Peristiwa Agung Wafatnya Sang Utusan Terakhir, Nabi Muhammad SAW

Ikon Kubah Masjid Siluet kubah masjid dengan bulan sabit di atasnya sebagai simbol keislaman.

Setiap jiwa yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Ini adalah sebuah keniscayaan, sebuah ketetapan ilahi yang tidak dapat ditunda atau dimajukan sedetik pun. Bahkan makhluk yang paling mulia, yang paling dicintai oleh Sang Pencipta, Rasulullah Muhammad SAW, juga melalui fase ini. Wafatnya beliau bukanlah sekadar akhir dari sebuah kehidupan, melainkan sebuah peristiwa agung yang menggetarkan jiwa, menguji keimanan, dan menjadi penanda penting bagi perjalanan umat Islam hingga akhir zaman. Kisah ini bukan untuk diratapi dalam kesedihan yang berlarut, melainkan untuk dipetik hikmahnya, diteladani kesabarannya, dan diperkuat kecintaan kita kepada beliau.

Perjalanan dakwah yang penuh liku, pengorbanan yang tak terhingga, dan cinta yang tulus kepada umatnya telah sampai pada puncaknya. Setelah risalah disempurnakan dan amanah ditunaikan, tanda-tanda bahwa pertemuan dengan Sang Kekasih Sejati, Allah SWT, semakin dekat mulai tampak. Memahami detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah SAW adalah cara kita untuk menyelami kedalaman cinta, ketabahan, dan warisan abadi yang beliau tinggalkan bagi seluruh alam.

Tanda-Tanda yang Mendahului Kewafatan

Allah SWT, dengan segala kasih sayang-Nya, tidak mengambil kembali kekasih-Nya secara tiba-tiba. Terdapat berbagai isyarat dan tanda yang menunjukkan bahwa tugas mulia Rasulullah SAW di dunia akan segera berakhir. Tanda-tanda ini dipahami oleh sebagian sahabat yang memiliki ketajaman iman dan kedekatan khusus dengan beliau, sementara bagi yang lain, maknanya baru tersingkap setelah peristiwa agung itu terjadi.

Khutbah Perpisahan di Haji Wada'

Peristiwa Haji Wada' atau Haji Perpisahan menjadi salah satu penanda paling jelas. Di Padang Arafah, di hadapan lautan manusia yang terdiri lebih dari seratus ribu jamaah, Rasulullah SAW menyampaikan khutbahnya yang monumental. Itu bukan sekadar khutbah biasa, melainkan sebuah wasiat agung, rangkuman ajaran, dan sekaligus ucapan selamat tinggal yang tersirat. Di antara kalimat-kalimatnya yang menggetarkan, beliau bersabda:

"Wahai manusia, dengarkanlah baik-baik perkataanku. Aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian setelah ini, di tempat ini, untuk selamanya."

Kalimat ini menyentak hati para sahabat. Suasana haru menyelimuti Arafah. Mereka merasakan ada nada perpisahan dalam ucapan Sang Nabi. Dalam khutbah itu pula, beliau menekankan hal-hal fundamental: kesucian darah dan harta, penghapusan riba, perlakuan baik terhadap wanita, persaudaraan sesama Muslim, dan perintah untuk berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah beliau. Beliau seolah-olah sedang merangkum seluruh ajaran Islam dan menyerahkan estafet penjagaannya kepada umat yang beliau cintai. Di akhir khutbah, beliau bertanya kepada para jamaah, "Bukankah aku telah menyampaikan?" Mereka serentak menjawab, "Benar!" Beliau lalu menengadahkan wajah ke langit dan berkata, "Ya Allah, saksikanlah!". Sebuah pernyataan penuntasan tugas yang sempurna.

Turunnya Wahyu Terakhir

Tidak lama setelah khutbah di Arafah itu, turunlah wahyu yang diyakini oleh banyak ulama sebagai salah satu ayat terakhir yang diturunkan terkait hukum syariat. Ayat tersebut adalah bagian dari Surah Al-Ma'idah, yang berbunyi:

"...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu..."

