Kaligrafi Lafaz Allah

Memahami Sifat Wajah (Muka) Allah Subhanahu wa Ta'ala

Pembahasan mengenai Nama-Nama (Asma') dan Sifat-Sifat (Sifat) Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan inti dari ilmu aqidah dan pilar keimanan seorang Muslim. Mengenal Allah melalui apa yang Dia firmankan tentang Diri-Nya dalam Al-Qur'an dan apa yang dijelaskan oleh Rasul-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah sebuah kewajiban yang mendatangkan ketenangan jiwa, kekuatan tauhid, dan keagungan dalam hati. Di antara sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam nas-nas syar'i adalah sifat Wajh, yang sering diterjemahkan sebagai Wajah atau Muka.

Topik ini merupakan salah satu pembahasan yang sangat sensitif dan memerlukan kehati-hatian, kejernihan berpikir, dan sandaran yang kokoh pada metodologi para ulama salafus shalih (generasi terdahulu yang saleh). Kesalahan dalam memahaminya dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dua jurang kesesatan: tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) atau ta'thil (menolak dan menafikan sifat-sifat-Nya). Oleh karena itu, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menempuh jalan tengah yang lurus, yaitu menetapkan apa yang Allah tetapkan bagi Diri-Nya tanpa menyerupakan-Nya dengan apapun, dan menyucikan-Nya dari segala kekurangan tanpa menolak sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

Dalil-Dalil Penetapan Sifat Wajah dari Al-Qur'an

Al-Qur'an al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam, menyebutkan sifat Wajah bagi Allah Ta'ala dalam beberapa ayat. Ayat-ayat ini menjadi dasar bagi kaum Muslimin untuk mengimani dan menetapkan sifat tersebut sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Memahami ayat-ayat ini dalam konteksnya yang benar adalah kunci untuk menghindari penyimpangan.

1. Surah Ar-Rahman, Ayat 26-27

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kefanaan seluruh makhluk dan kekekalan Dzat-Nya Yang Maha Mulia. Dalam ayat ini, Allah secara spesifik menyebutkan Wajah-Nya sebagai sesuatu yang kekal.

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ﴿٢٦﴾ وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ﴿٢٧﴾

"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan."

Ayat ini dengan sangat jelas menetapkan adanya "Wajah" bagi Allah (Wajhu Rabbika). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa penyebutan "Wajah" di sini merujuk kepada Dzat Allah itu sendiri. Mengapa Wajah yang disebut? Karena Wajah adalah bagian yang paling mulia dan menjadi representasi dari sebuah eksistensi. Ketika dikatakan "Wajah-Nya tetap kekal", ini menegaskan kekekalan Dzat Allah secara keseluruhan. Namun, ini tidak berarti kita menafikan lafaz "Wajah" itu sendiri. Ahlus Sunnah menetapkan lafaz dan makna yang terkandung di dalamnya. Mereka meyakini Allah memiliki Wajah yang hakiki, yang sesuai dengan keagungan-Nya, dan Wajah tersebut bersifat kekal, mulia, dan agung, tidak sama seperti wajah makhluk yang fana dan penuh kekurangan.

2. Surah Al-Qasas, Ayat 88

Dalam konteks yang serupa dengan ayat sebelumnya, Allah menegaskan bahwa segala sesuatu akan hancur kecuali Diri-Nya. Sekali lagi, ungkapan yang digunakan adalah "Wajah-Nya".

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ۘ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ ۚ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ﴿٨٨﴾

"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan."

