang Maha Kaya justru 'mencari'? Maknanya adalah Allah secara aktif mencari hamba-hamba-Nya yang tulus untuk diberikan hidayah. Dia 'mencari' mereka yang berdosa untuk diampuni, 'mencari' mereka yang berdoa untuk dikabulkan. Ini menunjukkan betapa besar rahmat dan kasih sayang Allah. Bukan kita yang bersusah payah menemukan-Nya, tetapi rahmat-Nya lah yang senantiasa 'mencari' celah untuk masuk ke dalam hati kita. Dia memanggil kita melalui azan, melalui Al-Quran, melalui ujian, semua adalah cara-Nya 'mencari' kita untuk kembali kepada-Nya.
بَاعِثِ الْوَارِثِ الْجَامِعِ الْحَاسِبِ (Bâ’itsil Wâritsil Jâmi’il Hâsibi)
Yang Membangkitkan, Yang Mewarisi, Yang Mengumpulkan, dan Yang Menghisab.
Rangkaian empat sifat ini membawa kesadaran kita langsung menuju akhirat, sebuah pengingat akan realitas setelah kematian.
"Al-Ba'its" (Yang Membangkitkan). Ini adalah penegasan iman pada hari kebangkitan (Yaumul Ba'ats). Allah yang mampu menciptakan manusia dari ketiadaan, tentu lebih mudah bagi-Nya untuk membangkitkan kembali tulang-belulang yang telah hancur. Mengimani sifat ini akan meluruskan orientasi hidup kita. Kita sadar bahwa hidup di dunia ini bukanlah akhir, melainkan hanya sebuah babak singkat menuju kehidupan abadi yang akan dipertanggungjawabkan.
"Al-Warits" (Yang Mewarisi). Manusia seringkali merasa memiliki; memiliki harta, tahta, dan keluarga. Namun, semua itu hanyalah titipan. Ketika ajal tiba, semua akan kita tinggalkan. Siapakah pemilik sejatinya? Allah Al-Warits. Dialah Pewaris Tunggal atas langit, bumi, dan segala isinya. Langit dan bumi beserta isinya adalah milik-Nya, dan kepada-Nya semua akan kembali. Sifat ini mengajarkan kita tentang kefanaan dunia dan pentingnya zuhud, yaitu tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama.
"Al-Jami'" (Yang Mengumpulkan). Setelah dibangkitkan, seluruh umat manusia dari zaman Nabi Adam hingga manusia terakhir akan dikumpulkan di satu tempat, Padang Mahsyar. Tidak ada seorang pun yang akan terlewat. Allah Al-Jami' akan mengumpulkan semua untuk diadili. Membayangkan peristiwa agung ini akan menumbuhkan rasa takut (khauf) dan harapan (raja') dalam diri kita, mendorong kita untuk mempersiapkan bekal terbaik.
"Al-Hasib" (Yang Menghisab/Memperhitungkan). Di Padang Mahsyar, setiap amal, sekecil apapun, akan dihitung. Tidak ada yang luput dari perhitungan Allah. Hisab-Nya sangat cepat, cermat, dan adil. Mengingat sifat Al-Hasib akan membuat kita lebih berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatan. Kita menjadi sadar bahwa ada 'Maha Akuntan' yang mencatat segalanya dengan presisi sempurna.
الَّذِيْ أَذَاقَ قُلُوْبَ أَوْلِيَائِهِ...
Dialah yang telah memberikan rasa kepada hati para kekasih-Nya...
Setelah menegaskan sifat-sifat keagungan (jalal) dan kekuasaan-Nya, pujian beralih ke sifat keindahan (jamal) dan kasih sayang-Nya, khususnya kepada para Auliya (kekasih Allah). Kata "adzâqa" (memberikan rasa) sangatlah puitis. Ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah bukanlah sekadar konsep intelektual, melainkan sebuah pengalaman spiritual yang dirasakan (dzauq) di dalam hati.
