Membedah Tuntas: Apa Sebenarnya ANBK Itu?

Ilustrasi ANBK Sebuah laptop menampilkan tiga ikon utama ANBK: buku untuk literasi, grafik untuk numerasi, dan sekelompok orang untuk survei karakter dan lingkungan.

Ilustrasi konsep ANBK: sebuah platform digital untuk mengukur literasi, numerasi, serta karakter dan lingkungan belajar.

Dalam dunia pendidikan Indonesia, muncul sebuah istilah yang semakin sering terdengar dan menjadi pusat perhatian: ANBK. Bagi sebagian siswa, guru, dan orang tua, istilah ini mungkin masih menimbulkan banyak pertanyaan. Apa itu ANBK? Mengapa ia menggantikan Ujian Nasional (UN) yang sudah begitu lama menjadi tolok ukur kelulusan? Apakah ini sekadar ujian dengan nama baru, atau sebuah perubahan fundamental dalam cara kita memandang evaluasi pendidikan? Artikel ini akan mengupas secara tuntas dan mendalam mengenai Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), mulai dari filosofi dasarnya hingga implikasi praktisnya di lapangan.

ANBK adalah singkatan dari Asesmen Nasional Berbasis Komputer. Dari namanya saja, kita bisa menangkap dua kata kunci: "Asesmen Nasional" dan "Berbasis Komputer". Ini bukan sekadar ujian akhir, melainkan sebuah program evaluasi yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Tujuannya bukan untuk menentukan kelulusan individu siswa, melainkan untuk memetakan dan mengevaluasi kualitas sistem pendidikan secara menyeluruh, mulai dari tingkat sekolah, daerah, hingga nasional.

Latar Belakang dan Filosofi di Balik ANBK

Untuk memahami ANBK secara utuh, kita perlu melihat kembali sistem evaluasi sebelumnya, yaitu Ujian Nasional (UN). Selama bertahun-tahun, UN menjadi momok yang menentukan nasib kelulusan siswa. Tekanan yang sangat tinggi tidak hanya dirasakan oleh siswa, tetapi juga oleh guru dan sekolah. Akibatnya, proses pembelajaran sering kali tereduksi menjadi sekadar latihan soal dan penghafalan materi demi meraih skor UN setinggi-tingginya. Fokusnya lebih pada teaching to the test (mengajar untuk lulus ujian) daripada menumbuhkan kompetensi yang sesungguhnya.

Kondisi ini memicu beberapa masalah krusial. Pertama, UN cenderung hanya mengukur aspek kognitif pada beberapa mata pelajaran tertentu, mengabaikan kompetensi penting lainnya seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, serta aspek karakter. Kedua, karena menjadi penentu kelulusan individu, UN menciptakan tekanan psikologis yang berat dan tidak jarang mendorong praktik-praktik kurang terpuji demi menjaga reputasi sekolah. Ketiga, hasil UN kurang memberikan informasi yang kaya untuk perbaikan proses belajar-mengajar. Sekolah mungkin tahu skor rata-rata siswanya, tetapi tidak mendapatkan gambaran utuh tentang area mana yang perlu diperbaiki dari segi iklim belajar, metode pengajaran, atau dukungan terhadap siswa.

Berangkat dari evaluasi mendalam inilah, konsep Asesmen Nasional lahir sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar. ANBK dirancang dengan filosofi yang berbeda 180 derajat dari UN. Jika UN adalah assessment of learning (penilaian hasil belajar), maka ANBK lebih berfungsi sebagai assessment for learning (penilaian untuk perbaikan pembelajaran) dan assessment as learning (penilaian sebagai bagian dari proses belajar). Fokusnya bergeser dari menilai individu siswa menjadi memotret kesehatan sistem pendidikan.

Tiga Instrumen Utama dalam ANBK

ANBK tidak terdiri dari satu jenis tes saja. Ia merupakan sebuah kesatuan yang utuh dari tiga instrumen utama, yang masing-masing memiliki fungsi spesifik untuk memberikan gambaran komprehensif tentang kualitas pendidikan. Ketiga instrumen tersebut adalah:

  1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)
  2. Survei Karakter
  3. Survei Lingkungan Belajar

Mari kita bedah satu per satu secara lebih mendalam.

1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)

Ini adalah komponen yang paling sering disamakan dengan "ujian" dalam ANBK, padahal esensinya sangat berbeda. AKM dirancang untuk mengukur dua kompetensi mendasar yang diperlukan oleh semua siswa, terlepas dari apa pun mata pelajaran yang mereka tekuni atau cita-cita mereka di masa depan. Dua kompetensi tersebut adalah Literasi Membaca dan Numerasi.

