Dalam ajaran Islam, pembagian harta waris atau yang dikenal dengan istilah faraid merupakan salah satu aspek krusial yang mengatur bagaimana kekayaan seseorang dialokasikan kepada ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Konsep faraid bukan sekadar tentang pembagian materi semata, melainkan sebuah sistem yang mengedepankan prinsip keadilan, keseimbangan, dan ketakwaan, yang berakar kuat pada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Memahami faraid secara mendalam berarti menghargai amanah, menjaga silaturahmi, dan menjalankan perintah Allah SWT.
Hukum pembagian harta secara faraid secara tegas disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an. Salah satu yang paling fundamental adalah Surah An-Nisa ayat 11 dan 12, yang secara spesifik menyebutkan bagian-bagian untuk orang tua, suami/istri, anak, dan kerabat lainnya. Ayat-ayat ini menjadi landasan utama dalam menentukan siapa saja yang berhak menerima warisan dan berapa porsi yang seharusnya mereka dapatkan.
Pentingnya memahami faraid tidak dapat diremehkan. Pertama, ini adalah bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT. Allah SWT telah menetapkan aturan pembagian waris agar tidak terjadi perselisihan dan ketidakadilan di antara keluarga. Mengikuti aturan ini berarti menegakkan keadilan ilahi. Kedua, faraid berfungsi sebagai instrumen pencegah konflik keluarga. Dengan adanya aturan yang jelas, potensi sengketa mengenai harta waris dapat diminimalisir, sehingga hubungan kekeluargaan tetap terjaga harmonis. Ketiga, ini adalah bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal. Dengan membagi hartanya sesuai syariat, kita memastikan bahwa keinginan terakhirnya, sesuai dengan ajaran agama, telah terpenuhi.
Agar pembagian harta waris dapat dilaksanakan dengan sah, ada beberapa rukun yang harus terpenuhi:
Secara umum, ahli waris dalam sistem faraid dapat dikategorikan menjadi beberapa golongan utama, meskipun detailnya bisa sangat kompleks tergantung pada kombinasi ahli waris yang ada:
Mereka adalah ahli waris yang telah ditentukan kadar bagiannya dalam Al-Qur'an, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Golongan ini meliputi:
Mereka adalah ahli waris yang berhak menerima sisa harta setelah dibagikan kepada Ashabul Furudh. Jika tidak ada Ashabul Furudh, maka seluruh harta akan menjadi milik 'Asabah. Golongan 'Asabah yang paling utama adalah anak laki-laki dan keturunannya, kemudian ayah dan keturunannya, lalu saudara laki-laki dan keturunannya, dan seterusnya.
Mereka adalah kerabat yang tidak termasuk dalam golongan Ashabul Furudh maupun 'Asabah, namun memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan pewaris. Pembagian harta kepada mereka biasanya dilakukan jika tidak ada ahli waris dari kedua golongan sebelumnya. Contohnya adalah bibi dari pihak ibu atau ayah, paman dari pihak ibu.
Proses pembagian harta secara faraid melibatkan beberapa langkah. Sebelum harta dibagikan, ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu:
Satu hal yang sering menjadi sorotan dalam faraid adalah perbedaan porsi antara laki-laki dan perempuan. Secara umum, anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari anak perempuan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab finansial yang lebih besar dalam keluarga (nafkah). Namun, penting diingat bahwa ini adalah aturan umum, dan dalam kondisi tertentu, perempuan bisa saja mendapatkan porsi yang sama atau bahkan lebih besar, tergantung pada kedekatan hubungannya dengan pewaris dan kedudukan para ahli waris lainnya.
Faraid juga memiliki aturan khusus terkait ahli waris yang "terhalang" (mahjub). Ada ahli waris yang berhak menerima warisan, namun haknya gugur karena ada ahli waris lain yang lebih dekat kedudukannya. Misalnya, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki berhak menerima warisan, namun jika ada anak laki-laki pewaris, maka cucu perempuan tersebut "terhalang" oleh ayahnya.