Membedah Makna Bunyi Ayat ke 3 Surat An Nasr

Di antara surat-surat dalam Al-Qur'an, terdapat satu surat yang pendek namun sarat dengan makna kemenangan, kerendahan hati, dan persiapan menuju akhir. Surat itu adalah An-Nasr, surat ke-110, yang terdiri dari tiga ayat. Meskipun pendek, surat ini merangkum sebuah era penting dalam sejarah Islam dan memberikan panduan abadi bagi setiap mukmin dalam menyikapi nikmat dan pertolongan Allah. Fokus utama pembahasan kita kali ini adalah ayat terakhirnya, sebuah penutup yang agung dan penuh hikmah. Ayat ini bukan sekadar penutup surat, melainkan sebuah instruksi pamungkas yang merangkum esensi dari seluruh perjalanan dakwah dan kehidupan seorang hamba.

Bunyi ayat ke 3 Surat An-Nasr adalah sebuah perintah ilahi yang datang pada puncak kegembiraan dan euforia kemenangan. Setelah dua ayat sebelumnya menggambarkan pertolongan Allah yang nyata dan berbondong-bondongnya manusia memeluk agama Islam, ayat ketiga ini justru mengarahkan fokus kembali kepada Sang Pemberi Kemenangan. Mari kita simak lafaz dan maknanya.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahu kaana tawwaabaa.

"Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat."

Kalimat ini, meski singkat, mengandung tiga pilar spiritual yang fundamental: tasbih (menyucikan Allah), tahmid (memuji Allah), dan istighfar (memohon ampunan). Kombinasi ketiganya pada momen kemenangan besar mengajarkan sebuah pelajaran yang luar biasa tentang hakikat kesuksesan dalam pandangan Islam. Artikel ini akan mengupas secara mendalam setiap frasa dari ayat mulia ini, menyingkap lapisan-lapisan maknanya, konteks historisnya, serta relevansinya yang tak lekang oleh waktu bagi kehidupan kita sehari-hari.

Ilustrasi kaligrafi abstrak yang merepresentasikan tasbih dan istighfar

Representasi visual dari pujian yang memancar dan kembali dalam permohonan ampun.

Konteks Sejarah: Puncak Kemenangan Fathu Makkah

Untuk memahami kedalaman ayat ketiga ini, kita harus terlebih dahulu menyelami konteks di mana Surat An-Nasr diturunkan. Para ulama tafsir mayoritas sepakat bahwa surat ini termasuk golongan surat Madaniyah dan merupakan salah satu surat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa besar yang melatarbelakangi turunnya surat ini adalah Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah).

Fathu Makkah adalah momen klimaks dari perjuangan dakwah Rasulullah SAW selama lebih dari dua dekade. Setelah mengalami pengusiran, boikot, peperangan, dan berbagai macam penindasan dari kaum Quraisy di Mekkah, Rasulullah SAW dan kaum muslimin akhirnya kembali ke kota kelahiran mereka bukan sebagai orang yang terusir, melainkan sebagai pemenang yang mulia. Kemenangan ini unik karena diraih hampir tanpa pertumpahan darah. Ini adalah "pertolongan dari Allah dan kemenangan yang nyata" (An-Nasr: 1) yang dijanjikan.

Setelah kemenangan tersebut, terjadilah apa yang digambarkan pada ayat kedua: "Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah" (An-Nasr: 2). Suku-suku Arab dari berbagai penjuru Jazirah Arab yang sebelumnya ragu atau memusuhi Islam, kini datang menyatakan keislaman mereka. Kemenangan di Mekkah menjadi bukti tak terbantahkan akan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Di tengah suasana suka cita yang luar biasa inilah, turun ayat ketiga. Logika manusia biasa mungkin akan berpikir bahwa respons yang tepat setelah kemenangan besar adalah perayaan, pesta, atau setidaknya deklarasi kehebatan. Namun, Al-Qur'an mengajarkan hal yang berbeda. Justru pada puncak kejayaan inilah, perintah yang datang adalah untuk kembali kepada Allah dengan cara yang paling intim: menyucikan-Nya, memuji-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Ini adalah pelajaran pertama yang sangat mendasar, bahwa setiap nikmat, terutama nikmat kemenangan, haruslah menjadi jembatan untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Nikmat, bukan malah menjauhkan.

