Kisah Kaum Nabi Isa: Perjalanan Iman dan Penolakan

Ilustrasi simbolis dakwah Nabi Isa di tengah kaumnya dengan latar perbukitan dan cahaya ilahi.
Ilustrasi simbolis dakwah Nabi Isa di tengah kaumnya dengan latar perbukitan dan cahaya ilahi.

Sejarah umat manusia diwarnai oleh kehadiran para utusan Tuhan yang datang silih berganti, membawa risalah kebenaran untuk membimbing kaumnya kembali ke jalan yang lurus. Di antara para nabi dan rasul agung tersebut, Nabi Isa putra Maryam menempati posisi yang sangat istimewa. Beliau diutus kepada satu kaum yang memiliki sejarah panjang, peradaban yang mapan, dan kitab suci yang agung, yaitu Bani Israil. Kisah interaksi Nabi Isa dengan kaumnya adalah sebuah epik yang sarat dengan pelajaran tentang iman, keajaiban, kesombongan, penolakan, dan kesetiaan. Memahami kaum Nabi Isa berarti menyelami kondisi sosial, politik, dan spiritual sebuah bangsa yang berada di persimpangan jalan sejarah.

Bani Israil, kaum yang menjadi tujuan utama dakwah Nabi Isa, bukanlah bangsa yang asing dengan wahyu. Mereka adalah keturunan Nabi Ya'qub, yang juga bergelar Israil. Sejarah mereka dipenuhi dengan mukjizat, mulai dari pembebasan dari perbudakan Firaun di bawah pimpinan Nabi Musa, hingga turunnya kitab Taurat dan pendirian kerajaan besar di bawah Nabi Daud dan Sulaiman. Namun, seiring berjalannya waktu, kejayaan spiritual dan material itu mulai meredup. Generasi demi generasi semakin menjauh dari ajaran murni para nabi mereka. Kehidupan beragama mereka menjadi beku, terjebak dalam ritualisme kosong dan debat hukum yang tak berkesudahan, sementara esensi spiritualitas, keikhlasan, dan kasih sayang terabaikan.

Kondisi Bani Israil Sebelum Kedatangan Sang Juru Selamat

Untuk memahami sepenuhnya dampak kedatangan Nabi Isa, kita harus terlebih dahulu melihat potret masyarakat Bani Israil pada masa itu. Mereka hidup dalam sebuah dunia yang kompleks, terhimpit antara warisan agung masa lalu dan realitas pahit masa kini. Kondisi mereka dapat dianalisis dari beberapa aspek fundamental yang saling berkaitan.

Krisis Spiritualitas dan Dominasi Formalisme Agama

Aspek yang paling krusial adalah kemerosotan spiritual. Ajaran tauhid murni yang dibawa oleh Nabi Musa telah banyak tercemar. Meskipun mereka masih menyembah satu Tuhan, praktik keagamaan mereka telah bergeser dari substansi ke bentuk. Para pemuka agama, yang terdiri dari kelompok-kelompok seperti Farisi dan Saduki, lebih sibuk memperdebatkan detail-detail hukum fikih yang rumit daripada menanamkan akhlak mulia dan ketakwaan yang tulus di hati umat.

Agama telah menjadi beban, bukan sumber ketenangan. Aturan-aturan yang mereka buat sendiri, yang seringkali melampaui ajaran Taurat yang asli, membuat rakyat jelata merasa tertekan dan jauh dari Tuhan. Kebaikan diukur dari seberapa ketat seseorang mengikuti ritual lahiriah, bukan dari kebersihan hati dan keadilan dalam perbuatan. Inilah yang menciptakan kekosongan rohani yang mendalam di tengah masyarakat. Mereka merindukan sentuhan spiritual yang sejati, sebuah pencerahan yang dapat membebaskan mereka dari belenggu formalisme yang kaku.

Penjajahan Politik dan Harapan Mesianik

Secara politik, tanah Palestina, tempat Bani Israil tinggal, berada di bawah cengkeraman Kekaisaran Romawi. Otonomi mereka sangat terbatas, dan kehadiran tentara Romawi menjadi pengingat setiap hari akan hilangnya kedaulatan mereka. Kondisi terjajah ini melahirkan rasa frustrasi kolektif dan kerinduan yang mendalam akan datangnya seorang pemimpin pembebas, seorang "Masih" atau "Messiah" yang telah dijanjikan dalam kitab-kitab mereka.

