Ilustrasi simbolis dari bentrokan antar faksi pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, yang merupakan kerabat sekaligus menantu kesayangan Nabi Muhammad SAW, diwarnai oleh gejolak politik dan konflik internal yang signifikan dalam sejarah Islam. Periode ini sering disebut sebagai masa perang Ali bin Abi Thalib, yang melibatkan serangkaian peperangan sipil (fitnah besar) yang memiliki dampak mendalam terhadap konfigurasi politik dan teologis umat Muslim pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Setelah kekhalifahan Utsman bin Affan berakhir tragis, Ali diangkat menjadi Khalifah keempat. Namun, pengangkatannya tidak diterima secara universal, terutama oleh mereka yang merasa memiliki hak lebih atau yang menuntut keadilan atas isu-isu yang terjadi pada masa Utsman. Ketidakpuasan ini memicu serangkaian tantangan militer langsung terhadap otoritas Ali.
Fokus utama dari gejolak ini adalah tuntutan untuk menghukum para pembunuh Khalifah Utsman, sebuah tuntutan yang sulit dipenuhi oleh Ali karena kondisi politik yang belum stabil. Ali membutuhkan waktu untuk mengonsolidasikan kekuasaan, namun kelompok oposisi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh terkemuka tidak mau menunggu.
Salah satu konflik awal yang paling terkenal adalah Perang Ali bin Abi Thalib melawan Aisyah binti Abu Bakar (istri Nabi SAW), Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Jamal (Unta) karena Aisyah memimpin pasukannya dari atas unta. Perang ini terjadi di Basra. Meskipun Ali berupaya keras untuk mencapai rekonsiliasi damai, pertempuran tak terhindarkan dan berakhir dengan kemenangan pihak Ali. Sayangnya, Thalhah dan Zubair gugur dalam pertempuran ini, menandai tragedi pertama dalam konflik internal umat Islam.
Konflik yang lebih besar dan berdampak jangka panjang adalah Perang Ali bin Abi Thalib melawan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah) yang menolak tunduk kepada kekhalifahan Ali sebelum keadilan ditegakkan atas kematian Utsman. Pertempuran besar antara kedua kubu terjadi di Shiffin, di tepi Sungai Efrat.
Setelah pertempuran berlangsung sengit dan tampaknya Ali akan menang, pihak Muawiyah mengajukan usul arbitrase (tahkim). Meskipun beberapa sahabat Ali menentang, Ali terpaksa menerima usul tersebut di bawah tekanan pasukannya. Arbitrase ini, yang kemudian menjadi titik balik kontroversial, tidak menghasilkan penyelesaian yang memuaskan dan justru memecah belah barisan pendukung Ali lebih jauh lagi, yang kemudian melahirkan kelompok Khawarij.
Kekecewaan terhadap keputusan arbitrase menyebabkan sekelompok besar pendukung Ali memisahkan diri. Mereka berpandangan bahwa menerima arbitrase adalah dosa besar karena hanya Allah yang berhak menghakimi. Kelompok ini dikenal sebagai Khawarij (mereka yang keluar). Perang Ali bin Abi Thalib kemudian juga harus dihadapi dengan kelompok yang sebelumnya adalah pendukungnya sendiri.
Konfrontasi dengan Khawarij terjadi di Nahrawan. Meskipun pasukan Ali berhasil mengalahkan Khawarij secara militer, perpecahan ideologis yang ditimbulkan oleh kelompok ini menjadi warisan pahit bagi masa kekhalifahan Ali. Para sejarawan menekankan bahwa fokus Ali yang terus-menerus pada penyelesaian konflik internal sangat menghambat upayanya untuk menegakkan hukum dan administrasi Islam secara menyeluruh.
Secara keseluruhan, masa kekhalifahan Ali adalah periode yang didominasi oleh kebutuhan untuk mempertahankan otoritas di tengah perlawanan internal yang kuat. Perang Ali bin Abi Thalib, meskipun dilihat dari perspektif militer sebagai pembelaan terhadap otoritas sah, secara politis menciptakan perpecahan yang mendalam di antara umat Islam, yang akhirnya berdampak pada transisi kekuasaan berikutnya dan terbentuknya aliran-aliran teologi yang berbeda dalam Islam.
Pemahaman tentang konflik-konflik ini krusial untuk memahami sejarah awal Islam dan akar dari berbagai perbedaan mazhab yang masih ada hingga kini. Perjuangan Ali adalah simbol dari tantangan kepemimpinan di tengah idealisme agama dan realitas politik yang kejam.