Perjalanan Agung: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah

Ilustrasi perjalanan hijrah di malam hari Ilustrasi perjalanan hijrah di bawah bulan dan bintang.

Hijrah Nabi Muhammad SAW bukanlah sekadar perpindahan fisik dari satu kota ke kota lain. Ia adalah sebuah epik spiritual, strategi brilian, dan titik balik monumental yang tidak hanya menyelamatkan komunitas Muslim awal dari penindasan, tetapi juga meletakkan fondasi bagi peradaban yang akan menerangi dunia. Peristiwa ini adalah puncak dari kesabaran, pengorbanan, dan keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Sang Pencipta. Kisah hijrah bermula dari sebuah kota yang dicintai, Mekah, di tengah situasi yang semakin mencekik dan penuh permusuhan.

Latar Belakang: Badai Penindasan di Mekah

Selama lebih dari satu dekade, Nabi Muhammad SAW telah menyerukan ajaran tauhid di Mekah. Pesan sederhana namun revolusioner—bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya—mengguncang struktur sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum Quraisy. Elit penguasa Mekah, yang kekuasaannya bergantung pada politeisme dan Ka'bah sebagai pusat ziarah berhala, memandang dakwah ini sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi mereka.

Reaksi mereka berevolusi dari cemoohan menjadi penindasan yang sistematis dan brutal. Para pengikut Nabi, terutama mereka yang berasal dari kalangan lemah dan tidak memiliki perlindungan suku, menjadi sasaran penyiksaan yang tak terbayangkan. Bilal bin Rabah disiksa di bawah terik matahari dengan batu besar di dadanya, namun bibirnya tetap melantunkan "Ahad, Ahad" (Yang Maha Esa). Keluarga Yasir menjadi martir pertama dalam Islam; Sumayyah, ibunya, ditikam hingga syahid karena menolak melepaskan imannya. Ini bukan lagi sekadar pertentangan ideologi; ini adalah perang pemusnahan terhadap sebuah keyakinan.

Tahun Kesedihan dan Ujian Berat

Ujian bagi Nabi Muhammad SAW mencapai puncaknya pada sebuah periode yang dikenal sebagai 'Amul Huzn' atau Tahun Kesedihan. Dalam rentang waktu yang singkat, beliau kehilangan dua pilar utama dalam hidupnya. Pertama adalah Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta yang menjadi orang pertama beriman, sumber ketenangan, dan pendukung finansial utama dakwahnya. Kepergiannya meninggalkan kekosongan emosional yang mendalam.

Tidak lama setelah itu, Abu Thalib, paman yang telah merawatnya sejak kecil dan melindunginya dari agresi kaum Quraisy, turut wafat. Meskipun Abu Thalib tidak pernah secara terbuka menyatakan keislamannya, posisinya sebagai pemimpin Bani Hasyim memberinya wibawa untuk melindungi keponakannya. Dengan wafatnya Abu Thalib, perisai politik dan kesukuan yang selama ini melindungi Nabi Muhammad SAW telah hilang. Kaum Quraisy kini merasa lebih leluasa untuk meningkatkan agresi mereka secara langsung kepada Nabi.

Dalam kondisi yang teramat sulit ini, Nabi mencari secercah harapan di luar Mekah. Beliau melakukan perjalanan ke Tha'if, sebuah kota di perbukitan, dengan harapan penduduknya akan menerima seruannya. Namun, yang beliau dapatkan adalah penolakan yang lebih kejam. Para pemimpin Tha'if menghasut anak-anak dan budak untuk melempari beliau dengan batu hingga kakinya berdarah. Dalam keadaan terluka fisik dan batin, beliau berlindung di sebuah kebun dan memanjatkan doa yang sangat menyentuh, mengadukan kelemahannya hanya kepada Allah. Peristiwa Tha'if menunjukkan bahwa pintu dakwah di sekitar Mekah seolah telah tertutup rapat.

Secercah Cahaya dari Utara: Bai'at Aqabah

Di tengah kegelapan yang pekat, cahaya harapan mulai menyingsing dari arah yang tak terduga: Yathrib, sebuah oase subur yang terletak ratusan kilometer di utara Mekah. Kota ini dihuni oleh suku Arab Aus dan Khazraj, serta beberapa komunitas Yahudi. Berbeda dengan kaum Quraisy yang fanatik dengan berhala mereka, penduduk Yathrib, melalui interaksi dengan tetangga Yahudi mereka, lebih akrab dengan konsep kenabian dan monoteisme.

