Nabi Syits 'alayhissalam: Sang Pewaris Kenabian Pertama
Ilustrasi tunas kenabian sebagai warisan suci.
Dalam bentangan sejarah manusia yang luas, tersembunyi kisah-kisah para utusan agung yang menjadi pelita di tengah kegelapan zaman. Setelah Nabi Adam 'alayhissalam, manusia pertama dan nabi pertama, tongkat estafet kenabian tidak berhenti. Ia diwariskan kepada seorang putra yang saleh, bijaksana, dan terpilih. Dialah Nabi Syits 'alayhissalam, sang nabi ke 2, yang namanya mungkin tidak sepopuler nabi-nabi besar lainnya, namun perannya begitu fundamental dalam menjaga kemurnian ajaran tauhid di awal peradaban manusia. Kisahnya adalah tentang warisan, amanah, dan harapan yang tumbuh setelah sebuah tragedi besar.
Nama "Syits" sendiri memiliki makna yang mendalam, sering diartikan sebagai "Anugerah Allah" atau "Pengganti". Nama ini bukan sekadar sebutan, melainkan cerminan dari keadaan kelahirannya. Ia lahir sebagai anugerah terindah dari Sang Pencipta untuk menghibur hati kedua orang tuanya, Nabi Adam dan Hawa, yang dirundung duka mendalam setelah peristiwa tragis yang menimpa kedua putra mereka, Habil dan Qabil. Kehadiran Syits adalah fajar baru, sebuah janji bahwa garis keturunan yang saleh akan terus berlanjut dan ajaran ilahi tidak akan pernah padam.
Kelahiran Sang Penghibur Hati
Untuk memahami betapa pentingnya kelahiran Nabi Syits, kita harus kembali pada suasana duka yang menyelimuti keluarga pertama di muka bumi. Nabi Adam dan Hawa telah merasakan kebahagiaan memiliki keturunan, namun kebahagiaan itu tercabik oleh tragedi pertama dalam sejarah umat manusia: pembunuhan Habil oleh saudaranya, Qabil. Peristiwa ini bukan hanya merenggut nyawa seorang anak yang saleh, tetapi juga menorehkan luka yang dalam akibat dosa, kedengkian, dan penyesalan. Adam, sebagai seorang ayah dan seorang nabi, merasakan beban kesedihan yang tak terperi. Ia kehilangan putra terbaiknya dan melihat putra lainnya terjerumus ke dalam jurang kegelapan.
Di tengah awan kelabu kesedihan inilah, Allah SWT dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, memberikan anugerah-Nya. Hawa mengandung dan melahirkan seorang putra yang paras dan akhlaknya begitu mirip dengan Nabi Adam. Anak itu diberi nama Syits. Kelahirannya ibarat hujan yang turun di tanah yang kering kerontang, menumbuhkan kembali benih-benih harapan. Ia menjadi pengganti Habil dalam kesalehan dan menjadi pelipur lara bagi kedua orang tuanya. Sejak kecil, Syits telah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan. Ia memiliki kecerdasan yang cemerlang, hati yang lembut, sifat yang santun, dan ketaatan yang luar biasa kepada Allah dan orang tuanya.
Nabi Adam mencurahkan kasih sayang dan perhatian penuh kepada Syits. Ia melihat pada diri putranya ini bukan hanya seorang anak, tetapi juga seorang calon pewaris risalah kenabian. Adam tahu bahwa tugasnya sebagai pembawa wahyu pertama harus dilanjutkan. Umat manusia, yang mulai berkembang biak, tidak boleh dibiarkan tanpa panduan. Oleh karena itu, Adam mempersiapkan Syits dengan sebaik-baiknya, mendidiknya secara langsung dengan ilmu yang ia terima dari Allah SWT.
Pendidikan Langsung dari Nabi Pertama
Nabi Syits 'alayhissalam mendapatkan sebuah kehormatan yang tidak dimiliki oleh nabi lain: ia belajar langsung dari nabi pertama, ayahnya sendiri. Ini bukan sekadar pendidikan biasa antara ayah dan anak, melainkan sebuah transfer ilmu kenabian yang paling murni dan otentik. Nabi Adam, yang telah berdialog langsung dengan Allah, menyaksikan keagungan surga, dan memahami hakikat penciptaan serta godaan Iblis, mewariskan seluruh pengetahuannya kepada Syits.
