Dalam sejarah Islam, nama Ali bin Abi Thalib seringkali dikaitkan dengan keberanian di medan perang, kefakihan (pemahaman mendalam tentang hukum Islam), dan zuhud (kesederhanaan). Namun, ketika berbicara tentang konsep "balas dendam", pandangan terhadap Ali bin Abi Thalib harus disaring melalui lensa keadilan, bukan sekadar nafsu amarah atau pembalasan pribadi. Bagi Ali, balasan tertinggi atas ketidakadilan bukanlah penghancuran musuh, melainkan penegakan kebenaran (haqq) itu sendiri.
Konsep balas dendam dalam konteks etika kepemimpinan Ali sangat berbeda dengan pengertian populer saat ini. Ketika ia menghadapi pengkhianatan, fitnah, atau kekerasan (seperti yang terjadi dalam peperangan saudara atau ketika ia menjadi Khalifah), reaksi pertamanya selalu tertahan oleh prinsip Ilahi. Balasan terbaik menurut perspektif Ali adalah memastikan bahwa pelaku menanggung konsekuensi tindakannya secara adil di bawah hukum syariat, sambil ia sendiri berusaha keras untuk tidak melampaui batas dalam menghukum.
Ali menunjukkan sikap ini dengan luar biasa saat menghadapi lawan-lawannya yang paling gigih. Tindakan balas dendam terbaiknya adalah ketika ia memaafkan musuh-musuh yang jelas-jelas merugikan umat atau dirinya sendiri, namun tetap memastikan bahwa keadilan prosedural ditegakkan. Contoh klasik adalah sikapnya terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan atau kaum Khawarij. Alih-alih menghancurkan mereka secara total setelah kekalahan militer, Ali fokus pada bagaimana mengembalikan masyarakat ke jalur yang benar, sering kali menunjukkan belas kasihan kepada tawanan perang.
Bagi Ali, membiarkan ketidakadilan terulang adalah bentuk kegagalan moral yang jauh lebih besar daripada membalas dendam secara emosional. Balas dendam terbaiknya adalah membangun sistem pemerintahan yang begitu adil sehingga kebencian dan keinginan untuk memberontak akan hilang dengan sendirinya. Ia dikenal karena pendekatannya yang ketat terhadap korupsi dan nepotisme, bahkan ketika itu melibatkan kerabat dekatnya. Ketika ia menunjuk gubernur, kriteria utamanya adalah ketakwaan dan integritas, bukan loyalitas pribadi.
Dalam surat-suratnya, khususnya yang ditujukan kepada para gubernurnya (seperti Surat kepada Malik Al-Ashtar), Ali menekankan bahwa kekuasaan adalah amanah. Jika seorang pemimpin menyalahgunakan kekuasaan, maka hukuman terberat yang harus ia terima adalah pengingat konstan akan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan. Tindakan mengoreksi kesalahan pejabat tanpa merendahkan martabat kemanusiaan mereka adalah bentuk "pembalasan" yang dianjurkan oleh Ali. Ini adalah pembalasan yang bertujuan memperbaiki, bukan semata-mata menghancurkan.
Puncak dari filosofi balas dendam Ali bin Abi Thalib dapat dilihat dalam momen-momen paling traumatis dalam hidupnya. Ketika ia menghadapi lawan yang melanggar perjanjian atau melakukan kekerasan fisik, hasrat untuk membalas tentu ada, namun selalu ditekan oleh ilmu dan kebijaksanaan yang ia miliki. Ia menyadari bahwa pembalasan yang dilakukan atas dasar amarah pribadi akan mengotori kebenaran yang diperjuangkan.
Oleh karena itu, balas dendam terbaik Ali bin Abi Thalib bukanlah sebuah tindakan agresif, melainkan sebuah sikap permanen: mempertahankan keadilan mutlak. Ketika ia berhasil menegakkan kebenaran, ia telah "membalas" ketidakadilan tersebut secara paripurna di mata Tuhan dan umat manusia. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin terletak pada kemampuannya menahan diri dari pembalasan yang dangkal demi menegakkan prinsip yang lebih tinggi. Keteladanannya mengajarkan bahwa senjata terkuat melawan kejahatan adalah konsistensi dalam berbuat baik dan menegakkan hukum yang adil. Hal ini menciptakan warisan yang jauh lebih abadi daripada sekadar pembalasan sesaat.