Misi Agung Sang Utusan: Mengapa Nabi Muhammad SAW Diutus Allah SWT?
Alam semesta membentang dalam keagungan yang tak terhingga, dan di tengah hamparan ciptaan-Nya, manusia hadir sebagai makhluk yang diberi akal dan kehendak bebas. Namun, kebebasan ini membawa konsekuensi; potensi untuk menuju puncak kemuliaan atau terjerumus ke lembah kehinaan. Dalam sejarah peradaban, manusia seringkali tersesat dalam kegelapan, kehilangan arah, dan menyembah apa yang mereka ciptakan sendiri. Mereka melupakan Sang Pencipta Sejati dan menggantinya dengan berhala-berhala bisu, baik yang terbuat dari batu maupun yang bersemayam dalam hawa nafsu. Di tengah kondisi inilah, rahmat Allah SWT termanifestasi dalam bentuk yang paling sempurna: diutusnya seorang manusia pilihan, seorang rasul penutup, untuk menuntun umat manusia kembali ke jalan yang lurus. Maka, menjadi sebuah pertanyaan fundamental yang menggugah jiwa: untuk tujuan agung apakah Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk seluruh umat manusia? Jawabannya bukanlah sekadar satu kalimat, melainkan sebuah samudra hikmah yang luas, mencakup setiap aspek kehidupan, dari relung hati yang paling pribadi hingga tatanan masyarakat yang paling kompleks.
Misi beliau bukanlah misi yang terbatas pada satu kaum atau satu zaman. Risalah yang dibawanya bersifat universal, melintasi batas-batas geografis, etnis, dan waktu. Ia datang bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk membangun. Bukan untuk memecah belah, melainkan untuk menyatukan. Bukan untuk memperbudak, melainkan untuk membebaskan. Setiap langkah, perkataan, dan ketetapan beliau adalah cerminan dari wahyu ilahi yang bertujuan mengangkat derajat manusia dan mengembalikannya pada fitrahnya yang suci. Memahami tujuan diutusnya beliau adalah kunci untuk memahami esensi ajaran Islam itu sendiri, yaitu sebagai jalan hidup yang paripurna dan sumber rahmat bagi sekalian alam. p>
Menegakkan Tauhid: Fondasi Utama Risalah
Pilar pertama dan paling fundamental dari misi kenabian Muhammad SAW adalah untuk mengembalikan manusia kepada konsep tauhid yang murni. Sebelum kedatangan beliau, Jazirah Arab dan sebagian besar dunia tenggelam dalam lautan politeisme atau syirik. Manusia menyembah berhala, bintang, roh nenek moyang, dan berbagai kekuatan alam lainnya. Ka'bah yang mulia, yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS sebagai pusat penyembahan kepada Tuhan Yang Esa, telah dikotori oleh ratusan berhala yang mewakili berbagai suku dan kepentingan. Kepercayaan ini tidak hanya merusak spiritualitas, tetapi juga tatanan sosial. Ia menciptakan sistem kasta, di mana para penjaga berhala atau kaum bangsawan memiliki status lebih tinggi. Ia melahirkan takhayul yang melumpuhkan akal sehat dan rasa takut yang tidak berdasar kepada selain Allah.
Kondisi Jahiliyah: Kegelapan Spiritual dan Sosial
Zaman sebelum Islam dikenal sebagai era Jahiliyah, yang secara harfiah berarti "kebodohan". Namun, kebodohan ini bukanlah dalam arti kurangnya kecerdasan atau seni sastra—mereka justru ahli dalam syair—melainkan kebodohan dalam mengenali Tuhan yang sebenarnya. Mereka mengakui adanya Tuhan pencipta, tetapi mereka meyakini butuh perantara untuk sampai kepada-Nya. Perantara-perantara inilah yang mereka wujudkan dalam bentuk patung-patung. Logika mereka telah tumpul, hingga mereka membuat "tuhan" dari kurma, lalu memakannya saat kelaparan.
