Seruan Suci di Lembah Al-Hijr: Kisah Nabi Saleh dan Kaum Tsamud

Ilustrasi unta betina mukjizat Nabi Saleh AS yang keluar dari batu Ilustrasi unta betina mukjizat Nabi Saleh AS yang keluar dari batu.

Jauh di lembah peradaban yang hilang, di sebuah negeri yang dikenal sebagai Al-Hijr, hiduplah sebuah kaum yang masyhur akan kehebatannya. Mereka adalah Kaum Tsamud, penerus dari Kaum 'Ad yang telah binasa. Allah SWT telah menganugerahkan kepada mereka kekuatan fisik yang luar biasa dan kecerdasan yang tiada tara dalam seni arsitektur. Dengan tangan-tangan perkasa mereka, gunung-gunung batu yang kokoh mereka pahat menjadi istana-istana megah, rumah-rumah yang indah, dan benteng-benteng yang tak tertembus. Di dataran rendah, mereka membangun gedung-gedung pencakar langit pada masanya. Kemakmuran melingkupi hidup mereka; kebun-kebun subur, mata air melimpah, dan ternak berkembang biak. Namun, di tengah gemerlap kemewahan materi, hati mereka diselimuti kegelapan pekat.

Kemajuan dan kesejahteraan itu tidak membuat mereka bersyukur kepada Sang Pencipta. Sebaliknya, hal itu menumbuhkan benih-benih kesombongan dan keangkuhan dalam jiwa mereka. Mereka melupakan Allah, Tuhan yang telah memberikan segala nikmat, dan kembali menyembah berhala-berhala buatan tangan mereka sendiri. Patung-patung batu yang bisu dan tak berdaya mereka sembah, mereka agungkan, dan kepadanya mereka memohon pertolongan. Tradisi syirik warisan nenek moyang mereka peluk erat, seolah-olah itulah satu-satunya kebenaran yang ada. Kezaliman, kemaksiatan, dan ketidakadilan merajalela, dipimpin oleh para pemuka kaum yang tenggelam dalam kekuasaan dan harta.

Di tengah masyarakat yang telah tersesat inilah, Allah SWT dengan rahmat-Nya mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Ia adalah seorang pria yang dikenal luas akan kejujurannya, kecerdasannya, dan akhlaknya yang mulia. Namanya Saleh. Sejak muda, ia disegani dan dihormati. Banyak yang menaruh harapan besar padanya untuk menjadi pemimpin masa depan. Namun, Allah memiliki rencana yang lebih agung. Saleh bin Ubaid bin Masih bin Ubaid bin Hadir bin Tsamud diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul. Tugas sucinya adalah sebuah seruan tunggal yang fundamental: Nabi Saleh AS mengajak umatnya untuk kembali ke jalan yang lurus, yaitu menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan.

Awal Dakwah: Seruan Lembut di Tengah Hati yang Keras

Nabi Saleh AS memulai misinya dengan penuh hikmah dan kesabaran. Ia tidak datang dengan hardikan atau paksaan. Ia mendekati kaumnya dengan tutur kata yang lembut, argumentasi yang logis, dan kasih sayang tulus seorang saudara. Ia berjalan di antara istana-istana batu mereka, menemui mereka di pasar-pasar, dan berbicara di majelis-majelis mereka. Pesan yang disampaikannya selalu konsisten dan jelas, sebuah gema dari seruan para nabi sebelumnya.

"Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS. Hud: 61)

Dalam seruannya, Nabi Saleh mengingatkan mereka akan asal-usul mereka, bahwa mereka diciptakan dari tanah yang sama, yang mereka pijak setiap hari. Ia mengingatkan tentang nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung: kekuatan untuk memahat gunung, kesuburan tanah untuk bercocok tanam, dan keamanan yang mereka nikmati di negeri mereka. Ia mencoba menyentuh fitrah mereka, mengajak mereka berpikir: "Siapakah yang memberikan semua ini? Apakah patung-patung yang kalian buat sendiri, yang tidak bisa mendengar, melihat, atau memberi manfaat? Ataukah Allah, Sang Pencipta langit dan bumi?"

