Mukjizat Agung di Langit Makkah: Kisah Terbelahnya Bulan

Ilustrasi mukjizat Nabi Muhammad membelah bulan

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ
"Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan."

Dalam lembaran sejarah kenabian, terdapat berbagai peristiwa luar biasa yang melampaui batas nalar dan hukum alam. Peristiwa-peristiwa ini, yang dikenal sebagai mukjizat, bukanlah pertunjukan kekuatan seorang nabi, melainkan manifestasi kekuasaan absolut Sang Pencipta yang dianugerahkan kepada utusan-Nya. Tujuannya satu: untuk membuktikan kebenaran risalah yang mereka bawa dan untuk menjadi tanda yang jelas bagi kaum yang meragukan. Di antara sekian banyak mukjizat yang dikaruniakan kepada Nabi Muhammad SAW, salah satu yang paling fenomenal dan mengguncang akal adalah peristiwa terbelahnya bulan, atau yang dikenal dalam literatur Islam sebagai Insyiqaq al-Qamar.

Peristiwa ini bukan sekadar cerita yang dituturkan dari generasi ke generasi. Ia terabadikan dalam Kitab Suci Al-Qur'an dan diriwayatkan secara meluas oleh para sahabat Nabi yang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Mukjizat ini terjadi di Makkah, pada suatu malam yang cerah, di hadapan kaum musyrikin Quraisy yang terus-menerus menantang kenabian Muhammad SAW. Mereka meminta bukti yang tak terbantahkan, sebuah tanda dari langit yang bisa memuaskan kesombongan dan keraguan mereka. Maka, atas izin Allah SWT, langit malam menjadi panggung bagi sebuah keajaiban yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Latar Belakang dan Tantangan Kaum Musyrikin

Untuk memahami kedalaman makna dari mukjizat ini, kita perlu kembali ke suasana Makkah sebelum Hijrah. Dakwah Nabi Muhammad SAW pada fase awal di Makkah diwarnai dengan penolakan keras, cemoohan, dan perlawanan sengit dari kaumnya sendiri, terutama para pembesar Quraisy. Mereka, yang kedudukan sosial dan ekonominya terancam oleh ajaran tauhid yang dibawa Nabi, menggunakan segala cara untuk menghentikan laju dakwah Islam.

Salah satu metode yang kerap mereka gunakan adalah dengan melontarkan tantangan-tantangan yang mustahil. Mereka menuntut Nabi untuk menunjukkan keajaiban fisik sebagaimana nabi-nabi terdahulu. Mereka berkata, "Jika engkau benar seorang nabi, tunjukkan kepada kami sebuah tanda yang nyata. Ubahlah bukit Shafa menjadi emas, atau alirkan sungai di lembah Makkah yang kering ini." Tuntutan mereka bukan didasari oleh pencarian tulus akan kebenaran, melainkan oleh keinginan untuk melemahkan dan mempermalukan Nabi di hadapan pengikutnya.

Pada suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang di langit Makkah, sekelompok tokoh Quraisy, termasuk di antaranya Abu Jahl, Walid bin Mughirah, dan lainnya, kembali mendatangi Nabi Muhammad SAW. Mereka mengulangi tantangan mereka dengan lebih spesifik. Sambil menunjuk ke arah bulan, mereka berkata dengan nada mengejek, "Wahai Muhammad, jika engkau memang benar seorang utusan Tuhan, belahlah bulan itu menjadi dua bagian untuk kami."

Tantangan ini berada di puncak kemustahilan. Membelah bulan, sebuah benda langit raksasa yang jaraknya ratusan ribu kilometer dari bumi, adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia mana pun. Namun, bagi Allah, Penguasa alam semesta, tidak ada yang mustahil. Nabi Muhammad SAW, dengan ketenangan dan keyakinan penuh kepada Tuhannya, tidak menjawab tantangan itu dengan perdebatan. Beliau menengadah ke langit, memohon kepada Allah SWT untuk menunjukkan tanda kekuasaan-Nya. Ini adalah momen krusial, sebuah titik di mana keimanan akan diuji dan kebenaran akan ditampakkan dengan cara yang paling spektakuler.