Ilmu Tauhid: Fondasi Utama Ajaran
Inti dari semua ajaran yang diwariskan Adam kepada Syits adalah tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT. Adam mengajarkan putranya tentang hakikat Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Ia menjelaskan tentang sifat-sifat keagungan Allah: Maha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Adam menanamkan keyakinan yang kokoh di dalam jiwa Syits bahwa seluruh alam semesta, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, adalah bukti nyata kekuasaan-Nya. Pelajaran ini menjadi benteng pertama dan utama untuk melawan segala bentuk penyimpangan dan kesyirikan yang mungkin muncul di masa depan.
Warisan Suhuf (Lembaran-Lembaran Wahyu)
Selain ajaran lisan, Nabi Adam juga diamanahi oleh Allah berupa suhuf, yaitu lembaran-lembaran yang berisi wahyu dan petunjuk. Lembaran-lembaran suci ini berisi prinsip-prinsip dasar kehidupan, hukum-hukum awal, kisah penciptaan, serta nasihat-nasihat ilahi. Nabi Adam dengan sangat hati-hati menjaga suhuf ini dan mengajarkan isinya kepada Syits. Ia memastikan bahwa Syits tidak hanya mampu membaca dan menghafalnya, tetapi juga memahami makna dan hikmah di baliknya. Proses ini adalah cikal bakal dari tradisi pemeliharaan wahyu yang akan terus berlanjut pada nabi-nabi setelahnya. Syits menjadi penjaga pertama dari warisan tertulis kenabian.
Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan Hidup
Kenabian tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang bagaimana memakmurkan bumi. Nabi Adam, yang diajarkan oleh Allah "nama-nama (benda) semuanya", memiliki pengetahuan dasar tentang alam. Ia mengajarkan Syits tentang cara bercocok tanam, beternak, membangun tempat tinggal yang layak, serta memahami ritme alam seperti pergantian siang dan malam dan pergerakan bintang-bintang untuk penanda waktu. Ilmu-ilmu ini adalah fondasi bagi perkembangan peradaban manusia. Syits dididik untuk menjadi pemimpin yang tidak hanya membimbing spiritualitas umatnya, tetapi juga mampu mengarahkan mereka dalam urusan duniawi agar hidup mereka lebih baik dan teratur.
Pengangkatan sebagai Nabi dan Wasiat Sang Ayah
Seiring berjalannya waktu, Nabi Adam mencapai usia senja. Ia tahu bahwa perjalanannya di dunia akan segera berakhir. Sebagai seorang nabi yang bertanggung jawab, ia harus memastikan bahwa misinya tidak akan berhenti bersamanya. Maka, ia pun mengumpulkan seluruh anak cucunya. Di hadapan mereka semua, Nabi Adam secara resmi memberikan wasiatnya dan menunjuk Syits 'alayhissalam sebagai penggantinya, pewaris ilmu dan kenabiannya.
Ini adalah momen yang sangat sakral. Adam berwasiat kepada Syits untuk selalu berpegang teguh pada tali tauhid, untuk menyembah Allah semata dan tidak pernah menyekutukan-Nya. Ia memerintahkan Syits untuk memimpin saudara-saudaranya dan keturunannya dengan adil, mengajarkan mereka tentang kebenaran dan kebaikan, serta memperingatkan mereka dari tipu daya Iblis yang tak akan pernah berhenti menggoda. Adam juga menyerahkan suhuf ilahi dan pengetahuan-pengetahuan rahasia tentang masa depan yang telah Allah wahyukan kepadanya.
"Wahai anakku," demikian pesan Adam, "Engkau adalah penggantiku bagi kaummu. Pimpinlah mereka dengan kebenaran, ajarkanlah mereka apa yang telah aku ajarkan kepadamu, dan jangan biarkan godaan musuhmu yang nyata menyesatkan mereka dari jalan yang lurus."
