Proses jual beli properti, khususnya tanah, di Indonesia secara umum diatur ketat oleh hukum agraria dan perdata. Salah satu institusi sentral dalam transaksi ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang merupakan notaris atau pejabat yang ditunjuk untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) yang sah secara hukum. Namun, di tengah dinamika ekonomi dan kebutuhan transaksi cepat, muncul pertanyaan besar: **bisakah jual beli tanah tanpa notaris** dilakukan?
Jawaban singkatnya adalah: secara teknis, transaksi dapat terjadi, tetapi secara legalitas kepemilikan yang diakui negara, jawabannya adalah tidak disarankan, bahkan hampir mustahil untuk memindahkan kepemilikan secara penuh dan aman tanpa melibatkan notaris/PPAT.
Pengaturan mengenai peralihan hak atas tanah di Indonesia secara tegas merujuk pada PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta diperkuat oleh regulasi lain. Untuk mengikatkan hak atas tanah (seperti hak milik) kepada pihak lain, diperlukan dokumen otentik.
Dokumen otentik ini wajib dibuat oleh PPAT. Tanpa AJB yang dibuat dan ditandatangani di hadapan PPAT, jual beli tanah hanya memiliki kekuatan hukum di bawah tangan (perjanjian antara kedua belah pihak). Kekuatan hukum di bawah tangan ini sangat terbatas, terutama jika terjadi sengketa atau ketika proses pembalikan nama sertifikat (balik nama) di Badan Pertanahan Nasional (BPN) ingin dilakukan.
Meskipun penjual dan pembeli sepakat untuk menghindari biaya notaris dan mempercepat proses, langkah ini membuka pintu lebar bagi risiko yang merugikan, terutama bagi pihak pembeli yang biasanya menanggung risiko terbesar.
Seperti yang telah disebutkan, transaksi yang hanya berdasarkan kwitansi atau perjanjian di bawah tangan tidak cukup untuk mendaftarkan peralihan hak di BPN. Sertifikat tanah akan tetap atas nama penjual lama. Jika suatu saat penjual meninggal dunia, tanah tersebut bisa masuk ke dalam daftar harta warisan yang proses pembagiannya rumit.
Ini adalah risiko paling berbahaya. Karena sertifikat (akta kepemilikan) masih berada di tangan penjual, penjual yang sama dapat menjual tanah yang sama kepada pihak ketiga. Jika pihak ketiga ini melakukan proses jual beli dengan PPAT dan mendaftarkannya lebih dulu ke BPN, maka pihak pembeli pertama yang bertransaksi tanpa notaris akan kesulitan besar membuktikan klaimnya.
Jika pembeli terbukti melakukan pembayaran lunas tetapi tidak memiliki AJB otentik, gugatan perdata untuk menuntut peralihan hak akan sangat sulit dan memerlukan pembuktian saksi, bukti transfer, dan surat perjanjian yang seringkali bisa diperdebatkan di pengadilan. Proses ini memakan waktu dan biaya yang jauh lebih besar daripada biaya notaris awal.
Setiap transaksi resmi wajib melaporkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) Penjual. Transaksi tanpa notaris seringkali berarti kedua belah pihak menghindari kewajiban pajak ini, yang jika kemudian terdeteksi oleh otoritas pajak, dapat menimbulkan denda yang jauh lebih besar.
Beberapa orang berargumen bahwa jual beli tanah girik (tanah adat) yang belum bersertifikat dapat dilakukan tanpa notaris. Hal ini memang sering terjadi dalam praktik jual beli tanah warisan yang masih berupa bukti kepemilikan adat.
Namun, perlu dipahami bahwa jual beli tanah girik tanpa notaris hanyalah kesepakatan penguasaan fisik dan pembayaran. Untuk menjadikan girik tersebut memiliki kekuatan hukum penuh sebagai hak milik (SHM), **proses konversi dan pendaftaran di BPN tetap harus melalui prosedur resmi**, yang seringkali tetap memerlukan verifikasi dan dokumen yang menguatkan riwayat kepemilikan.
Jika Anda berencana membeli atau menjual tanah, pastikan langkah berikut dilakukan melalui PPAT terpercaya: