Istilah "Arab Pegon" mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun ia menyimpan jejak sejarah dan budaya yang kaya di nusantara. Arab Pegon merujuk pada penggunaan aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa-bahasa lokal di Indonesia, terutama bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Ini bukanlah sekadar transliterasi sederhana, melainkan sebuah inovasi linguistik dan budaya yang mencerminkan interaksi mendalam antara peradaban Islam dan masyarakat nusantara. Sejarah perkembangannya menunjukkan bagaimana ajaran Islam beradaptasi dan bersinergi dengan kearifan lokal, melahirkan bentuk ekspresi kebudayaan yang unik.
Aksara Arab pertama kali diperkenalkan ke nusantara bersamaan dengan masuknya agama Islam. Para pedagang, ulama, dan mubalig dari Timur Tengah membawa serta tradisi tulis mereka. Namun, aksara Arab asli yang dirancang untuk bahasa Arab memiliki keterbatasan dalam merepresentasikan fonem-fonem yang ada dalam bahasa-bahasa lokal nusantara. Misalnya, beberapa bunyi vokal atau konsonan dalam bahasa Jawa atau Sunda tidak terwakili secara akurat oleh huruf-huruf Arab standar.
Menyadari hal ini, para cendekiawan dan penulis lokal mulai melakukan modifikasi. Mereka menambahkan titik-titik di atas atau di bawah huruf, menggabungkan huruf, atau bahkan menciptakan diakritik baru untuk mewakili bunyi-bunyi spesifik bahasa mereka. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Arab Pegon. Perlu dicatat bahwa istilah "Pegon" sendiri memiliki konotasi yang beragam. Dalam bahasa Jawa, "Pegon" bisa berarti "belalang" atau "campuran", mengacu pada tulisan yang merupakan perpaduan aksara Arab dengan bunyi lokal. Ada pula yang mengaitkannya dengan kata "pagon" yang berarti "pagar" atau "batas", menyiratkan bahwa aksara ini menjadi jembatan antara dunia Arab dan lokal.
Arab Pegon memainkan peran krusial dalam penyebaran dan pelestarian ajaran Islam di nusantara. Sebelum adanya percetakan modern, manuskrip yang ditulis dalam aksara Pegon menjadi media utama penyebaran kitab-kitab agama, tafsir, hadis, fikih, serta karya-karya sufistik. Kitab kuning, yang menjadi rujukan utama di banyak pondok pesantren, sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab namun seringkali diberi anotasi, terjemahan, atau penjelasan dalam bahasa Jawa atau Sunda menggunakan aksara Pegon. Ini memudahkan para santri dan masyarakat awam untuk memahami ajaran Islam secara mendalam.
Selain untuk keperluan keagamaan, Arab Pegon juga digunakan untuk menulis karya-karya sastra, catatan sejarah, bahkan surat-menyurat. Ia menjadi semacam aksara lingua franca bagi kalangan terpelajar Muslim di berbagai wilayah nusantara. Penggunaannya melintasi batas-batas etnis dan geografis, menjadi bukti kehebatan adaptasi budaya yang terjadi. Fleksibilitasnya memungkinkan ekspresi nuansa lokal yang kaya, memperkaya khazanah sastra dan intelektual nusantara.
Berbagai daerah memiliki variasi tersendiri dalam penulisan Arab Pegon, meskipun prinsip dasarnya sama. Misalnya, dalam bahasa Jawa, terdapat beberapa penyesuaian untuk bunyi seperti 'c', 'ng', 'ny', 'dh', dan 'th' yang tidak ada dalam bahasa Arab standar. Demikian pula dalam bahasa Sunda, ada huruf-huruf khusus yang dikembangkan. Keberagaman ini justru menunjukkan betapa hidupnya tradisi ini dan bagaimana ia terus berevolusi sesuai dengan kebutuhan penuturnya.
Salah satu contoh paling terkenal adalah penggunaan Arab Pegon dalam karya-karya ulama besar seperti Syekh Nawawi Al-Bantani atau KH. Hasyim Asy'ari. Kitab-kitab mereka, yang ditulis dalam bahasa Arab, seringkali dilengkapi dengan penafsiran atau komentar dalam bahasa daerah menggunakan aksara Pegon, sehingga dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas.
Meskipun aksara Latin semakin dominan dalam kehidupan sehari-hari, Arab Pegon tidak sepenuhnya punah. Ia masih dipelajari dan digunakan di banyak pondok pesantren tradisional sebagai bagian dari kurikulum pengajian kitab kuning. Beberapa peneliti dan budayawan juga berupaya menghidupkan kembali minat terhadap aksara ini sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.
Memahami sejarah Arab Pegon berarti kita memahami bagaimana sebuah peradaban dapat berakulturasi tanpa kehilangan identitasnya. Ini adalah kisah tentang bagaimana keilmuan dan spiritualitas berpadu dengan kearifan lokal, menciptakan warisan budaya yang patut kita lestarikan dan banggakan. Arab Pegon bukan sekadar gaya penulisan, melainkan saksi bisu dari perjalanan panjang Islam di Indonesia yang penuh warna dan inovasi.