Namun, harapan mesianik ini sebagian besar bersifat duniawi. Mereka membayangkan seorang Messiah yang akan datang sebagai raja perkasa, seorang panglima perang yang akan mengusir penjajah Romawi dengan kekuatan militer dan memulihkan Kerajaan Daud dalam kemegahan politiknya. Ekspektasi ini sangat berpengaruh terhadap cara mereka memandang Nabi Isa kelak. Mereka mencari seorang raja, bukan seorang pembaharu spiritual. Mereka menginginkan revolusi politik, bukan revolusi hati.

Kesenjangan Sosial dan Ekonomi

Struktur sosial masyarakat Bani Israil pada saat itu juga menunjukkan adanya kesenjangan yang tajam. Kaum elit, yang terdiri dari para pemuka agama dan pedagang kaya, hidup dalam kemewahan dan memiliki pengaruh besar. Mereka seringkali berkolaborasi dengan penguasa Romawi untuk menjaga status quo dan kepentingan ekonomi mereka. Di sisi lain, mayoritas rakyat, seperti para nelayan, petani, dan pengrajin, hidup dalam kesederhanaan atau bahkan kemiskinan. Mereka menanggung beban pajak yang berat, baik dari Romawi maupun dari tuntutan kuil. Korupsi dan ketidakadilan merajalela, menambah penderitaan rakyat kecil. Keadaan ini menciptakan tanah yang subur bagi pesan-pesan yang menyuarakan keadilan, pembelaan terhadap kaum lemah, dan kritik terhadap kemunafikan para elit.

Kelahiran Ajaib dan Misi Kenabian Isa

Di tengah kegelapan spiritual dan keputusasaan sosial inilah, fajar baru mulai merekah. Kelahiran Nabi Isa putra Maryam adalah sebuah mukjizat agung yang sejak awal menandakan bahwa misinya akan berbeda dari apa yang diharapkan oleh kebanyakan kaumnya. Beliau lahir dari seorang perawan suci, Maryam, seorang wanita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Kelahirannya tanpa seorang ayah adalah bukti kekuasaan Tuhan yang tak terbatas, sebuah tanda yang seharusnya membuka mata hati Bani Israil.

Tanda-tanda Awal Kenabian

Sejak bayi, Nabi Isa telah menunjukkan tanda-tanda kenabiannya. Mukjizat pertamanya adalah berbicara dari dalam buaian untuk membela kesucian ibunya dari fitnah keji yang dilontarkan oleh kaumnya. Peristiwa ini adalah pernyataan tegas bahwa Isa bukanlah anak biasa; beliau adalah seorang hamba dan utusan Tuhan yang membawa misi suci. Seiring pertumbuhannya, beliau dikenal sebagai pribadi yang bijaksana, penuh kasih, dan memiliki pemahaman mendalam tentang kitab suci, bahkan melebihi para ahli Taurat yang paling terpelajar sekalipun.

Inti Ajaran dan Dakwah

Ketika tiba saatnya, Nabi Isa memulai dakwahnya secara terbuka. Pesan yang dibawanya, pada intinya, adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari ajaran para nabi sebelumnya. Namun, beliau memberikan penekanan khusus pada aspek-aspek yang telah dilupakan oleh Bani Israil.

"Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup."

Pertama, beliau menyerukan untuk kembali kepada Tauhid yang murni. Mengesakan Allah dalam ibadah dan menjauhkan diri dari segala bentuk penyekutuan. Kedua, beliau datang untuk memperbaiki dan meluruskan penyimpangan yang telah dilakukan oleh Bani Israil terhadap ajaran Taurat. Beliau menghalalkan sebagian yang sebelumnya diharamkan bagi mereka sebagai hukuman, dan mengingatkan mereka kembali pada hukum-hukum Tuhan yang asli. Ketiga, dan ini yang paling revolusioner bagi kaumnya, beliau menekankan pentingnya spiritualitas dan akhlak di atas hukum yang kaku. Beliau mengajarkan tentang cinta, pengampunan, kerendahan hati, dan kepedulian terhadap sesama, terutama kaum miskin dan terpinggirkan. Beliau mengkritik keras kemunafikan para pemuka agama yang saleh di luar namun hatinya penuh kesombongan dan cinta dunia.

Untuk menguatkan risalahnya, Allah menganugerahkan kepada Nabi Isa berbagai mukjizat yang luar biasa. Dengan izin-Nya, beliau dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahir, menyembuhkan penderita kusta, dan bahkan menghidupkan orang yang telah mati. Mukjizat-mukjizat ini bukanlah pertunjukan sihir, melainkan bukti nyata bahwa beliau adalah utusan yang didukung langsung oleh kekuatan Ilahi. Tujuannya adalah untuk membuktikan kebenaran pesannya dan menggugah hati kaumnya yang telah membatu.

Respons Kaum Bani Israil: Antara Penerimaan dan Penolakan Keras

Dakwah Nabi Isa yang revolusioner dan mukjizatnya yang menakjubkan membelah masyarakat Bani Israil menjadi dua kubu yang berseberangan secara diametral. Respons mereka menjadi cerminan dari kondisi hati dan motivasi masing-masing kelompok.

Al-Hawariyyun: Para Pengikut yang Setia

Di satu sisi, terdapat sekelompok kecil orang yang hatinya terbuka terhadap kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang tulus mencari pencerahan rohani dan muak dengan kemunafikan yang mereka saksikan. Kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan rakyat biasa: para nelayan, pengrajin, dan orang-orang yang tidak memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Al-Hawariyyun atau para murid yang setia.

Apa yang menarik mereka kepada Nabi Isa? Mereka tidak melihat seorang raja politik atau panglima perang. Sebaliknya, mereka melihat seorang guru spiritual yang penuh welas asih, seorang utusan Tuhan yang kata-katanya menyejukkan jiwa dan perbuatannya mencerminkan keagungan Ilahi. Mereka menemukan dalam ajaran Nabi Isa jawaban atas kekosongan spiritual yang mereka rasakan. Mereka melihat mukjizatnya bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai tanda kasih sayang Tuhan.

Kesetiaan Al-Hawariyyun diuji dalam berbagai kesempatan. Mereka meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka untuk mengikuti Nabi Isa, menyebarkan ajarannya, dan melayani dakwahnya. Salah satu ujian iman mereka yang paling terkenal adalah ketika mereka meminta hidangan dari langit (Al-Ma'idah). Meskipun permintaan ini menunjukkan sisa-sisa keraguan, Nabi Isa berdoa kepada Allah, dan permintaan itu dikabulkan sebagai bukti tambahan bagi mereka. Para Hawariyyun inilah yang menjadi pilar-pilar pertama penyebaran ajaran murni Nabi Isa setelah beliau diangkat ke langit.

Para Penentang: Elit yang Merasa Terancam

Di sisi lain, mayoritas dari kaum Bani Israil, terutama dari kalangan elit penguasa dan pemuka agama, menunjukkan penolakan yang sangat keras. Reaksi negatif mereka tidak lahir dari kurangnya bukti, melainkan dari berbagai faktor yang berakar pada kesombongan, ketakutan, dan kepentingan duniawi.

Alasan di Balik Penolakan

Pertama, ancaman terhadap otoritas. Para imam, pendeta, dan ahli Taurat telah membangun posisi dan status sosial mereka di atas penafsiran hukum yang rumit. Mereka adalah rujukan utama masyarakat dalam urusan agama. Kedatangan Nabi Isa, yang berbicara dengan otoritas langsung dari Tuhan dan mengkritik penafsiran mereka, dianggap sebagai serangan langsung terhadap kedudukan mereka. Jika masyarakat mengikuti Isa, maka pengaruh dan kekuasaan mereka akan runtuh.

Kedua, ekspektasi mesianik yang keliru. Seperti yang telah disebutkan, mereka mengharapkan seorang Messiah yang akan memimpin pemberontakan melawan Romawi. Nabi Isa, dengan ajarannya tentang cinta, pengampunan bahkan terhadap musuh, dan kerajaan Tuhan yang bersifat spiritual, sama sekali tidak sesuai dengan gambaran mereka. Mereka menganggapnya lemah dan tidak relevan dengan masalah utama mereka, yaitu penjajahan politik.

