Fafirru Ilallah Artinya: Seruan Agung untuk Kembali ke Pangkuan Ilahi
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali menjebak kita dalam rutinitas tak berujung, ada sebuah seruan abadi yang menggema dari Kitab Suci Al-Qur'an. Sebuah kalimat singkat namun sarat makna, yang menjadi kompas bagi jiwa-jiwa yang tersesat dan oase bagi hati yang kehausan. Kalimat itu adalah "Fafirru Ilallah". Frasa ini bukan sekadar perintah, melainkan sebuah undangan penuh kasih dari Sang Pencipta kepada hamba-Nya untuk kembali, untuk menemukan perlindungan, dan untuk meraih kebahagiaan sejati. Lantas, apa sesungguhnya fafirru ilallah artinya? Mari kita selami kedalamannya, lapis demi lapis, untuk memahami esensi dari panggilan agung ini.
Seruan ini secara eksplisit termaktub dalam Al-Qur'an, pada Surah Adz-Dhariyat ayat 50. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
"Fafirruu ilallah(i), innii lakum minhu nadziirum mubiin."
Artinya: "Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari-Nya untukmu."
Secara harfiah, "Fafirru Ilallah" diterjemahkan sebagai "Larilah kepada Allah" atau "Bersegeralah menuju Allah". Kata kerja "firru" (فِرُّوا) berasal dari akar kata "farra" (فَرَّ) yang berarti melarikan diri, berlari kencang, atau kabur. Penggunaan kata ini sangat kuat dan dramatis. Ia menyiratkan adanya sebuah kondisi yang mendesak, sebuah bahaya yang harus segera dihindari, dan sebuah tempat perlindungan yang harus cepat dituju. Ini bukan sekadar berjalan santai, melainkan sebuah gerakan cepat yang didorong oleh kesadaran akan suatu ancaman dan harapan akan keselamatan.
Analisis Mendalam: Lari Dari Apa dan Menuju Apa?
Perintah untuk "berlari" secara inheren mengandung dua elemen: titik awal (sesuatu yang kita tinggalkan) dan titik tujuan (sesuatu yang kita tuju). Memahami kedua elemen ini adalah kunci untuk menguak makna "Fafirru Ilallah". Ini bukanlah pelarian tanpa arah, melainkan sebuah perpindahan yang sangat terarah dan bertujuan, dari kondisi yang buruk menuju kondisi yang jauh lebih baik, dari kefanaan menuju keabadian.
Elemen Pertama: Lari DARI Apa?
Perintah untuk lari menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berbahaya, merusak, atau tidak menyenangkan di belakang kita. Dalam konteks spiritual, kita diperintahkan untuk lari dari segala hal yang menjauhkan kita dari Allah. Ini adalah sebuah eksodus spiritual yang harus dilakukan setiap individu. Beberapa hal yang harus kita "larikan diri" darinya antara lain:
1. Dari Syirik dan Kekufuran Menuju Tauhid yang Murni
Hal paling fundamental yang harus ditinggalkan adalah syirik (menyekutukan Allah) dan kekufuran (mengingkari-Nya). Ini adalah kegelapan terbesar yang dapat menyelimuti jiwa manusia. Syirik dalam segala bentuknya, baik yang jelas seperti menyembah berhala, maupun yang tersembunyi seperti menjadikan hawa nafsu, harta, jabatan, atau makhluk lain sebagai tumpuan harapan dan ketakutan yang setara dengan Allah, adalah sebuah penjara bagi ruh. Fafirru Ilallah adalah seruan untuk membebaskan diri dari belenggu ini, berlari dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan total hanya kepada Sang Khaliq. Ini adalah lari dari kebingungan dan perpecahan jiwa menuju ketenangan dan keutuhan tauhid.
