Perjalanan Agung: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah

Ilustrasi perjalanan hijrah di malam hari melewati padang pasir.

Ilustrasi perjalanan hijrah di malam hari melewati padang pasir.

Pendahuluan: Sebuah Perintah untuk Memulai

Dalam lembaran sejarah kemanusiaan, ada peristiwa-peristiwa yang tidak hanya mengubah peta geografis, tetapi juga mengukir ulang lanskap spiritual dan peradaban. Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Yatsrib (yang kemudian dikenal sebagai Madinah) adalah salah satunya. Peristiwa ini bukanlah sekadar perpindahan fisik dari satu kota ke kota lain. Ia adalah sebuah transisi monumental dari fase penindasan menuju fase pembangunan, dari kesabaran dalam penderitaan menuju aksi pembentukan masyarakat. Hijrah adalah titik balik yang memisahkan era, sebuah tonggak yang begitu penting sehingga menjadi dasar penanggalan kalender Islam.

Kisah ini dimulai di Mekkah, sebuah kota yang tandus secara fisik namun subur dengan tradisi dan kekuasaan. Di kota inilah wahyu pertama turun, dan seruan tauhid mulai bergema dari lisan seorang insan terpilih, Muhammad bin Abdullah. Namun, seruan untuk menyembah Tuhan Yang Esa ini mengancam struktur sosial, ekonomi, dan kekuasaan yang telah mapan di kalangan para pembesar Quraisy. Apa yang dimulai sebagai cemoohan dan ejekan, dengan cepat bermetamorfosis menjadi intimidasi, penyiksaan, dan permusuhan yang brutal. Umat Islam yang jumlahnya masih sedikit, terutama mereka yang tidak memiliki perlindungan suku, menjadi sasaran kekejaman yang tak terperi.

Selama lebih dari satu dekade, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya menanggung segala bentuk penderitaan dengan kesabaran yang luar biasa. Mereka diboikot, diasingkan, disiksa, dan harta mereka dirampas. Namun, iman mereka tidak goyah. Setiap cambukan dan hinaan justru semakin mengokohkan keyakinan di dalam dada. Akan tetapi, tibalah saatnya ketika penindasan mencapai puncaknya. Mekkah, tanah kelahiran Sang Nabi, telah menjadi bumi yang sempit dan menyesakkan. Dakwah di sana seolah menemui jalan buntu, terhalang oleh dinding kebencian yang tebal. Di tengah kegelapan yang pekat inilah, secercah cahaya harapan muncul dari utara, dari sebuah kota bernama Yatsrib. Dan bersamaan dengan itu, turunlah perintah Ilahi: "Berhijrahlah." Perintah ini bukan tanda menyerah, melainkan sebuah strategi agung untuk menyelamatkan risalah dan menanam benih peradaban baru di tanah yang subur.

Bab 1: Mekkah, Bumi yang Semakin Sempit

Eskalasi Permusuhan Setelah Dakwah Terbuka

Pada masa-masa awal kenabian, dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dari satu individu ke individu lain yang dipercaya. Namun, setelah turunnya perintah untuk berdakwah secara terang-terangan, lanskap hubungan antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisy berubah drastis. Nabi Muhammad SAW berdiri di atas Bukit Shafa, menyeru kepada seluruh kabilah Quraisy. Beliau menyampaikan pesan tauhid dengan jelas dan tegas. Reaksi yang muncul adalah penolakan keras, dipelopori oleh paman beliau sendiri, Abu Lahab.

Sejak saat itu, permusuhan tidak lagi tersembunyi. Para pembesar Quraisy, yang merasa otoritas dan keuntungan ekonomi mereka dari penyembahan berhala terancam, melancarkan kampanye fitnah dan penyesatan. Mereka menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai penyair gila, tukang sihir, atau pemecah belah keluarga. Setiap kali Nabi berdakwah di keramaian, seperti di pasar Ukaz atau di sekitar Ka'bah, mereka akan mengikuti dan meneriakkan kebohongan untuk mendiskreditkan beliau. Mereka mencoba berbagai cara, mulai dari menawarkan harta, takhta, dan wanita, hingga mengancam dengan siksaan. Namun, semua itu ditolak dengan lembut namun tegas oleh Rasulullah. Keteguhan inilah yang membuat amarah mereka semakin menjadi-jadi.

Siksaan Fisik Terhadap Kaum Lemah

Ketika para pemuka Quraisy gagal menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW yang dilindungi oleh pamannya, Abu Thalib, mereka melampiaskan kebencian mereka kepada para pengikutnya yang lemah dan tidak memiliki perlindungan suku. Sejarah mencatat kisah-kisah penyiksaan yang luar biasa kejam, yang sekaligus menjadi bukti keteguhan iman yang tak tergoyahkan.

Bilal bin Rabah, seorang budak dari Habasyah, disiksa oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf. Setiap tengah hari, ketika matahari Mekkah berada di puncaknya dan padang pasir membara, Bilal dibaringkan di atas pasir panas. Sebuah batu besar kemudian diletakkan di atas dadanya, membuatnya sulit bernapas. Dalam kondisi itu, ia dipaksa untuk mengingkari Allah dan menyembah Latta dan Uzza. Namun, dari bibirnya yang kering dan pecah-pecah, hanya satu kata yang keluar berulang kali: "Ahad... Ahad... (Yang Maha Esa... Yang Maha Esa...)."