Pada musim haji, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan sekelompok kecil peziarah dari suku Khazraj di sebuah tempat bernama Aqabah. Beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dan menjelaskan ajaran Islam. Hati mereka tersentuh. Mereka menyadari bahwa inilah sosok Nabi yang sering dibicarakan oleh kaum Yahudi akan kedatangannya. Mereka pun memeluk Islam dan berjanji akan menyebarkan ajaran ini di kota mereka.

Setahun kemudian, rombongan yang lebih besar, terdiri dari dua belas orang perwakilan suku Aus dan Khazraj, datang kembali. Mereka melakukan ikrar setia kepada Nabi yang dikenal sebagai Bai'at Aqabah Pertama. Mereka berjanji untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, dan akan patuh kepada Nabi dalam kebaikan.

Momentum ini mencapai puncaknya pada tahun berikutnya, ketika lebih dari tujuh puluh pria dan wanita dari Yathrib datang secara rahasia pada malam hari untuk bertemu Nabi di Aqabah. Inilah Bai'at Aqabah Kedua, sebuah perjanjian yang jauh lebih signifikan. Mereka tidak hanya berjanji untuk patuh, tetapi juga bersumpah untuk melindungi Nabi Muhammad SAW sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka sendiri. Perjanjian ini secara efektif merupakan undangan resmi bagi Nabi dan para pengikutnya untuk hijrah ke Yathrib. Sebuah suaka yang aman dan sebuah basis baru untuk dakwah Islam telah disiapkan oleh Allah.

Rencana Pelarian dan Konspirasi Pembunuhan

Setelah Bai'at Aqabah Kedua, Nabi Muhammad SAW memberikan izin kepada para sahabatnya di Mekah untuk memulai hijrah secara bertahap ke Yathrib. Secara diam-diam, dalam kelompok-kelompok kecil, kaum Muslimin mulai meninggalkan rumah, harta, dan kenangan mereka di Mekah. Mereka rela mengorbankan segalanya demi menyelamatkan iman mereka.

Kaum Quraisy tidak tinggal diam. Mereka melihat eksodus ini dengan kepanikan. Mereka sadar bahwa jika Muhammad berhasil bergabung dengan para pengikutnya di Yathrib, beliau akan memiliki basis kekuatan yang aman dan berpotensi menjadi ancaman militer dan ekonomi yang serius. Mereka tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Rapat di Darun Nadwa: Konspirasi Paling Keji

Para pemimpin dari setiap klan Quraisy berkumpul di balai pertemuan mereka, Darun Nadwa, untuk merumuskan sebuah solusi final terhadap "masalah Muhammad". Suasana tegang menyelimuti ruangan. Berbagai usulan diajukan. Ada yang menyarankan untuk memenjarakan beliau seumur hidup. Usulan ini ditolak karena khawatir para pengikutnya akan menyerbu dan membebaskannya. Ada yang mengusulkan untuk mengasingkannya jauh dari Mekah. Usulan ini juga ditolak, karena mereka takut kefasihan dan karisma beliau akan memikat suku-suku lain dan beliau akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar.

Di tengah kebuntuan itu, muncul sesosok tua dari Najd, yang sejatinya adalah Iblis yang menyamar. Ia mengajukan sebuah rencana yang licik dan keji. "Pilih seorang pemuda yang kuat dari setiap klan," usulnya. "Berikan masing-masing sebilah pedang yang tajam. Lalu, biarkan mereka semua menyerang Muhammad secara serentak dan membunuhnya bersama-sama."

Rencana ini disambut dengan sorak-sorai. Logikanya sangat licik: dengan membunuhnya secara kolektif, tanggung jawab atas darahnya akan tersebar ke semua klan. Akibatnya, Bani Hasyim, klan Nabi, tidak akan mampu menuntut balas kepada seluruh klan Quraisy. Mereka hanya bisa menerima uang diyat (denda darah), yang siap dibayar oleh para konspirator. Rencana itu disetujui. Malam itu juga, mereka akan mengepung rumah Nabi dan membunuhnya saat beliau keluar di waktu fajar.

Wahyu Ilahi dan Strategi Cerdas

Namun, tidak ada konspirasi di bumi yang luput dari pengetahuan langit. Malaikat Jibril turun membawa wahyu, memberitahukan Nabi Muhammad SAW tentang rencana jahat tersebut dan menyampaikan perintah Allah untuk segera berhijrah. Waktu telah tiba. Malam itu adalah malam penentuan.