Namun, seruan yang penuh kebenaran itu membentur dinding kesombongan yang telah membatu di hati para pemuka Kaum Tsamud. Mereka, yang paling diuntungkan dari sistem penyembahan berhala yang ada, merasa terancam. Posisi, kekuasaan, dan pengaruh mereka dipertaruhkan. Mereka memandang Nabi Saleh dengan tatapan sinis dan meremehkan. "Wahai Saleh," kata mereka, "Dahulu engkau adalah seseorang yang kami harapkan di antara kami. Engkau cerdas, terpandang, dan kami kira engkau akan menjadi penerus kebesaran kami. Mengapa sekarang engkau melarang kami menyembah apa yang telah disembah oleh bapak-bapak kami? Sesungguhnya kami benar-benar dalam keraguan yang mendalam terhadap apa yang engkau serukan kepada kami."

Mereka menggunakan argumen klasik para penentang kebenaran: tradisi nenek moyang. Bagi mereka, jalan hidup leluhur adalah kebenaran mutlak yang tidak boleh diganggu gugat, meskipun jelas-jelas bertentangan dengan akal sehat dan nurani. Mereka menuduh Nabi Saleh telah terkena sihir atau bahkan gila. Mereka mencoba merusak reputasinya di mata masyarakat awam, menyebarkan desas-desus bahwa Saleh hanya ingin mencari kekuasaan untuk dirinya sendiri. Sebagian kecil dari kaum Tsamud, terutama dari kalangan orang-orang lemah dan tertindas, mulai melihat cahaya kebenaran dalam ajakan Nabi Saleh dan beriman. Namun, mayoritas, yang terikat oleh kekuasaan para pemuka dan tradisi buta, tetap dalam kekafiran mereka.

Tantangan Besar: Permintaan Mukjizat yang Mustahil

Melihat dakwah Nabi Saleh AS mulai menarik sebagian pengikut, para pemimpin Tsamud merasa semakin terdesak. Debat dan argumentasi tidak mampu mematahkan logika tauhid yang disampaikan oleh Nabi Saleh. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengajukan sebuah tantangan yang mereka anggap mustahil untuk dipenuhi. Mereka ingin mempermalukan Nabi Saleh di depan seluruh kaumnya dan membuktikan bahwa ia hanyalah seorang pendusta.

Pada suatu hari, ketika kaum Tsamud sedang berkumpul, para pembesar mereka mendatangi Nabi Saleh dengan angkuh. "Wahai Saleh, jika engkau memang benar seorang utusan Tuhan, seperti yang kau klaim, maka tunjukkanlah kepada kami sebuah bukti yang nyata. Sebuah mukjizat yang tak dapat kami sangkal," kata mereka. Nabi Saleh bertanya, "Tanda kekuasaan apa yang kalian inginkan?"

Dengan sombong, mereka menunjuk ke sebuah batu besar yang berdiri kokoh dan terisolasi di dekat tempat mereka berkumpul, yang mereka sebut Ash-Shakhrah. "Keluarkanlah untuk kami dari batu besar yang tuli ini," tantang mereka, "seekor unta betina yang sedang bunting sepuluh bulan, yang besar dan tinggi, dengan warna kemerah-merahan."

Ini adalah permintaan yang di luar nalar manusia. Bagaimana mungkin sebuah batu yang padat dan mati bisa melahirkan makhluk hidup, apalagi seekor unta dengan spesifikasi yang begitu detail? Mereka tertawa dalam hati, yakin seratus persen bahwa Saleh akan gagal total. Ini adalah pertaruhan terakhir mereka untuk mematikan dakwahnya.

Nabi Saleh AS menatap kaumnya dengan sedih. Ia tahu bahwa permintaan ini lahir bukan dari keinginan mencari kebenaran, melainkan dari keinginan untuk menolak dan mengejek. Namun, ia juga tahu bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT. Ia kemudian mengambil janji dari mereka. "Apakah kalian akan beriman kepadaku dan menyembah Allah jika Dia memenuhi permintaan kalian ini?" tanya Nabi Saleh. Dengan penuh keyakinan bahwa itu tidak akan pernah terjadi, mereka serempak menjawab, "Ya, kami akan mengikutimu!"

Dengan hati yang khusyuk, Nabi Saleh AS kemudian menyingkir dari kerumunan, mendirikan shalat, dan berdoa kepada Tuhannya. Ia memohon dengan segenap jiwa, agar Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk kepentingan dirinya, tetapi sebagai Hujjah (argumen) terakhir bagi kaumnya yang degil. Ia berharap, dengan melihat mukjizat yang luar biasa ini, hati mereka yang sekeras batu akan luluh dan menerima hidayah.