Kisah keluarga Yasir adalah tragedi yang menyayat hati sekaligus membangkitkan semangat. Yasir, istrinya Sumayyah, dan putranya Ammar, disiksa tanpa ampun oleh Abu Jahl. Mereka dijemur di bawah terik matahari, dicambuk, dan ditusuk. Suatu hari, ketika Rasulullah melewati mereka, beliau hanya bisa berkata dengan penuh kesedihan, "Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga." Sumayyah, dalam puncak penyiksaan, tetap mempertahankan imannya, hingga Abu Jahl dengan murka menusuknya dengan tombak. Beliau menjadi syahidah pertama dalam sejarah Islam, seorang wanita yang mengorbankan nyawanya demi mempertahankan keyakinan.

Ada pula Khabbab bin al-Aratt, seorang pandai besi. Para penyiksanya akan memanaskan besi hingga membara, lalu menempelkannya ke punggung telanjangnya. Dagingnya terbakar dan mengeluarkan suara desis, namun imannya tak pernah padam. Siksaan-siksaan ini bukanlah insiden terisolasi, melainkan sebuah kebijakan sistematis untuk meneror kaum Muslimin agar kembali kepada kepercayaan lama mereka. Namun, alih-alih melemahkan, penindasan ini justru menjadi pupuk yang menyuburkan benih iman di hati mereka.

Tiga Tahun di Lembah Pemboikotan

Melihat kegigihan kaum Muslimin, kaum Quraisy mengambil langkah yang lebih ekstrem. Mereka menyusun sebuah piagam kesepakatan untuk melakukan boikot total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib, klan yang melindungi Nabi Muhammad SAW, baik yang sudah Muslim maupun yang belum. Piagam ini digantung di dalam Ka'bah. Isi boikot tersebut adalah: tidak ada yang boleh melakukan jual beli dengan mereka, tidak ada yang boleh menikahi mereka atau menikahkan putri mereka dengan mereka, dan tidak ada yang boleh berinteraksi sosial dengan mereka dalam bentuk apapun.

Akibatnya, kaum Muslimin dan klan pelindung Nabi terpaksa mengasingkan diri di sebuah lembah sempit milik Abu Thalib. Selama tiga tahun, mereka hidup dalam penderitaan yang luar biasa. Pasokan makanan terputus total. Mereka terpaksa memakan dedaunan, kulit binatang, dan apa saja yang bisa ditemukan untuk bertahan hidup. Suara tangisan anak-anak yang kelaparan sering terdengar hingga ke luar lembah, mengiris hati siapa saja yang masih memiliki nurani. Namun, para pembesar Quraisy tetap bergeming. Dalam kondisi yang paling sulit ini, kekompakan dan kesabaran mereka diuji hingga batas maksimal. Mereka berbagi sedikit makanan yang ada, saling menguatkan, dan tetap teguh di belakang Nabi Muhammad SAW. Pemboikotan ini baru berakhir ketika, atas kehendak Allah, rayap memakan seluruh isi piagam yang zalim itu, kecuali bagian yang bertuliskan nama Allah.

Wafatnya Para Pelindung Tercinta

Tidak lama setelah berakhirnya pemboikotan, duka mendalam kembali menyelimuti Nabi Muhammad SAW. Dalam rentang waktu yang singkat, beliau kehilangan dua sosok paling berpengaruh dan paling dicintainya. Pertama adalah pamannya, Abu Thalib. Meskipun hingga akhir hayatnya Abu Thalib tidak secara terbuka menyatakan keislamannya, ia adalah benteng pertahanan utama Nabi di tengah kepungan permusuhan Quraisy. Dengan wibawa dan posisinya sebagai pemimpin Bani Hasyim, ia melindungi keponakannya dari ancaman fisik yang paling serius. Kepergiannya adalah hilangnya perisai politik dan sosial bagi Nabi.

Beberapa waktu kemudian, menyusul pula wafatnya istri tercinta, Khadijah binti Khuwailid. Khadijah bukan sekadar istri; ia adalah sahabat, penasihat, dan orang pertama yang beriman kepada risalahnya. Dialah yang menyelimuti Nabi ketika beliau gemetar menerima wahyu pertama. Dialah yang menenangkan hati Nabi dengan kata-kata penuh keyakinan. Dialah yang mengorbankan seluruh hartanya untuk perjuangan dakwah. Kehilangan Khadijah adalah kehilangan pilar emosional dan spiritual yang tak tergantikan. Tahun itu begitu berat bagi Rasulullah sehingga dikenal sebagai 'Amul Huzn, atau Tahun Kesedihan. Dengan wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, pintu bagi kaum Quraisy untuk meningkatkan intimidasi mereka terhadap Nabi secara pribadi terbuka lebar.