Analisis Mendalam Setiap Frasa Ayat Ketiga

Mari kita pecah ayat ini menjadi tiga komponen utama untuk memahami instruksi ilahi yang terkandung di dalamnya. Setiap kata dipilih dengan sangat cermat dan membawa makna yang sangat dalam.

1. `فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ` (Fasabbih bihamdi Rabbika) - Maka Bertasbihlah dengan Memuji Tuhanmu

Bagian pertama dari perintah ini adalah gabungan dua konsep agung: Tasbih dan Hamd (Tahmid).

Makna Tasbih (سَبِّحْ - Sabbih)

Kata dasar dari `sabbih` adalah `sabbaha`, yang secara harfiah berarti "berenang" atau "bergerak cepat di air atau udara". Dari akar kata ini, makna metaforisnya berkembang menjadi "menyatakan sesuatu bergerak bebas dari segala kekurangan". Dalam konteks teologis, tasbih adalah sebuah deklarasi aktif untuk menyucikan Allah SWT dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Ini adalah tindakan mental dan lisan untuk menegaskan bahwa Allah Maha Sempurna, Maha Suci dari segala bentuk cacat, kelemahan, kebutuhan, sekutu, anak, atau keserupaan dengan makhluk-Nya.

Mengapa perintah pertama setelah kemenangan adalah tasbih? Karena kemenangan adalah momen yang paling rawan bagi munculnya kesombongan (kibr) dan kebanggaan diri ('ujub). Manusia cenderung mengatribusikan keberhasilan pada strategi, kekuatan, atau kecerdasan dirinya sendiri. Dengan bertasbih, seorang hamba seolah-olah berkata, "Ya Allah, kemenangan ini terjadi bukan karena kehebatanku. Kemenangan ini murni karena kekuasaan-Mu yang sempurna. Aku menyucikan-Mu dari anggapan bahwa Engkau butuh bantuanku untuk menang. Engkau Maha Suci dari segala ketergantungan." Tasbih adalah benteng pertama yang melindungi hati dari penyakit-penyakit spiritual yang bisa merusak buah dari sebuah kemenangan.

Makna Hamd (بِحَمْدِ - bihamdi)

Kata `hamd` sering diterjemahkan sebagai "pujian". Namun, maknanya lebih kaya dari itu. `Hamd` adalah pujian yang didasari oleh rasa cinta, pengagungan, dan syukur. Berbeda dengan `madh` yang bisa merupakan pujian kosong atau sanjungan, `hamd` selalu ditujukan kepada sesuatu yang memang layak dipuji karena kesempurnaan sifat dan perbuatannya.

Jika tasbih adalah aspek "negasi" (menafikan kekurangan), maka tahmid adalah aspek "afirmasi" (menetapkan kesempurnaan). Keduanya berjalan beriringan. Kita menyucikan Allah dari segala kekurangan (tasbih), dan pada saat yang sama kita menetapkan bagi-Nya segala sifat pujian yang sempurna (tahmid). Ucapan yang sangat kita kenal, "Subhanallahi wa bihamdih" (Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya), adalah cerminan dari gabungan dua konsep ini.

Dalam konteks ayat ini, perintah `bihamdi Rabbika` (dengan memuji Tuhanmu) adalah pengakuan bahwa segala aspek positif dari kemenangan—strategi yang jitu, kekuatan pasukan, keberanian para pejuang, dan hasil akhir yang gemilang—semuanya bersumber dari sifat-sifat Allah yang terpuji. Itu adalah manifestasi dari sifat Al-Aziz (Maha Perkasa), Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-Fattah (Maha Pemberi Kemenangan), dan Ar-Rahman (Maha Pengasih).

2. `وَاسْتَغْفِرْهُ` (Wastaghfirh) - dan Mohonlah Ampun kepada-Nya

Ini adalah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam dari ayat ini. Setelah mencapai puncak kesuksesan dalam misi kenabian, mengapa perintah selanjutnya adalah memohon ampun? Bukankah ini adalah momen perayaan, bukan penyesalan? Di sinilah letak keagungan ajaran Al-Qur'an.

