Misi Penyempurnaan: Risalah Agung Nabi Muhammad
Jauh sebelum cahaya risalah memancar dari Gua Hira, dunia tenggelam dalam berbagai bentuk kegelapan. Di Semenanjung Arabia, kegelapan itu berwujud kebodohan atau Jahiliyah—bukan kebodohan dalam arti intelektual, melainkan kebodohan spiritual dan moral. Tatanan sosial didasarkan pada kekuatan suku, kesombongan garis keturunan, dan hukum rimba. Kemuliaan diukur dari banyaknya harta dan keturunan, sementara kaum lemah, perempuan, dan budak seringkali tidak memiliki nilai di mata masyarakat. Di tengah kondisi inilah, sebuah misi agung dipersiapkan oleh Sang Pencipta. Misi ini bukan untuk memulai dari nol, melainkan untuk meluruskan, melengkapi, dan menyempurnakan. Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyempurnakan seluruh aspek kehidupan manusia, dengan akhlak mulia sebagai puncaknya.
Misi penyempurnaan ini adalah sebuah benang merah yang menghubungkan seluruh nabi dan rasul sebelumnya. Setiap utusan datang dengan membawa ajaran tauhid yang sama—mengesakan Allah—namun dengan syariat yang disesuaikan dengan zaman dan kaumnya. Kedatangan Nabi Muhammad adalah sebagai penutup para nabi (Khatamul Anbiya'), yang membawa risalah universal dan abadi untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Pesannya bukanlah untuk meniadakan ajaran sebelumnya, tetapi untuk memurnikan kembali esensinya dari penyelewengan dan melengkapinya dengan panduan yang paripurna.
"Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak."
Hadis singkat namun padat makna ini menjadi inti dari seluruh dakwah beliau. Ia menegaskan bahwa fondasi utama dari risalah Islam adalah pembangunan karakter manusia. Agama tidak hanya berhenti pada ritual ibadah yang kaku, tetapi harus mewujud dalam perilaku sehari-hari, dalam cara kita berbicara, berinteraksi, dan memperlakukan sesama makhluk. Inilah revolusi terbesar yang dibawa oleh Rasulullah: revolusi akhlak.
Menyempurnakan Konsep Ketuhanan (Tauhid)
Penyempurnaan pertama dan paling fundamental yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah dalam konsep ketuhanan. Masyarakat Arab pra-Islam sebenarnya mengenal nama "Allah" sebagai Tuhan tertinggi. Namun, keyakinan mereka telah tercemar oleh politeisme yang parah. Mereka menciptakan ratusan berhala sebagai perantara, menganggap patung-patung dari batu dan kayu itu memiliki kekuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ka'bah yang mulia, rumah ibadah pertama yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, telah dikotori oleh berhala-berhala yang memenuhi sekelilingnya.
Di sinilah peran Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyempurnakan konsep tauhid. Beliau datang untuk membersihkan segala bentuk kemusyrikan dan mengembalikan manusia pada ajaran murni Nabi Ibrahim: penyembahan hanya kepada Allah Yang Maha Esa, tanpa perantara, tanpa sekutu. Konsep tauhid yang diajarkan Islam sangatlah murni dan rasional. Ia membebaskan akal manusia dari belenggu takhayul dan penyembahan terhadap makhluk. Manusia tidak lagi perlu merendahkan dirinya di hadapan batu, pohon, atau jin. Martabat manusia diangkat karena ia hanya bersujud kepada Sang Pencipta, bukan kepada ciptaan-Nya.
Penyempurnaan tauhid ini mencakup tiga aspek utama. Pertama, Tauhid Rububiyah, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta. Kedua, Tauhid Uluhiyah, yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk peribadahan. Hanya kepada-Nya kita berdoa, memohon, bertawakal, dan menyembah. Ketiga, Tauhid Asma' wa Sifat, yaitu meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk. Dengan demikian, Islam memberikan gambaran Tuhan yang Maha Agung, Maha Pengasih, Maha Adil, dan Maha Dekat, membersihkan konsep ketuhanan dari antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan manusia) atau agnotisisme (keraguan akan eksistensi Tuhan).
Puncak Penyempurnaan: Akhlak Mulia
Sebagaimana ditegaskan dalam hadis, fokus utama misi kenabian adalah akhlak. Al-Qur'an sendiri menggambarkan pribadi Rasulullah sebagai teladan tertinggi. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung." Pribadi beliau adalah Al-Qur'an yang berjalan. Setiap ajaran dalam kitab suci terefleksikan secara sempurna dalam tindakan, ucapan, dan diamnya. Penyempurnaan akhlak ini merambah ke setiap sendi kehidupan, mengubah individu dan masyarakat secara drastis.