Para sahabat menyambut ayat ini dengan suka cita. Agama mereka telah sempurna, nikmat Allah telah lengkap. Namun, bagi sahabat yang memiliki pemahaman mendalam seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, ayat ini membawa makna lain. Kesempurnaan sebuah misi berarti selesainya tugas sang pembawa misi. Abu Bakar menangis tersedu-sedu saat mendengar ayat ini. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Tidak ada sesuatu pun setelah kesempurnaan melainkan kekurangan." Beliau memahami bahwa jika agama telah sempurna, maka tugas Rasulullah SAW pun telah usai, dan itu berarti waktu kepergian beliau sudah sangat dekat.

Peningkatan Ibadah dan Istighfar

Pada bulan-bulan terakhir kehidupannya, para sahabat melihat Rasulullah SAW meningkatkan intensitas ibadahnya. Beliau lebih sering melakukan i'tikaf di masjid. Jika biasanya beliau i'tikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, pada Ramadhan terakhirnya beliau melakukannya selama dua puluh hari. Malaikat Jibril yang biasanya datang untuk mengulang hafalan Al-Qur'an sekali dalam setahun, pada tahun itu datang dua kali. Semua ini adalah isyarat bahwa perpisahan sudah di ambang mata. Beliau juga memperbanyak dzikir dan istighfar, memohon ampunan kepada Allah, bukan karena dosa, melainkan sebagai bentuk ketundukan dan persiapan tertinggi seorang hamba untuk bertemu Tuhannya.

Percakapan Menyentuh dengan Fatimah Az-Zahra

Di antara isyarat yang paling personal dan menyentuh adalah percakapan beliau dengan putri tercintanya, Fatimah Az-Zahra. Suatu hari, di akhir-akhir hayatnya, Rasulullah SAW memanggil Fatimah. Beliau membisikkan sesuatu ke telinganya yang membuat Fatimah menangis. Kemudian, beliau membisikkan sesuatu yang lain, dan Fatimah pun tersenyum. 'Aisyah, yang menyaksikan peristiwa itu, bertanya-tanya. Setelah Rasulullah wafat, Fatimah menceritakan apa yang terjadi. Bisikan pertama adalah, "Jibril biasanya mendatangiku untuk Al-Qur'an sekali setahun, tahun ini ia datang dua kali. Aku merasa ajalku telah dekat." Inilah yang membuat Fatimah menangis. Lalu bisikan kedua adalah, "Dan engkau, wahai Fatimah, adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku." Inilah yang membuatnya tersenyum, sebuah kabar gembira bahwa ia tidak akan lama terpisah dari ayah yang sangat ia cintai.

Sakit yang Membawa pada Kewafatan

Sakit yang dialami Rasulullah SAW dimulai beberapa hari setelah beliau kembali dari mengantar jenazah di pemakaman Baqi'. Beliau pulang pada malam hari dan merasakan sakit kepala yang hebat serta demam yang tinggi. Inilah awal dari sakit terakhir yang akan mengantarkan beliau kepada Ar-Rafiqil A'la (Sahabat Yang Maha Tinggi).

Awal Mula Sakit dan Keadilan Sang Nabi

Sakit itu semakin hari semakin berat. Demamnya sangat tinggi, hingga panas tubuhnya bisa dirasakan dari balik selimut. Meskipun dalam keadaan sakit parah, beliau tetap menunjukkan suri tauladan yang luar biasa dalam keadilan. Beliau tetap berkeliling mengunjungi rumah istri-istri beliau secara bergiliran. Namun, ketika sakitnya semakin parah dan beliau merasa tidak mampu lagi untuk berpindah-pindah, beliau mengumpulkan semua istrinya. Dengan suara yang lemah, beliau bertanya, "Di rumah siapa giliranku esok hari?" Para istrinya, yang memahami kondisi beliau, dengan ikhlas berkata, "Kami merelakan giliran kami untukmu, wahai Rasulullah. Tinggallah di mana pun engkau suka." Beliau pun memilih untuk dirawat di rumah 'Aisyah, yang memang menjadi gilirannya saat itu. Dengan dipapah oleh Ali bin Abi Thalib dan Al-Fadhl bin Abbas, beliau berjalan menuju kamar 'Aisyah. Di sanalah beliau menghabiskan sisa hari-hari terakhirnya.

Penunjukan Abu Bakar sebagai Imam Shalat

Salah satu peristiwa terpenting selama masa sakit beliau adalah ketidakmampuan beliau untuk mengimami shalat berjamaah. Shalat adalah tiang agama, dan menjadi imam bagi kaum Muslimin adalah tugas yang sangat beliau cintai. Ketika suara azan Bilal bin Rabah berkumandang, beliau mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya terlalu lemah. Beliau pun bersabda, "Perintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat orang-orang."