Paradoks Istighfar di Tengah Kemenangan

Perintah istighfar di sini memiliki beberapa lapisan hikmah yang sangat penting:

3. `إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا` (Innahu Kaana Tawwaabaa) - Sungguh, Dia Maha Penerima Taubat

Ayat ini tidak berhenti pada perintah, tetapi ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan dan penuh harapan. Setelah memerintahkan untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar, Allah langsung memberikan jaminan-Nya.

Makna At-Tawwab

Nama Allah `At-Tawwab` berasal dari kata `tauba`, yang berarti "kembali". Nama ini memiliki dua makna yang saling melengkapi:

  1. Allah adalah Dzat yang senantiasa "kembali" kepada hamba-Nya dengan memberikan taufik dan hidayah agar mereka mau bertaubat. Sebelum seorang hamba bisa bertaubat, Allah-lah yang lebih dahulu "kembali" kepadanya dengan membuka pintu hatinya.
  2. Allah adalah Dzat yang senantiasa menerima taubat hamba-Nya yang "kembali" kepada-Nya. Bentuk kata `Tawwab` (mengikuti wazan `fa''aal` dalam bahasa Arab) menunjukkan intensitas dan keberulangan. Artinya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi Dia Maha Penerima Taubat. Sebanyak apapun dosa seorang hamba, sesering apapun ia kembali melakukan kesalahan lalu bertaubat, pintu ampunan Allah selalu terbuka lebar.

Fungsi Kalimat Penutup

Frasa `Innahu kaana tawwaabaa` berfungsi sebagai sumber motivasi dan pengharapan. Perintah untuk beristighfar mungkin terasa berat jika tidak diiringi dengan keyakinan bahwa permohonan ampun itu akan diterima. Kalimat ini adalah jawabannya. Ia seolah-olah mengatakan, "Jangan ragu untuk memohon ampun, karena Tuhanmu pada hakikat-Nya adalah Dzat yang selalu menunggu dan senang menerima kembalinya hamba-Nya." Kata `kaana` (adalah/dahulu) dalam konteks sifat Allah menunjukkan keberlangsungan dan keabadian. Sifat-Nya sebagai `Tawwab` bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sifat azali yang melekat pada Dzat-Nya.

Isyarat Tersembunyi: Tanda Dekatnya Ajal Rasulullah SAW

Selain makna-makna di atas, banyak sahabat besar, terutama Ibnu Abbas RA, memahami surat ini sebagai isyarat bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah paripurna dan ajalnya sudah dekat. Logikanya sederhana: jika misi utama (menyampaikan risalah hingga manusia berbondong-bondong masuk Islam) telah selesai, maka keberadaan sang utusan di dunia pun akan segera berakhir.

Diriwayatkan bahwa ketika surat ini turun, banyak sahabat yang bergembira karena melihatnya sebagai kabar kemenangan. Namun, Sayyidina Abbas dan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq justru menangis karena mereka memahami isyarat perpisahan di baliknya. Ketika Umar bin Khattab bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surat ini, mereka memberikan jawaban standar tentang kemenangan. Namun, ketika ia bertanya kepada Ibnu Abbas yang saat itu masih muda, ia menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau." Umar pun membenarkan pemahaman tersebut.

Dalam konteks ini, perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar menjadi lebih mendalam. Itu adalah persiapan spiritual terakhir bagi Rasulullah SAW sebelum kembali menghadap Sang Pencipta. Ini adalah bekal terbaik untuk menutup sebuah kehidupan yang penuh dengan perjuangan dan pengabdian. Pelajarannya bagi kita adalah bahwa setiap fase kehidupan yang selesai, setiap tugas yang tuntas, haruslah ditutup dengan peningkatan ibadah sebagai persiapan untuk fase selanjutnya, termasuk fase terakhir yaitu kematian.

Relevansi Abadi Ayat ke-3 Surat An-Nasr dalam Kehidupan Modern

Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesannya bersifat universal dan abadi. Ayat ketiga khususnya memberikan kita sebuah formula atau panduan tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin merespons setiap nikmat dan keberhasilan dalam hidupnya.

1. Dalam Kesuksesan Karir dan Profesional

Ketika seseorang mendapatkan promosi jabatan, berhasil menutup proyek besar, atau mencapai target penjualan yang fantastis, ini adalah "kemenangan" dalam skala personal. Respons pertama yang diajarkan ayat ini bukanlah arogansi atau memandang rendah rekan kerja. Sebaliknya, hati harus segera bertasbih ("Ini semua bukan semata-mata karena kehebatanku, Maha Suci Allah dari anggapan itu"), lisan bertahmid ("Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan dan kemampuan ini"), dan diri beristighfar ("Ya Allah, ampunilah kekuranganku selama proses ini, mungkin ada hak orang lain yang terabaikan atau niat yang sempat melenceng").