Bab 2: Secercah Harapan dari Utara

Pencarian Suaka di Thaif yang Berujung Luka

Dengan semakin gencarnya tekanan di Mekkah, Rasulullah mencoba mencari basis baru untuk dakwah. Beliau berjalan kaki menuju kota Thaif, sebuah kota subur yang berjarak puluhan kilometer dari Mekkah. Beliau berharap para pemimpin Bani Tsaqif di Thaif akan menerima seruannya atau setidaknya memberikan perlindungan. Dengan penuh harapan, beliau menemui tiga bersaudara yang merupakan pemimpin mereka dan menyampaikan risalah Islam.

Namun, apa yang beliau terima jauh dari harapan. Mereka tidak hanya menolak dengan kasar, tetapi juga menghina dan mencemooh beliau. Tidak cukup sampai di situ, mereka mengerahkan anak-anak dan orang-orang bodoh di kota itu untuk mengusir Nabi. Mereka melempari Rasulullah dengan batu, meneriakinya, dan mengikutinya hingga ke luar batas kota. Batu-batu itu melukai kedua kaki beliau hingga darah mengalir membasahi sandalnya. Zaid bin Haritsah, yang menyertai beliau, berusaha keras melindungi Nabi dengan tubuhnya hingga kepalanya pun terluka.

Dalam keadaan lelah, terluka fisik dan batin, Rasulullah berlindung di sebuah kebun anggur. Di sanalah beliau menengadahkan tangan dan memanjatkan salah satu doa yang paling menyentuh dalam sejarah, sebuah munajat pribadi kepada Tuhannya:

"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Paling Pengasih di antara para pengasih, Engkaulah Tuhan kaum yang lemah dan Engkaulah Tuhanku. Kepada siapa Engkau akan menyerahkanku? Kepada orang jauh yang akan menyakitiku, atau kepada musuh yang Engkau berikan kekuasaan atas urusanku? Selama Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli. Namun, ampunan-Mu lebih luas bagiku..."

Peristiwa Thaif menunjukkan betapa beratnya jalan dakwah, namun juga memperlihatkan puncak ketabahan dan kebergantungan total seorang Nabi kepada Tuhannya.

Perjanjian Aqabah: Benih Iman dari Yatsrib

Meskipun pintu dakwah di Thaif tertutup, Allah membukakan pintu lain dari arah yang tidak terduga. Sesuai kebiasaannya, pada musim haji, Nabi Muhammad SAW akan mendatangi kabilah-kabilah yang datang ke Mekkah untuk menawarkan Islam. Suatu ketika, beliau bertemu dengan sekelompok kecil orang dari kabilah Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Kota Yatsrib memiliki komunitas Yahudi yang cukup besar, dan dari mereka, orang-orang Arab di sana sering mendengar tentang akan datangnya seorang nabi akhir zaman.

Ketika Rasulullah menyampaikan ayat-ayat Al-Qur'an dan esensi ajaran Islam, mereka saling berpandangan dan berkata, "Demi Tuhan, inilah Nabi yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi. Jangan sampai mereka mendahului kita untuk beriman kepadanya." Hati mereka terbuka. Mereka pun menerima Islam dan berjanji akan menyebarkan ajaran ini di kota mereka. Pertemuan ini menjadi cikal bakal dari apa yang akan mengubah dunia.

Pada musim haji berikutnya, dua belas orang dari Yatsrib, gabungan dari suku Aus dan Khazraj, datang dan bertemu dengan Nabi di sebuah tempat bernama Aqabah. Di sana, mereka melakukan baiat atau sumpah setia. Sumpah ini kemudian dikenal sebagai Baiat Aqabah Pertama atau Bai'at al-Nisa (Sumpah Wanita), karena isinya tidak mengandung klausul perang. Mereka berjanji untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berbuat fitnah, dan akan taat kepada Nabi dalam hal kebaikan. Setelah baiat, Rasulullah mengutus Mus'ab bin Umair, seorang sahabat yang cerdas dan berakhlak mulia, untuk pergi bersama mereka ke Yatsrib sebagai duta Islam pertama, untuk mengajarkan Al-Qur'an dan syariat Islam.

Sumpah Setia untuk Perlindungan Total

Dakwah Mus'ab bin Umair di Yatsrib membuahkan hasil yang luar biasa. Dalam waktu singkat, Islam menyebar dengan pesat hingga hampir tidak ada satu rumah pun di Yatsrib kecuali di dalamnya terdapat orang Muslim. Pada musim haji selanjutnya, rombongan yang jauh lebih besar dari Yatsrib datang ke Mekkah. Kali ini, mereka berjumlah lebih dari tujuh puluh orang, termasuk dua orang wanita.

Secara rahasia, di tengah kegelapan malam, mereka kembali bertemu dengan Nabi di Aqabah. Pertemuan ini jauh lebih serius dan krusial. Rasulullah didampingi oleh pamannya, Al-Abbas, yang saat itu belum Muslim namun tetap peduli pada keselamatan keponakannya. Al-Abbas menegaskan kepada orang-orang Yatsrib tentang risiko besar yang akan mereka hadapi dengan melindungi Muhammad. Mereka akan berhadapan dengan seluruh bangsa Arab.

Namun, tekad kaum Anshar (sebutan bagi penduduk Yatsrib yang menolong Nabi) sudah bulat. Mereka menyatakan kesetiaan mereka. Salah seorang dari mereka, Al-Bara' bin Ma'rur, berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi keluarga kami sendiri." Maka, terjadilah Baiat Aqabah Kedua, atau disebut juga Bai'at al-Harb (Sumpah Perang). Mereka bersumpah untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, untuk berinfak dalam kelapangan dan kesempitan, untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar, dan yang terpenting, untuk membela dan melindungi Rasulullah seperti mereka membela diri, istri, dan anak-anak mereka, jika beliau datang ke negeri mereka. Baiat ini adalah sebuah proklamasi berdirinya sebuah basis kekuatan baru bagi Islam dan merupakan lampu hijau bagi terlaksananya hijrah.

Bab 3: Rencana Jahat dan Perlindungan Ilahi

Musyawarah Iblis di Dar an-Nadwa

Kabar tentang Baiat Aqabah Kedua akhirnya sampai ke telinga para pembesar Quraisy. Mereka menyadari bahaya besar yang mengancam. Muhammad kini memiliki basis dukungan dan kekuatan militer di luar Mekkah. Jika beliau berhasil pindah ke Yatsrib, beliau akan dapat mengorganisir kekuatan dan mengancam jalur perdagangan mereka ke Syam. Kepanikan melanda mereka.

Para pemimpin dari setiap klan Quraisy segera mengadakan pertemuan darurat di balai pertemuan mereka, Dar an-Nadwa. Mereka berkumpul untuk merumuskan satu solusi final untuk "masalah Muhammad". Menurut riwayat, Iblis turut hadir dalam pertemuan itu dalam wujud seorang syekh tua dari Najd. Berbagai usulan dilontarkan. Ada yang mengusulkan agar Muhammad dipenjara seumur hidup. Usulan ini ditolak karena para pengikutnya pasti akan berusaha membebaskannya. Ada yang mengusulkan agar beliau diusir dari Mekkah. Usulan ini juga ditolak karena dikhawatirkan di tempat pengasingannya, beliau akan mengumpulkan pengikut dan kembali menyerang mereka.

Akhirnya, Abu Jahl, musuh bebuyutan Islam, mengajukan usulan yang paling keji, yang didukung oleh "syekh dari Najd" tersebut. Rencananya adalah: memilih seorang pemuda yang kuat dan gagah dari setiap klan Quraisy. Kemudian, pada satu malam yang ditentukan, mereka semua akan menyerbu rumah Muhammad dan membunuhnya secara serentak dengan satu tebasan pedang dari masing-masing pemuda. Dengan cara ini, darahnya akan terbagi di antara semua klan, sehingga Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut balas kepada seluruh klan Quraisy dan terpaksa hanya akan menerima uang diat (denda). Usulan jahat ini disetujui secara aklamasi. Mereka telah merencanakan pembunuhan yang sempurna.

Malam Pengepungan dan Keajaiban Ilahi

Namun, makar manusia tidak akan pernah bisa mengalahkan takdir dan perlindungan Allah. Ketika para pembunuh itu sedang mematangkan rencana mereka, Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW, memberitahukan tentang konspirasi tersebut dan menyampaikan izin Allah untuk berhijrah. Jibril juga memerintahkan Nabi agar tidak tidur di ranjangnya pada malam itu.

Dengan tenang, Rasulullah mempersiapkan strategi balasan yang brilian. Beliau segera mendatangi rumah sahabat terdekatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, untuk mengatur detail perjalanan. Kemudian, beliau kembali ke rumahnya dan meminta sepupunya yang masih sangat muda, Ali bin Abi Thalib, untuk melakukan sebuah tugas yang sangat berbahaya. Beliau meminta Ali untuk tidur di ranjangnya, menggunakan selimut hijau miliknya, untuk mengelabui para pengepung. Ali, dengan keberanian dan kecintaan yang luar biasa, menerima tugas itu tanpa ragu sedikit pun, meskipun nyawanya menjadi taruhan.

Menjelang tengah malam, para pemuda terpilih dari Quraisy telah berkumpul dan mengepung rumah Nabi. Mereka mengintip dari celah-celah dan melihat sosok yang terbaring di ranjang, meyakini itu adalah Muhammad. Mereka memutuskan untuk menunggu hingga fajar agar pembunuhan itu disaksikan oleh banyak orang dan untuk menghindari tuduhan menerobos masuk rumah di malam hari. Sementara mereka menunggu dengan pedang terhunus, di dalam rumah, Nabi Muhammad SAW bersiap untuk pergi. Tepat pada waktu yang ditentukan, beliau keluar dari pintu rumahnya. Beliau mengambil segenggam debu dan menaburkannya ke arah para pengepung seraya membaca ayat-ayat awal dari Surat Ya-Sin. Dengan kuasa Allah, mereka semua tertidur atau menjadi buta sesaat, tidak dapat melihat Nabi yang berjalan melewati mereka dengan tenang. Beliau pergi tanpa terdeteksi, sebuah keajaiban yang nyata.

Ketika fajar menyingsing, para pengepung itu menyerbu masuk ke dalam rumah. Betapa terkejut dan marahnya mereka ketika yang mereka dapati di atas ranjang bukanlah Muhammad, melainkan Ali bin Abi Thalib. Mereka mengguncang Ali dan bertanya di mana Muhammad, tetapi Ali menjawab bahwa ia tidak tahu. Rencana mereka telah gagal total. Kemarahan mereka memuncak, dan mereka segera menyadari bahwa target utama mereka telah lolos.

