Membedah Makna Surat An-Nasr Ayat 3
Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, mengandung petunjuk yang tak lekang oleh waktu. Setiap surat dan ayat di dalamnya memiliki kedalaman makna yang luar biasa, salah satunya adalah Surat An-Nasr. Surat yang tergolong pendek ini sarat dengan pesan tentang kemenangan, kerendahan hati, dan esensi dari penyembahan. Fokus utama pembahasan kali ini adalah pada bagian penutupnya, yaitu surat an nasr ayat 3 bunyinya, serta tafsir dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat ini menjadi kunci untuk memahami bagaimana seorang mukmin seharusnya merespons nikmat terbesar dari Allah SWT.
Sebelum kita menyelam lebih dalam ke ayat ketiga, penting untuk memahami konteks keseluruhan surat. An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", adalah surat ke-110 dalam Al-Qur'an dan terdiri dari tiga ayat. Surat ini diturunkan di Madinah (Madaniyah) dan diyakini oleh banyak ulama sebagai salah satu surat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan ada yang berpendapat sebagai surat lengkap yang terakhir turun.
Bunyi, Bacaan, dan Terjemahan Lengkap Surat An-Nasr
Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, mari kita lihat keseluruhan Surat An-Nasr, yang berpuncak pada ayat ketiga.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ (١)
1. iżā jā`a naṣrullāhi wal-fat-ḥ
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ (٢)
2. wa ra`aitan-nāsa yadkhulụna fī dīnillāhi afwājā
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا (٣)
3. fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfir-h, innahụ kāna tawwābā
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.
Dari ketiga ayat ini, ayat pertama dan kedua menggambarkan sebuah kondisi: datangnya pertolongan Allah (An-Nasr) dan kemenangan (Al-Fath), serta dampaknya yang luar biasa yaitu manusia berbondong-bondong memeluk Islam. Ayat ketiga kemudian memberikan respons atau instruksi ilahi atas terjadinya kondisi tersebut. Inilah inti dari pesan surat ini.
Konteks Sejarah: Peristiwa Fathu Makkah
Untuk memahami kedalaman Surat An-Nasr, kita tidak bisa melepaskannya dari konteks sejarah penurunannya (Asbabun Nuzul). Mayoritas ahli tafsir sepakat bahwa surat ini berkaitan erat dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Peristiwa ini merupakan puncak dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW selama lebih dari dua dekade.
Fathu Makkah adalah sebuah kemenangan yang luar biasa. Nabi Muhammad SAW bersama sekitar 10.000 pasukan Muslim memasuki kota Makkah, kota kelahiran beliau yang dulu mengusirnya, hampir tanpa pertumpahan darah. Ini bukan penaklukan yang diwarnai arogansi dan balas dendam. Sebaliknya, Rasulullah SAW menunjukkan puncak kemuliaan akhlak. Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Makkah yang selama bertahun-tahun memusuhi, menyiksa, dan memerangi kaum Muslimin.
Kemenangan yang penuh dengan rahmat dan pengampunan ini membuka mata banyak orang. Mereka melihat kebenaran dan keagungan Islam bukan dari pedang, melainkan dari akhlak nabinya. Inilah yang digambarkan pada ayat kedua, "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah". Suku-suku Arab dari berbagai penjuru Jazirah Arab datang untuk menyatakan keislaman mereka. Misi utama Rasulullah SAW untuk menegakkan tauhid di pusat Jazirah Arab telah tercapai.
Tafsir Mendalam Surat An-Nasr Ayat 3
Setelah kemenangan besar itu diraih dan tujuan dakwah tercapai, apa yang seharusnya dilakukan? Logika manusia mungkin akan berkata: "Saatnya berpesta!", "Saatnya merayakan kemenangan!", "Saatnya menunjukkan kekuasaan!". Namun, petunjuk dari Allah SWT justru jauh lebih luhur dan mendalam. Mari kita bedah frasa per frasa dari ayat ketiga.
1. `فَسَبِّحْ` (Fasabbih) - Maka Bertasbihlah
Perintah pertama adalah Tasbih. Kata "sabbih" berasal dari akar kata "sabaha" yang berarti berenang, mengalir, atau bergerak cepat. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah. Ini adalah sebuah deklarasi aktif untuk menyatakan bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan, kelemahan, sekutu, dan segala sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya.
Mengapa perintah pertama adalah tasbih setelah kemenangan?
- Menghindari Kesombongan: Kemenangan adalah ujian terbesar bagi kerendahan hati. Sangat mudah bagi manusia untuk merasa bahwa kemenangan itu diraih karena kekuatan, kecerdasan, atau strategi hebatnya sendiri. Perintah untuk bertasbih seketika "menarik" seorang hamba kembali ke realitas, mengingatkan bahwa kemenangan ini murni karena pertolongan Allah. "Ya Allah, Engkau Maha Suci dari butuh bantuanku. Kemenangan ini bukan karena aku, tapi karena Engkau."