2. Dalam Pencapaian Akademik dan Ilmu Pengetahuan

Seorang mahasiswa yang lulus dengan predikat cumlaude, seorang peneliti yang berhasil mempublikasikan jurnalnya, atau seorang ilmuwan yang menemukan terobosan baru, semuanya sedang mengalami "fath" (kemenangan) dalam bidangnya. Ayat ini mengingatkan bahwa ilmu dan kecerdasan adalah anugerah. Maka, respons yang tepat adalah menyucikan Allah dari anggapan bahwa kepintaran itu murni miliknya (tasbih), memuji Allah sebagai `Al-'Alim` (Maha Mengetahui) yang telah mengajarkan apa yang tidak ia ketahui (tahmid), dan memohon ampun atas potensi kesombongan intelektual atau kelalaian dalam mengamalkan ilmunya (istighfar).

3. Dalam Kebahagiaan Keluarga dan Sosial

Dikaruniai anak, merayakan ulang tahun pernikahan, atau berhasil mendamaikan dua pihak yang berseteru adalah bentuk-bentuk "pertolongan Allah" dalam kehidupan sosial. Saat-saat bahagia seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mengamalkan spirit ayat ini. Bersyukur dengan memuji Allah (`tahmid`), menyadari bahwa kebahagiaan ini adalah karunia murni dari-Nya dan bukan hasil usaha kita semata (`tasbih`), serta memohon ampun atas segala kekurangan kita sebagai pasangan, orang tua, atau anggota masyarakat (`istighfar`).

4. Dalam Ibadah dan Aktivitas Spiritual

Bahkan dalam ibadah, formula ini tetap relevan. Ketika kita berhasil menyelesaikan shalat, khatam Al-Qur'an, atau menunaikan puasa Ramadhan, kita merasakan sebuah kemenangan spiritual. Maka, seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW, kita menutupnya dengan zikir yang mengandung tasbih, tahmid, dan istighfar. Ini adalah pengakuan bahwa ibadah kita pun tidak luput dari kekurangan dan kelalaian, dan kita berharap Allah dengan sifat-Nya yang `At-Tawwab` mau menerima amal kita yang tidak sempurna ini.

Kesimpulan: Peta Jalan Menuju Puncak Kerendahan Hati

Bunyi ayat ke 3 Surat An-Nasr, "Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahu kaana tawwaabaa," adalah jauh lebih dari sekadar kalimat penutup. Ia adalah sebuah peta jalan spiritual. Ia mengajarkan kita bahwa puncak dari segala pencapaian bukanlah kesombongan, melainkan puncak kerendahan hati. Kemenangan sejati bukanlah saat kita berhasil mengalahkan musuh atau meraih dunia, tetapi saat kita berhasil mengalahkan ego kita sendiri di hadapan Allah SWT.

Ayat ini mengubah paradigma kesuksesan. Sukses bukan tentang apa yang kita dapatkan, melainkan tentang bagaimana kita merespons apa yang kita dapatkan. Respons yang benar adalah dengan tiga langkah:

  1. Tasbih: Mensucikan Allah, mengembalikan semua kehebatan hanya kepada-Nya.
  2. Tahmid: Memuji Allah, mengakui bahwa semua hal baik bersumber dari sifat-sifat-Nya yang mulia.
  3. Istighfar: Memohon ampun, menyadari kekurangan diri dan membersihkan hati dari potensi penyakit spiritual.

Dan sebagai penutup yang sempurna, Allah meyakinkan kita bahwa pintu ampunan-Nya selalu terbuka. `Innahu kaana tawwaabaa`. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat. Ini adalah undangan abadi dari Tuhan yang Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya untuk selalu kembali, baik di saat lapang maupun sempit, baik di saat gagal maupun menang. Karena pada akhirnya, seluruh perjalanan hidup ini adalah tentang kembali kepada-Nya dengan hati yang tunduk, memuji, dan memohon ampun.

🏠 Homepage