Bab 4: Perjalanan Suci Penuh Rintangan

Peran Keluarga Abu Bakar dan Tiga Hari di Gua Tsur

Setelah meninggalkan rumahnya, Nabi Muhammad SAW langsung menuju kediaman Abu Bakar. Sahabatnya itu telah siap sedia. Melihat Rasulullah datang, Abu Bakar tidak bisa menahan tangis haru dan bahagia karena terpilih menjadi teman perjalanan suci ini. Abu Bakar telah mempersiapkan dua ekor unta terbaik dan seorang penunjuk jalan yang ahli bernama Abdullah bin Uraiqit, yang meskipun bukan Muslim, adalah seorang yang dapat dipercaya.

Untuk mengelabui para pengejar, Nabi dan Abu Bakar tidak mengambil rute biasa ke utara menuju Yatsrib. Sebaliknya, mereka berjalan ke arah selatan, menuju sebuah gua terpencil di puncak Gunung Tsur. Peran keluarga Abu Bakar dalam fase ini sangatlah vital dan menunjukkan perencanaan yang matang. Putranya, Abdullah bin Abu Bakar, seorang pemuda yang cerdas, bertugas sebagai intelijen. Siang hari ia berada di Mekkah, mengumpulkan informasi tentang apa yang dibicarakan dan direncanakan kaum Quraisy. Malam harinya, ia akan menyelinap ke Gua Tsur untuk melaporkan semuanya. Asma binti Abu Bakar, putrinya, bertugas menyiapkan dan mengantarkan makanan serta minuman. Suatu ketika, karena tidak menemukan tali untuk mengikat bekal, ia merobek ikat pinggangnya menjadi dua; satu untuk mengikat bekal, dan satu lagi tetap ia kenakan. Karena peristiwa ini, ia mendapat julukan "Dzatun Nithaqain" (Pemilik Dua Ikat Pinggang). Sementara itu, Amir bin Fuhairah, budak Abu Bakar yang telah dibebaskan, bertugas menggembalakan kambingnya di sekitar jalur yang dilalui Abdullah dan Asma untuk menghapus jejak kaki mereka.

Selama tiga hari tiga malam, Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar bersembunyi di dalam Gua Tsur yang sempit dan gelap. Ini adalah masa-masa yang penuh ketegangan. Sebuah riwayat menceritakan bagaimana Abu Bakar masuk terlebih dahulu ke dalam gua untuk membersihkannya dan memastikan tidak ada binatang berbahaya. Ia menyumbat semua lubang dengan sobekan kainnya. Namun, ada satu lubang yang tersisa, dan ia menutupinya dengan tumitnya. Seekor binatang, kemungkinan kalajengking atau ular, menyengat kakinya dari dalam lubang itu. Abu Bakar menahan rasa sakit yang luar biasa tanpa bergerak sedikit pun, karena Rasulullah sedang tidur dengan kepala di pangkuannya. Ia tidak ingin membangunkan beliau. Namun, rasa sakit itu membuatnya meneteskan air mata, dan air mata itu jatuh di wajah Nabi, yang kemudian terbangun. Melihat keadaan sahabatnya, Nabi mengusapkan ludahnya ke bekas sengatan itu, dan dengan izin Allah, rasa sakitnya pun hilang.

"Jangan Bersedih, Sesungguhnya Allah Bersama Kita"

Sementara itu, kaum Quraisy yang murka mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk mencari Nabi. Mereka menyisir setiap jengkal kota Mekkah dan sekitarnya. Mereka bahkan mengumumkan sayembara besar: hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang bisa membawa Muhammad, hidup atau mati. Sayembara ini membuat para pemburu hadiah dan ahli pelacak jejak paling ulung sekalipun bersemangat untuk memulai pencarian.

Pasukan pencari Quraisy, dengan mengikuti jejak kaki, akhirnya sampai di kaki Gunung Tsur. Mereka terus mendaki hingga tiba tepat di mulut gua tempat Nabi dan Abu Bakar bersembunyi. Dari dalam gua, Abu Bakar bisa melihat kaki-kaki para pengejar itu dan mendengar suara mereka. Rasa khawatir yang luar biasa menyelimuti hatinya, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keselamatan Rasulullah. Dengan suara bergetar, ia berbisik, "Wahai Rasulullah, seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah telapak kakinya, niscaya ia akan melihat kita."

Di saat yang paling genting inilah, Rasulullah menenangkannya dengan kalimat yang diabadikan dalam Al-Qur'an, sebuah kalimat yang menunjukkan puncak tawakal dan keyakinan kepada pertolongan Ilahi:

"Lā taḥzan, innallāha ma'anā." (Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.)

Dan pertolongan Allah pun datang dalam bentuk yang ajaib. Di mulut gua, seekor laba-laba dengan cepat merajut sarangnya, menutupinya dengan sempurna. Sepasang burung merpati liar datang dan membuat sarang lalu bertelur di sana. Ketika para pengejar melihat kondisi mulut gua yang tampak tak tersentuh oleh manusia, mereka merasa yakin tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya. "Bagaimana mungkin Muhammad masuk ke sini," kata salah seorang dari mereka, "sedangkan sarang laba-laba ini sudah ada bahkan sebelum ia dilahirkan." Mereka pun berbalik dan pergi, meninggalkan gua itu tanpa memeriksanya.