Dengan wasiat ini, Nabi Syits secara resmi mengemban amanah kenabian. Beban di pundaknya kini sangat berat. Ia tidak lagi hanya seorang anak yang saleh, tetapi telah menjadi seorang rasul, seorang nabi ke 2 yang bertanggung jawab atas bimbingan seluruh umat manusia pada masanya. Setelah Nabi Adam wafat, Syits pun melaksanakan wasiat ayahnya dengan penuh dedikasi.
Misi Dakwah Nabi Syits 'alayhissalam
Misi dakwah Nabi Syits berpusat pada upaya menjaga dan melestarikan ajaran murni yang telah diwariskan oleh ayahnya. Pada masa itu, umat manusia masih terkonsentrasi di satu wilayah dan merupakan satu keluarga besar. Namun, seiring bertambahnya populasi, potensi perpecahan dan penyimpangan mulai muncul.
Menegakkan Syariat Pertama
Nabi Syits menegakkan syariat atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi Adam, dan kemudian disempurnakan dengan wahyu baru yang ia terima. Diriwayatkan bahwa Allah menurunkan 50 suhuf tambahan kepada Nabi Syits. Hukum-hukum ini mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari cara beribadah kepada Allah, aturan pernikahan, hingga prinsip-prinsip muamalah (interaksi sosial). Salah satu aturan penting yang ditegakkan adalah larangan pernikahan antara saudara kembar laki-laki dan perempuan, sebuah aturan yang menjadi pembeda antara garis keturunan Syits yang taat dengan garis keturunan Qabil yang mulai membangkang.
Dakwahnya dilakukan dengan penuh hikmah dan kelembutan. Ia menjadi teladan utama dalam segala hal. Ibadahnya, akhlaknya, kejujurannya, dan keadilannya menjadi cermin hidup dari ajaran yang ia sampaikan. Ia tidak pernah lelah mengingatkan kaumnya untuk senantiasa bersyukur atas nikmat Allah, untuk saling mengasihi, dan untuk menghindari sifat-sifat tercela seperti iri hati, kesombongan, dan kemarahan yang telah menjadi penyebab tragedi Habil dan Qabil.
Menghadapi Tantangan Awal Penyimpangan
Tantangan terbesar bagi dakwah Nabi Syits datang dari keturunan Qabil. Setelah diusir karena dosanya, Qabil dan keturunannya memilih untuk hidup terpisah. Mereka membangun komunitas sendiri yang secara perlahan mulai menjauh dari ajaran tauhid. Diceritakan bahwa di kalangan merekalah mulai muncul praktik-praktik yang melalaikan dari mengingat Allah. Mereka menciptakan alat-alat musik bukan untuk kebaikan, melainkan untuk hiburan yang melenakan. Mereka mulai mengagungkan kekuatan fisik dan keindahan materi di atas kesalehan spiritual.
Nabi Syits senantiasa memperingatkan kaumnya agar tidak terpengaruh oleh gaya hidup keturunan Qabil. Ia membangun "benteng" spiritual yang kokoh di sekitar komunitasnya, menekankan pentingnya menjaga kemurnian ibadah dan kesederhanaan hidup. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah terletak pada kenikmatan duniawi yang fana, melainkan pada kedekatan dengan Sang Pencipta. Perjuangan Nabi Syits ini adalah perjuangan abadi antara kebenaran dan kebatilan, antara spiritualitas dan materialisme, sebuah tema yang terus berulang sepanjang sejarah kenabian.
Warisan Abadi Sang Nabi Kedua
Meskipun hidup di zaman purba, warisan Nabi Syits 'alayhissalam bagi peradaban manusia sangatlah besar dan fundamental. Perannya melampaui sekadar menjadi nabi bagi kaumnya pada masa itu.
