Perjuangan Nabi Luth di Tengah Kaum yang Melampaui Batas
Dalam rentang sejarah peradaban manusia, Allah SWT tidak pernah membiarkan umat-Nya tersesat tanpa bimbingan. Di setiap zaman dan di setiap komunitas yang menyimpang, diutuslah seorang rasul sebagai pembawa kabar gembira sekaligus pemberi peringatan. Mereka datang dengan satu misi suci: mengajak manusia kembali ke jalan tauhid, menyembah Allah Yang Maha Esa, dan menegakkan nilai-nilai moralitas serta keadilan. Kisah-kisah mereka terukir abadi dalam kitab suci Al-Qur'an, bukan sekadar sebagai narasi masa lalu, melainkan sebagai cermin dan pelajaran (ibrah) yang tak lekang oleh waktu bagi generasi-generasi sesudahnya. Salah satu kisah yang paling mengguncang dan sarat dengan pelajaran mendalam adalah kisah ketika Nabi Luth diutus kepada kaum yang namanya kemudian diasosiasikan dengan perbuatan keji yang belum pernah ada sebelumnya di muka bumi.
Kaum ini mendiami sebuah wilayah yang subur dan makmur, yang dikenal sebagai Sodom dan Gomora, terletak di sekitar Laut Mati. Kemakmuran materi yang mereka nikmati ternyata tidak diimbangi dengan kekayaan rohani. Sebaliknya, kelimpahan sumber daya justru menyeret mereka ke dalam jurang keangkuhan, kesombongan, dan kemerosotan moral yang parah. Mereka menjadi pionir dalam sebuah perbuatan dosa yang menjijikkan, sebuah penyimpangan fitrah yang terang-terangan menentang kodrat penciptaan manusia. Perbuatan ini begitu mendominasi kehidupan mereka sehingga menjadi identitas kolektif, dilakukan secara terbuka, tanpa rasa malu, bahkan dengan kebanggaan. Di tengah kegelapan moral inilah, seorang hamba pilihan diutus untuk menyalakan kembali pelita kebenaran.
Latar Belakang Kaum Sodom dan Misi Kenabian
Nabi Luth AS bukanlah orang asing di wilayah tersebut. Beliau adalah keponakan dari seorang nabi besar, Ibrahim AS, Sang Bapak para Nabi. Luth telah beriman kepada risalah yang dibawa oleh pamannya dan turut serta dalam perjalanan hijrah Ibrahim dari Mesopotamia menuju tanah yang diberkahi, Syam. Setelah beberapa waktu, atas perintah Allah, Nabi Luth AS ditugaskan untuk menetap dan berdakwah di negeri Sodom, sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa kota yang masyarakatnya telah tenggelam dalam kemaksiatan. Allah SWT memilih Luth karena keimanan, kesalehan, dan kebijaksanaannya, untuk mengemban tugas yang luar biasa berat.
Masyarakat Sodom, sebelum kedatangan Nabi Luth, adalah masyarakat yang hidup dalam kelimpahan. Tanah mereka subur, air melimpah, dan hasil panen berlimpah ruah. Namun, kekayaan ini membutakan mata hati mereka. Mereka menjadi masyarakat yang egois, materialistis, dan tidak mengenal belas kasihan. Salah satu sifat buruk mereka yang paling menonjol adalah keengganan mereka untuk berbagi dengan para musafir atau pendatang. Mereka melihat para pendatang sebagai beban yang akan mengurangi kekayaan mereka. Dari sifat kikir dan permusuhan terhadap orang asing inilah, Iblis membisikkan sebuah perbuatan keji yang akan menjauhkan para pendatang dari kota mereka, yaitu perampokan dan pelecehan seksual terhadap sesama jenis.