Pengejaran Suraqah bin Malik

Setelah tiga hari, ketika pencarian mulai mereda, Abdullah bin Uraiqit datang membawa dua unta yang telah disiapkan. Perjalanan panjang menuju Yatsrib pun dimulai. Mereka mengambil rute yang tidak lazim, menyusuri pesisir Laut Merah untuk menghindari jalan utama. Namun, berita tentang sayembara seratus unta telah menyebar luas.

Salah seorang yang tergoda adalah Suraqah bin Malik, seorang kesatria yang dikenal tangguh dan ahli dalam melacak jejak. Dengan menunggangi kudanya yang cepat, ia berhasil menemukan jejak rombongan kecil itu. Dari kejauhan, ia melihat mereka. Dengan penuh semangat, ia memacu kudanya untuk mendekat. Namun, keajaiban kembali terjadi. Tiba-tiba, kaki depan kudanya terperosok ke dalam pasir hingga terjerembab. Suraqah terlempar. Ia bangkit, dan mencoba lagi. Kejadian yang sama terulang untuk kedua kalinya.

Masih belum menyerah, ia mencoba untuk ketiga kalinya. Kali ini, kaki kudanya terbenam lebih dalam ke pasir, dan debu tebal mengepul di sekitarnya. Pada saat itulah Suraqah sadar bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan manusia biasa. Ia yakin bahwa orang yang dikejarnya ini dilindungi oleh kekuatan yang lebih tinggi. Rasa takut dan gentar menyelimutinya. Ia pun berteriak meminta ampun.

Nabi Muhammad SAW berhenti dan menunggunya. Suraqah menceritakan niat awalnya dan memohon maaf. Ia kemudian menawarkan bekal, namun Nabi menolaknya dengan halus. Rasulullah hanya meminta satu hal: agar Suraqah merahasiakan pertemuan mereka dan menyesatkan para pengejar lain yang mungkin akan menyusul. Sebagai jaminan keamanan, Suraqah meminta bukti tertulis, dan Nabi memerintahkan Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya di atas sepotong tulang. Sebelum berpisah, Rasulullah mengucapkan sebuah nubuat yang luar biasa, "Bagaimana perasaanmu, wahai Suraqah, jika suatu saat nanti engkau mengenakan dua gelang kebesaran Kisra (Kaisar Persia)?" Suraqah tertegun. Nubuat itu benar-benar menjadi kenyataan bertahun-tahun kemudian pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ketika imperium Persia ditaklukkan.

Bab 5: Tiba di Tanah Harapan

Sambutan Hangat di Quba

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dan penuh bahaya selama berhari-hari, rombongan kecil itu akhirnya melihat tanda-tanda kehidupan di pinggiran Yatsrib. Tempat pertama yang mereka singgahi adalah Quba, sebuah desa yang terletak beberapa kilometer di selatan pusat kota. Berita kedatangan Nabi telah sampai lebih dahulu ke Yatsrib. Setiap pagi, kaum Muslimin di sana, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin yang telah tiba lebih awal, akan keluar ke pinggir kota. Mereka akan menunggu di bawah terik matahari, menanti kedatangan sang Nabi tercinta. Ketika panas menjadi tak tertahankan, barulah mereka kembali ke rumah.

Pada hari kedatangan Nabi, mereka telah menunggu seperti biasa dan sudah kembali ke rumah. Seorang Yahudi yang kebetulan sedang berada di atas bentengnya melihat rombongan kecil berpakaian putih mendekat di kejauhan. Sadar siapa yang datang, ia berteriak sekeras-kerasnya, "Wahai Bani Qailah (panggilan untuk suku Aus dan Khazraj), inilah dia junjungan kalian yang kalian tunggu-tunggu telah datang!"

Seketika, seluruh kota gempar. Gema takbir membahana. Orang-orang berlarian keluar rumah, dipenuhi rasa suka cita yang meluap-luap. Mereka menyambut Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar dengan penuh kegembiraan dan keharuan. Banyak dari mereka yang belum pernah melihat wajah Rasulullah. Awalnya, mereka mengerumuni Abu Bakar yang usianya lebih tua dan rambutnya telah memutih, mengira dialah sang Nabi. Ketika matahari semakin tinggi, Abu Bakar berdiri dan memayungi Rasulullah dengan selendangnya, barulah orang-orang sadar siapa Nabi yang sebenarnya.

Nabi tinggal di Quba selama beberapa hari. Selama berada di sana, beliau tidak berdiam diri. Hal pertama yang beliau lakukan adalah meletakkan dasar bagi pembangunan sebuah masjid. Dengan tangan beliau sendiri, beliau meletakkan batu pertama, diikuti oleh para sahabatnya. Masjid ini menjadi masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam, yang kemudian dikenal sebagai Masjid Quba. Al-Qur'an menggambarkannya sebagai masjid yang "didirikan di atas dasar takwa sejak hari pertama."