Kegelapan spiritual ini melahirkan kegelapan moral dan sosial. Pertumpahan darah atas alasan sepele menjadi hal biasa. Perjudian, riba, dan penindasan terhadap yang lemah merajalela. Wanita dipandang sebagai properti, bahkan ada tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena dianggap aib. Tidak ada hukum yang adil, yang ada hanyalah hukum rimba: siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Dalam konteks inilah, seruan "La ilaha illallah" (Tiada Tuhan selain Allah) yang dibawa oleh Rasulullah SAW terdengar seperti guntur yang mengguncang sendi-sendi kemusyrikan dan kezaliman. Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk membebaskan manusia dari perbudakan terhadap sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada Sang Pencipta.
Pembebasan Melalui Kalimat Tauhid
Ajaran tauhid yang dibawa beliau adalah sebuah revolusi. Ia membebaskan akal manusia dari belenggu takhayul. Manusia tidak perlu lagi takut pada benda mati, jin, atau kekuatan gaib lainnya, karena semua itu adalah ciptaan yang tunduk pada kekuasaan Allah. Ia membebaskan jiwa manusia dari ketergantungan pada perantara. Hubungan antara hamba dan Tuhannya menjadi langsung, tanpa sekat, tanpa perlu ritual yang dimonopoli oleh kelas pendeta. Setiap individu, kaya atau miskin, bangsawan atau budak, memiliki akses yang sama untuk berdoa dan memohon kepada Allah SWT.
Lebih jauh lagi, tauhid menanamkan rasa kesetaraan yang luar biasa. Jika Tuhan hanya satu, maka semua manusia adalah hamba-Nya yang setara. Tidak ada lagi superioritas berdasarkan suku, warna kulit, atau status sosial. Satu-satunya yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah tingkat ketakwaannya. Konsep radikal inilah yang meruntuhkan arogansi kaum Quraisy dan menyatukan seorang mantan budak dari Habasyah seperti Bilal bin Rabah dengan seorang bangsawan terhormat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam satu barisan persaudaraan. Inilah fondasi utama mengapa Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk membangun sebuah peradaban baru yang adil dan beradab.
Menyempurnakan Akhlak Mulia (Al-Akhlaq al-Karimah)
Jika tauhid adalah fondasi, maka akhlak mulia adalah bangunan indah yang berdiri di atasnya. Misi kedua yang tidak kalah pentingnya adalah penyempurnaan karakter manusia. Rasulullah SAW sendiri bersabda dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, yang maknanya, "Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Pernyataan ini menegaskan bahwa inti dari ajaran Islam adalah transformasi moral. Agama bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan harus tercermin dalam perilaku sehari-hari.
Beliau adalah Al-Qur'an yang berjalan. Setiap tindakannya adalah interpretasi hidup dari wahyu yang diturunkan kepadanya. Kehidupannya menjadi teladan abadi bagi siapa saja yang ingin meniti jalan kebaikan.
Teladan dalam Kejujuran dan Amanah (Al-Amin)
Jauh sebelum menerima wahyu pertama, masyarakat Mekah telah mengenal Muhammad bin Abdullah sebagai sosok yang paling jujur dan dapat dipercaya. Mereka memberinya gelar "Al-Amin". Ketika mereka berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad kembali ke tempatnya setelah renovasi Ka'bah, mereka semua sepakat untuk menerima keputusan orang pertama yang masuk melalui gerbang, dan orang itu adalah beliau. Kepercayaan ini menjadi modal sosial yang tak ternilai ketika beliau mulai berdakwah. Bahkan musuh-musuh bebuyutannya yang menolak kenabiannya, tidak pernah sekalipun meragukan integritas pribadinya. Mereka menitipkan barang-barang berharga mereka kepada beliau karena mereka tahu harta mereka aman bersamanya. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk mengajarkan bahwa keimanan sejati harus berbuah kejujuran dalam setiap interaksi.
Manifestasi Kasih Sayang dan Kelembutan
Risalah yang beliau bawa adalah risalah kasih sayang. Pribadinya adalah manifestasi dari sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim Allah SWT. Beliau adalah orang yang paling lembut hatinya. Beliau mencium cucu-cucunya di depan umum, suatu hal yang dianggap aneh oleh para pemimpin suku yang keras hati. Beliau pernah memendekkan salatnya karena mendengar tangisan bayi di barisan belakang, khawatir ibunya merasa tidak tenang.