Apa yang dirasakan? "Shafwa syarâbil mahabbah" (kemurnian minuman cinta). Cinta ilahi diibaratkan sebagai minuman yang paling murni, jernih, dan memabukkan (dalam arti positif). Para wali Allah diteguk-kan minuman ini, sehingga mereka "mutaladz-dzidzîna bika’sihi wa syurbihi" (merasakan kelezatan dengan piala dan minumannya). Kelezatan beribadah, kelezatan berzikir, kelezatan munajat di malam hari adalah buah dari tegukan cinta ini. Bagi mereka, ibadah bukan lagi beban, melainkan kenikmatan tertinggi.
"Dan Dia telah menerbitkan di langit hati mereka matahari-matahari kedekatan, kecintaan, cahaya-cahayanya, dan kedekatannya."
Metafora ini sangatlah indah. Hati para wali diibaratkan sebagai langit. Di langit hati itu, Allah menerbitkan matahari-matahari (syumûs, bentuk jamak dari syams). Bukan hanya satu matahari, tapi banyak. Matahari apa? Matahari kedekatan (qurb), matahari kecintaan (mahbubiyyah), dan cahaya-cahaya yang menyertainya. Ini menggambarkan betapa terangnya hati seorang wali, dipenuhi cahaya makrifat dan cinta, sehingga tidak ada lagi ruang untuk kegelapan keraguan, kesyirikan, atau cinta kepada selain-Nya.
يُسَبِّحُهُ فِى الْإِشْرَاقِ وَالْغُرُوْبِ...
Bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang, segala apa yang ada di alam semesta...
Ayat ini mengingatkan kita pada konsep tasbih universal. Bukan hanya manusia yang beriman, tetapi "jamî’u mâ fîl akwân" (segala apa yang ada di alam semesta), baik itu "makhlûqin" (makhluk hidup) maupun benda mati yang kita sebut "mahbûbin" (yang dicintai, seperti permata, emas, dll), semuanya bertasbih kepada Allah. Gemerisik daun, deburan ombak, kicauan burung, perputaran planet, getaran atom, semuanya adalah bentuk tasbih kepada Sang Pencipta dengan cara mereka masing-masing. Manusia yang lalai berzikir adalah makhluk yang paling aneh di alam semesta, karena ia tidak selaras dengan harmoni zikir kosmik yang berlangsung tanpa henti dari "isyrâq" (waktu terbit matahari) hingga "ghurûb" (waktu terbenamnya).
مُكَوِّنِ الْأَشْيَاءِ مِنَ الْعَدَمِ وَمُبِيْدِهَا...
Pencipta segala sesuatu dari ketiadaan dan yang membinasakannya...
Ini adalah penegasan sifat kreasi Allah yang unik. "Mukawwinil asy-yâ-i minal ‘adam" (Pembentuk segala sesuatu dari ketiadaan). Allah menciptakan bukan dari bahan yang sudah ada. Dia hanya berfirman "Kun" (Jadilah!), maka terjadilah. Ini membedakan-Nya dari 'pencipta' di kalangan makhluk yang hanya bisa merakit atau mengubah bentuk dari materi yang sudah ada. Sebagaimana Dia berkuasa menciptakan dari ketiadaan, Dia juga "mubîdihâ" (membinasakannya). Semua yang ada di alam ini akan fana, hancur, dan kembali kepada-Nya. Ini menguatkan kembali konsep kefanaan dunia.
Dia juga "jâmi’il umami liyaumil wa’di wa mu’îdihâ" (Pengumpul seluruh umat pada hari yang dijanjikan dan yang mengembalikannya). Frasa ini mengulang dan memperkuat konsep Al-Jami' dan Al-Ba'its yang telah disebut sebelumnya. "Yaumul wa'd" (hari yang dijanjikan) adalah nama lain untuk hari kiamat. Allah akan mengumpulkan semua umat, lalu "mu’îdihâ" (mengembalikan mereka) ke dalam bentuk kehidupan baru untuk diadili. Pengulangan ini berfungsi sebagai taukid (penekanan) akan kepastian datangnya hari tersebut.
مُقَدِّرِ الرِّزْقِ لِلْخَلَائِقِ وَقَاسِمِهِ...
Penentu rezeki bagi seluruh makhluk dan yang membagikannya...