Nabi segera menyusun rencana balasan yang sangat teliti, menunjukkan kejeniusan strategisnya yang dipandu oleh wahyu. Beliau memanggil sahabat terdekatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang telah lama mempersiapkan dua unta untuk perjalanan ini. Beliau juga memanggil Ali bin Abi Thalib, sepupunya yang masih sangat muda namun pemberani.

Tugas Ali sangatlah berbahaya. Beliau diminta untuk tidur di ranjang Nabi, menggunakan selimut hijau milik Nabi, untuk mengelabui para pengepung. Mereka akan mengira Nabi masih berada di dalam rumah, memberikan waktu yang berharga bagi beliau untuk melarikan diri. Ali menerima tugas ini tanpa ragu sedikit pun, sebuah bukti cinta dan kepasrahan yang luar biasa.

Tepat tengah malam, para pemuda terpilih dari berbagai klan Quraisy telah mengepung rumah Nabi. Mereka mengintip melalui celah dan melihat sesosok tubuh terbaring di ranjang, tertutup selimut. Mereka puas, meyakini target mereka masih di dalam. Mereka menunggu saat yang tepat untuk menyerang.

Pada saat yang telah ditentukan, Nabi Muhammad SAW keluar dari rumahnya. Beliau mengambil segenggam debu dan menaburkannya ke arah para pengepung sambil membaca ayat awal dari Surah Yasin. Dengan izin Allah, sebuah keajaiban terjadi. Pandangan para pengepung itu seolah dibutakan; mereka tidak melihat Nabi berjalan melewati mereka dengan tenang. Beliau langsung menuju rumah Abu Bakar, dan dari sana, perjalanan agung itu dimulai.

Perjalanan Penuh Mukjizat dan Ketegangan

Perjalanan dari Mekah ke Yathrib bukanlah perjalanan biasa. Ini adalah pelarian dari kejaran maut. Untuk mengelabui para pengejar, Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar tidak mengambil rute utara yang biasa. Sebaliknya, mereka mengambil arah yang berlawanan, menuju selatan, ke sebuah daerah pegunungan yang tandus dan terjal.

Persembunyian di Gua Tsur

Tujuan pertama mereka adalah Gua Tsur, sebuah gua kecil di puncak gunung yang sulit dijangkau. Di sinilah mereka akan bersembunyi selama tiga hari tiga malam, menunggu gelombang pertama pengejaran mereda. Perjalanan mendaki gunung itu sangat berat, terutama bagi Nabi yang kakinya terluka oleh bebatuan tajam.

Selama berada di dalam gua, jaringan pendukung yang telah disiapkan dengan rapi mulai bekerja. Putra Abu Bakar, Abdullah, akan menghabiskan hari di Mekah untuk mengumpulkan informasi tentang rencana kaum Quraisy, lalu menyelinap ke gua pada malam hari untuk melapor. Asma, putri Abu Bakar, dengan penuh keberanian akan membawakan makanan dan minuman untuk mereka. Dan Amir bin Fuhairah, budak Abu Bakar yang telah dimerdekakan, akan menggembalakan kambing-kambingnya di sekitar gua untuk menghapus jejak kaki Abdullah dan Asma.

Ketegangan mencapai puncaknya ketika regu pencari dari Quraisy, yang dipimpin oleh para pelacak jejak paling ahli, berhasil mengikuti jejak mereka hingga ke mulut gua. Dari dalam kegelapan gua, Abu Bakar bisa mendengar suara mereka dan melihat bayangan kaki mereka. Rasa takut menyelimuti hatinya, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keselamatan Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, jika salah satu dari mereka melihat ke bawah kakinya, niscaya mereka akan melihat kita,” bisik Abu Bakar dengan cemas.

Nabi Muhammad SAW, dengan ketenangan yang bersumber dari keyakinan penuh kepada Tuhannya, menenangkannya dengan kalimat yang diabadikan dalam Al-Qur'an:

"La Tahzan, Innallaha Ma'ana." (Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita).

Dan sekali lagi, pertolongan Allah datang dalam bentuk yang tak terduga. Atas perintah-Nya, seekor laba-laba dengan cepat menenun sarangnya di mulut gua. Sepasang merpati liar datang dan membuat sarang serta bertelur di sana. Ketika para pengejar tiba, mereka melihat sarang laba-laba yang utuh dan merpati yang sedang mengerami telurnya. Mereka berpikir, "Tidak mungkin ada orang yang masuk ke gua ini. Jika ada, pasti sarang laba-laba ini sudah rusak dan merpati ini sudah terbang." Mereka pun berbalik dan pergi, meninggalkan kedua buruan mereka dalam lindungan Ilahi.