Apa yang awalnya mungkin merupakan cara untuk menakut-nakuti pendatang, lama-kelamaan menjadi sebuah kebiasaan, lalu menjadi budaya, dan akhirnya menjadi sebuah kebanggaan. Mereka adalah kaum pertama di dunia yang mempraktikkan homoseksualitas secara terang-terangan. Perbuatan ini mereka sebut sebagai Al-Fahisyah, sebuah kekejian yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari seluruh alam sebelum mereka. Sebagaimana firman Allah yang mengisahkan ucapan Nabi Luth kepada kaumnya:
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?'" (QS. Al-A'raf: 80)
Namun, dosa mereka tidak berhenti di situ. Kebejatan moral mereka bersifat komprehensif. Selain penyimpangan seksual, mereka juga terkenal sebagai perampok jalanan (begal), melakukan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan umum mereka tanpa rasa malu sedikit pun, seperti berjudi, mabuk-mabukan, dan mengolok-olok orang yang lewat. Mereka telah menciptakan sebuah ekosistem dosa di mana kebaikan dianggap aneh dan keburukan dianggap sebagai norma. Inilah kondisi masyarakat yang harus dihadapi oleh Nabi Luth. Misinya jelas: mengajak mereka untuk bertaqwa kepada Allah, meninggalkan segala bentuk kemusyrikan dan kemaksiatan, serta kembali kepada fitrah yang suci.
Dakwah Penuh Kesabaran di Tengah Gelombang Penolakan
Ketika Nabi Luth diutus kepada kaum yang bejat itu, beliau memulai dakwahnya dengan penuh kelembutan, hikmah, dan argumentasi yang logis. Beliau tidak datang dengan caci maki, melainkan dengan nasihat yang tulus dari hati seorang saudara yang mengkhawatirkan nasib kaumnya. Beliau mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang telah mereka terima, tentang kesuburan tanah dan kemakmuran hidup, yang seharusnya membuat mereka bersyukur, bukan kufur.
Nabi Luth mencoba menyadarkan mereka dari berbagai sudut. Pertama, beliau mengingatkan bahwa dirinya adalah seorang rasul yang terpercaya (rasulun amin), yang tidak meminta imbalan apa pun atas dakwahnya. Tujuannya murni untuk kebaikan mereka sendiri.
"Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: 'Mengapa kamu tidak bertakwa?' Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam." (QS. Asy-Syu'ara: 161-164)
Kedua, beliau secara spesifik mengecam perbuatan keji mereka, mempertanyakan kewarasan dan fitrah mereka. Beliau menunjukkan betapa perbuatan tersebut bertentangan dengan akal sehat dan tujuan penciptaan. Allah telah menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan untuk melestarikan keturunan dan membangun keluarga yang sakinah, namun mereka justru memilih jalan yang menyimpang dan memuakkan.
"Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu? Bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas." (QS. Asy-Syu'ara: 165-166)
Nabi Luth berulang kali menasihati mereka, siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Beliau mengingatkan akan azab Allah yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang durhaka, seperti kaum Nabi Nuh dan kaum 'Ad. Beliau berharap peringatan itu dapat melunakkan hati mereka yang telah membatu. Namun, apa jawaban yang beliau terima? Bukan kesadaran, melainkan cemoohan, penolakan, dan ancaman.
Mereka menuduh Nabi Luth dan para pengikutnya sebagai orang-orang yang sok suci. Logika mereka telah terbalik. Bagi mereka, kesucian dan moralitas adalah sesuatu yang aneh dan menjijikkan, sementara perbuatan keji mereka adalah hal yang wajar. Inilah puncak dari kerusakan akal dan hati.
"Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: 'Usirlah Luth dan pengikut-pengikutnya dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.'" (QS. An-Naml: 56)
Ancaman pengusiran ini menunjukkan betapa mereka tidak bisa mentolerir keberadaan suara kebenaran di tengah-tengah mereka. Kehadiran Nabi Luth menjadi "polusi moral" bagi gaya hidup mereka yang bebas tanpa batas. Tidak puas dengan ancaman pengusiran, mereka bahkan menantang Nabi Luth untuk mendatangkan azab yang dijanjikannya. Ini adalah puncak kesombongan dan kebodohan, sebuah tantangan terbuka kepada kekuasaan Tuhan semesta alam.