2. Dari Dosa dan Maksiat Menuju Ampunan dan Ketaatan
Setiap dosa dan maksiat yang kita lakukan adalah racun bagi hati. Ia mengeraskan hati, menggelapkan pandangan, dan melemahkan semangat untuk berbuat baik. Dosa menciptakan jarak antara hamba dengan Tuhannya. Seruan untuk "berlari" adalah ajakan untuk segera meninggalkan kubangan dosa tersebut. Jangan menunda-nunda taubat. Berlarilah dari kebiasaan buruk, dari perkataan dusta, dari pandangan yang haram, dari harta yang tidak halal, dan dari semua perbuatan yang dimurkai Allah. Tujuan pelarian ini adalah lautan ampunan (maghfirah) Allah yang tak bertepi dan jalan ketaatan yang menenangkan. Setiap langkah lari dari dosa adalah langkah mendekat kepada rahmat-Nya.
3. Dari Kelalaian dan Hawa Nafsu Menuju Kesadaran dan Pengendalian Diri
Dunia modern dengan segala distraksinya seringkali membuat kita lalai (ghaflah). Kita sibuk mengejar dunia seolah-olah akan hidup selamanya, lupa pada tujuan hakiki penciptaan kita. Hawa nafsu yang tidak terkendali menjadi tuan yang menuntun kita pada kebinasaan. Fafirru Ilallah adalah panggilan untuk bangun dari tidur kelalaian, untuk menyadari kefanaan dunia dan keabadian akhirat. Ini adalah ajakan untuk berlari dari bisikan-bisikan nafsu yang mengajak pada kesenangan sesaat, menuju pengendalian diri (mujahadah an-nafs) yang mengantarkan pada kebahagiaan abadi. Lari dari layar gawai yang melalaikan menuju lembaran Al-Qur'an yang mencerahkan.
4. Dari Ketergantungan pada Makhluk Menuju Tawakal Sepenuhnya pada Allah
Seringkali, kita menggantungkan harapan, rezeki, dan keselamatan kita pada sesama manusia atau pada sebab-sebab material. Kita takut pada atasan, cemas pada penilaian orang lain, dan berharap penuh pada kekuatan materi. Ini adalah bentuk kerapuhan. Fafirru Ilallah adalah perintah untuk melepaskan segala bentuk ketergantungan ini dan berlari menuju Allah, satu-satunya tempat bergantung yang sejati (Ash-Shamad). Ini adalah lari dari kekecewaan terhadap makhluk menuju kepasrahan total (tawakal) kepada Allah, yang di tangan-Nya tergenggam segala urusan.
5. Dari Kegelisahan dan Ketakutan Duniawi Menuju Ketenangan Ilahi
Kehidupan pasti diwarnai dengan kecemasan akan masa depan, ketakutan akan kemiskinan, penyakit, dan berbagai musibah lainnya. Jika dibiarkan, ketakutan ini akan menggerogoti jiwa dan merampas kebahagiaan. Fafirru Ilallah adalah solusi terbaik. Berlarilah dari segala kekhawatiran itu dan masuklah ke dalam benteng perlindungan Allah. Dengan mengingat Allah (dzikrullah), hati akan menjadi tenang. Dengan berlari kepada-Nya, kita menyerahkan segala ketakutan kita kepada Yang Maha Kuat dan Maha Melindungi, sehingga jiwa merasakan sakinah (ketenangan) yang tidak bisa dibeli dengan materi apapun.
6. Dari Kebodohan (Jahl) Menuju Cahaya Ilmu
Kebodohan tentang hakikat Tuhan, tujuan hidup, dan jalan kebenaran adalah kegelapan yang pekat. Berada dalam kondisi ini seperti berjalan di malam gulita tanpa pelita. Fafirru Ilallah juga berarti berlari dari kebodohan ini menuju cahaya ilmu (nur al-'ilm). Bersegera menuntut ilmu agama, mempelajari Al-Qur'an dan Sunnah, adalah bagian dari proses "berlari" kepada Allah. Karena bagaimana mungkin kita bisa menuju Allah dengan benar jika kita tidak mengetahui jalan-Nya? Ilmu adalah peta dan kompas dalam perjalanan spiritual ini.