Kasih sayangnya tidak terbatas pada manusia. Beliau mengajarkan untuk berbuat baik kepada hewan. Beliau melarang menyiksa binatang, menjadikannya sasaran panah, atau membebaninya di luar kemampuannya. Ada kisah tentang seorang wanita yang masuk neraka karena mengurung seekor kucing tanpa memberinya makan, dan seorang pria yang diampuni dosanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Ini adalah revolusi moral yang mengajarkan bahwa setiap makhluk hidup di bumi ini berhak mendapatkan perlakuan yang baik. Kasih sayang universal inilah salah satu alasan utama mengapa Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Keadilan dan Kesetaraan Tanpa Pandang Bulu
Dalam masyarakat yang dibangun di atas fondasi kesukuan dan nepotisme, Rasulullah SAW datang dengan prinsip keadilan mutlak. Hukum berlaku sama untuk semua. Suatu ketika, seorang wanita dari suku Makhzum yang terpandang kedapatan mencuri. Beberapa sahabat mencoba meminta keringanan hukuman melalui Usamah bin Zaid, orang yang sangat beliau cintai. Wajah Rasulullah SAW langsung memerah karena marah, dan beliau bersabda, "Apakah engkau hendak meminta pertolongan untuk melanggar salah satu hukum Allah? Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya."
Prinsip ini menghancurkan privilese kaum bangsawan dan menegakkan supremasi hukum yang sesungguhnya. Beliau juga menghapus rasisme dan diskriminasi. Dalam khotbah terakhirnya saat Haji Wada', beliau dengan tegas menyatakan, "Wahai manusia! Tuhanmu satu dan nenek moyangmu satu. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, tidak pula bagi orang non-Arab atas orang Arab. Tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas yang berkulit hitam, tidak pula bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan takwa." Pernyataan ini ribuan tahun mendahului deklarasi hak asasi manusia modern, menunjukkan betapa luhurnya peradaban yang ingin beliau bangun.
Sebagai Rahmatan lil 'Alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." Ayat ini merangkum esensi dari seluruh misi kenabian beliau. Kehadirannya bukan hanya rahmat bagi orang-orang yang beriman, bukan hanya bagi manusia, tetapi bagi seluruh ciptaan—termasuk hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Ini adalah konsep rahmat yang holistik dan komprehensif.
Rahmat bagi Kemanusiaan Secara Universal
Beliau membawa ajaran yang mengangkat derajat kemanusiaan. Salah satu contoh paling nyata adalah pemuliaan terhadap perempuan. Islam datang mengharamkan praktik penguburan bayi perempuan. Islam memberikan hak waris kepada perempuan, hak untuk memiliki properti, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk memilih pasangan hidup—hak-hak yang tidak dikenal di banyak peradaban pada masa itu.
Beliau juga mengajarkan untuk memuliakan orang tua, menyayangi anak yatim, dan membantu para janda serta fakir miskin. Beliau bersabda bahwa orang yang bekerja untuk membantu janda dan orang miskin itu seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Ajaran-ajaran ini menciptakan jaring pengaman sosial yang kuat, di mana setiap individu merasa dihargai dan dilindungi. Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk membangun masyarakat yang welas asih, di mana yang kuat menolong yang lemah dan yang kaya peduli pada yang miskin.
Rahmat bagi Alam Lingkungan
Jauh sebelum dunia modern berbicara tentang krisis ekologi, Islam melalui lisan Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar etika lingkungan. Beliau melarang pemborosan air, bahkan saat berwudu di tepi sungai yang mengalir. Beliau mendorong umatnya untuk menanam pohon, menyatakan bahwa siapa pun yang menanam pohon lalu hasilnya dimakan oleh manusia atau hewan, maka itu akan menjadi sedekah baginya.
Beliau juga menetapkan area-area tertentu sebagai "hima" atau cagar alam, di mana penebangan pohon dan perburuan hewan dilarang. Ini adalah sebuah konsep konservasi yang sangat maju pada zamannya. Ajaran ini menunjukkan bahwa seorang muslim tidak hanya memiliki hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia, tetapi juga hubungan yang bertanggung jawab dengan alam semesta sebagai khalifah di muka bumi. Misi ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan seluruh ciptaan.