"Mereka menjawab: 'Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.'" (QS. Al-Ankabut: 29)
Menghadapi penolakan total dan tantangan yang begitu lancang, Nabi Luth merasa putus asa terhadap kaumnya. Kesabarannya telah mencapai batas maksimal. Beliau menyadari bahwa tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Dengan hati yang pilu, beliau menengadahkan tangan ke langit, memohon pertolongan kepada Allah dari kerusakan yang diperbuat oleh kaumnya. Doa seorang nabi yang terzalimi adalah doa yang mustajab. Inilah titik balik dari kisah ini, di mana campur tangan ilahi akan segera datang.
Kunjungan Para Tamu Agung dan Puncak Kebejatan Kaum Sodom
Doa Nabi Luth AS akhirnya dijawab. Allah SWT mengutus beberapa malaikat yang menyamar dalam wujud pemuda-pemuda yang sangat tampan. Sebelum tiba di Sodom, para malaikat ini terlebih dahulu mengunjungi Nabi Ibrahim AS untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran Ishaq, dan sekaligus memberitahukan misi mereka untuk membinasakan kaum Luth. Mendengar hal itu, hati Nabi Ibrahim yang penuh belas kasih sempat berdialog, memohon keringanan bagi kaum Luth, berharap masih ada di antara mereka orang-orang saleh. Namun, ketetapan Allah telah final. Azab bagi kaum yang melampaui batas itu tidak dapat ditunda lagi.
Ketika para malaikat tiba di kota Sodom dalam wujud manusia, Nabi Luth AS bertemu dengan mereka. Beliau tidak mengetahui bahwa mereka adalah malaikat. Yang beliau lihat hanyalah para pemuda asing dengan wajah yang rupawan. Seketika itu, hati Nabi Luth diliputi rasa cemas dan kesusahan yang luar biasa. Beliau tahu persis bagaimana tabiat kaumnya. Beliau merasa tidak berdaya untuk melindungi tamu-tamunya dari kebejatan mereka. Al-Qur'an menggambarkan kegelisahan beliau dengan sangat indah:
"Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah karena (kedatangan) mereka, dan merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka, dan berkata: 'Ini adalah hari yang amat sulit.'" (QS. Hud: 77)
Nabi Luth mencoba menyembunyikan tamunya, membawa mereka masuk ke rumahnya secara diam-diam. Namun, berita tentang kedatangan para pemuda tampan itu entah bagaimana bocor. Yang membocorkan berita ini tidak lain adalah istrinya sendiri. Istri Nabi Luth, meskipun tidak ikut serta dalam perbuatan keji kaumnya, namun ia bersimpati dan sepaham dengan mereka. Ia adalah seorang pengkhianat di dalam rumah seorang nabi. Dialah yang memberikan isyarat kepada para pemuka kaum Sodom tentang kehadiran tamu-tamu istimewa di rumah suaminya.
Berita itu menyebar secepat kilat. Tanpa menunggu lama, kaum Sodom, dengan syahwat yang membara dan tanpa rasa malu sedikit pun, berbondong-bondong mendatangi rumah Nabi Luth. Mereka mengepung rumah itu, menggedor-gedor pintu, dan menuntut agar Nabi Luth menyerahkan tamu-tamunya kepada mereka. Inilah puncak dari degradasi moral mereka, di mana kehormatan tamu, yang merupakan nilai luhur universal, mereka injak-injak demi memuaskan nafsu bejat mereka.
Dalam situasi yang sangat terdesak dan genting, Nabi Luth AS keluar menghadapi kaumnya. Beliau melakukan upaya terakhir yang sangat menyentuh untuk menyadarkan mereka. Dengan suara yang bergetar menahan amarah dan kesedihan, beliau menawarkan putri-putrinya untuk mereka nikahi secara sah, sebagai alternatif yang suci dan halal. Sebagian ulama menafsirkan "putri-putriku" ini sebagai para wanita dari kaumnya, karena seorang nabi adalah bapak spiritual bagi umatnya.
"Luth berkata: 'Inilah puteri-puteriku (kawinilah mereka), jika kamu hendak berbuat (secara halal).'" (QS. Al-Hijr: 71)
Ini adalah sebuah pembelaan terakhir yang menunjukkan betapa beliau lebih memilih mengorbankan kehormatan keluarganya sendiri daripada kehormatan tamunya dinodai. Beliau memohon agar mereka bertakwa kepada Allah dan tidak mempermalukannya di hadapan para tamunya. Namun, hati mereka telah buta. Fitrah mereka telah rusak total. Mereka menolak tawaran yang suci itu dengan angkuh.
