Memaknai Keesaan Allah: Arti "Esa" dalam Jantung Ajaran Islam
Dalam khazanah bahasa Indonesia, kata "Esa" bermakna tunggal atau satu. Namun, ketika kata ini disandingkan dengan ajaran Islam, maknanya melampaui sekadar hitungan matematis. "Esa" dalam Islam adalah representasi dari konsep paling fundamental, paling agung, dan menjadi poros dari seluruh bangunan akidah, yaitu Tauhid. Memahami "Esa artinya dalam Islam" berarti menyelami samudra Tauhid, sebuah pengakuan mutlak akan keesaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segala aspek-Nya. Ini bukan sekadar keyakinan pasif, melainkan sebuah deklarasi aktif yang membentuk cara pandang, sikap, dan seluruh alur kehidupan seorang muslim.
Fondasi dari keyakinan ini terpatri abadi dalam surah yang sangat singkat namun memiliki bobot setara sepertiga Al-Qur'an, yaitu Surah Al-Ikhlas. Surah ini adalah jawaban tegas dan jelas terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat Tuhan. Allah berfirman:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ. اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ. وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ
"Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.'" (QS. Al-Ikhlas: 1-4)
Di sinilah kata kunci utamanya muncul: "Ahad", yang diterjemahkan sebagai Yang Maha Esa. Kata ini, dalam bahasa Arab, memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Ia tidak hanya berarti "satu" (wahid), tetapi "satu yang mutlak", satu yang tidak tersusun dari bagian-bagian, tidak memiliki bandingan, tidak berawal dan tidak berakhir, serta unik dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan-Nya. Inilah inti dari Tauhid, sebuah konsep yang akan kita jelajahi secara mendalam, dari pilar-pilarnya yang kokoh hingga implementasinya yang mencerahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tiga Pilar Tauhid: Membedah Keesaan Allah
Para ulama, dalam upaya untuk memudahkan pemahaman umat Islam terhadap konsep Tauhid yang agung ini, telah membaginya menjadi tiga pilar utama. Ketiga pilar ini tidak terpisahkan; mengingkari salah satunya sama saja dengan meruntuhkan seluruh bangunan keimanan. Ketiganya adalah Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma' wa Sifat.
1. Tauhid Rububiyah: Pengakuan Mutlak atas Kekuasaan-Nya
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan yang tertanam kokoh di dalam hati bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Rabb. Kata Rabb mencakup makna Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur, Pemberi Rezeki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan. Ini adalah pengakuan bahwa seluruh alam semesta, dari galaksi terjauh hingga partikel terkecil, berada dalam genggaman dan kendali mutlak-Nya. Tidak ada satu daun pun yang gugur, tidak ada satu tetes hujan pun yang turun, dan tidak ada satu napas pun yang berhembus kecuali atas izin dan kehendak-Nya.
Al-Qur'an dipenuhi dengan ayat-ayat yang menegaskan Tauhid Rububiyah. Allah mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan-Nya sebagai bukti nyata kekuasaan-Nya:
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ مَا لَكُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا شَفِيْعٍۗ اَفَلَا تَتَذَكَّرُوْنَ
"Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Bagimu tidak ada seorang pun penolong maupun pemberi syafaat selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS. As-Sajdah: 4)
Keyakinan ini menuntut kita untuk mengakui bahwa:
- Hanya Allah Sang Pencipta (Al-Khaliq): Tidak ada pencipta lain selain Dia. Semua yang ada di alam semesta ini adalah makhluk-Nya. Manusia mungkin bisa merakit, memodifikasi, atau merekayasa, tetapi tidak pernah bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan.
- Hanya Allah Sang Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq): Rezeki setiap makhluk, mulai dari manusia hingga semut di dalam tanah dan ikan di kedalaman lautan, telah dijamin oleh Allah. Keyakinan ini membebaskan manusia dari rasa takut akan kemiskinan dan dari menghamba kepada sesama makhluk demi sesuap nasi.