Membangun Peradaban Berbasis Wahyu
Tujuan akhir dari penegakan tauhid, penyempurnaan akhlak, dan penyebaran rahmat adalah untuk membangun sebuah tatanan masyarakat dan peradaban baru yang tercerahkan oleh cahaya wahyu. Beliau bukan hanya seorang nabi yang menyampaikan pesan, tetapi juga seorang negarawan ulung, seorang pemimpin, seorang hakim, dan seorang pendidik yang berhasil mentransformasikan sekelompok suku-suku yang saling berperang di gurun pasir menjadi sebuah kekuatan peradaban yang kelak akan menerangi dunia selama berabad-abad.
Transformasi Sosial di Madinah
Ketika beliau hijrah ke Madinah, kota itu terpecah oleh permusuhan sengit antara suku Aus dan Khazraj. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang dari Mekah) dengan kaum Anshar (penduduk asli Madinah). Persaudaraan ini bukan sekadar simbolis; mereka benar-benar berbagi harta, rumah, dan kehidupan. Ikatan iman terbukti lebih kuat daripada ikatan darah dan kesukuan.
Langkah brilian berikutnya adalah menyusun Piagam Madinah, sebuah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini mengatur hubungan antara berbagai komunitas di Madinah—termasuk kaum Muslimin, Yahudi, dan kelompok-kelompok lainnya. Piagam ini menjamin kebebasan beragama, keamanan, dan hak-hak sipil bagi semua warga negara, terlepas dari keyakinan mereka. Ini adalah cetak biru bagi masyarakat pluralistik yang adil dan toleran, sebuah model yang sangat relevan hingga hari ini. Dengan demikian, jelas bahwa Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ilahi dapat diimplementasikan untuk menciptakan tatanan sosial yang harmonis.
Mendorong Budaya Ilmu Pengetahuan
Wahyu pertama yang turun bukanlah perintah untuk salat atau berperang, melainkan perintah untuk "Membaca!" (Iqra!). Perintah ini menjadi pemicu revolusi intelektual. Rasulullah SAW sangat mendorong umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Beliau bahkan menjadikan pembebasan tawanan perang yang bisa membaca dan menulis dengan syarat mereka mau mengajari sepuluh anak-anak muslim.
Semangat inilah yang kemudian melahirkan peradaban Islam yang gemilang, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia ketika Eropa masih berada dalam Abad Kegelapan. Para ilmuwan muslim, yang terinspirasi oleh ajaran untuk mempelajari ciptaan Allah, berhasil membuat penemuan-penemuan besar dalam bidang kedokteran, matematika, astronomi, kimia, dan filsafat. Mereka tidak melihat adanya pertentangan antara iman dan akal, melainkan memandang ilmu pengetahuan sebagai cara untuk lebih mengenal keagungan Sang Pencipta.
Kesimpulan: Cahaya Petunjuk yang Tak Pernah Padam
Jadi, untuk apa Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk kita semua? Beliau diutus untuk membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan, baik perbudakan kepada berhala, hawa nafsu, maupun kepada sesama manusia. Beliau diutus untuk menyucikan jiwa dan menyempurnakan akhlak, menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi manusia yang seutuhnya: jujur, adil, penyayang, dan amanah. Beliau diutus sebagai rahmat yang melimpah, tidak hanya bagi umatnya, tetapi bagi seluruh alam semesta, mengajarkan keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Pada akhirnya, beliau diutus untuk mendirikan sebuah peradaban yang berlandaskan keadilan, ilmu pengetahuan, dan spiritualitas. Risalah yang dibawanya bukanlah sekadar kumpulan dogma, melainkan sebuah jalan hidup yang lengkap dan seimbang, yang menuntun manusia menuju kebahagiaan sejati di dunia dan di akhirat. Warisan beliau bukanlah istana megah atau harta yang melimpah, melainkan ajaran abadi dan teladan sempurna yang terus menjadi sumber inspirasi dan cahaya petunjuk bagi miliaran manusia di seluruh dunia, hingga akhir zaman. Misi beliau adalah undangan universal kepada seluruh umat manusia untuk kembali kepada fitrahnya, mengenal Tuhannya, dan menjalani hidup dengan tujuan yang mulia.