Akta Jual Beli (AJB) merupakan dokumen krusial dalam transaksi properti. Namun, dalam praktiknya, seringkali ditemui transaksi yang dilakukan secara "dibawah tangan". AJB dibawah tangan adalah perjanjian jual beli tanah atau properti yang dibuat secara sah antara penjual dan pembeli tanpa melibatkan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Meskipun sah sebagai perjanjian perdata antara kedua belah pihak, status hukumnya memiliki keterbatasan signifikan, terutama terkait kekuatan pembuktian di hadapan hukum publik dan proses balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Mengacu pada hukum perdata Indonesia, perjanjian jual beli tanah harus dilakukan dengan akta otentik agar memiliki kekuatan hukum penuh sebagai alat bukti yang sempurna. Ketika AJB dibuat dibawah tangan, ia hanya mengikat para pihak yang menandatanganinya, namun status kepemilikan hukum tanah secara yuridis formal tetap belum beralih sepenuhnya. Oleh karena itu, dokumen ini seringkali berfungsi sebagai bukti awal kepemilikan (penguasaan fisik) atau sebagai dasar untuk membuat akta otentik di kemudian hari.
Meskipun bukan akta otentik, sebuah AJB dibawah tangan harus mencakup unsur-unsur minimal agar menguatkan posisi para pihak. Kegagalan mencantumkan salah satu unsur ini dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari. Berikut adalah komponen esensial yang sering ditemukan dalam contoh akta jual beli tanah dibawah tangan:
Permasalahan utama AJB dibawah tangan adalah bagaimana mentransformasikannya menjadi akta otentik agar sertifikat tanah dapat dibalik nama atas nama pembeli. Proses ini umumnya melibatkan langkah-langkah berikut:
Risiko terbesar dari AJB dibawah tangan adalah jika salah satu pihak (khususnya penjual) meninggal dunia atau berubah pikiran. Jika penjual meninggal, ahli warisnya mungkin tidak mau mengakui transaksi tersebut karena dokumen tidak otentik. Selain itu, pembeli tidak bisa serta merta mengajukan proses balik nama sertifikat tanpa inisiatif membuat AJB otentik terlebih dahulu, yang seringkali sulit dilakukan jika penjual sulit dihubungi atau menolak bekerja sama. Singkatnya, AJB ini adalah janji, bukan penyerahan hak kepemilikan yang final secara hukum agraria.