Elemen Kedua: Lari MENUJU Apa?
Pelarian ini bukanlah tanpa tujuan. Destinasinya tunggal dan Maha Agung: Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berlari menuju Allah mencakup berbagai dimensi yang indah dan mulia, yang merupakan kebalikan dari hal-hal yang kita tinggalkan.
1. Menuju Rahmat dan Ampunan-Nya
Tujuan utama dari lari ini adalah untuk meraih rahmat (kasih sayang) dan maghfirah (ampunan) Allah. Sebesar apapun dosa yang telah kita lakukan, rahmat Allah jauh lebih besar. Pintu taubat-Nya selalu terbuka bagi hamba yang mau kembali. Berlari kepada Allah berarti berlari dengan penuh harap, meyakini bahwa Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kita datang dengan membawa dosa-dosa kita, lalu menumpahkannya di hadapan-Nya, memohon untuk dibersihkan dan diterima kembali.
2. Menuju Perlindungan dan Keamanan-Nya
Allah adalah Al-Waliyy (Maha Melindungi) dan Al-Mu'min (Maha Memberi Keamanan). Dunia dan segala isinya bisa menjadi sumber ancaman, baik secara fisik maupun spiritual. Godaan setan, tipu daya dunia, dan kejahatan manusia selalu mengintai. Berlari kepada Allah berarti mencari suaka di dalam benteng perlindungan-Nya yang paling kokoh, di mana tidak ada satu pun yang dapat mencelakai kita tanpa izin-Nya. Di dalam naungan-Nya, kita menemukan rasa aman yang sejati.
3. Menuju Cinta (Mahabbah) dan Keridhaan-Nya
Puncak dari perjalanan spiritual seorang hamba adalah meraih cinta dan keridhaan Allah. Inilah tujuan tertinggi. Berlari kepada Allah bukan hanya karena takut akan azab-Nya atau berharap akan surga-Nya, tetapi didorong oleh rasa cinta yang tulus kepada-Nya. Kita berlari menuju-Nya karena kita rindu, karena kita ingin dekat dengan-Nya, dan karena kebahagiaan tertinggi adalah ketika kita tahu bahwa Allah ridha dan cinta kepada kita. Segala ibadah dan ketaatan menjadi ekspresi dari cinta ini.
4. Menuju Ketenangan Jiwa (Sakinah) dan Kebahagiaan Hakiki
Seperti yang telah disebutkan, salah satu buah dari berlari kepada Allah adalah ketenangan jiwa. Allah berfirman dalam Surah Ar-Ra'd ayat 28, "...Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." Ketika jiwa kita terhubung dengan Sumber Segala Ketenangan, maka badai kehidupan sekeras apapun tidak akan mampu menenggelamkannya. Inilah kebahagiaan hakiki (as-sa'adah al-haqiqiyyah) yang tidak tergantung pada kondisi eksternal, melainkan bersemayam di dalam hati yang senantiasa bersama Allah.
5. Menuju Surga-Nya yang Penuh Kenikmatan
Sebagai manifestasi dari rahmat dan keridhaan-Nya, Allah telah menyiapkan surga sebagai balasan bagi hamba-hamba-Nya yang taat. Berlari kepada Allah di dunia ini adalah lari menuju gerbang surga di akhirat kelak. Setiap langkah ketaatan, setiap tetes air mata penyesalan, setiap peluh dalam beribadah adalah investasi untuk meraih kenikmatan abadi di surga-Nya, di mana tidak ada lagi kesedihan, ketakutan, dan kelelahan.
Bagaimana Cara Praktis "Fafirru Ilallah"?