- Atribusi yang Tepat: Dengan bertasbih, kita mengatribusikan keberhasilan kepada sumber yang sebenarnya. Kita menyucikan Allah dari anggapan bahwa Dia memerlukan bantuan makhluk-Nya untuk menang. Kemenangan Islam bukanlah karena kehebatan pasukan, tetapi karena Allah yang menghendakinya. Tasbih adalah penegasan tauhid dalam ranah kesuksesan.
2. `بِحَمْدِ رَبِّكَ` (Bihamdi Rabbika) - Dengan Memuji Tuhanmu
Perintah ini datang menyertai tasbih. Jika tasbih adalah proses "pembersihan" atau menyucikan (negasi sifat buruk), maka Tahmid atau pujian (hamd) adalah proses "pengisian" atau penegasan (afirmasi sifat baik). Kita memuji Allah atas segala kesempurnaan-Nya: atas nama-nama-Nya yang indah, sifat-sifat-Nya yang luhur, dan tentu saja, atas nikmat kemenangan yang baru saja Dia anugerahkan.
Gabungan "Tasbih" dan "Tahmid" (`Subhanallah wa bihamdihi`) adalah bentuk zikir yang sempurna. Kita menyucikan Allah dari segala kekurangan, dan pada saat yang sama kita memuji-Nya atas segala kesempurnaan-Nya. Dalam konteks kemenangan, kalimat ini berarti:
"Maha Suci Engkau, ya Rabb, dari segala anggapan bahwa kemenangan ini karena selain-Mu, dan segala puji hanya bagi-Mu atas nikmat pertolongan dan kemenangan yang telah Engkau berikan kepada kami."
Ini adalah ekspresi syukur tertinggi. Bukan sekadar ucapan "terima kasih", tetapi pengakuan total akan keagungan Sang Pemberi Nikmat, sambil membersihkan hati dari potensi bibit-bibit kebanggaan diri.
3. `وَاسْتَغْفِرْهُ` (Wastaghfirhu) - Dan Mohonlah Ampun kepada-Nya
Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Setelah meraih puncak kesuksesan dalam misi kenabian, setelah membebaskan Makkah, setelah melihat manusia berbondong-bondong masuk Islam, mengapa perintah selanjutnya adalah Istighfar (memohon ampun)? Bukankah ini momen pencapaian, bukan momen kesalahan?
Di sinilah letak keagungan ajaran Islam. Perintah istighfar di puncak kemenangan memiliki beberapa makna filosofis yang sangat kuat:
- Pengakuan atas Ketidaksempurnaan Manusia: Tidak ada satu pun amal manusia yang sempurna, bahkan amal seorang Nabi sekalipun. Dalam proses perjuangan panjang menuju kemenangan, mungkin ada hak-hak yang belum tertunaikan secara sempurna, ada kekurangan dalam beribadah, ada kelalaian dalam berzikir, atau ada keputusan yang tidak 100% optimal. Istighfar adalah pengakuan tulus akan keterbatasan dan kekurangan diri di hadapan Allah yang Maha Sempurna.
- Benteng dari Penyakit 'Ujub (Bangga Diri): Ini adalah hikmah yang paling penting. Setelah tasbih dan tahmid, istighfar menjadi pukulan pamungkas untuk menghancurkan potensi 'ujub dan riya' (pamer). Dengan memohon ampun, seseorang secara sadar menempatkan dirinya pada posisi seorang hamba yang penuh dosa dan kekurangan, bukan sebagai pahlawan yang berjaya. Ini adalah cara ilahi untuk menjaga hati agar tetap lurus dan murni.
- Isyarat Selesainya Sebuah Tugas: Para ulama tafsir, termasuk Ibnu Abbas RA, memahami ayat ini sebagai isyarat bahwa tugas dan ajal Rasulullah SAW sudah mendekat. Sebagaimana sebuah acara besar ditutup dengan doa dan permohonan ampun (seperti doa kafaratul majelis), maka selesainya misi besar risalah kenabian pun ditutup dengan perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar. Ini adalah persiapan untuk kembali bertemu dengan Sang Pemberi Tugas, Allah SWT. Diriwayatkan bahwa setelah surat ini turun, Rasulullah SAW memperbanyak bacaan zikir ini dalam rukuk dan sujudnya.
4. `اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا` (Innahu Kaana Tawwaabaa) - Sungguh, Dia Maha Penerima Taubat
Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Setelah memerintahkan untuk memohon ampun, Allah langsung memberikan jaminan-Nya. Dia adalah At-Tawwab, sebuah bentuk superlatif yang berarti Maha Penerima taubat, atau Dia yang senantiasa dan berulang-ulang menerima taubat hamba-Nya.