"Mereka menjawab: 'Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.'" (QS. Hud: 79)
Jawaban ini adalah pengakuan eksplisit dan tanpa malu tentang penyimpangan mereka. Mereka tidak lagi tertarik pada lawan jenis yang telah Allah halalkan. Nafsu mereka hanya tertuju pada sesama jenis. Pada titik ini, Nabi Luth merasa benar-benar tak berdaya. Beliau berandai-andai memiliki kekuatan fisik atau keluarga besar yang bisa melindunginya dari gerombolan yang beringas itu. Saat itulah, para tamu agung itu akhirnya menyingkap jati diri mereka.
Intervensi Ilahi dan Perintah untuk Eksodus
Melihat keputusasaan Nabi Luth dan keganasan kaumnya yang semakin menjadi-jadi, para malaikat itu pun berkata, "Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu." Mereka menenangkan Nabi Luth dan memberitahukan bahwa tujuan kedatangan mereka adalah untuk menimpakan azab kepada kaum durhaka tersebut. Waktu kebinasaan mereka telah ditetapkan, yaitu pada waktu subuh.
Sebagai mukjizat pertama, sebelum azab utama diturunkan, para malaikat itu memukul wajah orang-orang yang mengepung rumah Nabi Luth. Seketika itu juga, mata mereka menjadi buta. Mereka meraba-raba dalam kebingungan, mencoba mencari jalan pulang namun tidak berhasil. Peristiwa ini menjadi bukti nyata bagi Nabi Luth akan kekuasaan Allah dan kebenaran janji-Nya.
"Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku." (QS. Al-Qamar: 37)
Selanjutnya, para malaikat memberikan instruksi yang sangat jelas kepada Nabi Luth. Beliau diperintahkan untuk segera meninggalkan negeri itu di akhir malam, membawa serta keluarga dan para pengikutnya yang beriman. Ada satu perintah spesifik yang menyertai eksodus tersebut: "Dan janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke belakang." Perintah ini memiliki makna yang dalam. Secara harfiah, menoleh ke belakang bisa berbahaya karena akan menyaksikan pemandangan azab yang begitu dahsyat. Secara simbolis, perintah ini bermakna untuk memutuskan hubungan secara total dengan masa lalu yang kelam, dengan masyarakat yang bejat, dan fokus menatap masa depan yang baru di jalan Allah.
Namun, ada satu pengecualian dalam perintah penyelamatan itu. Para malaikat menegaskan bahwa istrinya tidak akan selamat. "Kecuali istrimu," kata mereka, "sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka." Ini adalah sebuah pelajaran yang sangat pahit namun penting. Istri Nabi Luth, yang hidup di bawah atap seorang nabi, mendengar wahyu dan nasihat setiap hari, ternyata hatinya tidak beriman. Pengkhianatannya dengan membocorkan rahasia tentang para tamu menjadi dosa pamungkas yang menyegel nasibnya bersama kaum yang durhaka. Ini adalah bukti bahwa hidayah adalah murni karunia Allah, dan ikatan kekerabatan, bahkan pernikahan dengan seorang nabi sekalipun, tidak dapat menjamin keselamatan jika tidak disertai dengan keimanan dan ketaatan yang tulus.
Maka, di keheningan malam, di saat penduduk Sodom terlelap dalam mimpi-mimpi dosa mereka, Nabi Luth beserta kedua putrinya dan segelintir pengikutnya yang setia berjalan meninggalkan kota yang akan segera binasa itu. Mereka berjalan dalam senyap, dengan hati yang berdebar, mematuhi setiap perintah Allah, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Mereka berjalan menuju keselamatan, meninggalkan sebuah negeri yang telah divonis mati oleh langit.