'Aisyah, dengan hati yang risau, berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang yang berhati lembut. Jika ia menggantikan posisimu, ia tidak akan sanggup menahan tangisnya dan bacaannya tidak akan terdengar oleh jamaah." 'Aisyah khawatir orang-orang akan menganggap ayahnya sebagai pertanda buruk karena menggantikan posisi Rasulullah SAW pada saat-saat kritis. Namun, Rasulullah SAW mengulangi perintahnya dengan lebih tegas. Tiga kali beliau mengulanginya, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah instruksi yang sangat penting. Peristiwa ini, bagi banyak sejarawan, adalah isyarat yang sangat kuat mengenai siapa yang akan memegang tampuk kepemimpinan umat setelah beliau wafat. Selama beberapa hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq memimpin shalat, sementara Rasulullah SAW terbaring di kamarnya.

Detik-Detik Terakhir yang Menegangkan

Hari Senin di bulan Rabi'ul Awal menjadi puncak dari segala peristiwa. Kondisi Rasulullah SAW tampak sedikit membaik pada pagi harinya, memberikan secercah harapan di hati para sahabat. Namun, takdir Allah telah ditetapkan.

Senyuman Terakhir Sang Nabi

Pada waktu shalat Subuh, ketika Abu Bakar sedang mengimami shalat, Rasulullah SAW dengan perlahan menyingkap tirai kamarnya yang menghadap langsung ke masjid. Beliau memandang barisan shaf para sahabat yang lurus dan rapat. Wajah beliau berseri-seri dan beliau tersenyum. Sebuah senyuman kebahagiaan dan kebanggaan melihat umat yang beliau bina telah kokoh dalam shalatnya, bersatu dalam barisan. Para sahabat yang melihat senyuman itu hampir saja membatalkan shalat mereka karena saking gembiranya mengira Rasulullah SAW telah sembuh. Abu Bakar bahkan hendak mundur untuk memberikan tempat kepada beliau. Namun, Rasulullah SAW memberikan isyarat dengan tangannya agar mereka melanjutkan shalat, lalu beliau menutup kembali tirai kamarnya. Itulah pemandangan terakhir bagi para sahabat, dan senyuman terakhir dari Sang Nabi untuk umatnya secara berjamaah.

Wasiat-Wasiat Penghujung

Meskipun dalam kondisi yang sangat lemah, kesadaran beliau tetap terjaga. Beliau terus memberikan wasiat-wasiat penting. Di pangkuan 'Aisyah, beliau berulang kali mengingatkan, "Ash-Shalah, Ash-Shalah, wa ma malakat aimanukum." (Jagalah shalat, jagalah shalat, dan perlakukanlah dengan baik orang-orang yang berada dalam tanggunganmu). Ini menunjukkan betapa pentingnya shalat hingga nafas terakhir beliau dan betapa besar perhatian beliau terhadap hak-hak kaum yang lemah.

Beliau juga memperingatkan umatnya agar tidak menjadikan kuburannya sebagai tempat ibadah, sebuah larangan keras terhadap segala bentuk pengkultusan yang dapat menjerumuskan kepada kesyirikan. Semua pesan ini adalah bukti cinta dan kekhawatiran beliau yang tak terhingga agar umatnya tetap berada di jalan yang lurus sepeninggal beliau.

Menghadapi Sakaratul Maut

Menjelang waktu Dhuha, kondisi beliau kembali memburuk. Sakaratul maut, sebuah proses yang dahsyat, mulai menghampiri. Di sisinya, ada sebuah bejana berisi air. Beliau mencelupkan tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata, "La ilaha illallah, inna lil mauti lasakarat." (Tiada Tuhan selain Allah, sesungguhnya kematian itu memiliki kepedihan). Beliau, sang kekasih Allah, pun merasakan betapa dahsyatnya sakaratul maut, sebagai sebuah pelajaran bagi umatnya bahwa setiap jiwa pasti akan melaluinya.

Fatimah, yang berada di dekatnya, tak kuasa menahan tangis melihat penderitaan ayahnya. Ia berseru, "Betapa berat penderitaanmu, wahai Ayahanda." Rasulullah SAW menenangkannya, "Tidak ada lagi penderitaan bagi ayahmu setelah hari ini."