Mengapa hanya literasi dan numerasi? Karena keduanya dianggap sebagai "alat" atau fondasi utama bagi siswa untuk belajar sepanjang hayat dan berkontribusi secara produktif di masyarakat. Kemampuan memahami bacaan yang kompleks dan menggunakan logika matematika dalam berbagai konteks adalah kunci untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan lain dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Detail Kompetensi Literasi Membaca

Literasi membaca dalam AKM bukan sekadar kemampuan membaca kalimat secara harfiah. Ini adalah kompetensi yang jauh lebih dalam, mencakup kemampuan untuk:

Konten teks yang digunakan dalam AKM sangat beragam, mulai dari artikel berita, infografis, petunjuk penggunaan, jadwal, hingga kutipan sastra. Keragaman ini bertujuan untuk mengukur kemampuan literasi siswa dalam berbagai konteks yang akan mereka hadapi di dunia nyata.

Detail Kompetensi Numerasi

Sama seperti literasi, numerasi bukanlah sekadar "matematika" atau kemampuan berhitung. Numerasi adalah kemampuan untuk menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari dalam berbagai konteks yang relevan. Ini adalah tentang "matematika dalam aksi".

Kompetensi numerasi dalam AKM diukur melalui beberapa domain konten, antara lain:

Soal-soal numerasi dalam AKM disajikan dalam bentuk konteks yang dekat dengan kehidupan siswa, misalnya menghitung diskon belanja, membaca grafik pertumbuhan penduduk, menganalisis jadwal transportasi, atau merencanakan anggaran. Tujuannya adalah untuk melihat apakah siswa mampu menerapkan pengetahuan matematika mereka sebagai alat untuk berpikir logis dan sistematis.

2. Survei Karakter

Pendidikan bukan hanya tentang mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk watak dan kepribadian. Inilah peran dari Survei Karakter. Instrumen ini dirancang untuk mengukur hasil belajar non-kognitif siswa yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila.

Survei ini tidak memiliki jawaban "benar" atau "salah". Siswa diminta untuk merespons serangkaian pernyataan yang menggambarkan sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan mereka. Hasilnya memberikan gambaran tentang karakter siswa di sekolah tersebut secara agregat (keseluruhan), bukan menilai karakter individu per siswa. Enam dimensi utama yang diukur dalam Survei Karakter adalah:

Hasil Survei Karakter menjadi umpan balik yang sangat berharga bagi sekolah untuk merancang program-program pembinaan karakter yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan siswanya.

3. Survei Lingkungan Belajar

Kualitas hasil belajar siswa tidak bisa dilepaskan dari kualitas lingkungan tempat mereka belajar. Faktor-faktor seperti keamanan sekolah, kualitas pengajaran guru, hubungan antar warga sekolah, dan ketersediaan fasilitas sangat memengaruhi proses pembelajaran. Inilah yang hendak dipotret oleh Survei Lingkungan Belajar.

Berbeda dengan AKM dan Survei Karakter yang pesertanya adalah siswa, Survei Lingkungan Belajar diisi oleh seluruh kepala sekolah dan guru, serta sampel siswa. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran 360 derajat tentang berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di satuan pendidikan.

Beberapa area kunci yang diukur dalam survei ini antara lain:

Data dari Survei Lingkungan Belajar memberikan diagnosis mendalam tentang "kesehatan" ekosistem sekolah. Hasilnya membantu sekolah dan pemerintah daerah mengidentifikasi area-area yang memerlukan intervensi, misalnya pelatihan guru, perbaikan kebijakan anti-perundungan, atau peningkatan fasilitas.

Siapa Saja Peserta ANBK?

Salah satu perbedaan paling mendasar antara ANBK dan UN terletak pada pesertanya. Jika UN diikuti oleh seluruh siswa di tingkat akhir (kelas 6, 9, dan 12), maka ANBK menggunakan sistem sampling atau pemilihan sampel secara acak.

Peserta ANBK dipilih secara acak oleh sistem dari basis Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Berikut adalah rincian pesertanya:

Mengapa dipilih siswa kelas 5, 8, dan 11, bukan tingkat akhir? Alasannya sangat strategis. Dengan mengevaluasi siswa di tengah jenjang pendidikannya, hasil asesmen dapat digunakan sebagai umpan balik untuk perbaikan. Siswa yang menjadi peserta ANBK masih memiliki waktu setidaknya satu tahun lagi di jenjang tersebut untuk merasakan dampak dari perbaikan pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah berdasarkan hasil ANBK. Ini sejalan dengan tujuan ANBK sebagai alat diagnostik untuk perbaikan, bukan sebagai vonis di akhir jenjang.

Bagaimana Hasil ANBK Digunakan?

Inilah pertanyaan krusial yang sering muncul. Jika ANBK tidak menentukan kelulusan individu, lalu untuk apa hasilnya? Hasil dari ketiga instrumen ANBK diolah dan disajikan dalam sebuah laporan komprehensif yang disebut Rapor Pendidikan.