Detik-Detik Terbelahnya Sang Purnama

Dalam keheningan malam Makkah, di bawah tatapan mata para penantang yang skeptis dan para sahabat yang beriman, Nabi Muhammad SAW mengangkat tangannya dan berdoa. Kemudian, dengan isyarat dari jari beliau yang mulia, sebuah peristiwa agung pun terjadi. Bulan purnama yang utuh dan bercahaya itu, atas perintah Allah, terbelah menjadi dua bagian yang terpisah dengan jelas.

Para sahabat yang menjadi saksi mata memberikan kesaksian yang begitu hidup tentang pemandangan menakjubkan ini. Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat terkemuka, meriwayatkan, "Kami bersama Rasulullah SAW di Mina, lalu bulan terbelah menjadi dua. Satu bagian berada di atas gunung dan bagian lainnya di bawahnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepada kami, 'Saksikanlah!'"

Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik, beliau berkata, "Penduduk Makkah meminta Rasulullah SAW untuk menunjukkan kepada mereka suatu tanda (mukjizat). Maka beliau menunjukkan kepada mereka terbelahnya bulan sebanyak dua kali." Kesaksian ini menegaskan bahwa peristiwa itu bukanlah ilusi optik atau khayalan sesaat. Bulan benar-benar terbelah menjadi dua bagian yang tampak nyata, dengan Gunung Hira (atau dalam riwayat lain, Gunung Abu Qubais) terlihat berada di antara kedua belahan tersebut. Pemandangan ini begitu jelas sehingga setiap orang yang hadir dapat melihatnya tanpa keraguan sedikit pun.

Bayangkanlah keterkejutan yang melanda mereka yang menyaksikannya. Kaum mukminin semakin bertambah imannya, hati mereka bergetar karena menyaksikan langsung kebesaran Allah yang tak terbatas. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana alam semesta tunduk pada perintah Penciptanya, sebagai penegasan atas kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Sementara itu, kaum musyrikin Quraisy terdiam, terpana, dan tidak dapat berkata-kata. Bukti yang mereka minta kini terpampang nyata di depan mata mereka, lebih besar dan lebih dahsyat dari apa yang pernah mereka bayangkan.

Landasan dari Al-Qur'an dan Hadis yang Shahih

Kisah terbelahnya bulan bukan hanya sebuah narasi sejarah, tetapi sebuah fakta yang diabadikan oleh sumber-sumber utama ajaran Islam: Al-Qur'an dan Hadis. Keabsahan peristiwa ini begitu kuat sehingga menjadi bagian dari akidah umat Islam.

Penegasan dalam Al-Qur'an

Allah SWT mengabadikan peristiwa ini di awal Surah Al-Qamar (surah ke-54), yang namanya sendiri berarti "Bulan". Ayat-ayat pembuka surah ini secara tegas menyebutkan kejadian tersebut:

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ ‎﴿١﴾‏ وَإِن يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ ‎﴿٢﴾‏

Artinya: "Telah dekat datangnya saat itu (hari kiamat) dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, '(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.'" (QS. Al-Qamar: 1-2)

Para ahli tafsir terkemuka, dari generasi salaf hingga modern, sepakat bahwa ayat "dan telah terbelah bulan" (wansyaqqal qamar) merujuk pada mukjizat yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Penggunaan kata kerja dalam bentuk lampau (fi'il madhi) yaitu insyaqqa, menunjukkan bahwa peristiwa tersebut telah terjadi, bukan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Ayat selanjutnya pun memperkuat konteks ini dengan menggambarkan reaksi kaum musyrikin yang menyaksikannya: mereka menuduhnya sebagai sihir.

