Bank Perkreditan Rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai BPR, memegang peran krusial dalam ekosistem keuangan Indonesia. Berbeda dengan bank umum yang memiliki layanan lengkap (termasuk valuta asing dan kliring), BPR berfokus pada segmen mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta masyarakat lokal di daerah operasionalnya. Keberadaan BPR sangat penting karena mereka mampu menjangkau nasabah yang mungkin sulit diakses oleh bank besar, menyediakan layanan kredit dan simpanan yang lebih adaptif terhadap kebutuhan spesifik komunitas setempat.
Fokus utama BPR adalah penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito, serta penyaluran kredit kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi. Struktur organisasi BPR yang lebih ramping memungkinkan pengambilan keputusan yang cepat, yang merupakan keunggulan kompetitif saat melayani kebutuhan finansial skala kecil. Namun, karena fokusnya yang lebih terspesialisasi, BPR juga tunduk pada regulasi ketat untuk menjaga stabilitas dana masyarakat yang mereka kelola.
Setiap entitas perbankan di Indonesia, termasuk Bank Perkreditan Rakyat, berada di bawah pengawasan penuh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan, termasuk perbankan. Dalam konteks Bank Perkreditan Rakyat OJK memiliki mandat untuk memastikan bahwa BPR beroperasi secara sehat, transparan, dan melindungi kepentingan nasabah.
Pengawasan oleh OJK mencakup berbagai aspek. Pertama, terkait kecukupan modal minimum. OJK secara berkala memonitor rasio kecukupan modal BPR untuk memastikan mereka memiliki bantalan yang cukup menghadapi potensi risiko kredit. Kedua, kualitas aset. OJK mengawasi Loan to Deposit Ratio (LDR) dan kualitas kredit yang disalurkan. Jika ditemukan kredit macet yang signifikan atau tren manajemen risiko yang lemah, OJK berhak memberikan sanksi administratif, teguran, hingga restrukturisasi.
Regulasi Bank Perkreditan Rakyat OJK didasarkan pada prinsip kehati-hatian (Prudential Principles). Ini berarti BPR diwajibkan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) serta manajemen risiko yang efektif. Transparansi pelaporan keuangan menjadi kunci. OJK mewajibkan BPR untuk secara rutin melaporkan kondisi likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas mereka. Tujuannya adalah mendeteksi dini potensi masalah sebelum berkembang menjadi krisis yang berdampak pada nasabah dan sistem keuangan secara keseluruhan.
Salah satu tantangan bagi BPR adalah mempertahankan kepercayaan publik sekaligus mematuhi standar regulasi yang semakin ketat. OJK secara proaktif melakukan edukasi literasi keuangan kepada pengurus BPR dan masyarakat sekitar wilayah operasional BPR. Kepatuhan terhadap regulasi ini tidak hanya memastikan keberlangsungan operasional BPR itu sendiri, tetapi juga menjamin bahwa dana simpanan masyarakat—yang seringkali merupakan aset terbesar mereka—aman dan dikelola dengan profesionalisme tertinggi. Dengan adanya pengawasan yang berlapis dari OJK, BPR dapat terus berfungsi sebagai tulang punggung pendanaan ekonomi lokal di Indonesia.
Kehadiran OJK sebagai pengawas tunggal memberikan kepastian hukum dan kepercayaan yang lebih besar bagi masyarakat untuk menyimpan dana di BPR. Sebelum adanya OJK, pengawasan perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia. Dengan terpusatnya fungsi pengawasan di OJK, pengawasan menjadi lebih fokus dan independen. Masyarakat kini memiliki entitas yang jelas untuk mengadu jika terjadi permasalahan terkait layanan atau kesehatan finansial BPR. Hal ini mendorong BPR untuk meningkatkan standar layanan dan kepatuhan mereka agar tetap kompetitif dan dipercaya oleh komunitas yang mereka layani.