Dalam riwayat disebutkan bahwa Malaikat Maut datang dalam wujud manusia dan meminta izin terlebih dahulu sebelum masuk, sebuah penghormatan yang hanya diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Malaikat Jibril juga turun mendampingi beliau di saat-saat terakhir. Allah SWT memberikan pilihan kepada Rasulullah SAW, antara memilih kehidupan dunia yang abadi atau memilih untuk bertemu dengan-Nya. Dengan penuh kerinduan, tanpa keraguan sedikit pun, beliau memilih pertemuan dengan Sang Pencipta.

Kalimat Terakhir: "Ar-Rafiqil A'la"

Tubuh beliau disandarkan di dada 'Aisyah. Sebelum ruhnya terlepas, beliau sempat bersiwak, membersihkan mulutnya dengan siwak yang telah dilembutkan oleh 'Aisyah. Kesadaran beliau mulai menipis. Pandangannya lurus menatap ke langit-langit. Terdengar suara lirih dari bibir mulianya. Beliau mengucapkannya tiga kali: "Ma'alladziina an'amallahu 'alaihim... Fii Ar-Rafiqil A'la... Ar-Rafiqil A'la..." (Bersama orang-orang yang telah Engkau beri nikmat... Menuju Sahabat Yang Maha Tinggi... Sahabat Yang Maha Tinggi...).

Setelah itu, tangan beliau terkulai. Kepalanya terasa berat di dada 'Aisyah. Ruh yang paling suci itu telah kembali ke haribaan Ilahi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Sang Nabi, sang kekasih Allah, penutup para rasul, telah wafat.

Guncangan Hebat dan Reaksi Para Sahabat

Kabar wafatnya Rasulullah SAW menyebar dengan cepat dan menyambar laksana petir di siang bolong. Madinah yang tadinya damai, seketika diselimuti duka dan kebingungan. Para sahabat seolah tidak percaya. Bagaimana mungkin cahaya penerang itu bisa padam? Bagaimana mungkin sosok yang menjadi sandaran hidup mereka telah tiada?

Penyangkalan Umar bin Khattab

Di antara yang paling terguncang adalah Umar bin Khattab. Dengan perawakannya yang tegap dan karakternya yang keras, cintanya kepada Rasulullah SAW begitu mendalam. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia berdiri di tengah masjid, menghunus pedangnya, dan berteriak, "Siapa pun yang mengatakan Muhammad telah wafat, akan kupenggal lehernya dengan pedang ini! Dia tidak wafat, melainkan hanya pergi menemui Tuhannya sebagaimana Musa pergi, dan dia akan kembali!"

Umar begitu yakin bahwa Rasulullah SAW tidak mungkin wafat sebelum Islam benar-benar jaya mengalahkan semua musuhnya. Para sahabat yang lain terdiam, sebagian membenarkan ucapan Umar dalam hati mereka karena saking besarnya cinta dan keterkejutan, sementara yang lain hanya bisa menangis dalam kebingungan.

Ketegaran Abu Bakar Ash-Shiddiq

Di tengah kekacauan dan duka yang melumpuhkan itu, muncullah sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau baru saja datang dari rumahnya di pinggiran Madinah. Mendengar berita itu, beliau tidak panik. Beliau langsung masuk ke rumah 'Aisyah, menuju jasad Rasulullah SAW yang telah ditutupi kain. Beliau membuka kain penutup wajah sang Nabi, mencium keningnya dengan penuh takzim, dan air matanya pun menetes.

Beliau berkata dengan suara bergetar, "Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Engkau tetap indah semasa hidup maupun setelah wafat. Kematian yang telah Allah tetapkan untukmu telah engkau rasakan, dan tidak akan ada lagi kematian setelah ini."

Setelah itu, Abu Bakar keluar menemui orang-orang yang masih dalam kebingungan. Ia menenangkan Umar dan naik ke mimbar. Di sinilah ketegaran, kebijaksanaan, dan kedalaman iman Abu Bakar terbukti. Ia menyampaikan sebuah khutbah singkat namun abadi, yang menyadarkan seluruh umat.

"Amma ba'du. Wahai sekalian manusia, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati."

Kemudian, Abu Bakar membacakan firman Allah dari Surah Ali 'Imran ayat 144, yang seolah-olah baru pertama kali didengar oleh para sahabat:

"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."