Ayat ini memperkuat dalil sebelumnya. Ungkapan "kecuali Wajah-Nya" (illa Wajhah) kembali menegaskan eksistensi sifat ini. Para ulama salaf memahami ayat ini sebagaimana adanya: mereka menetapkan sifat Wajah bagi Allah tanpa bertanya "bagaimana" rupanya. Mereka memahami bahwa Wajah Allah adalah bagian dari Dzat-Nya yang suci. Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya menafsirkan illa Wajhah dengan "kecuali kerajaan-Nya" atau "kecuali apa yang diniatkan untuk mencari Wajah-Nya". Penafsiran ini tidak menafikan sifat Wajah itu sendiri, melainkan menjelaskan salah satu makna yang terkandung dalam konteks ayat, yaitu amal saleh yang dikerjakan demi mencari Wajah Allah akan kekal pahalanya. Namun, makna dasarnya tetap, yaitu Dzat Allah yang disifati dengan Wajah adalah kekal.

3. Surah Al-Baqarah, Ayat 115

Ayat ini seringkali menjadi bahan perdebatan, namun bagi mereka yang memahami kaidah Ahlus Sunnah, ayat ini justru memperkuat keimanan.

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿١١٥﴾

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Beberapa kelompok yang menyimpang menggunakan ayat ini untuk mengatakan bahwa Allah ada di mana-mana. Ini adalah pemahaman yang keliru. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa konteks ayat ini adalah tentang shalat sunnah di atas kendaraan saat bepergian, atau ketika seseorang tidak mengetahui arah kiblat dan telah berijtihad. Ke mana pun ia menghadap, shalatnya sah, karena di sanalah arah yang Allah perintahkan untuk menghadap pada kondisi tersebut. Maka, "Wajah Allah" di sini bermakna "Kiblat yang diridhai Allah" atau "Arah yang Allah tetapkan". Ini adalah penafsiran konteks (ta'wil yang dibenarkan), bukan penolakan terhadap sifat Wajah itu sendiri. Ahlus Sunnah tetap meyakini Allah memiliki Wajah yang hakiki, namun dalam ayat ini, kata "Wajah" digunakan untuk makna lain yang sesuai konteksnya, yaitu arah kiblat. Ini menunjukkan kekayaan bahasa Arab dan pentingnya memahami konteks dalam menafsirkan Al-Qur'an.

4. Surah Al-Insan, Ayat 9

Ayat ini menunjukkan bagaimana amal yang ikhlas selalu dikaitkan dengan "Wajah Allah".

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾

"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan (Wajah) Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih."

Di sini, frasa "li wajhillah" secara konsensus ulama berarti "demi mencari keridhaan Allah dan pahala dari-Nya". Ini menunjukkan bahwa salah satu konsekuensi dari mengimani Wajah Allah adalah menjadikan tujuan hidup dan ibadah kita hanya untuk-Nya. Ikhlas adalah memurnikan niat semata-mata untuk mencari Wajah Allah. Ini tidak menafikan bahwa Allah memiliki Wajah yang hakiki, justru memperkuatnya. Karena Wajah-Nya begitu mulia dan agung, maka ia menjadi tujuan tertinggi bagi setiap hamba dalam beramal.

Dalil-Dalil dari As-Sunnah An-Nabawiyyah

Hadis-hadis Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan penjelasan dan penegasan lebih lanjut mengenai sifat-sifat Allah, termasuk sifat Wajah. Hadis-hadis ini menjadi penjelas Al-Qur'an dan tidak boleh diabaikan.

1. Hadis tentang Doa Perlindungan

Dalam sebuah doa yang masyhur, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung dengan Wajah Allah yang Mulia. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah:

"Ketika turun ayat, 'Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atasmu atau dari bawah kakimu...' (Al-An'am: 65), Rasulullah berdoa: 'Aku berlindung dengan Wajah-Mu.' ... Beliau terus mengulang: 'Aku berlindung dengan Wajah-Mu.'" (HR. Al-Bukhari)

Doa ini adalah penetapan yang sangat eksplisit. Rasulullah berlindung kepada Sifat (Wajah), dan berlindung kepada sifat pada hakikatnya adalah berlindung kepada Dzat yang memiliki sifat tersebut. Jika Wajah Allah bukanlah sifat yang hakiki, maka doa ini tidak akan memiliki makna yang mendalam. Ini menunjukkan betapa agungnya sifat Wajah Allah, hingga Rasulullah pun menjadikannya sebagai wasilah dalam berdoa memohon perlindungan dari azab.