Azab yang Menghancurkan dan Jejak yang Abadi
Tepat seperti yang telah dijanjikan, ketika fajar mulai menyingsing, azab Allah pun datang dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sesaat setelah Nabi Luth dan para pengikutnya melewati batas kota, langit mengeluarkan suara teriakan yang mengguntur dan memekakkan telinga, yang cukup untuk menghancurkan pendengaran dan jantung penduduk Sodom. Ini adalah awal dari sebuah kehancuran total.
Kemudian, terjadilah peristiwa geologis yang paling mengerikan. Atas perintah Allah, Malaikat Jibril mengangkat seluruh negeri Sodom dan kota-kota di sekitarnya dengan ujung sayapnya, mengangkatnya tinggi ke langit hingga para malaikat di langit dapat mendengar suara kokok ayam dan gonggongan anjing dari negeri itu. Lalu, negeri itu dibalikkan, bagian atas menjadi bagian bawah, dan dihempaskan kembali ke bumi dengan kekuatan yang dahsyat.
"Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar." (QS. Al-Hijr: 74)
Setelah negeri itu dijungkirbalikkan, azab belum berakhir. Allah menurunkan hujan batu dari jenis tanah liat yang dibakar (sijjil), yang setiap batunya telah ditandai untuk menyasar para pendosa. Hujan batu ini turun secara beruntun dan tanpa henti, memastikan tidak ada seorang pun dari kaum durhaka itu yang bisa selamat. Setiap individu mendapatkan bagiannya dari azab yang mengerikan itu. Kehancuran itu bersifat total, melenyapkan seluruh populasi, bangunan, ternak, dan peradaban mereka dari muka bumi.
Bagaimana dengan nasib istri Nabi Luth? Sesuai dengan ketetapan Allah, ia termasuk orang-orang yang tertinggal. Diriwayatkan bahwa ketika ia mendengar suara gemuruh azab yang dahsyat, rasa penasarannya mengalahkan perintah untuk tidak menoleh. Ia menoleh ke belakang sambil berseru, "Oh, kaumku!" Seketika itu juga, sebuah batu yang telah ditandai untuknya menimpanya, dan ia pun binasa bersama kaum yang dibelanya. Ia menjadi contoh abadi bahwa pengkhianatan terhadap kebenaran akan berakhir dengan kebinasaan, meskipun ia berada di lingkaran terdekat seorang utusan Tuhan.
Bekas wilayah kaum Sodom kemudian berubah menjadi sebuah danau yang airnya sangat asin, pekat, dan tidak ada kehidupan di dalamnya, yang kini dikenal sebagai Laut Mati. Keberadaan danau ini menjadi monumen abadi, sebuah jejak fisik dari azab Allah yang nyata. Ia menjadi tanda yang jelas bagi orang-orang yang mau berpikir, sebuah peringatan diam namun tegas tentang konsekuensi dari menentang hukum alam dan fitrah yang telah Allah tetapkan.
"Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal." (QS. Al-Ankabut: 35)
Kisah ini ditutup dengan penyelamatan Nabi Luth dan para pengikutnya. Mereka melanjutkan perjalanan hingga akhirnya bergabung kembali dengan pamannya, Nabi Ibrahim AS, untuk memulai lembaran hidup yang baru, sebagai saksi hidup atas kebenaran janji Allah, yaitu menyelamatkan orang-orang beriman dan membinasakan orang-orang yang zalim.
Pelajaran dan Ibrah dari Kisah Kaum Sodom
Kisah tentang bagaimana Nabi Luth diutus kepada kaum Sodom bukanlah sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah sebuah samudera hikmah yang mengandung pelajaran-pelajaran fundamental bagi kehidupan manusia di setiap zaman. Menggali pelajaran dari kisah ini adalah sebuah keharusan bagi siapa pun yang ingin memahami batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
1. Bahaya Normalisasi Kemaksiatan. Dosa terbesar kaum Sodom bukanlah semata-mata perbuatan keji itu sendiri, melainkan proses normalisasi dan pelembagaan dosa tersebut. Mereka tidak melakukannya secara sembunyi-sembunyi dengan rasa bersalah, tetapi secara terang-terangan, di tempat umum, dan dengan penuh kebanggaan. Ketika sebuah masyarakat sudah sampai pada titik di mana kemungkaran dianggap sebagai hal yang wajar dan kebaikan dianggap sebagai sesuatu yang aneh (seperti tuduhan mereka kepada Nabi Luth sebagai "orang yang sok suci"), maka masyarakat tersebut berada di ambang kehancuran. Ini adalah peringatan keras bahwa membiarkan kemaksiatan merajalela tanpa ada upaya untuk mencegahnya (amar ma'ruf nahi munkar) adalah sama dengan mengundang azab kolektif.
