Memahami Sifat Pengetahuan (Al-'Ilm) dan Pendengaran (As-Sam') Allah
Memahami dan meyakini sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah pilar utama dalam akidah seorang muslim. Dua di antara sifat-sifat-Nya yang agung, yang memiliki dampak mendalam pada kehidupan sehari-hari, adalah sifat Al-'Ilm (Maha Mengetahui) dan As-Sam' (Maha Mendengar). Kedua sifat ini menegaskan kesempurnaan, keagungan, dan pengawasan Allah yang mutlak atas seluruh ciptaan-Nya. Sifat-sifat ini bukanlah seperti pengetahuan dan pendengaran makhluk yang penuh dengan keterbatasan, melainkan sifat yang sempurna, azali, abadi, dan meliputi segala sesuatu tanpa terkecuali.
Mengkaji sifat pengetahuan dan pendengaran Allah bukan sekadar latihan intelektual teologis, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan merenungi betapa luasnya ilmu Allah dan betapa tajamnya pendengaran-Nya, seorang hamba akan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap detik kehidupannya. Ini akan menumbuhkan rasa takut (khauf) untuk berbuat maksiat, rasa harap (raja') akan ampunan dan pertolongan-Nya, serta rasa cinta (mahabbah) yang tulus kepada Rabb yang senantiasa mengetahui dan mendengar rintihan hati hamba-Nya.
Al-'Ilm: Sifat Pengetahuan Allah yang Tak Terbatas
Sifat Al-'Ilm adalah sifat Allah yang menunjukkan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu secara mutlak. Nama-Nya yang terkait dengan sifat ini antara lain adalah Al-'Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Khabir (Yang Maha Teliti), dan Al-Muhsi (Yang Maha Menghitung). Pengetahuan Allah adalah esensi dari Dzat-Nya, bukan sesuatu yang baru datang atau dipelajari. Ini adalah perbedaan fundamental antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya.
1. Definisi dan Makna Mendasar Sifat Al-'Ilm
Secara bahasa, 'ilm berarti pengetahuan atau mengetahui. Namun, dalam konteks akidah Islam, sifat Al-'Ilm bagi Allah memiliki makna yang jauh lebih dalam dan komprehensif. Pengetahuan Allah adalah pengetahuan yang sempurna, tidak didahului oleh kebodohan dan tidak akan diakhiri oleh kelupaan. Ia mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, saat terjadi, dan bagaimana jadinya setelah terjadi. Tidak ada satu pun partikel di alam semesta, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang luput dari pengetahuan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“...dan bahwa sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Talaq: 12)
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada batas bagi ilmu Allah. Jika manusia hanya bisa mengetahui sebagian kecil dari alam semesta melalui penelitian dan observasi, maka ilmu Allah meliputi totalitas eksistensi tanpa memerlukan proses apa pun.
2. Karakteristik Ilmu Allah yang Sempurna
Untuk memahami keagungan sifat Al-'Ilm, kita perlu merenungkan karakteristiknya yang membedakannya secara mutlak dari pengetahuan makhluk. Di antara karakteristik tersebut adalah:
- Azali (Tanpa Permulaan): Ilmu Allah ada bersama dengan Dzat-Nya sejak azali. Dia tidak pernah berada dalam kondisi tidak mengetahui kemudian menjadi tahu. Pengetahuan-Nya bukanlah hasil dari pengalaman atau pembelajaran. Sebaliknya, segala peristiwa terjadi sesuai dengan apa yang telah Dia ketahui sejak semula.
- Abadi (Tanpa Akhir): Ilmu Allah tidak akan pernah hilang, berkurang, atau dilupakan. Manusia bisa lupa, bahkan terhadap ilmu yang pernah dikuasainya dengan baik. Namun, Allah Maha Suci dari sifat lupa. Firman-Nya tentang Nabi Musa yang bertanya kepada Fir'aun: “Musa menjawab: ‘Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.’” (QS. Taha: 52).
- Menyeluruh dan Meliputi Segalanya (Syumul): Inilah aspek yang paling sering ditekankan dalam Al-Qur'an. Cakupan ilmu Allah begitu luas sehingga akal manusia tidak mampu membayangkannya secara utuh. Ilmu-Nya meliputi:
- Yang Gaib dan Yang Tampak (Al-Ghaib wasy-Syahadah): Allah mengetahui apa yang tersembunyi di lubuk hati, apa yang ada di dasar lautan terdalam, dan apa yang terjadi di galaksi terjauh, sebagaimana Dia mengetahui apa yang tampak di depan mata kita.
- Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan: Dia mengetahui setiap detail peristiwa yang telah berlalu, setiap kejadian yang sedang berlangsung, dan segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat dan setelahnya.
- Yang Mungkin, Yang Mustahil, dan Yang Tidak Terjadi: Para ulama menjelaskan bahwa ilmu Allah meliputi (1) hal yang pasti terjadi, (2) hal yang mustahil terjadi, dan (3) hal yang tidak terjadi, Dia mengetahui bagaimana jadinya seandainya hal itu terjadi. Ini adalah puncak dari kesempurnaan ilmu.
- Perkara Besar dan Kecil (Jaliy dan Khafiy): Dari pergerakan planet-planet raksasa hingga getaran sayap seekor nyamuk, dari niat besar seseorang hingga bisikan terkecil dalam jiwa, semuanya berada dalam liputan ilmu Allah.
Allah menggambarkan keluasan ilmu-Nya dengan perumpamaan yang indah:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)
3. Implikasi Keimanan terhadap Sifat Al-'Ilm dalam Kehidupan Muslim
Mengimani sifat Al-'Ilm secara benar akan melahirkan buah-buah manis dalam diri seorang mukmin. Keimanan ini bukan sekadar keyakinan pasif, melainkan kekuatan aktif yang membentuk karakter dan perilaku.
Pertama, menumbuhkan Muraqabah (Perasaan Selalu Diawasi Allah). Ketika seorang hamba yakin bahwa Allah mengetahui setiap gerak-geriknya, setiap kata yang terucap, bahkan setiap niat yang terlintas di hatinya, ia akan senantiasa berhati-hati. Rasa malu kepada Allah akan mencegahnya dari perbuatan maksiat, baik di kala ramai maupun di saat sendiri. Ia sadar bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi dari pengawasan Allah.
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4)
Kedua, mendorong Ikhlas dalam Beramal. Seseorang yang memahami bahwa Allah mengetahui niat di balik setiap amalan tidak akan lagi mencari pujian atau pengakuan dari manusia. Fokusnya hanya satu: mencari keridhaan Allah. Ia tahu bahwa amalan sekecil apa pun, jika dilandasi niat yang tulus, akan diketahui dan dibalas oleh Allah. Sebaliknya, amalan besar yang disertai riya' (pamer) juga diketahui oleh-Nya dan tidak akan bernilai apa-apa.
Ketiga, melahirkan Ketenangan dan Tawakal. Keyakinan bahwa Allah mengetahui masa depan dan segala takdir yang telah ditetapkan untuk kita akan membawa ketenangan jiwa. Ketika menghadapi musibah, ia tahu bahwa ini terjadi dalam pengetahuan Allah dan pasti mengandung hikmah. Ketika merencanakan sesuatu, ia akan berusaha maksimal seraya menyerahkan hasilnya (tawakal) kepada Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Ini menghilangkan kecemasan berlebihan tentang masa depan yang tidak pasti.
Keempat, menumbuhkan Kerendahan Hati. Seberapa pun luasnya ilmu yang dimiliki seorang manusia, ia akan sadar bahwa ilmunya hanyalah setetes air di tengah samudra ilmu Allah yang tak bertepi. Ini akan menjauhkannya dari sifat sombong dan angkuh karena ilmu yang dimilikinya. Ia akan senantiasa merasa bodoh di hadapan Allah dan terus termotivasi untuk belajar.
As-Sam': Sifat Pendengaran Allah yang Meliputi Segalanya
Sifat agung lainnya yang sering disebutkan bersamaan dengan Al-'Ilm adalah As-Sam' (Maha Mendengar). Nama-Nya yang terkait adalah As-Sami'. Seperti halnya sifat Al-'Ilm, pendengaran Allah adalah sifat kesempurnaan yang mutlak, tidak sama dengan pendengaran makhluk yang lemah dan terbatas.