Ketiga, kesombongan dan kedengkian. Mereka tidak bisa menerima bahwa seorang nabi agung bisa datang dari kalangan biasa, seorang anak tukang kayu dari Nazaret. Mereka meremehkan asal-usulnya. Mukjizat-mukjizat yang jelas-jelas berasal dari Tuhan, mereka tuduh sebagai sihir yang dilakukan dengan bantuan setan. Kedengkian memenuhi hati mereka ketika melihat rakyat jelata mulai berbondong-bondong mengikuti dan mengagumi Nabi Isa. Mereka tidak sanggup melihat popularitasnya yang semakin meningkat.

Keempat, tantangan terhadap gaya hidup materialistis. Ajaran Nabi Isa yang menekankan kesederhanaan, kepedulian pada kaum miskin, dan kritik terhadap penumpukan harta benda sangat bertentangan dengan gaya hidup mewah para elit. Mereka merasa ajaran tersebut mengancam kenyamanan dan kekayaan mereka. Mereka lebih memilih dunia daripada kebenaran yang menuntut pengorbanan.

Taktik Para Penentang

Penolakan mereka tidak hanya pasif. Mereka secara aktif berusaha untuk mendiskreditkan dan menghentikan dakwah Nabi Isa. Taktik yang mereka gunakan antara lain:

Puncak Konfrontasi dan Peristiwa Pengangkatan Agung

Permusuhan kaum Nabi Isa dari kalangan elit mencapai puncaknya. Merasa bahwa semua upaya mereka untuk menghentikan dakwahnya telah gagal, para pemuka agama dan tetua Bani Israil mengambil langkah terakhir yang paling keji: merencanakan pembunuhan. Mereka berkolaborasi dengan pihak penguasa Romawi, memutarbalikkan fakta dan menuduh Nabi Isa sebagai seorang pemberontak yang mengancam stabilitas politik.

Mereka berhasil menghasut penguasa untuk mengeluarkan perintah penangkapan. Salah seorang dari pengikut Nabi Isa, Yudas Iskariot (menurut beberapa riwayat), berkhianat dan menunjukkan lokasi persembunyiannya demi imbalan duniawi. Namun, di saat-saat paling genting, ketika mereka mengira rencana jahat mereka akan berhasil, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya yang mutlak.

Menurut keyakinan Islam, Allah tidak membiarkan utusan-Nya yang mulia dihina dan dibunuh oleh tangan-tangan musuhnya. Sebaliknya, Allah menyelamatkan Nabi Isa. Dalam sebuah peristiwa yang luar biasa, Allah mengangkat Nabi Isa ke sisi-Nya di langit, dalam keadaan hidup. Sementara itu, orang yang disalib oleh mereka adalah orang lain yang diserupakan wajahnya dengan Nabi Isa, yang kemungkinan besar adalah sang pengkhianat itu sendiri. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"...padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka... sesungguhnya mereka tidak membunuhnya dengan yakin, tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya."

Peristiwa pengangkatan ini adalah puncak dari perlindungan Ilahi kepada utusan-Nya dan sekaligus menjadi hukuman bagi kaum yang menolak dan merencanakan kejahatan. Mereka ditinggalkan dalam kebingungan dan perselisihan, mengira telah berhasil membunuh sang nabi, padahal kenyataannya mereka telah gagal total. Mereka membunuh ilusi, sementara kebenaran yang dibawa Nabi Isa tetap hidup dan diselamatkan oleh Tuhan semesta alam.

Warisan dan Transformasi Umat Pasca-Isa

Pengangkatan Nabi Isa tidak serta-merta mengakhiri kisahnya atau kisah kaumnya. Peristiwa ini justru menjadi titik awal dari sebuah babak baru yang penuh dengan perjuangan, perpecahan, dan transformasi.