Naqatullah: Unta Betina Allah Sebagai Tanda dan Ujian

Langit menjadi saksi atas doa tulus seorang hamba-Nya. Di hadapan ribuan pasang mata Kaum Tsamud yang menatap dengan campuran antara cemoohan dan rasa penasaran, terjadilah peristiwa agung yang mengguncang akal. Batu besar yang mereka tunjuk tiba-tiba bergetar hebat seolah-olah sedang merasakan sakit persalinan. Suara gemuruh keluar dari dalamnya, membuat tanah di sekitarnya ikut bergetar. Kerumunan itu terdiam, tawa mereka lenyap, digantikan oleh ketegangan dan rasa takut.

Kemudian, dengan kuasa Allah, batu itu terbelah! Dari celah yang menganga, muncullah kepala, lalu leher, dan seluruh tubuh seekor unta betina yang persis seperti yang mereka minta. Seekor unta betina yang sangat besar, warnanya kemerah-merahan, dan perutnya menunjukkan tanda-tanda kebuntingan tua. Mukjizat itu terpampang nyata di depan mata mereka, bukan ilusi, bukan sihir. Unta itu kemudian melahirkan anaknya di hadapan mereka, menambah keajaiban dari peristiwa tersebut.

Seluruh Kaum Tsamud terpana. Lidah mereka kelu. Wajah-wajah yang tadinya angkuh kini pucat pasi. Sebagian dari mereka, yang hatinya masih memiliki sisa kebaikan, langsung bersujud dan menyatakan keimanannya. Salah satunya adalah Junda' bin Amru, seorang pemuka kaum yang disegani. Namun, mayoritas dari mereka, terutama para pemimpin yang hatinya telah dikunci mati oleh kesombongan, tetap ingkar. Mereka mencoba mencari-cari alasan. "Ini hanyalah sihir yang nyata!" teriak mereka, mencoba menutupi keterkejutan dan ketakutan dengan penolakan.

Nabi Saleh AS kemudian berdiri di hadapan mereka dan berkata dengan tegas. Unta ini bukan unta biasa. Ini adalah "Naqatullah", unta betina milik Allah. Kehadirannya adalah tanda kebesaran Allah sekaligus ujian berat bagi kalian semua.

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah ia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih'." (QS. Al-A'raf: 73)

Nabi Saleh kemudian menetapkan aturan yang adil sebagai bagian dari ujian tersebut. Sumber air utama di lembah itu, sebuah sumur besar, akan dibagi penggunaannya. "Untuknya (unta itu) ada giliran minum, dan untuk kamu ada giliran minum pada hari yang ditentukan," (QS. Asy-Syu'ara: 155). Satu hari unta itu minum sepuasnya, dan pada hari itu ia akan menghasilkan air susu yang begitu melimpah, cukup untuk diminum oleh seluruh penduduk. Hari berikutnya, unta itu tidak akan minum, dan giliran kaum Tsamud untuk mengambil air dari sumur itu untuk kebutuhan mereka dan ternak mereka yang lain. Ini adalah sebuah pengaturan yang adil dan bahkan menguntungkan, namun bagi hati yang penuh kedengkian, ini adalah sebuah gangguan.

Konspirasi Jahat dan Puncak Pembangkangan

Untuk beberapa waktu, Kaum Tsamud hidup berdampingan dengan unta ajaib itu. Orang-orang yang beriman memuliakan unta tersebut, melihatnya sebagai berkah dan bukti nyata dari kebenaran ajaran Nabi Saleh. Mereka dengan patuh mengikuti aturan pembagian air dan menikmati susu unta yang melimpah. Namun, bagi kaum kafir, keberadaan unta itu adalah duri dalam daging. Setiap kali mereka melihat unta itu berkeliaran dengan bebas, meminum air dari sumur mereka, hal itu menjadi pengingat harian akan kekalahan argumen mereka dan kebenaran Nabi Saleh. Rasa benci dan iri hati mulai tumbuh subur di hati mereka.

Para pembesar kaum yang kafir tidak bisa menahan amarah mereka lebih lama. Kehadiran unta itu mengganggu hegemoni mereka dan membuat ternak-ternak mereka yang lain seolah takut dan menjauh saat unta itu mendekati sumber air. Mereka merasa kehidupan mereka terganggu oleh "aturan" yang dibawa oleh Saleh dan untanya. Mereka mulai menggelar pertemuan rahasia, merencanakan sebuah konspirasi jahat untuk melenyapkan bukti hidup tersebut.