Penyambutan Agung di Jantung Yatsrib

Setelah beberapa hari di Quba dan setelah Ali bin Abi Thalib menyusul, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanannya menuju pusat kota Yatsrib. Hari itu adalah hari Jumat. Perjalanan singkat dari Quba ke pusat kota berubah menjadi sebuah arak-arakan yang megah dan penuh kegembiraan. Seluruh penduduk tumpah ruah ke jalan. Para pria, wanita, dan anak-anak, semuanya keluar untuk menyambut kedatangan pemimpin yang telah mereka dambakan.

Dari atap-atap rumah, para wanita dan anak-anak melantunkan syair penyambutan yang legendaris, yang hingga kini masih terus didendangkan:

"Tala'al badru 'alaynā, min thaniyyātil wadā'
Wajabasy-syukru 'alaynā, mā da'ā lillāhi dā'"
(Telah terbit purnama di atas kita, dari celah-celah perpisahan
Wajiblah kita bersyukur, selama penyeru kepada Allah masih menyeru)

Suasana begitu meriah dan khidmat. Setiap klan dari suku Anshar berlomba-lomba menawarkan agar Rasulullah singgah di rumah mereka. Mereka memegang tali kekang unta Nabi, Qaswa, dan berkata, "Singgahlah bersama kami, wahai Rasulullah. Kami memiliki jumlah, perlengkapan, dan kekuatan untuk melindungimu." Namun, dengan kearifan yang luar biasa, untuk menghindari rasa iri atau tersinggung di antara mereka, Rasulullah menjawab dengan lembut, "Biarkanlah unta ini berjalan. Sesungguhnya ia diperintah (oleh Allah)."

Yatsrib Menjadi Madinah Al-Munawwarah

Unta Qaswa terus berjalan melewati rumah-rumah para pemuka Anshar, hingga akhirnya ia berhenti dan menderum di sebidang tanah lapang. Tanah itu milik dua anak yatim dari Bani Najjar. Di sanalah, Rasulullah memutuskan, akan dibangun masjidnya dan kediamannya. Beliau membeli tanah itu dari kedua anak yatim tersebut, meskipun mereka menawarkannya secara cuma-cuma.

Sejak saat itu, Yatsrib tidak lagi sama. Kedatangan Nabi Muhammad SAW membawa cahaya pencerahan, persatuan, dan peradaban baru. Nama kota itu pun diubah. Ia tidak lagi disebut Yatsrib, sebuah nama yang memiliki konotasi kurang baik. Ia kini dikenal sebagai Madinah An-Nabi (Kota Nabi), atau yang lebih populer, Madinah Al-Munawwarah (Kota yang Bercahaya). Nama baru ini melambangkan dimulainya sebuah era baru. Madinah bukan lagi sekadar kota, ia adalah pusat dari sebuah negara dan peradaban yang akan menyinari seluruh dunia. Hijrah telah mencapai tujuannya. Perjalanan yang penuh penderitaan dan pengorbanan telah berakhir dengan kemenangan dan dimulainya babak baru dalam sejarah risalah Islam.

Bab 6: Fondasi Masyarakat Baru

Membangun Masjid, Membangun Peradaban

Langkah pertama yang diambil oleh Rasulullah setibanya di Madinah adalah pembangunan Masjid Nabawi. Proyek ini bukan sekadar mendirikan sebuah bangunan untuk shalat. Ini adalah peletakan batu pertama bagi pembangunan sebuah komunitas dan peradaban. Rasulullah tidak bertindak sebagai mandor yang hanya memberi perintah. Beliau ikut terjun langsung, mengangkat batu dan mengaduk tanah liat bersama para sahabatnya. Keterlibatan beliau ini membangkitkan semangat yang luar biasa di kalangan kaum Muslimin.

Masjid Nabawi dirancang sebagai pusat multifungsi. Ia adalah jantung komunitas Muslim Madinah. Tentu, fungsi utamanya adalah sebagai tempat ibadah, di mana kaum Muslimin berkumpul untuk shalat berjamaah lima kali sehari. Namun, lebih dari itu, masjid ini adalah pusat pemerintahan, tempat Rasulullah menerima delegasi, mengatur strategi, dan memutuskan perkara hukum. Ia juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan utama, tempat para sahabat belajar Al-Qur'an dan hikmah langsung dari lisan Nabi. Selain itu, masjid menjadi pusat kegiatan sosial dan kesejahteraan, tempat menampung kaum fakir miskin (Ahlus Suffah) dan mendistribusikan bantuan. Dengan menjadikan masjid sebagai poros kehidupan, Islam mengajarkan bahwa urusan dunia dan akhirat, spiritual dan sosial, tidak dapat dipisahkan.

Persaudaraan Muhajirin dan Anshar: Ikatan di Atas Iman

Tantangan besar berikutnya adalah mengintegrasikan dua kelompok besar: kaum Muhajirin (para pendatang dari Mekkah) dan kaum Anshar (penduduk asli Madinah yang menolong). Kaum Muhajirin telah meninggalkan segala yang mereka miliki—rumah, harta, dan pekerjaan—demi menyelamatkan iman mereka. Mereka tiba di Madinah tanpa bekal apa pun. Untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi ini, Rasulullah melakukan sebuah langkah brilian yang belum pernah ada sebelumnya.

