Mengapa Nabi Yunus AS Marah dan Meninggalkan Kaumnya?
Kisah Nabi Yunus AS adalah salah satu narasi paling dramatis dan penuh hikmah dalam sejarah para nabi. Di dalamnya terkandung pelajaran tentang kesabaran, keputusasaan, taubat, dan keluasan rahmat Allah SWT. Salah satu titik krusial dalam kisah ini adalah momen ketika Nabi Yunus AS mencapai puncak amarah dan keputusasaan, yang mendorongnya untuk meninggalkan kaumnya. Keputusan ini, yang diambil atas dasar gejolak emosi manusiawi, menjadi awal dari ujian besar yang membawanya ke dalam kegelapan perut ikan raksasa.
Untuk memahami secara mendalam mengapa Nabi Yunus AS marah terhadap kaumnya, kita harus menelusuri latar belakang dakwahnya, kondisi masyarakat yang dihadapinya, dan puncak dari penolakan yang tak kunjung usai. Ini bukanlah kisah tentang kemarahan sesaat, melainkan akumulasi dari perjuangan panjang yang menguji batas kesabaran seorang utusan Allah.
Kondisi Kaum Ninawa: Masyarakat yang Tenggelam dalam Kemusyrikan
Nabi Yunus bin Matta diutus oleh Allah SWT kepada penduduk Ninawa, sebuah kota besar yang terletak di wilayah Mosul, Irak modern. Masyarakat Ninawa pada saat itu adalah kaum yang hidup dalam kemakmuran materi, namun jiwanya kering dari nilai-nilai tauhid. Kehidupan mereka berpusat pada penyembahan berhala. Mereka membuat patung-patung dari batu dan kayu dengan tangan mereka sendiri, lalu menundukkan diri di hadapannya, memohon pertolongan, rezeki, dan perlindungan.
Kemusyrikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur sosial, budaya, dan bahkan ekonomi mereka. Para pemahat patung memiliki kedudukan terhormat, dan kuil-kuil berhala menjadi pusat kegiatan komunal. Mereka meyakini bahwa ilah-ilah buatan mereka memiliki kekuatan untuk mengatur nasib dan alam semesta. Logika sederhana bahwa benda mati yang tidak bisa memberi manfaat atau mudarat tidak layak disembah sama sekali tidak masuk ke dalam benak mereka. Kesombongan dan keangkuhan akibat kemakmuran duniawi telah membutakan mata hati mereka dari kebenaran.
Kehidupan moral mereka pun mengalami dekadensi yang parah. Ketidakadilan, penindasan terhadap yang lemah, dan berbagai bentuk kemaksiatan merajalela. Mereka hidup dalam sebuah ekosistem sosial yang mengagungkan kekuatan materi dan mengabaikan panggilan nurani serta akal sehat. Dalam kondisi masyarakat yang sedemikian pekat dalam kegelapan inilah, Allah SWT dengan rahmat-Nya mengutus Nabi Yunus AS untuk menjadi pelita, untuk menyeru mereka kembali ke jalan yang lurus.
Perjuangan Dakwah yang Penuh Duri dan Penolakan
Nabi Yunus AS memulai misinya dengan penuh semangat dan kesabaran. Siang dan malam, ia tanpa lelah menyeru kaum Ninawa untuk meninggalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi. Ia menjelaskan dengan argumen-argumen yang logis dan menyentuh. Ia mengingatkan mereka tentang nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung, mulai dari hujan yang menyuburkan tanah hingga kesehatan yang mereka nikmati.
Ia juga memberikan peringatan keras tentang azab Allah yang akan menimpa kaum-kaum terdahulu yang durhaka, seperti kaum 'Ad dan Tsamud. Ia melukiskan betapa dahsyatnya hukuman Tuhan bagi mereka yang menolak petunjuk dan terus-menerus berkubang dalam kesesatan. Pesan yang dibawanya sangat jelas: berimanlah kepada Allah, tinggalkan berhala, dan kalian akan selamat di dunia dan akhirat. Jika tidak, azab yang pedih akan segera datang.
Bentuk-Bentuk Penolakan Kaum Ninawa
Namun, seruan Nabi Yunus AS ibarat menabur garam di lautan. Kaum Ninawa tidak hanya menolak, tetapi juga merespons dakwahnya dengan berbagai bentuk perlawanan yang menyakitkan:
1. Cemoohan dan Ejekan: Mereka menganggap Nabi Yunus AS sebagai orang gila atau pendusta. Mereka menertawakan ajarannya dan mengolok-oloknya di depan umum. "Lihatlah orang ini," kata mereka, "Dia ingin kita meninggalkan tuhan-tuhan nenek moyang kita untuk mengikuti Tuhannya yang tidak terlihat." Ejekan ini adalah serangan psikologis yang dirancang untuk meruntuhkan mental dan kredibilitas sang nabi.