Pengejaran Suraqah bin Malik

Setelah tiga hari, ketika pencarian mulai mereda, Nabi dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dan non-Muslim, Abdullah bin Uraiqit, yang menunjukkan integritasnya dengan menjaga rahasia. Perjalanan melintasi padang pasir yang ganas pun dimulai.

Berita tentang sayembara besar yang diadakan oleh kaum Quraisy—seratus ekor unta bagi siapa saja yang bisa membawa Muhammad, hidup atau mati—telah menyebar luas. Salah satu yang tergiur adalah Suraqah bin Malik, seorang prajurit yang tangguh dan serakah. Dengan kuda terbaiknya, ia melacak jejak rombongan kecil itu.

Ketika Suraqah berhasil mendekat, Abu Bakar kembali merasa cemas. Namun, Nabi tetap tenang dan berdoa. Tiba-tiba, kuda Suraqah tersungkur, kaki depannya terperosok ke dalam pasir seolah ditelan bumi. Suraqah mencoba lagi, dan kejadian yang sama terulang. Pada kali ketiga, ia menyadari bahwa ini bukanlah kejadian biasa. Orang yang dikejarnya ini dilindungi oleh kekuatan yang lebih besar.

Rasa takut dan takjub menggantikan keserakahannya. Ia berteriak memohon ampun. Nabi Muhammad SAW memaafkannya. Suraqah kemudian meminta sebuah jaminan keamanan tertulis dari Nabi, yang dengan senang hati diberikan. Sebagai gantinya, Suraqah yang tadinya adalah pengejar, kini berbalik menjadi pelindung. Setiap kali ia bertemu dengan rombongan pencari lain, ia akan meyakinkan mereka bahwa ia sudah memeriksa daerah itu dan tidak menemukan siapa pun, lalu mengarahkan mereka ke arah yang salah.

Kisah ini, bersama dengan mukjizat di kemah Ummu Ma'bad di mana seekor kambing kurus tiba-tiba menghasilkan susu yang melimpah setelah diusap oleh Nabi, menjadi bukti nyata perlindungan dan pertolongan Allah sepanjang perjalanan yang berbahaya itu.

Tiba di Madinah: Fajar Baru Peradaban

Setelah perjalanan yang melelahkan selama berhari-hari, akhirnya rombongan kecil itu melihat kebun-kebun kurma yang menghijau di cakrawala. Itulah tanda bahwa mereka telah mendekati tujuan akhir: Yathrib. Berita kedatangan Nabi telah sampai lebih dulu, dan seluruh kota berada dalam suasana penantian yang penuh sukacita.

Sambutan Hangat di Quba

Tempat pertama yang disinggahi oleh Nabi adalah Quba, sebuah desa kecil di pinggiran Yathrib. Kaum Ansar (sebutan bagi penduduk Muslim Yathrib yang menjadi penolong) dan Muhajirin (para sahabat yang telah hijrah lebih dulu) menyambut kedatangan beliau dengan luapan kegembiraan dan air mata haru. Selama beberapa hari di Quba, Nabi Muhammad SAW meletakkan batu pertama pembangunan sebuah masjid, yang kemudian dikenal sebagai Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun atas dasar takwa dalam sejarah Islam.

Memasuki Jantung Kota Yathrib

Pada hari Jumat, Nabi melanjutkan perjalanannya menuju pusat kota. Seluruh penduduk tumpah ruah di jalanan. Pria, wanita, dan anak-anak, semuanya keluar untuk menyambut kedatangan sang Rasul yang telah lama mereka nantikan. Dari atap-atap rumah dan di antara pepohonan kurma, anak-anak melantunkan nasyid yang abadi:

"Tala'al badru 'alaina, min tsaniyyatil wada'... (Telah terbit purnama di atas kami, dari celah-celah perbukitan Wada')."

Itu adalah hari yang bersejarah, sebuah perayaan kebebasan dan harapan. Setiap klan di Yathrib berlomba-lomba menawarkan kehormatan agar Nabi singgah di rumah mereka. Mereka memegang tali kekang unta Nabi, Qaswa, memohon agar beliau menjadi tamu mereka. Dengan kebijaksanaannya, Nabi menolak semua tawaran itu dengan lembut, seraya berkata, "Biarkanlah unta ini berjalan, karena ia diperintah (oleh Allah)."