Kejujuran dan Amanah: Fondasi Kepercayaan
Jauh sebelum menerima wahyu, Nabi Muhammad telah dikenal di tengah kaumnya dengan gelar Al-Amin, yang berarti "Yang Terpercaya". Gelar ini bukan diberikan oleh pengikutnya, melainkan oleh masyarakat Mekkah secara luas, termasuk para pemuka Quraisy yang kelak menjadi musuh utamanya. Mereka menitipkan barang-barang berharga mereka kepada beliau saat bepergian karena mereka tahu hartanya akan aman. Kejujuran ini tidak luntur sedikit pun setelah beliau menjadi Rasul. Bahkan saat hijrah ke Madinah dalam kondisi terancam dibunuh, beliau memastikan semua barang titipan kaum kafir Quraisy dikembalikan kepada pemiliknya melalui Ali bin Abi Thalib. Ini adalah bukti bahwa kejujuran dan amanah adalah prinsip yang tidak bisa ditawar, bahkan dalam keadaan paling genting sekalipun. Beliau menyempurnakan konsep ini dari sekadar sifat pribadi menjadi pilar tatanan sosial dan ekonomi.
Kasih Sayang dan Welas Asih: Rahmat bagi Seluruh Alam
Misi beliau sebagai Rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi seluruh alam) termanifestasi dalam kasih sayangnya yang tak terbatas. Beliau menunjukkan welas asih tidak hanya kepada kawan, tetapi juga kepada lawan. Ingatlah peristiwa di Thaif, ketika dakwah beliau ditolak dengan lemparan batu hingga tubuhnya berdarah. Malaikat penjaga gunung menawarkan untuk menimpakan gunung kepada penduduk Thaif, namun beliau menolak dengan harapan kelak akan lahir dari keturunan mereka orang-orang yang beriman. Puncak dari sifat pemaafnya terlihat saat Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Beliau memasuki kota sebagai pemenang mutlak atas orang-orang yang dulu menyiksa, mengusir, dan membunuh para pengikutnya. Namun, tidak ada balas dendam. Beliau mengumumkan pengampunan massal, "Pergilah kalian semua, kalian bebas." Kasih sayangnya juga meluas kepada anak-anak yatim, janda, orang miskin, dan bahkan kepada hewan dan tumbuhan. Beliau melarang menyiksa binatang dan merusak tanaman tanpa alasan. Ini adalah penyempurnaan konsep kasih sayang, dari yang bersifat terbatas pada keluarga atau suku menjadi universal mencakup seluruh ciptaan.
Keadilan dan Kesetaraan: Meruntuhkan Tembok Kesombongan
Masyarakat Jahiliyah sangat menjunjung tinggi fanatisme kesukuan ('ashabiyah). Garis keturunan dan status sosial adalah segalanya. Islam datang meruntuhkan semua itu. Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyempurnakan konsep keadilan dan kesetaraan. Dalam salah satu khutbah terakhirnya, beliau dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, atau orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali karena ketakwaannya. Semua manusia setara di hadapan Allah. Prinsip ini beliau terapkan secara konsisten. Beliau pernah bersabda, "Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya." Ini menunjukkan bahwa hukum berlaku adil untuk semua, tanpa memandang status atau hubungan keluarga. Beliau mendudukkan Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam dari Ethiopia, dalam posisi terhormat sebagai muazin pertama, sebuah tamparan keras bagi sistem kasta dan rasisme pada masanya.
Kesabaran dan Ketabahan: Kekuatan dalam Ujian
Perjuangan dakwah Rasulullah penuh dengan ujian yang luar biasa berat. Sejak awal, beliau menghadapi cemoohan, hinaan, dan fitnah. Beliau dan para pengikutnya mengalami boikot ekonomi dan sosial selama bertahun-tahun di Makkah, hingga mereka terpaksa memakan dedaunan. Beliau kehilangan istri tercinta, Khadijah, dan paman pelindungnya, Abu Thalib, pada tahun yang sama. Beliau diusir dari tanah kelahirannya dan menghadapi berbagai peperangan untuk mempertahankan komunitas Muslim yang baru lahir. Namun, dalam setiap ujian, beliau menunjukkan tingkat kesabaran dan ketabahan yang tak tertandingi. Kesabarannya bukan berarti pasrah pada kezaliman, melainkan keteguhan memegang prinsip kebenaran sambil terus berikhtiar dengan cara terbaik. Beliau mengajarkan bahwa kesulitan adalah bagian dari proses pemurnian iman, dan setiap kesabaran akan diganjar dengan pahala yang besar.
Menyempurnakan Tatanan Sosial dan Hukum
Misi penyempurnaan tidak hanya berhenti pada level individu, tetapi juga mereformasi struktur masyarakat secara keseluruhan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad memberikan panduan lengkap untuk membangun peradaban yang adil dan beradab.
Mengangkat Derajat Perempuan
Di masa Jahiliyah, perempuan seringkali dianggap sebagai aib atau harta warisan. Kelahiran anak perempuan disambut dengan duka, bahkan tidak jarang bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Islam datang menghapuskan praktik biadab ini. Al-Qur'an mengecam keras pembunuhan anak perempuan. Rasulullah mengangkat derajat perempuan secara revolusioner. Beliau memberikan hak-hak yang sebelumnya tak terbayangkan: hak atas warisan, hak untuk menerima mahar, hak untuk menolak atau menerima pinangan, serta hak untuk menuntut ilmu. Beliau bersabda, "Surga itu di bawah telapak kaki ibu," sebuah ungkapan yang menempatkan ibu pada posisi yang sangat mulia. Beliau adalah suami yang paling lembut dan ayah yang penuh kasih sayang kepada putri-putrinya. Ini adalah penyempurnaan peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat.