Rapor Pendidikan ini dapat diakses oleh sekolah, pemerintah daerah (dinas pendidikan), dan Kemendikbudristek. Rapor ini berfungsi layaknya sebuah hasil medical check-up bagi sistem pendidikan. Ia menunjukkan indikator-indikator mana yang sudah berada di level "baik" (hijau), "cukup" (kuning), atau "kurang" (merah).

Penting untuk ditekankan, tujuan Rapor Pendidikan adalah untuk refleksi, evaluasi diri, dan perencanaan perbaikan. Bukan untuk:

Bagi sekolah, Rapor Pendidikan adalah alat yang sangat kuat. Sekolah dapat melihat secara spesifik: "Oh, ternyata kemampuan numerasi siswa kami di domain data dan ketidakpastian masih perlu ditingkatkan," atau "Hasil survei menunjukkan iklim keamanan sekolah kami masih perlu perhatian khusus terkait isu perundungan." Berdasarkan data ini, sekolah dapat menyusun program yang lebih terarah, misalnya mengadakan pelatihan bagi guru matematika tentang cara mengajar statistik yang menarik, atau meluncurkan program anti-perundungan yang melibatkan seluruh warga sekolah.

Persiapan Menghadapi ANBK: Sebuah Pergeseran Paradigma

Karena sifatnya yang berbeda, cara mempersiapkan diri untuk ANBK pun harus berbeda dari persiapan UN. Upaya "bimbel" intensif yang berfokus pada drilling soal-soal prediktif menjadi tidak relevan lagi. Persiapan terbaik untuk ANBK adalah dengan memperbaiki kualitas proses pembelajaran sehari-hari.

Bagi Siswa:

Fokuslah pada pengembangan kompetensi, bukan menghafal materi. Perbanyaklah membaca berbagai jenis teks, mulai dari berita, artikel sains populer, hingga karya sastra. Latihlah kemampuan untuk bertanya, menganalisis, dan menghubungkan informasi. Dalam matematika, jangan hanya fokus pada rumus, tetapi cobalah untuk memahami konsep di baliknya dan terapkan dalam pemecahan masalah nyata. Saat mengisi Survei Karakter, jawablah dengan jujur sesuai dengan apa yang dirasakan dan diyakini, karena tidak ada jawaban yang salah.

Bagi Guru:

ANBK adalah cerminan dari kualitas pengajaran. Oleh karena itu, guru perlu menggeser metode pengajaran dari yang berpusat pada guru (ceramah) menjadi yang berpusat pada siswa (diskusi, proyek, pemecahan masalah). Rancanglah pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, menganalisis data, dan mengemukakan argumen. Gunakan berbagai sumber belajar dan jenis teks untuk memperkaya wawasan siswa. Ciptakan lingkungan kelas yang aman dan inklusif di mana siswa berani bertanya dan berpendapat.

Bagi Sekolah:

Sekolah perlu memastikan kesiapan teknis (komputer dan jaringan internet) dan, yang lebih penting, kesiapan mental seluruh warga sekolah. Sosialisasikan kepada siswa dan orang tua bahwa ANBK bukanlah ujian yang menakutkan, melainkan sebuah cara untuk membantu sekolah menjadi lebih baik. Gunakan hasil Rapor Pendidikan sebagai dasar untuk perencanaan berbasis data (PBD) guna meningkatkan mutu layanan pendidikan secara berkelanjutan.

Kesimpulan: ANBK sebagai Kompas Pendidikan

Pada akhirnya, ANBK adalah sebuah lompatan besar dalam paradigma evaluasi pendidikan di Indonesia. Ia adalah sebuah pergeseran dari budaya tes yang penuh tekanan dan berorientasi pada hasil individu, menuju budaya evaluasi yang reflektif, diagnostik, dan berorientasi pada perbaikan sistem secara kolektif.

Memahami bahwa ANBK bukanlah Ujian Nasional dengan baju baru adalah kunci pertama untuk mendukung keberhasilannya. Ini adalah sebuah kompas yang memberikan arah bagi setiap satuan pendidikan untuk berbenah. Ia memotret bukan hanya apa yang siswa ketahui, tetapi juga apa yang bisa mereka lakukan dengan pengetahuannya (kompetensi), bagaimana karakter mereka terbentuk, dan dalam lingkungan seperti apa mereka belajar. Dengan data yang kaya dan komprehensif ini, diharapkan setiap pemangku kepentingan—mulai dari guru di kelas hingga pembuat kebijakan di tingkat nasional—dapat mengambil langkah-langkah yang lebih tepat sasaran untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih berkualitas, merata, dan berkeadilan bagi semua.

🏠 Homepage