Unta itu terus berjalan dengan tenang melewati kerumunan, hingga akhirnya ia berlutut dan duduk di sebidang tanah kosong milik dua anak yatim. Di sanalah, Nabi memutuskan untuk tinggal. Tanah itu kemudian dibeli, dan di atasnya dibangun Masjid Nabawi, yang menjadi pusat spiritual, sosial, dan politik bagi negara Islam yang baru lahir. Sejak hari itu, nama kota Yathrib pun diubah menjadi Madinatun Nabi (Kota Nabi), atau yang lebih dikenal sebagai Madinah.

Fondasi Masyarakat Baru

Kedatangan Nabi di Madinah bukan hanya akhir dari sebuah perjalanan, tetapi awal dari sebuah era baru. Langkah-langkah pertama yang beliau ambil menunjukkan visi cemerlangnya dalam membangun sebuah masyarakat yang adil dan beradab.

Pertama, beliau membangun masjid. Masjid Nabawi tidak hanya berfungsi sebagai tempat salat, tetapi juga sebagai pusat pendidikan, balai pertemuan, tempat mengadili perkara, dan markas pemerintahan. Ia adalah jantung komunitas yang menyatukan semua elemen masyarakat.

Kedua, beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Ansar. Setiap Muhajirin yang datang tanpa harta benda dipasangkan dengan seorang Ansar yang akan berbagi rumah, makanan, dan pekerjaan dengannya. Ikatan persaudaraan atas dasar iman ini (ukhuwah islamiyah) terbukti lebih kuat daripada ikatan darah dan kesukuan. Kaum Ansar menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa, sebuah contoh altruisme yang jarang ditemukan dalam sejarah manusia.

Ketiga, dan yang paling fundamental, adalah penyusunan Piagam Madinah. Ini adalah sebuah konstitusi tertulis pertama di dunia, sebuah dokumen brilian yang mengatur kehidupan bersama antara berbagai komunitas di Madinah—Muslim, Yahudi, dan kelompok-kelompok lainnya. Piagam ini menjamin kebebasan beragama, keamanan, dan hak-hak sipil bagi semua warga negara, tidak peduli apa pun keyakinan mereka, selama mereka sama-sama menjaga keamanan dan pertahanan kota. Piagam Madinah adalah cetak biru bagi sebuah masyarakat pluralistik yang bersatu di bawah supremasi hukum dan keadilan.

Makna dan Warisan Abadi Hijrah

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah adalah peristiwa yang sarat makna. Ia menandai dimulainya kalender Islam, bukan karena hari kelahiran Nabi atau hari turunnya wahyu pertama, tetapi karena hijrah adalah momen transformasi dari sebuah komunitas yang tertindas menjadi sebuah masyarakat yang berdaulat dan membangun peradaban. Hijrah adalah garis pemisah antara fase kesabaran pasif di Mekah dan fase pembangunan aktif di Madinah.

Warisan hijrah mengajarkan kita pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Ia mengajarkan tentang pentingnya perencanaan yang cermat dan tawakal yang sempurna. Nabi merencanakan setiap detail pelariannya, namun pada saat-saat kritis di Gua Tsur, beliau sepenuhnya berserah diri kepada perlindungan Allah.

Hijrah mengajarkan tentang pengorbanan. Para sahabat meninggalkan segala yang mereka miliki—rumah, keluarga, dan status sosial—demi mempertahankan akidah mereka. Mereka menukar dunia yang fana dengan janji kebahagiaan abadi.

Hijrah mengajarkan tentang kekuatan persaudaraan. Ikatan yang dibangun antara Muhajirin dan Ansar menunjukkan bahwa persatuan yang didasari oleh iman mampu melampaui segala bentuk perpecahan kesukuan dan materialisme.

Pada akhirnya, hijrah adalah sebuah konsep universal. Ia adalah perpindahan dari kegelapan menuju cahaya, dari kebatilan menuju kebenaran, dari perpecahan menuju persatuan, dan dari penindasan menuju kebebasan. Setiap individu, dalam kehidupannya, akan mengalami "hijrah"-nya sendiri—sebuah momen untuk meninggalkan kebiasaan buruk, lingkungan yang merusak, atau keadaan yang menghalangi pertumbuhan spiritual, menuju kondisi yang lebih baik dan lebih dekat kepada ridha Ilahi. Kisah perjalanan agung dari Mekah ini akan selamanya menjadi sumber inspirasi bagi umat manusia tentang bagaimana keyakinan, keberanian, dan visi dapat mengubah takdir sejarah.

🏠 Homepage