- Hanya Allah Sang Pengatur Alam (Al-Mudabbir): Peredaran matahari dan bulan, pergantian siang dan malam, siklus kehidupan dan kematian, semuanya berjalan dalam sebuah sistem yang teratur dan presisi tinggi di bawah kendali-Nya. Tidak ada kekuatan alam, dewa-dewi, atau entitas lain yang turut campur tangan dalam pengaturan ini.
Menariknya, bahkan kaum musyrikin Quraisy pada zaman Nabi Muhammad ﷺ pun secara umum mengakui Tauhid Rububiyah. Mereka percaya bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi. Al-Qur'an merekam pengakuan mereka:
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ ۗ
"Dan jika engkau bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Niscaya mereka akan menjawab, 'Allah.'" (QS. Luqman: 25)
Namun, pengakuan ini tidak cukup untuk menjadikan mereka muslim. Mengapa? Karena mereka mengingkari pilar Tauhid yang menjadi inti dari dakwah para nabi dan rasul, yaitu Tauhid Uluhiyah.
2. Tauhid Uluhiyah: Pengesaan dalam Ibadah
Tauhid Uluhiyah, yang juga dikenal sebagai Tauhid Ibadah, adalah pilar sentral dan tujuan utama diutusnya para rasul. Inilah esensi dari kalimat syahadat "La ilaha illallah" (Tidak ada ilah/sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Jika Tauhid Rububiyah adalah pengakuan atas perbuatan-perbuatan Allah, maka Tauhid Uluhiyah adalah konsekuensi logisnya dalam perbuatan-perbuatan hamba.
Tauhid Uluhiyah berarti mendedikasikan, memurnikan, dan mengarahkan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Ibadah adalah sebuah konsep yang sangat luas dalam Islam. Ia mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tampak (zahir) maupun yang tersembunyi (batin).
Beberapa bentuk ibadah yang wajib dimurnikan hanya untuk Allah antara lain:
- Doa (Permohonan): Meminta dan memohon pertolongan, ampunan, atau hajat hanya kepada Allah. Berdoa kepada selain Allah, baik itu nabi, wali, malaikat, atau benda mati, adalah bentuk kesyirikan terbesar. Allah berfirman, "Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.'" (QS. Ghafir: 60).
- Shalat (Sembahyang): Ruku' dan sujud adalah bentuk ketundukan tertinggi seorang hamba. Melakukannya untuk selain Allah adalah kekafiran yang nyata.
- Kurban (Penyembelihan): Menyembelih hewan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) harus ditujukan hanya atas nama Allah. Menyembelih untuk jin, penunggu tempat keramat, atau selain Allah adalah syirik akbar.
- Nadzar (Janji Ketaatan): Bernadzar untuk melakukan suatu ibadah jika suatu keinginan tercapai haruslah ditujukan hanya untuk Allah.
- Rasa Takut (Khauf), Harap (Raja'), dan Cinta (Mahabbah): Rasa takut yang bersifat ibadah (takut yang disertai pengagungan dan ketundukan), harapan akan pahala dan surga, serta cinta yang puncaknya adalah penghambaan, semuanya harus didedikasikan secara mutlak kepada Allah.
- Tawakal (Berserah Diri): Menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah dalam meraih manfaat dan menolak mudarat, disertai dengan usaha yang dibenarkan syariat.
Inilah medan pertempuran utama antara para nabi dan kaumnya. Kaum Nuh, kaum Hud, kaum Shalih, hingga kaum Quraisy, mereka semua mengakui Allah sebagai Rabb, tetapi mereka menolak untuk mengesakan Allah dalam ibadah. Mereka menjadikan berhala, orang-orang saleh yang telah wafat, atau kekuatan lain sebagai perantara antara mereka dan Allah. Mereka berkata, sebagaimana direkam Al-Qur'an:
مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى
"...Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya..." (QS. Az-Zumar: 3)
Argumen ini ditolak mentah-mentah oleh Islam. Ibadah adalah hak prerogatif Allah yang tidak boleh dibagi-bagi. Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya tetapi menyekutukan-Nya dalam Uluhiyah-Nya adalah sebuah kontradiksi yang merusak seluruh pondasi keimanan.