2. Tantangan yang Arogan: Dengan penuh kesombongan, mereka menantang Nabi Yunus AS untuk mendatangkan azab yang diancamkannya. Mereka berkata, "Jika engkau memang benar seorang utusan Tuhan, datangkanlah hukuman itu sekarang juga! Kami tidak takut." Tantangan ini menunjukkan betapa kerasnya hati mereka dan betapa mereka meremehkan kekuasaan Allah SWT.
3. Intimidasi dan Ancaman: Tidak berhenti pada kata-kata, mereka juga melakukan intimidasi. Nabi Yunus AS diancam akan diusir dari kota atau bahkan dicelakai jika terus menyebarkan ajarannya yang dianggap mengganggu tatanan sosial dan tradisi leluhur mereka.
Perjuangan ini berlangsung selama bertahun-tahun. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Yunus AS berdakwah selama 33 tahun, namun hanya segelintir orang yang mau mengikutinya. Bayangkan, lebih dari tiga dekade pengorbanan, kesabaran, dan kegigihan hanya dibalas dengan penolakan yang konsisten dan penghinaan yang terus-menerus. Setiap hari ia harus menghadapi wajah-wajah yang sama, yang memandangnya dengan tatapan sinis dan kebencian.
Puncak Kemarahan dan Keputusan Meninggalkan Kaumnya
Di sinilah kita sampai pada inti persoalan: Nabi Yunus AS marah terhadap kaumnya karena akumulasi dari penolakan total, penghinaan yang tak berkesudahan, dan pembangkangan mereka yang telah mencapai titik nadir. Kemarahannya bukanlah kemarahan yang didasari oleh kepentingan pribadi, melainkan kemarahan karena kebenaran yang ia bawa dilecehkan dan nama Allah SWT dipermainkan. Ia merasa bahwa usahanya telah sia-sia dan kaumnya sudah tidak memiliki harapan lagi untuk menerima petunjuk.
Kemarahan ini mencapai puncaknya ketika ia merasa telah menyampaikan semua risalah dan peringatan, namun tidak ada satu pun tanda-tanda perubahan. Dari sudut pandang manusiawinya, ia menyimpulkan bahwa azab Allah pasti akan turun menimpa mereka. Ia merasa tugasnya telah selesai. Dalam keadaan putus asa dan murka, ia bersumpah bahwa hukuman Allah akan datang dalam waktu tiga hari.
Setelah memberikan ultimatum tersebut, Nabi Yunus AS membuat sebuah keputusan besar yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Tanpa menunggu perintah lebih lanjut dari Allah SWT, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan Ninawa. Ia pergi dalam keadaan marah, yakin bahwa kaumnya akan segera binasa ditimpa azab. Tindakannya ini, meskipun lahir dari niat yang baik (menghindari kaum yang akan diazab), dianggap sebagai sebuah ketergesa-gesaan. Ia seharusnya tetap bersabar dan menunggu wahyu dari Allah mengenai langkah selanjutnya.
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiya': 87)
Ayat ini dengan sangat jelas menggambarkan kondisi psikologis Nabi Yunus AS. Ia pergi "dalam keadaan marah" (mughadhiban) dan "menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya." Ini menunjukkan sebuah ijtihad atau penilaian pribadi yang keliru. Ia tidak menyangka bahwa kepergiannya tanpa izin eksplisit dari Allah justru akan membawanya pada kesulitan yang jauh lebih besar.
Taubatnya Kaum Ninawa dan Ujian di Tengah Lautan
Ironisnya, setelah kepergian Nabi Yunus AS, tanda-tanda azab yang ia prediksikan mulai terlihat. Langit di atas Ninawa berubah menjadi gelap gulita di siang hari. Awan hitam pekat bergulung-gulung, membawa hawa yang menakutkan. Melihat fenomena alam yang mengerikan ini, kaum Ninawa akhirnya menyadari bahwa ancaman Nabi Yunus AS bukanlah omong kosong. Kebenaran kata-katanya tiba-tiba menusuk jantung mereka.