Seketika itu juga, para sahabat tersadar. Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, seakan-akan aku baru mendengar ayat itu ketika Abu Bakar membacakannya. Kakiku menjadi lemas hingga aku jatuh terduduk ke tanah. Saat itulah aku yakin bahwa Rasulullah SAW benar-benar telah wafat." Khutbah Abu Bakar berhasil menenangkan gejolak emosi, mengembalikan kesadaran, dan menyatukan kembali hati kaum Muslimin untuk menghadapi kenyataan terpahit dalam hidup mereka.

Prosesi Pemakaman Sang Nabi

Setelah kesedihan mereda dan kenyataan diterima, para sahabat mulai mempersiapkan prosesi pemakaman. Semuanya dilakukan dengan penuh khidmat dan cinta, sesuai dengan ajaran yang telah beliau sampaikan.

Memandikan dan Mengafani Jenazah

Keluarga terdekat beliau, yaitu Ali bin Abi Thalib, Al-Abbas bin Abdul Muththalib beserta kedua putranya, Al-Fadhl dan Qutsam, serta Usamah bin Zaid, yang mengambil alih tugas memandikan jenazah suci Rasulullah SAW. Prosesi ini unik, mereka tidak melepaskan pakaian beliau, melainkan memandikannya dengan pakaian yang melekat di tubuhnya, sambil menyiramkan air dari atasnya. Setelah selesai, jenazah beliau dikafani dengan tiga helai kain putih dari Yaman, tanpa baju kurung ataupun sorban.

Shalat Jenazah yang Istimewa

Shalat jenazah untuk Rasulullah SAW juga tidak seperti biasanya. Tidak ada seorang pun yang bertindak sebagai imam. Para sahabat, karena begitu besar rasa hormat mereka, merasa tidak ada yang pantas untuk mengimami shalat bagi jenazah Rasulullah SAW. Mereka masuk ke dalam kamar 'Aisyah secara bergantian, dalam kelompok-kelompok kecil. Dimulai dari keluarga dekat, lalu kaum Muhajirin, kaum Anshar, kemudian para wanita, dan anak-anak. Masing-masing dari mereka mendoakan beliau secara pribadi. Masjid Nabawi dan sekitarnya dipenuhi oleh isak tangis dan doa yang tiada henti selama prosesi tersebut berlangsung.

Penentuan Lokasi Pemakaman

Terjadi sedikit perdebatan mengenai di mana beliau akan dimakamkan. Ada yang mengusulkan di Baqi', ada yang mengusulkan di dekat mimbarnya. Sekali lagi, Abu Bakar Ash-Shiddiq tampil memberikan solusi. Beliau berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah seorang nabi wafat, melainkan ia dimakamkan di tempat ia wafat.'" Maka, diputuskanlah beliau akan dimakamkan di tempat beliau menghembuskan nafas terakhir, yaitu di dalam kamar 'Aisyah.

Para sahabat kemudian mulai menggali liang lahat tepat di bawah tempat tidur Rasulullah SAW. Prosesi pemakaman dilakukan pada malam hari, memasuki malam Rabu. Ali bin Abi Thalib dan keluarga dekat lainnya turun ke liang lahat untuk meletakkan jasad yang paling mulia itu dengan penuh kehati-hatian dan cinta. Tanah pun ditimbun kembali. Cahaya dunia telah kembali ke haribaan-Nya, meninggalkan warisan abadi bagi seluruh umat manusia.

Warisan yang Takkan Pernah Padam

Wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah musibah terbesar yang pernah menimpa umat Islam. Namun, di balik duka yang mendalam, ada pelajaran dan warisan yang tak ternilai. Beliau tidak mewariskan harta, takhta, atau kekuasaan. Warisan terbesarnya adalah Al-Qur'an dan Sunnah, dua sumber cahaya yang akan selalu menerangi jalan umatnya hingga hari kiamat.

Kepergian beliau mengajarkan bahwa ketergantungan seorang Muslim bukanlah kepada sosok, melainkan kepada risalah yang dibawanya. Ketergantungan kita adalah kepada Allah SWT, Dzat yang Maha Kekal. Rasulullah SAW telah menunaikan amanahnya dengan sempurna, dan kini giliran kita, umatnya, untuk melanjutkan perjuangan, menjaga ajaran, dan menyebarkan rahmat Islam ke seluruh penjuru alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya.

🏠 Homepage