Penggunaan kata `كَانَ` (kaana - adalah/telah ada) menunjukkan bahwa sifat Maha Menerima Taubat ini adalah sifat azali Allah. Sifat ini sudah ada, sedang ada, dan akan selalu ada. Ini bukan sesuatu yang baru muncul. Pesan ini memberikan dorongan dan harapan yang luar biasa. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk meminta ampun, tetapi Dia juga meyakinkan kita bahwa Dia sangat senang menerima permintaan ampun tersebut.
Penutup ini menjadi sumber optimisme. Tidak peduli seberapa besar kekurangan kita dalam perjuangan atau seberapa besar potensi kesombongan yang hinggap di hati saat sukses, pintu ampunan Allah selalu terbuka lebar. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran, kerendahan hati, dan lisan yang basah dengan istighfar.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Ayat Ketiga
Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks spesifik Fathu Makkah, pesannya bersifat universal dan abadi bagi setiap Muslim di setiap zaman. Bunyi surat an nasr ayat 3 bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah formula spiritual untuk menyikapi setiap nikmat dan keberhasilan dalam hidup.
Formula Merespons Nikmat:
Ayat ini memberikan kita sebuah protokol tiga langkah dalam menghadapi kesuksesan, baik besar maupun kecil:
- Tasbih (Penyucian): Segera sucikan Allah dari anggapan bahwa keberhasilan ini murni karena usahamu. Bersihkan hatimu dari potensi kesombongan. Ingatlah bahwa Allah tidak butuh dirimu, kamulah yang butuh pertolongan-Nya.
- Tahmid (Pujian): Puji Allah atas karunia-Nya. Ucapkan syukur yang tulus. Akui bahwa semua kebaikan, kekuatan, dan kesempatan berasal dari-Nya.
- Istighfar (Permohonan Ampun): Mohon ampun atas segala kekurangan dalam proses ikhtiarmu. Minta ampun atas kelalaian dalam bersyukur. Jadikan istighfar sebagai pelindung dari penyakit hati yang bisa merusak amal.
Bayangkan menerapkan formula ini dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Anda lulus ujian, dipromosikan di tempat kerja, berhasil menyelesaikan sebuah proyek, atau bahkan sekadar berhasil memasak makanan yang lezat. Alih-alih langsung berbangga diri, hati seorang mukmin akan langsung bergetar dan lisannya mengucapkan: "Subhanallah wa bihamdihi, astaghfirullah." (Maha Suci Allah dengan segala puji-Nya, aku memohon ampun kepada Allah). Sikap ini akan menjaga hati tetap rendah, nikmat tetap berkah, dan hubungan dengan Allah semakin erat.
Kematangan Spiritual
Ayat ini menunjukkan puncak kematangan spiritual. Seseorang yang benar-benar matang imannya tidak akan terlena oleh euforia kemenangan duniawi. Baginya, kemenangan terbesar adalah ketika ia bisa melalui sebuah kesuksesan tanpa kehilangan kerendahan hatinya di hadapan Allah. Kemenangan duniawi hanyalah sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya, bukan tujuan akhir itu sendiri.
Perintah untuk istighfar di akhir sebuah tugas besar mengajarkan kita tentang pentingnya introspeksi dan evaluasi diri secara terus-menerus. Jangan pernah merasa puas dengan amal yang telah kita lakukan. Selalu ada ruang untuk perbaikan, dan selalu ada kebutuhan akan ampunan Allah. Ini adalah sikap yang akan terus mendorong seorang hamba untuk menjadi lebih baik setiap harinya, hingga akhir hayatnya.
Kesimpulan: Gema Kemenangan yang Sesungguhnya
Surat an nasr ayat 3 bunyinya, `fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfir-h, innahụ kāna tawwābā`, adalah sebuah ayat agung yang merangkum etika seorang mukmin dalam menghadapi kemenangan. Ia mengajarkan bahwa respons terhadap pertolongan Allah bukanlah arogansi, melainkan humility (kerendahan hati) yang mendalam. Kemenangan yang hakiki bukanlah saat musuh telah takluk, tetapi saat ego dan nafsu diri berhasil ditaklukkan melalui zikir, syukur, dan istighfar.
Surat An-Nasr, yang diawali dengan kabar gembira tentang kemenangan, justru diakhiri dengan pengingat akan status kita sebagai hamba yang senantiasa butuh ampunan. Ini adalah paradoks yang indah: semakin tinggi Allah mengangkat derajat kita dengan nikmat-Nya, semakin rendah seharusnya kita bersujud di hadapan-Nya. Dengan memahami dan mengamalkan pesan ini, setiap kesuksesan yang kita raih di dunia akan menjadi tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjadi jurang yang menjauhkan kita dari-Nya. Dan di akhir segalanya, kita selalu kembali kepada-Nya, Dzat yang Maha Suci, Maha Terpuji, dan Maha Penerima Taubat.