Rasa takut yang luar biasa menyelimuti seluruh kota. Kesombongan mereka runtuh seketika, digantikan oleh penyesalan yang mendalam. Mereka mencari-cari Nabi Yunus AS untuk memohon ampunan melalui perantaraannya, namun ia telah tiada. Dalam kepanikan, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi pada kaum-kaum durhaka sebelumnya. Mereka melakukan taubat massal (taubatan nasuha).
Seluruh penduduk, mulai dari para pemimpin hingga rakyat jelata, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, keluar ke tanah lapang. Mereka mengenakan pakaian sederhana, menaburkan debu di atas kepala mereka sebagai tanda kerendahan diri, dan bahkan memisahkan anak-anak hewan dari induknya. Suara tangisan penyesalan manusia bercampur dengan lenguhan hewan-hewan yang terpisah, menciptakan sebuah pemandangan yang sangat memilukan dan menyentuh. Mereka semua serentak berdoa, memohon ampunan kepada Allah SWT dengan tulus dari lubuk hati yang paling dalam.
Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Maha Penerima Taubat, melihat ketulusan mereka. Rahmat-Nya mengalahkan murka-Nya. Azab yang sudah di ambang pintu pun diangkat dari atas mereka. Kaum Ninawa menjadi satu-satunya kaum dalam sejarah yang diancam azab, lalu bertaubat secara kolektif sebelum azab itu turun, dan taubat mereka diterima oleh Allah.
Ujian di Atas Kapal
Sementara itu, Nabi Yunus AS, yang tidak mengetahui perubahan dramatis di Ninawa, telah sampai di tepi laut. Ia menumpang sebuah kapal yang penuh muatan untuk berlayar menjauh. Namun, di tengah perjalanan, badai dahsyat tiba-tiba mengamuk. Ombak-ombak raksasa menghantam kapal, mengancam akan menenggelamkan semua isinya. Para penumpang kapal panik. Mereka mulai membuang sebagian muatan ke laut untuk meringankan beban kapal, tetapi badai tidak kunjung reda.
Menurut tradisi pelaut pada masa itu, badai hebat seperti ini diyakini terjadi karena ada seorang budak yang melarikan diri dari tuannya di atas kapal. Untuk menentukan siapa orangnya, mereka melakukan undian. Dengan kehendak Allah, nama yang keluar dalam undian pertama adalah Yunus.
Para penumpang lain tidak percaya. Mereka mengenal Yunus sebagai orang yang saleh. Bagaimana mungkin ia menjadi penyebab bencana ini? Mereka pun mengulang undian itu untuk kedua dan ketiga kalinya. Ajaibnya, nama Yunus AS selalu keluar. Saat itulah Nabi Yunus AS menyadari bahwa ini adalah teguran langsung dari Allah SWT atas tindakannya meninggalkan kaumnya tanpa izin. Ia mengaku, "Akulah budak yang melarikan diri itu," maksudnya adalah hamba yang "lari" dari tugas yang diberikan Tuhannya.
Tanpa ragu, ia pasrah pada ketetapan Allah. Ia kemudian dilemparkan ke dalam lautan yang bergelora. Namun, ia tidak tenggelam atau dimakan oleh ikan-ikan kecil. Dengan perintah Allah, seekor ikan yang sangat besar (disebut Nun, yang sering diartikan sebagai ikan paus atau ikan raksasa) langsung menelannya bulat-bulat tanpa melukai sedikit pun tubuhnya.
Kegelapan, Kesadaran, dan Kekuatan Doa
Nabi Yunus AS kini berada dalam situasi yang tak terbayangkan: hidup di dalam perut ikan, di kedalaman samudra yang gelap gulita. Ia berada dalam tiga lapis kegelapan: kegelapan perut ikan, kegelapan dasar lautan, dan kegelapan malam. Inilah "kesempitan" yang Allah takdirkan baginya, sebuah ujian yang lahir dari kemarahan dan ketergesa-gesaannya.
Di tengah kondisi yang mustahil untuk bertahan hidup menurut logika manusia, Nabi Yunus AS tidak putus asa dari rahmat Allah. Justru di titik terendah dalam hidupnya itulah, ia mencapai puncak kesadaran spiritual. Ia menyadari sepenuhnya kesalahannya. Ia tidak menyalahkan kaumnya, tidak menyalahkan takdir, tetapi ia sepenuhnya mengintrospeksi dirinya sendiri.
Dari lubuk hatinya yang paling dalam, di tengah kesunyian dan kegelapan total, ia memanjatkan sebuah doa yang kelak menjadi doa agung bagi setiap orang yang berada dalam kesulitan. Doa yang merupakan manifestasi dari tauhid, penyucian, dan pengakuan dosa:
"Lā ilāha illā anta, subḥānaka, innī kuntu minaẓ-ẓālimīn."
"Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berbuat zalim (menganiaya diri sendiri)."
Doa ini adalah esensi dari taubat. Pertama, ia menegaskan kembali pondasi keimanan (Tauhid). Kedua, ia menyucikan Allah dari segala kekurangan (Tasbih). Ketiga, yang terpenting, ia dengan rendah hati mengakui kesalahannya sendiri ("inni kuntu minaz-zhalimin"). Pengakuan inilah kunci dari diterimanya sebuah doa dan taubat.
Allah SWT mendengar doa hamba-Nya yang tulus itu. Allah memerintahkan ikan raksasa tersebut untuk berenang ke pantai dan memuntahkan Nabi Yunus AS di daratan. Ia terdampar dalam keadaan sakit dan lemah, kulitnya rapuh seperti bayi yang baru lahir karena asam di perut ikan. Namun, rahmat Allah tidak berhenti di situ. Di tempat ia terdampar, Allah menumbuhkan sejenis pohon labu (yaqthin) yang daunnya lebar untuk menaunginya dari terik matahari dan buahnya bisa menjadi makanan untuk memulihkan kekuatannya.
Hikmah di Balik Kemarahan dan Ujian
Setelah pulih, Allah SWT memerintahkan Nabi Yunus AS untuk kembali kepada kaumnya di Ninawa. Ia mungkin kembali dengan perasaan was-was, membayangkan sebuah kota yang telah hancur lebur. Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati Ninawa telah berubah total. Ia disambut oleh lebih dari seratus ribu orang yang semuanya telah beriman kepada Allah SWT. Mereka yang dulu mencemoohnya, kini menyambutnya sebagai pahlawan dan pemimpin spiritual mereka.
Kisah kemarahan Nabi Yunus AS dan peristiwa yang mengikutinya mengandung hikmah yang sangat mendalam, di antaranya:
- Pentingnya Kesabaran dalam Dakwah: Kisah ini mengajarkan bahwa kesabaran adalah kunci utama dalam berdakwah. Seorang dai tidak boleh putus asa, bahkan ketika menghadapi penolakan total. Hasil akhir dakwah adalah hak prerogatif Allah. Tugas manusia hanyalah menyampaikan dengan cara terbaik.
- Bahaya Bertindak Atas Dasar Emosi: Kemarahan dan keputusasaan Nabi Yunus AS mendorongnya mengambil keputusan yang tergesa-gesa. Ini adalah pelajaran bahwa keputusan besar tidak boleh diambil saat emosi sedang memuncak. Ketenangan dan kepasrahan pada petunjuk Allah adalah yang utama.
- Keagungan Taubat dan Pengakuan Kesalahan: Doa Nabi Yunus AS menunjukkan kekuatan luar biasa dari pengakuan dosa. Mengakui kesalahan diri sendiri ("inni kuntu minaz-zhalimin") adalah langkah pertama menuju pengampunan dan pertolongan Allah.
- Luasnya Rahmat Allah: Kisah ini adalah bukti nyata betapa luasnya rahmat Allah. Rahmat-Nya mampu mengangkat azab dari kaum Ninawa yang bertaubat, dan menyelamatkan Nabi Yunus AS dari situasi yang mustahil. Allah adalah Maha Penerima Taubat.
- Manusiawi Sifat Para Nabi: Meskipun maksum (terjaga dari dosa besar), para nabi tetaplah manusia yang memiliki emosi seperti marah, sedih, dan putus asa. Namun, yang membedakan mereka adalah kecepatan mereka untuk sadar, bertaubat, dan kembali kepada Allah SWT ketika melakukan kekhilafan.
Jadi, jawaban atas pertanyaan "mengapa Nabi Yunus AS marah terhadap kaumnya?" adalah karena ia telah sampai pada batas kesabaran manusiawi setelah berjuang puluhan tahun menghadapi pembangkangan, cemoohan, dan arogansi kaumnya yang menolak kebenaran secara mutlak. Kemarahannya adalah kulminasi dari kekecewaan seorang utusan yang melihat umatnya berjalan menuju jurang kebinasaan. Namun, dari kemarahan inilah lahir sebuah ujian besar yang pada akhirnya mengajarkan pelajaran abadi tentang kesabaran, taubat, dan rahmat Allah yang tiada batasnya, baik bagi sang nabi maupun bagi kaum yang pernah ditinggalkannya.