3. Tauhid Asma' wa Sifat: Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya
Pilar ketiga adalah Tauhid Asma' wa Sifat. Ini adalah keyakinan untuk menetapkan bagi Allah nama-nama (Asma') dan sifat-sifat (Sifat) yang sempurna yang telah Allah tetapkan untuk Diri-Nya dalam Al-Qur'an atau yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits yang shahih. Keyakinan ini harus dipegang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah, tanpa melakukan empat hal terlarang:
- Tahrif (Menyelewengkan Makna): Mengubah makna lafaz atau makna dari nama atau sifat Allah ke makna lain yang batil.
- Ta'thil (Menolak/Meniadakan): Mengingkari atau menolak keberadaan nama atau sifat Allah, baik sebagian maupun seluruhnya.
- Takyif (Membagaimanakan): Bertanya atau membayangkan "bagaimana" hakikat dari sifat Allah tersebut. Akal manusia terbatas dan tidak akan pernah mampu menjangkau hakikat Dzat dan Sifat Sang Pencipta.
- Tamtsil/Tasybih (Menyerupakan): Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Ini adalah kesalahan fatal karena Allah dengan tegas menyatakan dalam firman-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11)
Ayat ini memberikan kaidah emas dalam memahami Tauhid Asma' wa Sifat. Bagian pertama ayat ("Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia") menolak tamtsil dan takyif. Bagian kedua ("Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat") menetapkan sifat bagi Allah dan menolak tahrif serta ta'thil.
Contoh penerapannya:
- Ketika Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah memiliki Yad (Tangan), kita wajib mengimaninya. Kita menetapkan bahwa Allah memiliki Tangan yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa membayangkan "bagaimana" bentuknya dan tanpa menyerupakannya dengan tangan makhluk yang lemah dan terbatas.
- Ketika Al-Qur'an menyebutkan Allah ber-istiwa' (bersemayam) di atas 'Arsy, kita wajib mengimaninya. Kita meyakini istiwa' tersebut sesuai dengan kemuliaan-Nya, tanpa menyelewengkan maknanya menjadi "menguasai" atau menolaknya sama sekali.
- Ketika Allah menamai Diri-Nya Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), kita menetapkan sifat Rahmah (kasih sayang) bagi-Nya. Kasih sayang Allah tentu tidak sama dengan kasih sayang makhluk yang seringkali disertai kelemahan atau pamrih.
Tauhid Asma' wa Sifat mengajarkan kita untuk mengenal Allah melalui apa yang Dia firmankan tentang Diri-Nya dan apa yang Rasul-Nya sampaikan. Ini adalah jalan tengah yang lurus, tidak terjerumus ke dalam penyerupaan (Tasybih) seperti kaum Musyabbihah, dan tidak pula jatuh ke dalam penolakan (Ta'thil) seperti kaum Jahmiyah dan Mu'tazilah. Kita menetapkan apa yang Allah tetapkan dan menafikan apa yang Allah nafikan, berhenti pada batasan dalil Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
Lawan dari Tauhid: Mengenali Bahaya Syirik
Untuk memahami kemurnian "Esa" dalam Islam, kita harus mengenali lawannya, yaitu Syirik. Syirik secara bahasa berarti persekutuan. Secara istilah, syirik adalah menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya, baik dalam Rububiyah, Uluhiyah, maupun Asma' wa Sifat. Syirik adalah dosa yang paling besar dan kezaliman yang paling agung.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik bagi orang yang mati dalam keadaan belum bertaubat darinya, meskipun Dia mengampuni dosa-dosa lain yang lebih kecil bagi siapa yang Dia kehendaki.
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar." (QS. An-Nisa: 48)
Syirik terbagi menjadi dua kategori utama:
1. Syirik Akbar (Syirik Besar)
Syirik Akbar adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam, membatalkan seluruh amalnya, dan jika ia meninggal dalam keadaan tersebut, ia akan kekal di dalam neraka. Syirik ini menodai salah satu dari tiga pilar Tauhid secara langsung.
Contoh-contoh Syirik Akbar:
- Syirik dalam Doa: Memohon dan berdoa kepada selain Allah, seperti meminta kepada penghuni kubur, jin, atau para wali yang telah wafat.