Membangun Persaudaraan Iman (Ukhuwah Islamiyah)
Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah melakukan salah satu langkah genial dalam rekayasa sosial. Beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang dari Makkah) dengan kaum Anshar (penduduk asli Madinah). Persaudaraan ini bukan sekadar simbolis. Kaum Anshar dengan tulus berbagi harta, rumah, dan pekerjaan mereka dengan saudara-saudara Muhajirin. Ikatan baru ini, yang didasarkan pada iman (akidah), berhasil melampaui ikatan darah dan kesukuan yang selama ini menjadi sumber konflik. Inilah cetak biru masyarakat madani yang ideal: sebuah komunitas yang bersatu padu atas dasar nilai-nilai luhur, saling menolong, dan saling mengasihi karena Allah. Ini adalah penyempurnaan konsep komunitas, dari yang berbasis tribalisme sempit menjadi persaudaraan universal.
Menegakkan Sistem Ekonomi yang Berkeadilan
Praktik ekonomi Jahiliyah didominasi oleh riba (bunga) yang mencekik kaum miskin dan penipuan dalam takaran dan timbangan. Islam datang dengan sistem ekonomi alternatif yang berlandaskan keadilan dan solidaritas. Riba diharamkan secara tegas karena merupakan bentuk eksploitasi. Sebagai gantinya, Islam mendorong praktik perdagangan yang jujur, kerja sama bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), serta instrumen filantropi seperti zakat, infak, dan sedekah. Zakat bukan sekadar sumbangan sukarela, melainkan kewajiban yang terstruktur untuk mendistribusikan kekayaan dari orang kaya kepada mereka yang berhak menerimanya. Dengan demikian, Islam memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan elite, tetapi juga mengalir ke lapisan bawah masyarakat, menciptakan jaring pengaman sosial yang kuat.
Menyempurnakan Ibadah sebagai Sarana Transformasi
Ibadah dalam Islam bukanlah sekadar ritual formal tanpa makna. Setiap pilar ibadah dirancang untuk membentuk dan menyempurnakan karakter seorang Muslim. Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang ibadah, dari yang bersifat mekanis menjadi transformatif.
Salat, yang didirikan lima kali sehari, bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana untuk terus mengingat Allah dan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Ia adalah momen hening untuk introspeksi, menumbuhkan disiplin, kerendahan hati, dan koneksi spiritual yang konstan dengan Sang Pencipta. Gerakan sujud adalah simbol kepasrahan tertinggi, menghancurkan ego dan kesombongan dalam diri.
Puasa di bulan Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Esensinya adalah melatih pengendalian diri (self-restraint) dari segala hawa nafsu. Dengan merasakan lapar, seseorang diajak untuk berempati terhadap penderitaan kaum fakir miskin. Puasa adalah madrasah spiritual tahunan untuk menempa kesabaran, kejujuran, dan ketakwaan.
Zakat, sebagaimana telah disinggung, adalah ibadah sosial yang membersihkan harta dan jiwa. Ia menyucikan hati dari sifat kikir dan cinta dunia yang berlebihan. Di sisi lain, ia membersihkan hati penerima zakat dari rasa iri dan dengki, serta mempererat tali persaudaraan dalam komunitas.
Haji adalah puncak dari perjalanan spiritual. Jutaan manusia dari berbagai bangsa, warna kulit, dan status sosial berkumpul di satu tempat, mengenakan pakaian ihram yang sama. Semua perbedaan duniawi luntur. Haji adalah miniatur hari kebangkitan, mengajarkan kesetaraan mutlak di hadapan Allah dan persatuan umat manusia yang melintasi batas-batas geografis dan etnis.
Kesimpulan: Warisan Abadi Sang Penyempurna
Misi kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah sebuah proyek peradaban yang komprehensif dan paripurna. Beliau tidak diutus untuk satu kaum atau satu zaman, melainkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir masa. Pernyataan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyempurnakan bukanlah klaim kosong, melainkan sebuah fakta historis dan teologis yang terbukti dalam ajarannya yang abadi.
Beliau menyempurnakan akidah dengan memurnikan tauhid. Beliau menyempurnakan akhlak dengan menjadi teladan hidup yang sempurna dalam kejujuran, kasih sayang, keadilan, dan kesabaran. Beliau menyempurnakan tatanan sosial dengan mengangkat derajat kaum lemah, menegakkan hukum yang adil, dan membangun persaudaraan iman. Beliau menyempurnakan ibadah dengan menjadikannya sarana efektif untuk transformasi diri dan sosial. Warisan beliau bukanlah bangunan megah atau kekayaan material, melainkan nilai-nilai luhur dan sebuah umat yang membawa cahaya petunjuk bagi semesta alam. Mengikuti jejaknya berarti menapaki jalan menuju kesempurnaan insani, menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama dan meraih ridha Ilahi.