Al-Qur'an mengisahkan bahwa di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang menjadi biang keladi kerusakan. Mereka adalah kelompok preman dan perusuh yang tidak pernah melakukan kebaikan. Para pembesar kaum yang licik menghasut mereka. "Siapa yang berani menyingkirkan gangguan ini? Siapa yang berani membunuh unta Saleh? Baginya akan kami berikan hadiah apa saja yang dia minta," bujuk mereka. Di antara sembilan orang itu, yang paling celaka dan paling berani maju adalah seorang pria bernama Qudar bin Salif. Diriwayatkan ia adalah seorang pria berperawakan bengis, berkulit kemerahan, dan terkenal akan kekejamannya.

Mereka memprovokasi Qudar dan teman-temannya, mengatakan bahwa kehormatan kaum Tsamud telah diinjak-injak oleh seekor unta. Mereka membakar semangat kesukuan yang buta dan kebencian terhadap Nabi Saleh dan pengikutnya. Akhirnya, Qudar bin Salif, bersama delapan rekannya, menyanggupi tugas terkutuk itu. Mereka mempersiapkan pedang dan panah, lalu mengintai di jalan yang biasa dilalui oleh unta itu ketika hendak kembali dari tempat minumnya.

Ketika unta betina Allah itu lewat, seorang dari komplotan itu, Mushadda' bin Mihraj, melepaskan anak panah yang mengenai betisnya. Unta itu terhuyung. Melihat kesempatan itu, Qudar bin Salif dengan cepat berlari dan menebaskan pedangnya dengan sekuat tenaga ke urat keting (urat besar di atas tumit) unta tersebut. Unta raksasa itu pun jatuh tersungkur ke tanah, mengeluarkan suara rintihan yang sangat keras dan memilukan. Tidak puas sampai di situ, Qudar kemudian menikam lehernya, mengakhiri hidup mukjizat agung tersebut.

Berita pembunuhan unta itu menyebar dengan cepat. Bukannya merasa bersalah atau takut, mayoritas kaum Tsamud justru bersorak gembira. Mereka merayakan perbuatan keji itu seolah-olah telah memenangkan sebuah pertempuran besar. Mereka merasa telah bebas dari "beban" dan telah membuktikan bahwa Saleh dan Tuhannya tidak mampu melindungi unta tersebut. Mereka mendatangi Nabi Saleh dengan congkak, "Wahai Saleh, datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancamkan itu, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar!" (QS. Al-A'raf: 77). Mereka tidak tahu bahwa dengan membunuh unta itu, mereka baru saja membuka gerbang kebinasaan bagi diri mereka sendiri.

Ultimatum Tiga Hari dan Azab yang Menghancurkan

Melihat jasad unta yang tak bernyawa itu, hati Nabi Saleh AS dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ia tahu bahwa kaumnya telah melewati batas. Mereka tidak hanya menolak dakwah, tetapi telah secara terang-terangan menantang Allah dengan membunuh tanda kekuasaan-Nya. Dengan wajah yang muram, Nabi Saleh menatap kaumnya dan memberikan ultimatum terakhir, sebuah janji yang tak dapat didustakan.

"Maka dia berkata: 'Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan'." (QS. Hud: 65)

Nabi Saleh dan para pengikutnya yang beriman segera diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkan negeri terkutuk itu. Sementara itu, kaum Tsamud yang kafir hanya menertawakan ultimatum tersebut. "Tiga hari? Apa yang akan terjadi dalam tiga hari?" ejek mereka. Mereka bahkan masih sempat merencanakan kejahatan lain. "Mari kita bunuh Saleh dan keluarganya di malam hari, lalu kita akan katakan kepada ahli warisnya bahwa kita tidak tahu menahu tentang kematiannya," begitulah rencana busuk mereka. Namun, Allah adalah sebaik-baik perencana. Sebelum mereka sempat melaksanakan niat jahat mereka, Allah melindungi Nabi Saleh.

Kemudian, tanda-tanda kebinasaan mulai muncul tepat seperti yang dijanjikan. Pada hari pertama setelah ultimatum, seluruh kaum Tsamud terbangun dengan wajah yang berubah menjadi kuning pucat. Mereka terkejut dan mulai merasa cemas, namun kesombongan masih menutupi hati mereka.

Pada hari kedua, wajah mereka berubah menjadi merah padam, seolah-olah darah hendak menyembur keluar. Ketakutan mulai merayapi jiwa mereka. Mereka saling pandang dengan ngeri. Janji Saleh mulai terasa nyata.