- Syirik dalam Ketaatan: Menaati seorang ulama atau pemimpin dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan atau mengharamkan apa yang Allah halalkan, dengan keyakinan bahwa mereka memiliki hak untuk membuat hukum tandingan.
- Syirik dalam Cinta: Mencintai sesuatu atau seseorang setara dengan kecintaan kepada Allah, yaitu cinta yang melahirkan ketundukan, pengagungan, dan penghambaan.
- Menyembelih untuk Selain Allah: Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mempersembahkan kurban untuk jin, dewa, atau entitas lain.
- Mempercayai Peramal: Meyakini bahwa ada makhluk yang mengetahui perkara gaib secara mutlak, karena mengetahui hal gaib adalah kekhususan Allah (Rububiyah).
2. Syirik Asghar (Syirik Kecil)
Syirik Asghar adalah perbuatan yang dinamakan syirik oleh syariat, namun tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam. Meskipun demikian, ia adalah dosa yang sangat besar, bahkan lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya seperti berzina atau mencuri. Syirik kecil ini dapat mengurangi kesempurnaan Tauhid seseorang dan bisa menjadi jembatan menuju syirik besar.
Contoh-contoh Syirik Asghar:
- Riya' (Pamer dalam Ibadah): Melakukan suatu ibadah dengan tujuan agar dilihat atau dipuji oleh manusia. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil." Ketika ditanya apa itu syirik kecil, beliau menjawab, "Riya'."
- Bersumpah dengan Nama Selain Allah: Mengucapkan "Demi Ka'bah," "Demi ayahku," atau "Demi kehormatanku." Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah kafir atau syirik." Para ulama menjelaskan bahwa ini termasuk syirik kecil jika tidak disertai pengagungan terhadap yang dijadikan sumpah setara dengan pengagungan kepada Allah.
- Menggantungkan Jimat atau Tamimah: Memakai gelang, kalung, atau benda-benda lain dengan keyakinan bahwa benda tersebut dapat menolak bala atau mendatangkan manfaat. Jika ia meyakini benda itu sendiri yang memberi pengaruh, maka jatuh ke syirik besar. Jika ia meyakini benda itu hanya sebagai sebab, sedangkan Allah yang memberi pengaruh, maka ini syirik kecil.
- Ucapan "Atas kehendak Allah dan kehendakmu": Menyetarakan kehendak makhluk dengan kehendak Allah. Yang benar adalah mengucapkan "Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendakmu."
Mempelajari tentang syirik bukanlah untuk menuduh orang lain, tetapi untuk membentengi diri sendiri. Umar bin Khattab pernah berkata, "Sesungguhnya ikatan-ikatan Islam akan terlepas satu demi satu jika di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengetahui apa itu Jahiliyah (kesyirikan)."
Buah Manis Tauhid dalam Kehidupan Seorang Muslim
Memahami bahwa "Esa" dalam Islam adalah Tauhid yang komprehensif akan melahirkan dampak luar biasa dalam kehidupan seorang individu dan masyarakat. Tauhid bukan sekadar konsep teologis yang kaku, melainkan sebuah kekuatan transformatif yang membuahkan hasil-hasil manis.
1. Kemerdekaan dan Kehormatan Diri Sejati
Tauhid membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah. Ia memerdekakan jiwa dari perbudakan terhadap harta, takhta, hawa nafsu, atasan, tradisi nenek moyang yang menyimpang, atau rasa takut kepada makhluk. Ketika hati hanya bergantung dan tunduk kepada Allah Yang Maha Esa, maka semua makhluk lain menjadi kecil di hadapannya. Ia tidak akan menjual prinsipnya demi keuntungan duniawi, tidak akan menjilat demi sebuah jabatan, dan tidak akan takut menyuarakan kebenaran karena khawatir celaan manusia. Inilah kehormatan diri yang sejati.