Reaksi ini persis seperti yang digambarkan dalam riwayat-riwayat sejarah. Setelah keterkejutan awal, para pembesar Quraisy segera mencari cara untuk menolak kebenaran yang baru saja mereka saksikan. Mereka berkata, "Muhammad telah menyihir mata kita!" Ini adalah dalih klasik dari orang-orang yang menolak kebenaran meskipun bukti telah terpampang nyata di hadapan mereka. Tuduhan "sihir yang terus-menerus" (sihrun mustamirr) menunjukkan upaya mereka untuk meremehkan mukjizat tersebut sebagai salah satu trik sulap yang biasa dilakukan.

Riwayat-Riwayat Hadis yang Mutawatir

Peristiwa terbelahnya bulan diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi melalui berbagai jalur periwayatan yang sangat kuat, hingga mencapai derajat mutawatir. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkatan sanadnya, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kebohongan. Ini adalah tingkat otentisitas tertinggi dalam ilmu hadis.

Beberapa sahabat yang meriwayatkan hadis ini antara lain:

Banyaknya jalur periwayatan dari para saksi mata yang terpercaya ini tidak meninggalkan keraguan sedikit pun mengenai kebenaran historis dari peristiwa terbelahnya bulan. Para ulama hadis dan akidah dari berbagai mazhab telah bersepakat bahwa mukjizat ini benar-benar terjadi dan merupakan salah satu tanda kenabian Muhammad SAW yang paling agung.

Kesaksian dari Luar Makkah dan Logika Pembuktian

Menghadapi kenyataan yang tak terbantahkan, kaum musyrikin Quraisy mencoba mencari celah untuk menyangkalnya. Mereka berargumen, "Kalau pun Muhammad bisa menyihir kita yang ada di sini, dia tidak mungkin bisa menyihir semua orang di seluruh dunia. Mari kita tunggu para musafir yang datang dari negeri lain. Tanyakan kepada mereka apakah mereka melihat hal yang sama."

Ini adalah sebuah ujian yang mereka ciptakan sendiri, sebuah metode verifikasi yang logis. Mereka menunggu dengan penuh harap, berharap para kafilah dagang yang datang dari Syam, Yaman, atau daerah lainnya akan melaporkan bahwa tidak ada hal aneh yang terjadi pada bulan.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika rombongan-rombongan musafir mulai berdatangan ke Makkah, kaum Quraisy segera mencegat mereka dan bertanya, "Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh pada bulan di malam anu?" Para musafir dari berbagai penjuru itu memberikan jawaban yang sama. Mereka semua bersaksi bahwa pada malam yang disebutkan, mereka melihat bulan terbelah menjadi dua bagian sebelum kemudian bersatu kembali. Kesaksian independen dari orang-orang yang tidak berada di Makkah dan tidak berada di bawah "pengaruh sihir" Nabi ini menjadi pukulan telak bagi penyangkalan kaum Quraisy. Logika yang mereka bangun untuk menolak kebenaran justru menjadi bumerang yang membuktikan kebenaran itu sendiri.

Peristiwa ini menunjukkan betapa Allah SWT menyempurnakan pembuktian-Nya. Mukjizat itu tidak hanya disaksikan oleh penduduk Makkah, tetapi jejaknya juga dilihat oleh orang-orang dari kejauhan. Ini membantah tuduhan bahwa peristiwa itu hanyalah ilusi atau sihir yang bersifat lokal. Kebenaran telah datang dari berbagai penjuru, namun bagi hati yang telah tertutup oleh kesombongan, seribu bukti pun tidak akan cukup.