1. Definisi dan Makna Mendasar Sifat As-Sam'
Pendengaran Allah berarti Dia mendengar segala suara tanpa terkecuali. Tidak ada suara yang terlalu pelan untuk Dia dengar, dan tidak ada suara yang terlalu jauh. Berbagai macam suara dalam berbagai bahasa yang diucapkan secara bersamaan oleh miliaran makhluk tidak akan membuat pendengaran-Nya bercampur aduk atau bingung. Dia mendengar rintihan semut hitam di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.
Penting untuk dipahami bahwa pendengaran Allah tidak memerlukan organ seperti telinga, tidak pula memerlukan perantara seperti gelombang suara. Menetapkan sifat mendengar bagi Allah tidak berarti menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih). Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini sifat ini sebagaimana yang Allah tetapkan bagi Diri-Nya, tanpa menolaknya (ta'thil), tanpa mengubah maknanya (tahrif), tanpa mempertanyakan bagaimana caranya (takyif), dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil).
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Ayat ini adalah kaidah emas dalam memahami sifat-sifat Allah. Bagian pertama menolak penyerupaan (tasybih), sementara bagian kedua menetapkan sifat-sifat kesempurnaan seperti Mendengar dan Melihat.
2. Dua Kategori Pendengaran Allah
Para ulama membagi sifat pendengaran Allah menjadi dua makna, yang keduanya ditetapkan oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah:
a. Pendengaran Umum (As-Sam' al-'Amm)
Ini adalah pendengaran yang meliputi segala macam suara di alam semesta. Allah mendengar suara orang beriman dan orang kafir, suara manusia dan jin, suara hewan dan benda mati yang bertasbih dengan caranya sendiri. Pendengaran ini terkait dengan keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya. Tidak ada satu pun suara yang luput dari pendengaran-Nya. Ini adalah pendengaran yang mengandung makna ancaman bagi para pelaku maksiat dan pengawasan bagi seluruh makhluk.
Dalilnya adalah firman Allah tentang orang-orang munafik:
“Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 80)
b. Pendengaran Khusus (As-Sam' al-Khas)
Ini adalah pendengaran yang bermakna lebih spesifik, yaitu pendengaran yang disertai dengan pengabulan (ijabah), pertolongan (nashr), dan dukungan (ta'yid). Pendengaran jenis ini khusus ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat, terutama ketika mereka berdoa dan memohon kepada-Nya.
Contohnya adalah ucapan dalam shalat, "Sami'allahu liman hamidah" (Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya). Makna "mendengar" di sini bukan sekadar mendengar suara pujian tersebut, tetapi juga mendengar dengan penerimaan, keridhaan, dan pemberian pahala. Ini adalah pendengaran yang penuh dengan kasih sayang dan perhatian.
Contoh lain adalah firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun 'alaihimassalam ketika mereka takut menghadapi Fir'aun:
Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (QS. Taha: 46)
Makna "Aku mendengar" dalam konteks ini adalah pendengaran yang disertai pertolongan, perlindungan, dan penguatan bagi kedua nabi-Nya. Ini adalah janji yang menenangkan hati orang-orang beriman.
3. Kisah Nyata yang Menggambarkan Keagungan Sifat As-Sam'
Salah satu bukti paling kuat dan menyentuh tentang sifat As-Sam' adalah kisah Khawlah binti Tha'labah yang mengadukan suaminya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 'Aisyah radhiyallahu 'anha, yang berada di dalam rumah yang sama, menceritakan:
“Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sungguh, wanita yang mengajukan gugatan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbicara dengan beliau, sementara aku berada di salah satu sudut rumah, aku tidak dapat mendengar apa yang ia katakan. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat: ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya...’” (QS. Al-Mujadilah: 1).
Subhanallah, 'Aisyah yang berada begitu dekat tidak dapat mendengar seluruh keluhan wanita tersebut, tetapi Allah, dari atas tujuh lapis langit, mendengar setiap kata dari keluhan hamba-Nya dan menurunkan wahyu sebagai jawaban dan solusi. Kisah ini adalah pengingat abadi bahwa tidak ada keluhan yang sia-sia, tidak ada doa yang tak terdengar, selama itu ditujukan kepada As-Sami', Yang Maha Mendengar.
4. Implikasi Keimanan terhadap Sifat As-Sam' dalam Kehidupan Muslim
Seperti halnya sifat Al-'Ilm, mengimani sifat As-Sam' akan membawa perubahan positif yang signifikan dalam kehidupan seorang hamba.