Setelah membahas penciptaan dan akhirat, pujian beralih ke urusan duniawi yang sangat dekat dengan manusia: rezeki. Allah adalah "Muqaddirir rizq" (Yang Menentukan kadar rezeki). Setiap makhluk, dari manusia hingga semut di lubang yang gelap, telah ditentukan kadar rezekinya. Tidak akan tertukar, tidak akan terlambat, tidak akan berkurang. Dialah juga "qâsimihi" (Yang Membagikannya). Allah membagi rezeki dengan hikmah-Nya. Ada yang diberi kelapangan sebagai ujian syukur, ada yang diberi kesempitan sebagai ujian sabar. Mengimani sifat ini akan melahirkan ketenangan jiwa. Kita tetap wajib berusaha (ikhtiar), namun hati kita bersandar (tawakkal) sepenuhnya kepada Sang Pembagi Rezeki.
Selanjutnya, "musharrifil ahwâli lil barâyâ wa hâkimihi" (Pengatur keadaan bagi seluruh ciptaan dan yang menghakiminya). Kehidupan ini penuh perubahan. Hari ini sehat, besok bisa sakit. Hari ini kaya, besok bisa miskin. Siapa yang membolak-balikkan keadaan ini? Dialah Allah, "Musharrifil ahwal". Dia juga "hâkimihi" (Hakimnya). Segala keputusan-Nya adalah hukum yang berlaku, penuh dengan keadilan dan kebijaksanaan, meskipun terkadang akal kita yang terbatas tidak mampu memahaminya.
اَلَّذِيْ نَزَّهَ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالنَّظِيْرِ...
Dialah yang Maha Suci dari segala penyerupaan dan perbandingan...
Ini adalah penutup yang sempurna, sebuah puncak penegasan akidah Tauhid yang paling murni. Konsep ini dikenal sebagai Tanzih, yaitu menyucikan Allah dari segala sifat-sifat makhluk.
"Nazzaha ‘anisy syabîhi wan nadhîr" (Maha Suci dari penyerupaan dan perbandingan). Akal manusia cenderung membuat analogi. Namun, untuk Dzat Allah, analogi tidak berlaku. Dia tidak serupa (syabîh) dan tidak sebanding (nadhîr) dengan apapun. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Asy-Syura ayat 11, "Laisa kamitslihi syai'un" (Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia).
"Wa ta’âlâ ‘anil mitsâli was syarîkil wazîr" (dan Maha Tinggi dari segala permisalan, sekutu, dan pembantu). Allah Maha Tinggi, tidak bisa dijangkau oleh permisalan (mitsâl). Dia juga tidak membutuhkan sekutu (syarîk) dalam mengurus kerajaan-Nya, apalagi seorang pembantu atau menteri (wazîr). Ini adalah bantahan telak terhadap segala bentuk kesyirikan, baik yang menyekutukan Allah dengan berhala, manusia, maupun konsep-konsep lainnya.
Kesimpulan: Gerbang Menuju Samudra Kenabian
Bacaan pembuka Maulid Diba' ini, yang dimulai dengan "Alhamdulillah", adalah sebuah deklarasi akidah yang lengkap dan padat. Dalam beberapa baris kalimat, kita diajak untuk mengagungkan Allah sebagai Dzat Yang Maha Kuat dan Maha Menang, Sang Pelindung yang penuh kasih, Penguasa mutlak di hari akhir, Sumber cinta bagi para wali-Nya, Pusat tasbih seluruh alam semesta, Pencipta dan Pemelihara, serta Dzat Yang Maha Suci dari segala bentuk penyerupaan.
Dengan memantapkan pengakuan agung ini di dalam hati, kita telah mempersiapkan jiwa kita untuk menerima cahaya selanjutnya: kisah kehidupan, kemuliaan akhlak, dan keagungan risalah dari manusia pilihan-Nya, penutup para nabi, Sayyidina Muhammad SAW. Pujian kepada Allah adalah gerbangnya, dan mengenal Rasulullah adalah inti perjalanannya. Keduanya tak terpisahkan dalam perjalanan seorang hamba menuju cinta dan keridhaan Ilahi.