Dalam beberapa catatan sejarah dan tradisi lisan di berbagai belahan dunia, terdapat kisah-kisah yang dihubungkan dengan peristiwa ini. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah seorang raja dari Malabar, India, yang konon menyaksikan peristiwa terbelahnya bulan dari istananya. Terpesona oleh pemandangan tersebut, ia memerintahkan para ahli nujumnya untuk mencatat waktu kejadian dan mencari tahu maknanya. Bertahun-tahun kemudian, ketika para pedagang Arab tiba di kerajaannya dan menceritakan tentang kenabian Muhammad SAW serta mukjizat terbelahnya bulan yang terjadi pada waktu yang sama, sang raja pun meyakini kebenarannya, lalu melakukan perjalanan untuk bertemu Nabi dan memeluk Islam. Meskipun keabsahan historis dari kisah spesifik ini masih menjadi bahan diskusi, ia merefleksikan bagaimana gema dari peristiwa agung di langit Makkah menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Hikmah dan Makna Mendalam di Balik Mukjizat

Setiap mukjizat yang dianugerahkan kepada para nabi tidak pernah terjadi tanpa tujuan. Di balik setiap peristiwa luar biasa, terkandung hikmah dan pelajaran yang mendalam. Mukjizat terbelahnya bulan juga sarat dengan makna-makna penting, baik bagi orang-orang pada zaman itu maupun bagi kita saat ini.

1. Penegasan Kebenaran Risalah Kenabian

Fungsi utama dari mukjizat ini adalah sebagai bayyinah, atau bukti yang nyata dan tak terbantahkan atas status Muhammad SAW sebagai seorang Rasulullah. Kaum Quraisy meminta sebuah tanda dari langit (ayah min as-sama'), dan Allah memberikan sebuah tanda yang jauh melampaui imajinasi mereka. Kemampuan untuk "mempengaruhi" benda langit adalah sesuatu yang secara mutlak berada di luar kapasitas manusia, dan hanya bisa terjadi dengan kekuasaan Tuhan. Dengan demikian, peristiwa ini menjadi segel pengesahan Ilahi atas misi dakwah Nabi.

2. Menunjukkan Kekuasaan Allah yang Mutlak

Peristiwa ini adalah demonstrasi agung dari kekuasaan Allah SWT yang tidak terbatas. Ia menunjukkan bahwa seluruh alam semesta, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, berada dalam genggaman dan kendali-Nya. Bulan, matahari, bintang, dan planet-planet, semuanya bergerak menurut ketetapan-Nya. Jika Dia berkehendak, hukum alam yang kita kenal bisa ditundukkan dalam sekejap. Terbelahnya bulan adalah pengingat bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan bagi-Nya tidak ada yang mustahil.

3. Tanda Dekatnya Hari Kiamat

Sangat signifikan bahwa Allah menempatkan ayat tentang terbelahnya bulan tepat setelah firman-Nya, "Telah dekat datangnya saat itu (hari kiamat)". Ini bukanlah sebuah kebetulan. Peristiwa terbelahnya bulan, sebuah fenomena kosmik yang dahsyat, menjadi semacam "gladi resik" atau pertanda kecil dari peristiwa-peristiwa yang jauh lebih dahsyat yang akan terjadi menjelang dan pada Hari Kiamat, ketika langit akan terbelah, bintang-bintang akan berjatuhan, dan gunung-gunung akan hancur lebur. Mukjizat ini seolah-olah menjadi peringatan dini bagi umat manusia bahwa dunia ini tidaklah abadi dan akhir zaman adalah sebuah keniscayaan.

4. Membedakan antara Pencari Kebenaran dan Penentang

Mukjizat ini berfungsi sebagai furqan, yaitu pembeda. Bagi jiwa-jiwa yang tulus mencari kebenaran, peristiwa ini akan semakin mengokohkan iman mereka. Mereka melihatnya sebagai tanda kasih sayang Allah yang mau menunjukkan jalan kepada hamba-Nya. Namun, bagi hati yang dipenuhi kesombongan dan kedengkian, mukjizat sebesar apa pun tidak akan mengubah pendirian mereka. Mereka akan selalu menemukan dalih untuk menolaknya, seperti tuduhan sihir. Peristiwa ini menelanjangi hakikat hati setiap orang, memisahkan antara keimanan dan kekufuran.