Pada hari ketiga, wajah mereka berubah menjadi hitam kelam. Kepanikan total melanda seluruh negeri. Mereka tahu sekarang bahwa azab yang dijanjikan itu pasti akan datang. Mereka mengurung diri di dalam rumah-rumah batu mereka yang kokoh, berharap pahatan gunung itu bisa melindungi mereka dari murka Tuhan. Mereka menangis dan meratap, namun pintu tobat telah tertutup rapat.

Pada subuh hari keempat, ketika malam berganti pagi, datanglah ketetapan Allah yang mengerikan. Dari langit terdengar suara pekikan yang dahsyat dan menggelegar (As-Shaihah). Suara itu begitu kerasnya hingga merobek gendang telinga dan menghancurkan jantung mereka seketika. Bersamaan dengan itu, bumi di bawah kaki mereka diguncangkan oleh gempa yang luar biasa (Ar-Rajfah). Dalam sekejap, seluruh penduduk yang kafir di negeri Al-Hijr itu tewas di tempat. Mereka mati bergelimpangan di dalam istana-istana megah mereka, tak bergerak, tak bernyawa.

Allah melukiskan keadaan mereka setelah binasa, "Maka jadilah mereka seperti rumput kering (yang dikumpulkan) oleh seorang pembuat kandang ternak." (QS. Al-Qamar: 31). Peradaban yang agung, yang mampu memahat gunung menjadi tempat tinggal, hancur lebur dalam sekejap mata. Istana-istana mereka yang kokoh tidak mampu memberikan perlindungan sedikit pun dari azab Allah. Semuanya senyap, menjadi bukti abadi akan akibat dari kesombongan dan pembangkangan.

Pelajaran Abadi dari Lembah yang Sunyi

Setelah kaumnya binasa, Nabi Saleh AS kembali menatap puing-puing negerinya. Dengan penuh kesedihan, ia berpaling sambil berkata, "Wahai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat." (QS. Al-A'raf: 79). Ini adalah ungkapan duka cita seorang nabi atas kaumnya yang telah memilih jalan kehancuran.

Kisah ini bukanlah sekadar dongeng dari masa lalu. Ia adalah cermin bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Inti dari kisah ini adalah bahwa Nabi Saleh AS mengajak umatnya untuk mengakui keesaan Allah dan meninggalkan kesombongan. Kaum Tsamud tidak dibinasakan karena kehebatan teknologi arsitektur mereka, tetapi karena kesombongan hati yang membuat mereka menolak kebenaran, meremehkan utusan Allah, dan berani menantang kekuasaan-Nya.

Beberapa pelajaran fundamental dapat kita petik. Pertama, bahaya kesombongan dan kemewahan materi. Ketika nikmat tidak diiringi dengan rasa syukur, ia justru akan menjadi jalan menuju kebinasaan. Kaum Tsamud merasa begitu kuat dan hebat dengan kemampuan mereka, sehingga mereka lupa pada Dzat yang memberikan kekuatan itu. Kedua, akibat dari menentang dan mengolok-olok tanda-tanda kebesaran Allah. Unta betina itu adalah sebuah mukjizat, sebuah 'ayat' yang nyata. Ketika mereka dengan sengaja membunuhnya, mereka sesungguhnya sedang menyatakan perang terhadap Allah. Ketiga, kepastian datangnya janji Allah. Janji akan balasan bagi orang beriman dan azab bagi orang kafir adalah sebuah kepastian yang tidak akan pernah meleset. Ultimatum tiga hari adalah bukti keadilan Allah, memberikan mereka kesempatan terakhir yang mereka sia-siakan.

Kisah Nabi Saleh dan Kaum Tsamud akan selalu relevan. Di setiap zaman, akan selalu ada seruan kebenaran yang mengajak manusia kembali kepada tauhid. Dan di setiap zaman pula, akan selalu ada "pemuka-pemuka kaum" yang sombong, yang menolak kebenaran karena takut kehilangan status, kekuasaan, atau kenyamanan duniawi. Mereka akan menggunakan argumen "tradisi nenek moyang" atau menuduh pembawa kebenaran sebagai pemecah belah. Kisah ini mengajarkan kita untuk selalu rendah hati, membuka pikiran dan nurani terhadap seruan kebenaran, mensyukuri nikmat Allah, dan takut akan azab-Nya yang sangat pedih. Lembah Al-Hijr yang kini sunyi menjadi saksi bisu, mengingatkan kita bahwa tidak ada kekuatan, tidak ada peradaban, dan tidak ada istana batu yang bisa bertahan di hadapan keagungan dan kekuasaan Allah SWT.

🏠 Homepage