Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam hakikat ilmu pengetahuan, mulai dari dasar-dasar asumtif, metodologi, hingga tujuan dan implikasinya. Ilmu pengetahuan yang kita kenal saat ini tidak berdiri sendiri; ia dibangun di atas landasan konseptual yang kuat. Untuk memahami bagaimana pengetahuan itu diperoleh, diverifikasi, dan apa kegunaannya, kita perlu menelusuri tiga pilar utama filsafat ilmu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi berasal dari bahasa Yunani, *ontos* (keberadaan) dan *logos* (ilmu). Dalam konteks ilmu, ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat realitas atau keberadaan. Ia mempertanyakan: "Apa yang ada?" dan "Bagaimana wujudnya?". Ketika seorang ilmuwan melakukan penelitian, ia secara inheren membuat asumsi ontologis. Apakah realitas itu tunggal (monisme), ganda (dualisme), atau jamak (pluralisme)? Apakah objek yang diteliti itu ada secara independen dari pikiran pengamat (realisme), ataukah ia hanyalah konstruksi mental (idealisme)? Jawaban atas pertanyaan ontologis ini menjadi fondasi bagi metode pengumpulan data yang akan digunakan.
Jika ontologi menetapkan apa yang ada, maka epistemologi menentukan bagaimana kita bisa mengetahui keberadaan tersebut. Epistemologi adalah studi tentang sifat, asal-usul, ruang lingkup, dan keabsahan pengetahuan. Pertanyaan kuncinya adalah: "Bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang sah?" dan "Apa kriteria kebenaran?". Dalam ilmu pengetahuan, perdebatan epistemologis sering berkisar antara rasionalisme (pengetahuan didapat melalui akal dan penalaran murni) dan empirisme (pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi). Dalam ilmu sosial, perdebatan ini sering muncul dalam bentuk positivisme (mencari hukum universal seperti sains alam) melawan interpretivisme (memahami makna subjektif). Epistemologi menentukan metodologi yang dipilih, misalnya, apakah menggunakan eksperimen terkontrol atau studi kasus kualitatif.
Setelah kita mengetahui apa itu realitas (ontologi) dan bagaimana cara mengetahuinya (epistemologi), kita perlu mempertimbangkan aspek nilai: aksiologi. Aksiologi membahas nilai-nilai yang melekat pada pengetahuan dan kegunaan ilmu bagi manusia. Ini mencakup etika dan estetika dalam sains. Apakah ilmu harus bebas nilai (*value-free*) ataukah harus melayani tujuan moral tertentu? Misalnya, dalam bioteknologi, meskipun secara teknis kita bisa melakukan suatu rekayasa genetik (kemampuan yang didapat dari epistemologi), aksiologi mempertanyakan apakah kita *seharusnya* melakukannya (implikasi moral dan sosial). Aksiologi memastikan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan manusia, bukan sekadar akumulasi fakta tanpa arah.
Ketiga unsur ini tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait erat dalam membentuk kerangka kerja ilmiah yang koheren. Sebuah penelitian yang kuat memerlukan asumsi ontologis yang jelas mengenai sifat fenomena yang diteliti, pemilihan metode epistemologis yang tepat untuk menjangkau realitas tersebut, dan pertimbangan aksiologis tentang dampak hasil temuan. Jika fondasi ontologisnya salah (misalnya, menganggap konsep abstrak sebagai entitas fisik), maka metode epistemologis yang digunakan pun akan bias, dan hasil akhirnya mungkin tidak memiliki nilai guna yang positif. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai filsafat ilmu adalah esensial bagi setiap praktisi ilmiah untuk memastikan integritas dan relevansi karyanya.