Menjawab Keraguan di Era Modern

Di zaman modern yang didominasi oleh pendekatan empiris dan saintifik, sering kali muncul pertanyaan-pertanyaan skeptis mengenai peristiwa terbelahnya bulan. "Mengapa tidak ada catatan astronomi dari peradaban lain seperti Tiongkok atau Persia?" atau "Mengapa tidak ada bekas 'jahitan' raksasa di permukaan bulan?"

Penting untuk memahami bahwa mukjizat, secara definisi, adalah peristiwa khariqul 'adah, yaitu sesuatu yang berada di luar kebiasaan atau hukum alam. Mencoba memaksakan penjelasan ilmiah-positivistik pada sebuah peristiwa supranatural adalah sebuah kesalahan kategori. Tujuan mukjizat bukanlah untuk meninggalkan bukti fisik permanen yang dapat diukur oleh instrumen ilmiah ribuan tahun kemudian. Tujuannya adalah sebagai tanda bagi kaum yang hidup pada saat itu, untuk menjawab tantangan mereka secara langsung.

Terkait minimnya catatan dari peradaban lain, ada beberapa penjelasan yang mungkin. Pertama, peristiwa itu bisa jadi terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Kedua, tidak semua belahan bumi dapat melihat bulan pada saat yang bersamaan. Bisa jadi saat peristiwa itu terjadi, di belahan bumi lain sedang siang hari atau bulan tidak terlihat karena kondisi cuaca. Ketiga, pencatatan peristiwa langit di masa lalu tidaklah sistematis seperti sekarang. Namun, yang paling fundamental adalah bahwa pembuktian utama bagi seorang mukmin bukanlah catatan astronomi kuno, melainkan kesaksian yang paling valid dan otentik, yaitu Al-Qur'an dan Hadis Mutawatir.

Beberapa kalangan pernah mencoba menghubungkan mukjizat ini dengan temuan rill atau retakan di permukaan bulan oleh NASA. Namun, klaim ini telah dibantah oleh para ilmuwan NASA sendiri. Mencoba "membuktikan" mukjizat dengan mencocok-cocokkan data ilmiah modern sering kali tidak produktif dan dapat merendahkan esensi mukjizat itu sendiri, yang keagungannya justru terletak pada sifatnya yang melampaui hukum fisika. Iman kepada mukjizat ini tidak bergantung pada validasi sains, melainkan pada keyakinan terhadap wahyu Ilahi.

Kesimpulan

Peristiwa terbelahnya bulan di langit Makkah adalah salah satu mukjizat terbesar dan paling spektakuler yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia bukan sekadar dongeng, melainkan sebuah fakta sejarah yang kokoh, didukung oleh kesaksian Al-Qur'an yang abadi dan riwayat-riwayat hadis yang tak terbantahkan. Mukjizat ini adalah jawaban telak atas tantangan kaum musyrikin, sebuah penegasan yang gemilang atas kebenaran risalah Islam, dan sebuah demonstrasi yang megah akan kekuasaan Allah SWT yang tiada batas.

Lebih dari sekadar fenomena fisik, terbelahnya bulan adalah sebuah simbol. Ia menyimbolkan bagaimana kebenaran dapat membelah kebatilan, bagaimana cahaya iman dapat menembus kegelapan kekufuran, dan bagaimana kehendak Ilahi dapat menundukkan segala hukum alam. Bagi umat Islam, kisah ini adalah sumber inspirasi dan penguat iman yang tak lekang oleh waktu, sebuah pengingat abadi bahwa pertolongan Allah akan selalu datang kepada para utusan-Nya, dan bahwa tanda-tanda kebesaran-Nya tersebar di seluruh penjuru alam semesta bagi mereka yang mau berpikir dan beriman.

🏠 Homepage