Kewarisan dalam Islam, atau yang dikenal dengan istilah ilmu faraid, merupakan salah satu aspek penting dalam syariat Islam yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Konsep ini tidak hanya sekadar mekanisme pembagian materi, tetapi juga mencerminkan prinsip keadilan, kasih sayang, dan keseimbangan yang diajarkan dalam Islam. Keberadaan aturan waris dalam Al-Qur'an dan Sunnah menjadi landasan utama yang membedakannya dari sistem waris di masyarakat lain, yang seringkali didasarkan pada adat atau tradisi semata.
Prinsip Dasar Kewarisan dalam Islam
Prinsip utama dalam kewarisan Islam adalah pembagian harta yang adil dan proporsional sesuai dengan ketetapan syariat. Ketetapan ini mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk hubungan kekerabatan, peran seseorang dalam keluarga, serta tanggung jawab yang diemban. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipahami meliputi:
Ketentuan Ilahi: Pembagian waris telah diatur secara rinci dalam Al-Qur'an, terutama pada Surah An-Nisa ayat 11-12, serta diperjelas melalui hadits Nabi Muhammad SAW. Ini menegaskan bahwa hukum waris Islam bersifat fundamental dan tidak dapat diubah semena-mena.
Keadilan dan Kesetaraan: Meskipun seringkali ada perbedaan porsi antara laki-laki dan perempuan, sistem waris Islam tetap menekankan pada keadilan. Perbedaan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab finansial yang lebih besar dalam menafkahi keluarga.
Hak Ahli Waris: Setiap ahli waris memiliki hak yang jelas atas harta peninggalan sesuai dengan bagian yang telah ditentukan syariat. Tidak seorang pun berhak mengurangi atau menambah bagian tersebut tanpa alasan yang dibenarkan.
Urutan Ahli Waris: Ada hirarki ahli waris yang ditetapkan, di mana yang lebih dekat kedudukannya kepada pewaris berhak menerima warisannya, selagi ada.
Golongan Ahli Waris
Dalam ilmu faraid, ahli waris dibagi menjadi beberapa golongan utama, yaitu:
1. Ahli Waris Dzawi Al-Qur'ud (Penerima Bagian Pasti)
Mereka adalah ahli waris yang bagiannya telah ditentukan secara pasti dalam Al-Qur'an. Golongan ini antara lain:
Suami/Istri
Anak Perempuan
Anak Laki-laki (dalam kondisi tertentu, jika tidak ada anak laki-laki, maka anak perempuan menerima bagian yang lebih besar)
Ayah
Ibu
Saudara Perempuan Kandung
Saudara Perempuan Seibu (jika tidak ada saudara laki-laki kandung)
2. Asabah (Penerima Sisa)
Mereka adalah ahli waris yang berhak menerima sisa harta setelah dibagikan kepada Dzawi Al-Qur'ud. Jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa. Golongan ini meliputi:
Anak Laki-laki
Cucu Laki-laki (dari anak laki-laki)
Ayah
Kakek
Saudara Laki-laki Kandung
Saudara Laki-laki Seibu
Saudara Laki-laki Seayah
Paman Kandung
Anak Paman Kandung
Dan seterusnya ke bawah dan ke atas berdasarkan kedekatan
3. Dzul Fardayn (Gabungan Dzawi Al-Qur'ud dan Asabah)
Golongan ini berhak mendapatkan bagian pasti terlebih dahulu, dan jika masih ada sisa, mereka berhak menerimanya sebagai asabah. Contohnya adalah anak perempuan yang bersama dengan anak laki-laki.
Beberapa Ketentuan Penting
Selain golongan ahli waris, terdapat beberapa ketentuan penting lainnya dalam kewarisan Islam:
Utang Pewaris: Utang almarhum/almarhumah harus dilunasi terlebih dahulu sebelum harta dibagikan kepada ahli waris.
Wasiat: Wasiat yang sah sesuai syariat (maksimal sepertiga harta) dapat dipenuhi setelah utang dilunasi dan sebelum harta dibagikan.
Perbedaan Porsi: Porsi laki-laki umumnya dua kali lipat dari perempuan. Ini bukan diskriminasi, melainkan refleksi tanggung jawab finansial yang dibebankan kepada laki-laki.
Halangan Waris: Ada beberapa hal yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan, seperti perbedaan agama (dalam kasus pewaris Muslim) atau pembunuhan terhadap pewaris.
Memahami dan melaksanakan kewarisan dalam Islam adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan wujud penghormatan terhadap hak-hak ahli waris. Dalam praktiknya, perhitungan waris bisa menjadi kompleks, sehingga sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan ahli ilmu faraid atau lembaga keislaman yang terpercaya untuk memastikan pembagian harta yang adil dan sesuai syariat. Tujuannya adalah untuk menghindari perselisihan dan menjaga silaturahmi antar anggota keluarga.