Beliau mengumpulkan sekitar 90 orang sahabat, separuh Muhajirin dan separuh Anshar, lalu mempersaudarakan mereka satu per satu. Ini bukan persaudaraan simbolis. Ini adalah ikatan nyata yang melahirkan konsekuensi hukum, seperti saling mewarisi (sebelum kemudian hukum ini dinasakh/dihapus). Ikatan persaudaraan atas dasar iman ini terbukti lebih kuat daripada ikatan darah.

Respon kaum Anshar terhadap kebijakan ini sungguh luar biasa dan menjadi teladan kedermawanan sepanjang masa. Mereka membuka rumah dan hati mereka dengan tulus. Seorang Anshar akan membawa saudara Muhajirinnya ke rumah dan berkata, "Inilah hartaku, akan kubagi dua denganmu. Aku punya dua istri, pilihlah mana yang kau suka, akan kuceraikan dan kau bisa menikahinya." Tentu saja, kaum Muhajirin, dengan kehormatan diri yang tinggi, tidak serta-merta memanfaatkan kebaikan ini. Abdurrahman bin Auf, yang dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Ar-Rabi', dengan sopan menolak tawaran tersebut dan hanya berkata, "Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saja di mana letak pasar." Dengan modal kemandirian dan keahlian berdagang, dalam waktu singkat ia mampu menjadi seorang pedagang yang sukses. Inilah sinergi sempurna antara kedermawanan dan kemandirian, yang menjadi pilar kekuatan ekonomi masyarakat Madinah.

Piagam Madinah: Konstitusi Pluralisme Pertama

Masyarakat Madinah tidaklah homogen. Selain kaum Muslimin (Muhajirin dan Anshar), terdapat pula beberapa suku Yahudi yang signifikan serta sisa-sisa kaum pagan Arab. Untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat yang majemuk ini dan untuk menjamin stabilitas serta keamanan, Rasulullah menyusun sebuah dokumen perjanjian yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Shahifah Madinah).

Piagam ini dianggap oleh banyak sejarawan sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Dokumen ini secara jelas menguraikan hak dan kewajiban setiap kelompok masyarakat di Madinah. Beberapa poin pentingnya antara lain:

  • Pengakuan bahwa seluruh penduduk Madinah, baik Muslim maupun non-Muslim yang terikat perjanjian, merupakan satu umat (komunitas politik) yang tunggal.
  • Jaminan kebebasan beragama. Kaum Yahudi bebas menjalankan ajaran agama mereka, dan kaum Muslimin bebas menjalankan ajaran Islam. "Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku."
  • Kewajiban bersama untuk mempertahankan kota Madinah dari serangan musuh dari luar. Siapa pun yang menyerang Madinah akan dihadapi bersama-sama.
  • Penegakan keadilan dan hukum. Siapa pun yang berbuat zalim atau melakukan kejahatan harus dihukum tanpa memandang latar belakang suku atau agamanya.
  • Pengakuan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan hakim terakhir jika terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan antar kelompok.

Piagam Madinah adalah sebuah cetak biru bagi terbentuknya sebuah negara-bangsa yang berlandaskan keadilan, kesetaraan, dan toleransi. Ia menunjukkan visi kenabian yang jauh melampaui zamannya, meletakkan dasar bagi sebuah tatanan masyarakat sipil yang pluralis.

Makna Hijrah yang Abadi

Pada akhirnya, Hijrah Nabi Muhammad SAW bukanlah sekadar catatan sejarah tentang perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Ia mengandung makna spiritual dan filosofis yang abadi dan relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman. Rasulullah sendiri bersabda, "Tidak ada hijrah (perpindahan dari Mekkah ke Madinah) setelah penaklukan Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat."

Hijrah dalam makna yang lebih luas adalah sebuah gerakan konstan untuk berpindah dari kondisi yang buruk menuju kondisi yang lebih baik. Ia adalah hijrah dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid. Ia adalah hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan. Ia adalah hijrah dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan. Ia adalah hijrah dari perpecahan menuju persatuan. Ia adalah hijrah dari kemalasan menuju produktivitas. Ia adalah hijrah dari sifat-sifat tercela (seperti kebencian, iri, dan kesombongan) menuju akhlak yang mulia (seperti kasih sayang, keikhlasan, dan kerendahan hati).

Peristiwa Hijrah mengajarkan kepada kita tentang pentingnya keseimbangan antara usaha (ikhtiar) dan tawakal. Nabi merencanakan hijrahnya dengan sangat cermat dan detail, namun di saat yang paling genting di Gua Tsur, beliau menunjukkan kepasrahan total kepada Allah. Hijrah mengajarkan tentang pengorbanan, di mana para sahabat rela meninggalkan segalanya demi iman. Ia mengajarkan tentang persaudaraan sejati yang melampaui batas-batas kesukuan dan status sosial. Dan yang terpenting, Hijrah adalah bukti nyata bahwa setelah setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Dari rahim penderitaan di Mekkah, lahirlah sebuah peradaban yang cemerlang di Madinah, yang cahayanya terus menyinari dunia hingga hari ini.

🏠 Homepage