2. Hadis tentang Kenikmatan Terbesar di Surga

Kenikmatan puncak bagi para penghuni surga bukanlah istana megah, sungai-sungai yang mengalir, atau bidadari yang jelita, melainkan melihat Wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan untuk kalian?’ Mereka menjawab: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?’ Rasulullah bersabda: ‘Lalu Allah membukakan hijab-Nya, maka tidak ada suatu kenikmatan pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih mereka cintai daripada memandang Wajah Tuhan mereka.’" (HR. Muslim)

Hadis ini merupakan dalil yang paling kuat dan jelas tentang hakikat Wajah Allah dan bahwa Wajah tersebut dapat dilihat oleh kaum mukminin di akhirat. "Melihat Wajah Allah" (An-Nazhar ila Wajhillah) adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang diyakini berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis mutawatir. Ini adalah ganjaran terbesar bagi hamba-hamba yang ikhlas. Penglihatan ini adalah penglihatan yang hakiki, dengan mata kepala, namun tentunya dengan cara yang tidak dapat kita bayangkan dan tidak sama dengan melihat makhluk.

Prinsip Utama Ahlus Sunnah dalam Memahami Sifat Wajah

Untuk memahami sifat Wajah dan sifat-sifat lainnya dengan benar, Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpegang teguh pada kaidah-kaidah emas yang diwariskan dari generasi salaf. Kaidah-kaidah ini menjaga seorang Muslim dari ketergelinciran.

1. Al-Itsbat (Penetapan)

Prinsip pertama adalah menetapkan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Jika Al-Qur'an dan As-Sunnah menyebutkan bahwa Allah memiliki Wajah, maka kita wajib mengimani dan menetapkannya. Menolaknya berarti menolak nas yang sahih, sebuah tindakan yang sangat berbahaya. Penetapan ini dilakukan tanpa keraguan sedikit pun, sebagai bentuk ketundukan total kepada wahyu.

2. At-Tanzih (Penyucian)

Prinsip kedua, yang berjalan beriringan dengan yang pertama, adalah menyucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk-Nya (tasybih atau tamtsil). Kita menetapkan Allah memiliki Wajah, tetapi kita juga meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Wajah-Nya tidak sama dengan wajah makhluk. Kaidah utamanya adalah firman Allah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini adalah pedang yang memenggal segala bentuk khayalan dan pemikiran untuk menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya. Bagian pertama ayat (Laisa kamitslihi syai'un) menolak tasybih, sementara bagian kedua (Wa huwas sami'ul bashir) menetapkan sifat dan menolak ta'thil. Jadi, kita katakan: Allah memiliki Wajah yang layak dengan keagungan-Nya, sebagaimana Dia memiliki pendengaran dan penglihatan yang layak dengan keagungan-Nya, yang semua itu tidak serupa dengan makhluk.

3. Bila Kayf (Tanpa Bertanya 'Bagaimana')

Prinsip ketiga adalah menyerahkan pengetahuan tentang kaifiyat (hakikat atau 'bagaimana'-nya) sifat tersebut kepada Allah semata. Akal manusia sangat terbatas dan tidak akan pernah mampu menjangkau hakikat Dzat dan Sifat Allah. Imam Malik bin Anas, ketika ditanya tentang istiwa' (bersemayamnya) Allah di atas 'Arsy, memberikan jawaban yang menjadi kaidah baku Ahlus Sunnah: "Istiwa' itu maklum (maknanya diketahui), kaifiyat-nya majhul (tidak diketahui), mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah."

Prinsip yang sama berlaku untuk sifat Wajah. Kita tahu makna "wajah" dalam bahasa Arab, yaitu bagian depan yang mulia. Kita mengimani Allah memiliki Wajah dengan makna ini, sesuai dengan kebesaran-Nya. Namun, kita tidak tahu dan tidak boleh bertanya, "Bagaimana bentuk Wajah Allah? Terbuat dari apa? Berapa ukurannya?" Pertanyaan semacam ini adalah bid'ah yang tercela karena merupakan upaya untuk menjangkau sesuatu yang di luar kapasitas akal manusia dan tidak pernah dijelaskan oleh wahyu.

4. Memahami Makna, Menyerahkan Hakikat

Sebagian orang salah paham dan mengira bahwa metode salaf adalah tafwidh al-ma'na (menyerahkan maknanya secara total), seolah-olah lafaz "Wajah" adalah huruf-huruf acak tanpa makna. Ini adalah kekeliruan. Yang benar adalah metode tafwidh al-kayfiyyah (menyerahkan hakikatnya). Para salaf memahami makna dari sifat-sifat tersebut sesuai dengan konteks bahasa Arab, namun mereka tidak mengetahui hakikatnya. Kita paham makna "Wajah", "Tangan", "Mata", namun hakikat Wajah, Tangan, dan Mata Allah hanya Allah yang tahu. Pemahaman makna inilah yang membuahkan dampak keimanan, seperti rasa takut, cinta, dan pengagungan kepada Allah.

Kesalahan-Kesalahan Fatal dalam Memahami Sifat Wajah

Jalan lurus Ahlus Sunnah diapit oleh dua jurang kesesatan. Mengenali kesesatan ini penting agar kita tidak terperosok ke dalamnya.

1. At-Tasybih dan At-Tajsim (Antropomorfisme)

Ini adalah kesalahan kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka membaca lafaz "Wajah" lalu membayangkan wajah seperti wajah manusia atau makhluk lainnya. Mereka menetapkan sifat, tetapi melanggar prinsip tanzih. Mereka lupa atau mengingkari ayat "Laisa kamitslihi syai'un". Ini adalah kesesatan yang nyata karena merendahkan keagungan Allah dengan menyamakan-Nya dengan ciptaan-Nya yang lemah dan fana. Ahlus Sunnah berlepas diri dari paham ini.

2. At-Ta'thil (Penolakan dan Penafian)

Ini adalah kesalahan kelompok yang menolak dan menafikan sifat-sifat Allah dengan dalih untuk menyucikan-Nya. Mereka beranggapan bahwa menetapkan sifat seperti Wajah akan secara otomatis membawa pada penyerupaan. Karena ingin lari dari tasybih, mereka jatuh ke dalam ta'thil. Mereka menolak nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah atau menyelewengkannya (tahrif) dengan penafsiran-penafsiran batil yang tidak berdasar. Misalnya, mereka mengatakan "Wajah Allah" itu maknanya "Dzat" secara mutlak dan menafikan adanya sifat bernama Wajah. Atau mereka menafsirkannya sebagai "pahala". Meskipun makna "pahala" atau "keridhaan" bisa menjadi salah satu konsekuensi atau makna kontekstual, menafikan makna aslinya secara total adalah bentuk penolakan terhadap nas. Jalan ini juga sesat karena menolak apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Jalan tengah Ahlus Sunnah adalah menetapkan tanpa menyerupakan, dan menyucikan tanpa menafikan. Inilah jalan keselamatan yang penuh dengan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Implikasi Iman kepada Sifat Wajah Allah dalam Kehidupan Muslim

Mengimani sifat Wajah Allah bukanlah sekadar perdebatan teologis yang kering. Keimanan yang benar akan melahirkan buah-buah manis dalam hati dan amal perbuatan seorang hamba. Inilah tujuan utama dari mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya.

1. Menumbuhkan Rasa Ikhlas yang Mendalam

Seperti yang telah disinggung, ungkapan "mencari Wajah Allah" (ibtigha'a wajhillah) adalah esensi dari ikhlas. Ketika seorang hamba benar-benar memahami keagungan, keindahan, dan kemuliaan Wajah Allah, maka tidak ada lagi tujuan lain dalam hidupnya yang dapat menandingi tujuan untuk meraih keridhaan-Nya. Setiap ibadah, baik shalat, puasa, sedekah, maupun akhlak mulia, semuanya dilakukan dengan satu niat: agar Allah ridha dan kelak mengizinkannya untuk memandang Wajah-Nya yang mulia. Keimanan ini memurnikan amal dari noda riya' (pamer), sum'ah (ingin didengar), dan tujuan-tujuan duniawi lainnya.

2. Melahirkan Pengagungan Tertinggi kepada Allah

Wajah adalah representasi kemuliaan dan kehormatan. Mengimani bahwa Allah memiliki Wajah yang penuh dengan kebesaran (Dzul Jalal) dan kemuliaan (wal Ikram) akan membuat hati seorang hamba dipenuhi dengan rasa takjub dan pengagungan. Kita akan menyadari betapa hinanya diri kita di hadapan Rabb Yang Maha Agung. Pengagungan ini akan tercermin dalam sikap kita saat beribadah, saat berdoa, dan dalam setiap aspek kehidupan. Kita akan merasa malu untuk berbuat maksiat kepada Dzat yang memiliki Wajah sedemikian agung.

3. Menjadi Sumber Kerinduan untuk Bertemu Allah

Bagi seorang mukmin, puncak dari segala kenikmatan adalah perjumpaan dengan Allah dan memandang Wajah-Nya di surga. Keimanan ini menumbuhkan kerinduan yang membara di dalam hati. Dunia dan segala isinya terasa kecil dan remeh dibandingkan dengan janji agung ini. Kerinduan inilah yang menjadi bahan bakar bagi seorang hamba untuk terus istiqamah di jalan ketaatan, sabar dalam menghadapi ujian, dan bersemangat dalam beramal saleh. Ia tahu bahwa setiap tetes keringat dan air mata di jalan Allah akan terbayar lunas dengan satu pandangan kepada Wajah Rabb-nya.

4. Memberikan Ketenangan dan Perlindungan

Doa Rasulullah yang berlindung dengan cahaya Wajah Allah mengajarkan kita bahwa Wajah-Nya adalah sumber keamanan. Ketika dunia terasa gelap oleh masalah dan fitnah, seorang hamba dapat menengadahkan tangannya dan memohon perlindungan kepada Pemilik Wajah Yang Maha Bercahaya. Keyakinan bahwa kita berada di bawah pengawasan dan perlindungan Dzat Yang Maha Mulia ini akan memberikan ketenangan jiwa yang tiada tara, mengusir rasa takut kepada selain-Nya, dan menguatkan tawakal kita.

Kesimpulan

Pembahasan tentang sifat muka Allah SWT atau Wajah-Nya adalah pilar penting dalam aqidah Islam yang bersumber langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ahlus Sunnah wal Jama'ah, mengikuti jejak para salafus shalih, menetapkan sifat ini bagi Allah secara hakiki, dengan keyakinan penuh bahwa Wajah-Nya agung, mulia, dan kekal, sesuai dengan kebesaran-Nya.

Prinsip dasarnya adalah menetapkan apa yang nas sebutkan tanpa melakukan tasybih (penyerupaan dengan makhluk), ta'thil (penolakan), tahrif (penyelewengan makna), dan takyif (bertanya tentang 'bagaimana'-nya). Kita mengimani lafaz dan maknanya, namun menyerahkan hakikat dan kaifiyatnya kepada ilmu Allah semata, sambil senantiasa berpegang pada firman-Nya, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia."

Keimanan yang benar terhadap sifat Wajah Allah akan melahirkan hamba yang ikhlas, yang mengagungkan Rabb-nya, yang merindukan perjumpaan dengan-Nya, dan yang senantiasa mencari perlindungan pada kemuliaan-Nya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan kepada kita pemahaman aqidah yang lurus dan memberikan kita kenikmatan tertinggi dengan memandang Wajah-Nya yang Mulia di surga kelak. Aamiin ya Rabbal 'alamin.

🏠 Homepage