Dalam diskursus filsafat, studi mengenai hakikat segala sesuatu yang ada disebut ontologi. Ketika disiplin ini diterapkan pada ranah normatif, lahirlah ontologi filsafat hukum. Ini adalah cabang fundamental yang berupaya menjawab pertanyaan krusial: "Apa sesungguhnya hakikat hukum itu?" dan "Bagaimana hukum ada dalam realitas?" Berbeda dengan ilmu hukum positif yang berfokus pada 'apa itu hukum yang berlaku saat ini', ontologi hukum menggali substansi terdalam dari keberadaan norma dan institusi hukum.
Pembahasan ontologis dalam hukum sering kali berkisar pada dualitas antara realitas faktual dan idealitas normatif. Apakah hukum itu semata-mata serangkaian perintah yang ditegakkan oleh kekuasaan (seperti pandangan positivis yang menekankan 'law as a system of rules'), ataukah hukum memiliki keterikatan esensial dengan moralitas dan keadilan (seperti pandangan hukum alam)? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan bagaimana kita memahami validitas dan otoritas hukum. Jika hukum hanya ada karena diakui oleh negara, maka eksistensinya bersifat contingent (tergantung pada institusi). Sebaliknya, jika hukum terikat pada kebenaran moral universal, maka keberadaannya bersifat transenden, melampaui hukum positif tertulis.
Ontologi filsafat hukum menuntut kita untuk mengidentifikasi entitas-entitas yang membentuk dunia hukum. Apakah 'hak', 'kewajiban', atau 'keputusan pengadilan' adalah entitas nyata (ontologis) yang berdiri sendiri, ataukah mereka hanyalah konstruksi mental kolektif? Para filsuf hukum telah menawarkan berbagai kategori. Misalnya, realisme hukum Amerika cenderung memandang hukum sebagai apa yang diputuskan oleh hakim dalam praktiknyaāsebuah ontologi yang berakar pada tindakan empiris. Sementara itu, tradisi kontinental lebih cenderung pada ontologi yang berpusat pada norma dan teks konstitusional sebagai entitas yang mengatur.
Salah satu tantangan terbesar dalam ontologi filsafat hukum adalah menjembatani jurang antara 'fakta' (das Sein/apa yang ada) dan 'norma' (das Sollen/apa yang seharusnya ada). Hukum, pada dasarnya, adalah upaya untuk mentransformasi kenyataan yang ada menjadi kenyataan yang diinginkan melalui seperangkat aturan. Hans Kelsen, melalui Teori Murni Hukumnya, berusaha membersihkan ontologi hukum dari elemen-elemen sosiologis dan moral, mendefinisikan hukum hanya sebagai sistem norma yang valid berdasarkan norma dasar (Grundnorm). Dalam pandangan ini, keberadaan hukum bersifat otonom dan terpisah dari kenyataan sosial empirisnya.
Namun, pandangan reduksionis ini sering dikritik karena mengabaikan dimensi praksis. Hukum tidak eksis dalam ruang hampa; ia diwujudkan melalui bahasa, diinterpretasikan oleh manusia, dan diterapkan dalam konteks sosial-historis. Oleh karena itu, banyak pemikir kontemporer melihat ontologi hukum sebagai fenomena sosial yang terinstitusionalisasi. Hukum ada karena ada komunitas yang secara kolektif menerima dan mempraktikkan aturan-aturan tersebut. Eksistensi hukum adalah eksistensi yang bersifat intersubjektif.
Memahami ontologi hukum memiliki implikasi besar terhadap interpretasi dan penerapan hukum. Jika kita menganut ontologi hukum alam, maka hakim memiliki legitimasi untuk menolak atau membatalkan undang-undang yang secara formal benar tetapi secara substansial tidak adil. Sebaliknya, jika kita berpegang pada ontologi positivis yang ketat, tugas hakim hanyalah menerapkan apa yang tertulis, membatasi diri pada otoritas formal. Perdebatan ini bukan sekadar akademik; ia membentuk dasar dari sistem yudisial dan cara kita menilai keabsahan kekuasaan negara. Secara ringkas, ontologi filsafat hukum adalah fondasi metafisik yang menopang seluruh bangunan teori dan praktik hukum, menentukan apa yang kita anggap sebagai hukum yang sah dan nyata.