Peletak Dasar Peradaban Tauhid
Jika Nabi Adam adalah peletak batu pertama, maka Nabi Syits adalah arsitek yang membangun fondasi peradaban manusia di atas dasar tauhid. Ia mengajarkan umatnya untuk membangun masyarakat yang teratur berdasarkan hukum ilahi. Konon, dialah yang pertama kali mengajarkan cara membangun kota dengan batu dan kapur, mengembangkan sistem pertanian yang lebih maju, serta mengenalkan dasar-dasar ilmu perbintangan (astronomi) untuk menentukan waktu ibadah dan musim tanam. Semua kemajuan ini tidak diarahkan untuk kesombongan, melainkan sebagai wujud rasa syukur dan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah dengan lebih baik. Ia membuktikan bahwa spiritualitas dan kemajuan peradaban dapat dan harus berjalan beriringan.
Mata Rantai Emas Silsilah Kenabian
Salah satu warisan terpenting Nabi Syits adalah perannya sebagai mata rantai vital dalam silsilah kenabian. Dari garis keturunannyalah lahir nabi-nabi besar selanjutnya. Melalui putranya Anush, kemudian Qainan, Mahlail, Yarid, hingga lahirlah Nabi Idris 'alayhissalam. Silsilah emas ini terus berlanjut hingga sampai kepada Nabi Nuh 'alayhissalam, yang dari keturunannyalah seluruh umat manusia modern berasal. Dan dari garis keturunan Nuh inilah lahir Nabi Ibrahim, Musa, Isa, hingga nabi terakhir, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan demikian, Nabi Syits adalah penjaga "cahaya kenabian" (Nur an-Nubuwwah) yang diwariskan dari Adam. Ia memastikan bahwa cahaya itu tidak padam dan terus diwariskan dari satu generasi saleh ke generasi saleh berikutnya, hingga menyinari seluruh alam semesta. Tanpa perannya yang krusial, sejarah keselamatan umat manusia mungkin akan berjalan ke arah yang berbeda.
Pelajaran dan Hikmah dari Kisah Nabi Syits
Kisah Nabi Syits 'alayhissalam, sang nabi ke 2, sarat dengan pelajaran berharga yang tetap relevan hingga hari ini.
- Harapan Selalu Ada Setelah Kesulitan. Kelahiran Syits di tengah duka keluarga Adam mengajarkan kita bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya dalam keputusasaan. Di balik setiap musibah, selalu ada anugerah dan hikmah yang tersembunyi. Rahmat Allah jauh lebih besar daripada ujian yang kita hadapi.
- Pentingnya Regenerasi dalam Kebaikan. Nabi Adam tidak membiarkan risalahnya berhenti pada dirinya. Ia secara sadar dan terencana mempersiapkan penggantinya. Ini mengajarkan pentingnya kaderisasi dan mewariskan ilmu serta nilai-nilai kebaikan kepada generasi berikutnya, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat.
- Ilmu adalah Warisan Paling Berharga. Warisan utama yang diberikan Adam kepada Syits bukanlah harta atau kekuasaan, melainkan ilmu tauhid dan petunjuk ilahi. Ini menegaskan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, terutama ilmu agama, adalah warisan terbaik yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita.
- Keteguhan dalam Menjaga Kemurnian Ajaran. Perjuangan Nabi Syits melawan potensi penyimpangan dari keturunan Qabil mengingatkan kita akan pentingnya berpegang teguh pada ajaran yang murni dan tidak mudah terpengaruh oleh gaya hidup yang melalaikan Tuhan, sepopuler atau semenarik apa pun kelihatannya.
- Peran Sentral Keluarga. Kisah ini menunjukkan betapa sentralnya peran keluarga sebagai madrasah pertama. Di dalam keluargalah nilai-nilai luhur ditanamkan, dan dari sanalah lahir generasi-generasi penerus perjuangan kebenaran.
Nabi Syits 'alayhissalam adalah sosok yang menjadi jembatan antara permulaan dan kelanjutan. Ia adalah anugerah yang memulihkan harapan, pewaris yang menjaga amanah, dan pembimbing yang meletakkan dasar-dasar peradaban berlandaskan ketakwaan. Meskipun kisahnya tidak banyak diuraikan secara rinci, perannya sebagai nabi kedua adalah bukti nyata dari kasih sayang Allah yang tak pernah putus dalam membimbing umat manusia di setiap zaman, sejak fajar pertama peradaban hingga akhir masa.