Perjuangan Al-Hawariyyun

Setelah Nabi Isa diangkat ke langit, Al-Hawariyyun dan para pengikut setia lainnya melanjutkan misi dakwah. Mereka menghadapi tantangan yang luar biasa. Tanpa kehadiran fisik guru mereka, dan di bawah tekanan serta persekusi yang terus-menerus dari para pemuka Bani Israil dan penguasa Romawi, mereka berusaha menjaga kemurnian ajaran tauhid yang telah disampaikan. Mereka menyebar ke berbagai penjuru untuk menyampaikan kabar gembira (Injil) kepada umat manusia. Perjuangan mereka adalah bukti keteguhan iman dan dedikasi yang luar biasa.

Terjadinya Perubahan dan Penyimpangan

Seiring berjalannya waktu dan masuknya berbagai macam pengaruh filsafat serta budaya, ajaran murni Nabi Isa mulai mengalami perubahan. Konsep tauhid yang sederhana dan lurus—bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah—secara bertahap mulai bergeser. Muncul konsep-konsep baru yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Isa, seperti konsep ketuhanan Isa, trinitas, dan penebusan dosa melalui penyaliban. Perubahan ini, dari sudut pandang Islam, merupakan penyimpangan besar dari risalah asli yang dibawa oleh semua nabi, yaitu pengesaan Allah semata.

Komunitas pengikut Nabi Isa pun terpecah. Ada yang tetap berpegang teguh pada ajaran tauhid, namun banyak pula yang terpengaruh oleh doktrin-doktrin baru. Perselisihan ini terus berlanjut selama berabad-abad, hingga ajaran yang dominan adalah ajaran yang telah mengalami perubahan signifikan dari aslinya.

Nasib Bani Israil yang Menolak

Bagi mayoritas Bani Israil yang secara sadar menolak kenabian Isa, sejarah mencatat serangkaian peristiwa tragis. Penolakan mereka terhadap seorang nabi besar yang datang dari bangsa mereka sendiri dianggap sebagai puncak pembangkangan. Tidak lama setelah peristiwa pengangkatan Nabi Isa, pemberontakan-pemberontakan mereka terhadap Romawi berakhir dengan kehancuran total Bait Suci di Yerusalem dan tercerai-berainya bangsa mereka ke seluruh penjuru dunia. Ini menjadi sebuah pelajaran sejarah yang pahit tentang akibat dari kesombongan dan penolakan terhadap petunjuk Tuhan.

Kesimpulan: Pelajaran Abadi dari Kaum Nabi Isa

Kisah kaum Nabi Isa adalah sebuah cermin besar bagi umat manusia di setiap zaman. Di dalamnya terkandung pelajaran-pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Kisah ini mengajarkan bahwa kebenaran seringkali datang dalam bentuk yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita yang bersifat duniawi. Ia menuntut kerendahan hati untuk menerimanya, bukan kesombongan yang didasarkan pada status, ilmu, atau kekayaan.

Perpecahan kaum Nabi Isa menjadi pengikut yang setia dan penentang yang keras menunjukkan bahwa iman adalah pilihan personal yang didasarkan pada kebersihan hati. Kaum lemah dan tertindas seringkali lebih mudah menerima kebenaran karena hati mereka tidak terbebani oleh kesombongan dan cinta dunia. Sebaliknya, kaum elit yang mapan cenderung menolaknya karena kebenaran mengancam zona nyaman dan kepentingan mereka.

Kisah ini juga merupakan pengingat tentang bahaya formalisme agama yang kering. Ketika ritual telah kehilangan ruhnya, ketika hukum lebih dipentingkan daripada kasih sayang dan keadilan, maka agama justru bisa menjadi penghalang antara manusia dan Tuhannya. Nabi Isa datang untuk meruntuhkan dinding-dinding itu dan mengingatkan kembali bahwa inti dari keberagamaan adalah hubungan yang tulus dan penuh cinta dengan Sang Pencipta serta kasih sayang terhadap sesama makhluk-Nya.

Pada akhirnya, perjalanan kaum Nabi Isa adalah sebuah mikrokosmos dari perjalanan spiritual umat manusia. Di setiap generasi, akan selalu ada seruan kebenaran yang menggema, dan manusia akan selalu terbagi menjadi mereka yang menyambutnya dengan hati terbuka dan mereka yang menolaknya karena berbagai alasan. Kisah ini mengajak kita untuk senantiasa mengintrospeksi diri: di pihak manakah kita akan berdiri ketika kebenaran datang menyapa?

🏠 Homepage