Memahami makna "Fafirru Ilallah" adalah satu hal, tetapi mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang lain. Perintah ini menuntut tindakan nyata, bukan sekadar pemahaman intelektual. Berikut adalah langkah-langkah praktis untuk memulai dan menjaga konsistensi dalam "pelarian" menuju Allah:
1. Taubat Nasuha: Titik Awal Pelarian
Langkah pertama dan paling fundamental adalah melakukan taubat yang tulus (taubat nasuha). Ini adalah gerbang utama untuk kembali kepada Allah. Taubat nasuha mencakup tiga rukun utama: (1) Menyesali dosa yang telah dilakukan dengan penyesalan yang mendalam. (2) Meninggalkan dosa tersebut seketika itu juga. (3) Bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ditambah rukun keempat yaitu mengembalikan hak tersebut atau meminta kehalalannya. Taubat adalah "tombol reset" yang membersihkan catatan kita dan membuka lembaran baru dalam hubungan kita dengan Allah.
2. Memperbanyak Dzikir dan Doa: Bahan Bakar Perjalanan
Pelarian spiritual membutuhkan energi, dan energinya adalah dzikir (mengingat Allah) dan doa. Basahi lisan kita dengan istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Dzikir menjaga hati tetap terhubung dengan Allah, melindunginya dari kelalaian. Doa adalah senjata orang beriman dan wujud pengakuan atas kelemahan diri serta kebutuhan mutlak kita kepada-Nya. Berdoalah di setiap waktu, utarakan segala keluh kesah dan harapan hanya kepada-Nya. Semakin banyak kita berdzikir dan berdoa, semakin kuat "otot" spiritual kita untuk terus berlari.
3. Mendirikan Shalat dengan Khusyuk: Komunikasi Langsung
Shalat adalah mi'raj (kenaikan) seorang mukmin. Ia adalah momen intim di mana seorang hamba berhadapan langsung dengan Rabb-nya. Melaksanakan shalat lima waktu dengan tepat waktu dan berusaha untuk khusyuk di dalamnya adalah wujud nyata dari "Fafirru Ilallah" setiap hari. Di dalam shalat, kita meninggalkan sejenak urusan dunia untuk menghadap-Nya, mengadukan segala persoalan kita, dan memohon petunjuk-Nya. Shalat yang berkualitas akan menjadi penopang utama dalam perjalanan ini.
4. Interaksi Intensif dengan Al-Qur'an: Peta Jalan yang Jelas
Al-Qur'an adalah surat cinta dari Allah sekaligus buku petunjuk kehidupan. Bagaimana kita bisa berlari menuju Allah jika kita tidak tahu jalan yang harus ditempuh? Al-Qur'an adalah peta jalannya. Jadwalkan waktu setiap hari untuk membaca, memahami (tadabbur), dan berusaha mengamalkan isinya. Al-Qur'an akan menjadi cahaya yang menerangi jalan, memberikan motivasi saat lelah, dan mengingatkan akan tujuan akhir saat kita mulai goyah.
5. Bergaul dengan Orang-orang Saleh: Teman Seperjalanan
Berlari sendirian terasa berat dan rentan tersesat. Carilah teman-teman seperjalanan yang baik, yaitu orang-orang saleh yang juga memiliki tujuan yang sama: kembali kepada Allah. Lingkungan yang baik (bi'ah shalihah) akan saling mengingatkan dalam kebaikan, menasihati saat salah, dan memberikan semangat saat futur (iman menurun). Menghadiri majelis ilmu, bergabung dengan komunitas pengajian, dan bersahabat dengan orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah strategi penting agar kita tidak kehabisan energi di tengah jalan.
6. Muhasabah Diri: Evaluasi Rutin Perjalanan
Seorang pelari yang cerdas akan sesekali menoleh ke belakang untuk mengevaluasi jejaknya dan melihat ke depan untuk memastikan arahnya benar. Inilah yang disebut muhasabah (introspeksi diri). Luangkan waktu setiap malam sebelum tidur untuk merenungi apa saja yang telah kita lakukan sepanjang hari. Syukuri ketaatan yang berhasil dilakukan, sesali kemaksiatan yang terlanjur dikerjakan, dan perbarui tekad untuk menjadi lebih baik esok hari. Muhasabah membantu kita untuk tetap berada di jalur yang benar dan segera memperbaiki jika terjadi penyimpangan.
Relevansi "Fafirru Ilallah" di Era Modern
Seruan "Fafirru Ilallah" mungkin terdengar kuno bagi sebagian orang, tetapi sesungguhnya ia jauh lebih relevan di zaman modern ini daripada masa-masa sebelumnya. Era digital dan globalisasi telah menciptakan "berhala-berhala" baru dan sumber-sumber kelalaian yang semakin canggih.
Di tengah tsunami informasi dan media sosial, kita diperintahkan untuk "lari" dari notifikasi yang tiada henti menuju dzikir yang menentramkan. Lari dari kehausan akan validasi berupa 'likes' dan 'followers' menuju pencarian ridha Allah semata. Lari dari berita-berita negatif dan hoaks yang menebar kecemasan menuju firman Allah yang menjanjikan harapan.
Di tengah budaya materialisme dan konsumerisme yang mengukur kesuksesan dari apa yang kita miliki, kita diajak untuk "lari" dari perlombaan mengumpulkan harta yang fana menuju perlombaan dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Lari dari gaya hidup hedonis yang hanya memuaskan jasad menuju kehidupan zuhud yang menyehatkan ruh. Lari dari utang riba yang mencekik menuju keberkahan sedekah yang melapangkan.
Di tengah meningkatnya isu kesehatan mental seperti stres, depresi, dan kecemasan, seruan "Fafirru Ilallah" adalah terapi paling ampuh. Berlari kepada Allah adalah berlari menuju Sang Penyembuh Jiwa. Mengadukan segala beban mental kepada-Nya dalam sujud, menemukan pelepasan dalam tangisan taubat, dan merasakan pelukan kasih sayang-Nya melalui ayat-ayat Al-Qur'an adalah metode penyembuhan yang tidak akan ditemukan di klinik manapun.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan Universal dan Abadi
Fafirru Ilallah artinya lebih dari sekadar terjemahan "larilah kepada Allah". Ia adalah sebuah konsep kehidupan yang utuh. Ia adalah denyut nadi keimanan seorang hamba. Ia adalah seruan mendesak yang mengingatkan kita bahwa waktu kita di dunia ini singkat, dan ada bahaya besar di belakang kita (murka Allah dan tipu daya dunia) serta ada keselamatan dan kebahagiaan tak terhingga di depan kita (rahmat dan surga-Nya).
Panggilan ini bersifat universal, berlaku untuk setiap manusia, di setiap waktu dan tempat. Baik ia seorang pendosa yang bergelimang maksiat maupun seorang ahli ibadah yang terkadang lalai. Bagi sang pendosa, ini adalah panggilan untuk segera bertaubat sebelum terlambat. Bagi sang ahli ibadah, ini adalah panggilan untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas "larinya", karena perjalanan menuju Allah tidak memiliki garis finis di dunia ini.
Maka, mari kita jawab seruan agung ini. Mari kita identifikasi belenggu-belenggu apa yang menahan kita—apakah itu dosa tertentu, kemalasan, ketergantungan pada makhluk, atau kecintaan berlebih pada dunia. Lalu, dengan segenap kekuatan yang kita miliki, mari kita putuskan belenggu itu dan mulailah berlari. Berlari dengan langkah-langkah taubat, diiringi dengan derap dzikir, diterangi oleh cahaya Al-Qur'an, dan ditemani oleh sahabat-sahabat yang saleh. Berlarilah menuju satu-satunya tujuan yang layak untuk diperjuangkan: Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena sesungguhnya, pada-Nya lah tempat kembali dan puncak segala kebahagiaan.