2. Ketenangan Jiwa dan Optimisme
Dengan meyakini Tauhid Rububiyah, seorang muslim sadar bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini berada dalam kendali Allah. Musibah yang menimpanya bukanlah karena kesialan atau kekuatan jahat yang tak terkendali, melainkan atas izin dan hikmah dari Allah. Kenikmatan yang ia dapatkan bukanlah semata-mata karena kehebatannya, melainkan karunia dari Allah. Keyakinan ini melahirkan ketenangan jiwa (sakinah), tawakal, dan ridha terhadap takdir-Nya. Ia tidak akan larut dalam kesedihan yang mendalam saat ditimpa musibah, dan tidak akan sombong saat meraih kesuksesan.
3. Tujuan Hidup yang Jelas dan Terarah
Tauhid Uluhiyah memberikan jawaban paling fundamental atas pertanyaan "Untuk apa kita hidup?". Jawabannya adalah untuk beribadah hanya kepada Allah. Tujuan hidup ini menjadikan setiap aktivitas bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari ridha-Nya. Bekerja mencari nafkah, belajar menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, hingga tersenyum kepada sesama, semuanya bisa menjadi ladang pahala. Hidup menjadi lebih bermakna, terarah, dan tidak disia-siakan untuk hal-hal yang fana.
4. Sumber Keberanian dan Kekuatan
Ketika seseorang hanya takut kepada Allah, maka rasa takut kepada selain-Nya akan sirna. Ia akan berani menghadapi kezaliman dan memperjuangkan keadilan. Sejarah telah mencatat bagaimana para nabi dan para sahabat, dengan kekuatan Tauhid, mampu berdiri tegak di hadapan para tiran dan penguasa yang paling kejam sekalipun. Mereka tahu bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah, sehingga ancaman dari makhluk tidak akan bisa menggoyahkan pendirian mereka.
5. Fondasi Persatuan Umat
Kalimat Tauhid "La ilaha illallah" adalah tali pengikat yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia, melintasi batas-batas negara, suku, warna kulit, dan status sosial. Di hadapan Allah Yang Esa, semua manusia adalah setara. Yang membedakan mereka hanyalah tingkat ketakwaannya. Tauhid mengajarkan persaudaraan universal yang didasarkan pada akidah yang sama, menghilangkan fanatisme kesukuan dan nasionalisme sempit yang memecah belah.
6. Mendorong Perilaku dan Akhlak Mulia
Mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya (Tauhid Asma' wa Sifat) akan menumbuhkan akhlak yang mulia. Ketika seorang hamba merenungkan bahwa Allah Maha Melihat (Al-Bashir) dan Maha Mendengar (As-Sami'), ia akan senantiasa merasa diawasi dan berusaha menjaga perilakunya, baik saat sendiri maupun di keramaian. Ketika ia merenungi bahwa Allah Maha Pengampun (Al-Ghafur), ia akan termotivasi untuk bertaubat dan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Ketika ia memahami bahwa Allah Maha Adil (Al-'Adl), ia akan berusaha untuk selalu berlaku adil dalam setiap urusannya.
Kesimpulan: Jantung Kehidupan Islam
Kembali ke pertanyaan awal, "Esa artinya dalam Islam" jauh lebih dalam dari sekadar "satu". Ia adalah sebuah konsep bernama Tauhid yang menjadi ruh, fondasi, dan tujuan dari seluruh ajaran Islam. Ia adalah pembeda antara iman dan kufur, antara cahaya dan kegelapan, antara jalan yang lurus dan jalan yang sesat.
Tauhid adalah pengakuan bahwa Allah Esa dalam kekuasaan-Nya sebagai satu-satunya Pencipta dan Pengatur (Rububiyah). Tauhid adalah konsekuensi untuk mengesakan Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah (Uluhiyah). Dan Tauhid adalah keyakinan bahwa Allah Esa dalam kesempurnaan nama dan sifat-Nya yang tidak serupa dengan makhluk (Asma' wa Sifat).
Memahami dan mengamalkan Tauhid secara murni adalah kunci keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia adalah sumber kekuatan, ketenangan, dan kemuliaan. Inilah pesan utama yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul, dari Adam hingga Muhammad ﷺ, sebuah pesan abadi yang terus bergema sepanjang zaman: Sembahlah Allah Yang Maha Esa, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.