Islam adalah agama yang komprehensif, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk urusan harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Konsep waris dalam Islam, atau faraidh, memiliki aturan yang sangat rinci dan adil untuk memastikan distribusi harta yang merata dan menghindari perselisihan antar keluarga. Ahli waris, yaitu orang-orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan, memiliki kewajiban-kewajiban penting yang harus dipenuhi sesuai syariat Islam sebelum dan sesudah harta tersebut dibagikan. Memahami kewajiban ini adalah fundamental bagi setiap Muslim yang terlibat dalam proses warisan.
Ketidakpahaman mengenai kewajiban ahli waris dapat menimbulkan dosa, perselisihan keluarga, dan bahkan menghalangi keberkahan harta warisan itu sendiri. Dalam ajaran Islam, ada tiga kewajiban utama yang harus didahulukan sebelum pembagian harta warisan dilakukan. Ketiga hal ini adalah pondasi dari proses pengelolaan harta waris yang sesuai dengan tuntunan agama.
Kewajiban pertama dan paling utama bagi ahli waris adalah menyelesaikan seluruh utang yang dimiliki oleh jenazah (orang yang meninggal). Utang ini bisa berupa pinjaman kepada individu, lembaga keuangan, atau bahkan hak-hak Allah yang belum tertunaikan, seperti zakat, kafarat, atau haji yang wajib. Berdasarkan prinsip syariat, jiwa seorang mukmin tertahan karena utangnya hingga utang tersebut dilunasi. Oleh karena itu, harta warisan wajib digunakan terlebih dahulu untuk melunasi semua tanggungan finansial jenazah sebelum dibagikan kepada ahli waris. Jika harta yang ditinggalkan tidak mencukupi untuk melunasi semua utang, maka utang tersebut dilunasi sesuai dengan kadar harta yang ada, dan para ahli waris tidak berkewajiban untuk menanggung utang tersebut melebihi nilai harta warisan.
Setelah utang jenazah dilunasi, kewajiban selanjutnya adalah melaksanakan wasiat yang ditinggalkan oleh jenazah. Wasiat dalam Islam diatur dengan batasan tertentu, yaitu maksimal sepertiga dari total harta warisan. Jika wasiat melebihi sepertiga, maka ahli waris berhak untuk menyetujui atau menolaknya. Pelaksanaan wasiat ini harus dilakukan dengan niat ikhlas demi kebaikan almarhum/almarhumah di akhirat. Wasiat bisa berupa pemberian harta kepada pihak yang bukan ahli waris, seperti fakir miskin, lembaga pendidikan, atau kegiatan sosial keagamaan lainnya. Penting untuk dicatat bahwa wasiat hanya sah jika tidak merugikan hak-hak ahli waris yang telah ditetapkan oleh syariat.
Setelah utang dilunasi dan wasiat (jika ada dan sah) dilaksanakan, barulah sisa harta peninggalan dapat dibagikan kepada para ahli waris sesuai dengan porsi yang telah ditentukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Islam telah menetapkan secara jelas siapa saja yang berhak menjadi ahli waris (seperti suami/istri, anak laki-laki, anak perempuan, orang tua, saudara, dll.) serta berapa bagian yang berhak mereka terima. Pembagian ini seringkali rumit dan memerlukan pemahaman mendalam tentang ilmu faraidh. Jika ahli waris tidak memahami cara pembagiannya, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli waris yang memahami atau lembaga keagamaan yang terpercaya untuk memastikan pembagian berjalan adil dan sesuai syariat.
Selain tiga kewajiban utama di atas, ahli waris juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial terkait harta warisan:
Dengan memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajiban ini, ahli waris tidak hanya memenuhi perintah agama, tetapi juga turut menjaga keharmonisan keluarga dan memastikan keberkahan harta peninggalan. Islam menjunjung tinggi keadilan, dan sistem warisnya adalah salah satu manifestasi nyata dari keadilan Ilahi tersebut.