Dalam ranah hukum waris, isu mengenai pembagian harta pusaka antara ahli waris laki-laki dan perempuan seringkali menjadi topik yang sensitif dan penuh perdebatan. Perbedaan porsi yang secara tradisional diterima oleh ahli waris laki-laki dibandingkan perempuan menimbulkan pertanyaan tentang keadilan, kesetaraan, dan relevansinya di era modern. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana pembagian ahli waris laki dan perempuan diatur dalam berbagai sistem hukum, serta implikasi sosial dan filosofis di baliknya.
Sistem hukum waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh tiga sumber utama: hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata (waris testamenter). Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda terkait pembagian harta.
Dalam hukum waris Islam, pembagian harta warisan sangat rinci dan telah diatur dalam Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip yang paling umum dikenal adalah bahwa anak laki-laki menerima bagian dua kali lipat dari anak perempuan. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa laki-laki memiliki kewajiban finansial yang lebih besar untuk menafkahi keluarga.
Contoh pembagian dalam hukum Islam: Jika seorang pewaris meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka anak laki-laki akan menerima 2/3 bagian dari total harta warisan, sementara anak perempuan menerima 1/3 bagian. Jika terdapat beberapa anak laki-laki dan perempuan, pembagiannya akan dihitung berdasarkan perbandingan tersebut.
Hukum waris adat sangat bervariasi di setiap daerah di Indonesia, tergantung pada suku dan tradisi yang berlaku. Di beberapa daerah, seperti di masyarakat patriarkal, harta warisan seringkali jatuh ke tangan laki-laki karena mereka dianggap sebagai penerus garis keturunan atau kepala keluarga. Namun, di daerah lain, seperti masyarakat matrilineal di Minangkabau, harta warisan justru diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Ada juga sistem yang menerapkan prinsip kolektif atau pembagian yang lebih egaliter.
Perbedaan ini menunjukkan betapa kompleksnya pemahaman waris adat, yang sangat terikat pada struktur sosial dan budaya masyarakat setempat.
Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam dan tidak tunduk pada hukum waris Islam, serta bagi non-Muslim, berlaku ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut KUH Perdata, khususnya Pasal 832 dan seterusnya, ahli waris diwariskan berdasarkan kedekatan hubungan darah, tanpa membedakan jenis kelamin. Artinya, anak laki-laki dan anak perempuan memiliki kedudukan yang sama dan berhak menerima bagian warisan yang setara apabila mereka berada dalam golongan ahli waris yang sama.
Contoh pembagian dalam KUH Perdata: Jika pewaris meninggalkan dua orang anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka masing-masing anak berhak atas setengah (1/2) bagian dari harta warisan.
Perbedaan porsi yang ada dalam hukum waris Islam, di mana laki-laki menerima dua kali lipat dari perempuan, menjadi sumber utama perdebatan tentang keadilan dan kesetaraan gender. Para kritikus berpendapat bahwa sistem ini tidak lagi relevan di era modern di mana perempuan juga memiliki peran ekonomi dan tanggung jawab finansial yang signifikan. Mereka berargumen bahwa pembagian waris seharusnya didasarkan pada kebutuhan individu dan kontribusi masing-masing, bukan semata-mata pada jenis kelamin.
Di sisi lain, pembela hukum waris Islam menekankan bahwa aturan pembagian tersebut merupakan bagian dari ajaran agama yang memiliki hikmah dan tujuan yang mendalam. Mereka menjelaskan bahwa kewajiban nafkah bagi laki-laki dalam Islam sangat besar, mencakup istri, anak-anak, hingga kerabat yang membutuhkan. Bagian yang lebih besar bagi laki-laki dipandang sebagai modal untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, sementara perempuan dilindungi dari kewajiban nafkah tersebut. Selain itu, dalam banyak kasus, perempuan juga menerima hak waris dari pihak lain (misalnya dari orang tua ibu atau suami), sehingga total aset yang mereka miliki bisa jadi setara atau bahkan lebih besar.
Cara pembagian waris memiliki dampak sosial dan ekonomi yang nyata. Dalam masyarakat yang masih menganut sistem patriarki kuat, pembagian waris yang menguntungkan laki-laki dapat memperkuat ketidaksetaraan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan mungkin akan memiliki aset yang lebih sedikit, yang berpotensi membatasi kemandirian finansial mereka, akses terhadap pendidikan, atau kesempatan ekonomi lainnya.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang menganut kesetaraan, pembagian waris yang adil dan setara diharapkan dapat mendorong kemandirian finansial bagi semua ahli waris, tanpa memandang gender. Hal ini juga dapat berkontribusi pada distribusi kekayaan yang lebih merata dalam keluarga dan masyarakat.
Pembagian ahli waris laki dan perempuan merupakan isu multifaset yang melibatkan aspek hukum, agama, adat, sosial, dan ekonomi. Indonesia, dengan keragaman sistem hukumnya, menawarkan berbagai cara pandang mengenai hal ini. Baik hukum Islam, adat, maupun perdata memiliki logika dan tujuannya masing-masing dalam mengatur distribusi harta warisan. Perdebatan mengenai keadilan dan kesetaraan terus berlanjut, mendorong refleksi mendalam tentang bagaimana kita bisa mencapai keadilan distributif yang mengakomodasi konteks budaya dan perkembangan zaman, sambil tetap menghormati nilai-nilai fundamental.