2. Pentingnya Menjaga Fitrah Manusia. Allah SWT menciptakan manusia dengan fitrah atau kodrat yang lurus, termasuk ketertarikan alami antara laki-laki dan perempuan untuk tujuan reproduksi dan pembentukan keluarga. Perbuatan kaum Sodom adalah pemberontakan total terhadap fitrah ini. Mereka menolak tatanan alam yang telah ditetapkan Tuhan dan memilih jalan yang menyimpang. Kisah ini menegaskan bahwa kebahagiaan dan keharmonisan hidup hanya bisa dicapai dengan berjalan selaras dengan fitrah, bukan dengan menentangnya. Setiap upaya untuk melegalkan atau mempromosikan perilaku yang bertentangan dengan fitrah pada hakikatnya adalah sebuah langkah menuju kerusakan diri dan sosial.
3. Iman Adalah Pilihan Personal. Nasib tragis istri Nabi Luth adalah pelajaran yang sangat kuat. Ia hidup serumah dengan seorang nabi, makan dari meja yang sama, dan tidur di bawah atap yang sama. Namun, kedekatan fisik tidak menjamin kesamaan iman. Hatinya condong kepada kaumnya yang kafir, dan pengkhianatannya menjadi bukti nyata dari pilihan hatinya. Ini mengajarkan kita bahwa iman dan keselamatan adalah urusan pribadi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Keturunan, status sosial, atau hubungan kekerabatan dengan orang saleh tidak akan memberi manfaat sedikit pun di hadapan Allah jika diri sendiri tidak beriman dan beramal saleh.
4. Kesabaran Luar Biasa dalam Berdakwah. Nabi Luth AS menghadapi cemoohan, hinaan, ancaman pengusiran, dan penolakan total selama bertahun-tahun. Namun, beliau tidak pernah berhenti menyampaikan risalah Allah dengan sabar dan argumen yang kuat. Beliau baru berdoa memohon azab setelah benar-benar yakin bahwa tidak ada lagi harapan bagi mereka. Sikap ini mengajarkan para juru dakwah dan setiap Muslim tentang pentingnya kesabaran, kegigihan, dan tidak mudah putus asa dalam mengajak kepada kebaikan, meskipun menghadapi tantangan yang paling berat sekalipun.
5. Keadilan Mutlak Allah SWT. Azab yang diturunkan kepada kaum Sodom sangat spesifik dan setimpal dengan perbuatan mereka. Mereka memutarbalikkan fitrah, maka negeri mereka pun diputarbalikkan. Mereka menolak rahmat Allah, maka mereka dihujani dengan batu azab. Namun, di tengah azab yang dahsyat itu, keadilan Allah tetap tegak. Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya. Nabi Luth dan para pengikutnya yang beriman diselamatkan. Ini menunjukkan bahwa seberat apa pun ujian dan sepekat apa pun kegelapan di sekitar kita, selama kita berpegang teguh pada tali Allah, pertolongan dan keselamatan-Nya pasti akan datang.
Pada akhirnya, kisah Nabi Luth dan kaum Sodom adalah sebuah cermin besar bagi peradaban manusia. Ia mengingatkan kita bahwa kemajuan materi dan kemakmuran ekonomi tanpa diimbangi oleh fondasi moral dan spiritual yang kokoh adalah resep menuju kebinasaan. Sebuah masyarakat yang menolak bimbingan wahyu dan lebih memilih untuk mengikuti hawa nafsunya yang tanpa batas, pada hakikatnya sedang menggali kuburannya sendiri. Semoga kita dapat mengambil pelajaran yang mendalam dari kisah ini, untuk senantiasa menjaga kesucian diri, keluarga, dan masyarakat dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengundang murka Allah SWT.