Pertama, Mendorong untuk Memperbanyak Doa. Ketika kita yakin bahwa kita sedang berbicara dengan Dzat yang Maha Mendengar, yang pendengaran-Nya tidak terbatas, maka kita akan bersemangat untuk berdoa. Kita tidak akan pernah merasa putus asa, karena kita tahu bahwa setiap permohonan, setiap rintihan, setiap keluh kesah yang kita panjatkan sampai kepada-Nya. Kita akan berdoa dengan penuh keyakinan, baik dengan suara yang jelas maupun hanya dengan bisikan di dalam hati.
Kedua, Menjaga Lisan dari Perkataan Buruk. Keyakinan bahwa Allah mendengar setiap kata yang kita ucapkan akan menjadi rem yang kuat untuk menjaga lisan. Kita akan berpikir seribu kali sebelum mengucapkan kata-kata dusta, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), atau kata-kata kotor lainnya. Sebaliknya, kita akan termotivasi untuk senantiasa membasahi lisan dengan zikir, tasbih, tahmid, dan perkataan yang baik, karena kita tahu semua itu didengar dan dicatat oleh Allah.
Ketiga, Memberikan Ketenangan dan Keberanian. Bagi orang yang merasa terzalimi atau terancam, keyakinan bahwa Allah Maha Mendengar adalah sumber kekuatan yang luar biasa. Ia tahu bahwa meskipun tidak ada manusia yang mendengar atau peduli, Allah mendengar keluhannya dan melihat kezaliman yang menimpanya. Ini memberikan ketenangan bahwa pertolongan Allah pasti akan datang pada waktu yang tepat.
Keterkaitan Erat Antara Al-'Ilm dan As-Sam'
Sifat Pengetahuan dan Pendengaran Allah adalah dua sifat yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya menunjukkan pengawasan dan kekuasaan Allah yang mutlak (ihathah). Mendengar adalah salah satu bentuk dari mengetahui. Allah mendengar sesuatu, maka Dia pasti mengetahuinya.
Kombinasi kedua sifat ini, ditambah dengan sifat Al-Bashir (Maha Melihat), menciptakan fondasi bagi konsep Muraqabah yang sempurna dalam diri seorang hamba. Ia menyadari bahwa Tuhannya mengetahui niatnya (Al-'Ilm), mendengar ucapannya (As-Sam'), dan melihat perbuatannya (Al-Bashir). Tidak ada satu aspek pun dari eksistensinya yang terlepas dari pengawasan Allah.
Keyakinan ini akan melahirkan seorang hamba yang beribadah seolah-olah ia melihat Allah, dan jika ia tidak mampu melihat-Nya, ia yakin bahwa Allah melihatnya. Inilah puncak dari ihsan, tingkatan tertinggi dalam beragama Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Hadits Jibril.
Kesimpulan: Hidup di Bawah Naungan Sifat-Sifat Allah
Merenungi sifat Al-'Ilm dan As-Sam' milik Allah Subhanahu wa Ta'ala membawa kita pada kesadaran akan keagungan Sang Pencipta dan kehinaan diri kita sebagai makhluk. Pengetahuan kita terbatas, sering salah, dan mudah lupa. Pendengaran kita lemah, terhalang oleh jarak dan kebisingan. Adapun pengetahuan dan pendengaran Allah adalah sifat kesempurnaan yang mutlak, meliputi segala sesuatu tanpa batas dan tanpa cela.
Dengan menghayati makna kedua sifat ini, seorang muslim akan menjalani hidupnya dengan penuh kesadaran. Ia akan merasa selalu bersama Allah, diawasi oleh-Nya, didengar oleh-Nya. Ini akan mengubah ibadahnya menjadi lebih khusyuk, muamalahnya menjadi lebih jujur, dan akhlaknya menjadi lebih mulia. Ia akan menemukan ketenangan dalam takdir-Nya, kekuatan dalam doa-doanya, dan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup.
Semoga Allah memberikan kita taufik untuk senantiasa mempelajari, memahami, dan menghayati nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia, sehingga kita dapat menjadi hamba-Nya yang sejati, yang hidup dan mati di atas landasan tauhid yang kokoh.