Perjalanan Jihad: Peperangan di Era Kenabian

Ilustrasi Perisai dan Pedang Ilustrasi perisai dan pedang sebagai simbol peperangan di masa awal Islam.

Kisah perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW tidak hanya diisi dengan penyampaian wahyu dan pembangunan masyarakat yang beradab, tetapi juga diwarnai oleh serangkaian konflik fisik yang tak terhindarkan. Peperangan di zaman Nabi bukanlah sebuah ekspresi agresi atau hasrat untuk menaklukkan, melainkan sebuah respons defensif yang terpaksa diambil untuk melindungi komunitas Muslim yang baru lahir dari ancaman pemusnahan. Memahami konteks ini adalah kunci untuk menyelami makna jihad sesungguhnya dalam Islam, yang jauh lebih luas dari sekadar pertempuran bersenjata. Setiap pertempuran memiliki latar belakang, pelajaran, dan hikmah yang mendalam bagi umat manusia.

Sebelum hijrah ke Madinah, kaum Muslimin di Mekkah mengalami penindasan, penyiksaan, dan boikot selama bertahun-tahun. Mereka dilarang beribadah secara terbuka, harta mereka dirampas, dan nyawa mereka terancam. Namun, selama periode Mekkah ini, tidak ada satu pun perintah untuk mengangkat senjata. Kesabaran adalah jalan yang ditempuh. Titik baliknya adalah hijrah, perpindahan Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya ke Madinah. Di kota baru ini, kaum Muslimin tidak lagi menjadi minoritas tertindas, melainkan menjadi sebuah entitas politik dan sosial yang berdaulat. Mereka membentuk sebuah negara berdasarkan konstitusi yang dikenal sebagai Piagam Madinah. Dengan terbentuknya negara ini, muncul pula tanggung jawab untuk melindungi warganya, mempertahankan eksistensinya, dan menjaga keamanannya dari ancaman eksternal, terutama dari kaum Quraisy Mekkah yang masih menyimpan dendam dan melihat komunitas Muslim di Madinah sebagai ancaman besar bagi hegemoni mereka.

Perang Badar: Pertolongan di Saat Genting

Pertempuran besar pertama yang dihadapi kaum Muslimin adalah Perang Badar. Peristiwa ini bukanlah sesuatu yang direncanakan sebagai perang besar. Awalnya, Nabi Muhammad SAW mengorganisir sebuah pasukan kecil untuk mencegat kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan yang kembali dari Syam. Tujuannya bersifat strategis dan ekonomis: untuk menekan Quraisy yang telah merampas harta benda kaum Muslimin yang berhijrah dari Mekkah. Ini adalah upaya untuk merebut kembali sebagian dari apa yang telah hilang dan sekaligus menunjukkan bahwa jalur perdagangan vital Quraisy tidak lagi aman selama mereka terus memusuhi Islam.

Namun, Abu Sufyan, seorang pedagang dan politisi ulung, berhasil mengetahui rencana tersebut. Ia segera mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta bantuan militer. Kaum Quraisy, yang dipenuhi dengan kebencian dan kesombongan, menyambut seruan ini dengan antusias. Mereka mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari para pembesar, ksatria terbaik, dan persenjataan lengkap. Kekuatan mereka jauh melampaui apa yang dimiliki oleh kaum Muslimin. Pasukan Quraisy bergerak dengan keyakinan penuh akan menghancurkan komunitas Muslim di Madinah sekali dan untuk selamanya.

Sementara itu, pasukan Muslim yang awalnya hanya bertujuan mencegat kafilah, kini dihadapkan pada prospek pertempuran terbuka melawan pasukan yang tiga kali lebih besar dan jauh lebih lengkap persenjataannya. Nabi Muhammad SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya. Kaum Muhajirin (pendatang dari Mekkah) menunjukkan kesetiaan mereka, tetapi Nabi ingin mendengar pendapat dari kaum Anshar (penduduk asli Madinah) yang perjanjiannya dengan beliau lebih bersifat defensif di dalam kota Madinah. Sa'ad bin Mu'adz, pemimpin Anshar, berdiri dan menyampaikan pidato yang menggetarkan, menyatakan kesetiaan penuh kaum Anshar untuk berjuang bersama Rasulullah di mana pun dan kapan pun, bahkan jika harus mengarungi lautan sekalipun. Dengan dukungan penuh ini, kaum Muslimin maju menuju lembah Badar.

Di medan pertempuran, perbedaan kekuatan sangat mencolok. Kaum Muslimin hanya berjumlah sekitar tiga ratus orang dengan peralatan seadanya, sementara pasukan Quraisy berjumlah sekitar seribu orang dengan persenjataan terbaik. Malam sebelum pertempuran, Nabi Muhammad SAW berdoa dengan sangat khusyuk, berlinang air mata, memohon pertolongan Allah. Beliau tahu bahwa kekalahan dalam pertempuran ini bisa berarti akhir dari Islam.

Pertempuran dimulai dengan tradisi perang tanding Arab. Tiga ksatria terbaik Quraisy maju menantang. Tiga sahabat Anshar maju menyambut, tetapi para ksatria Quraisy menolak, mereka ingin berhadapan dengan lawan yang sepadan dari kalangan mereka sendiri. Maka, Nabi menunjuk Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, dan Ubaidah bin Harits. Dalam duel yang singkat dan sengit, ketiga pahlawan Muslim berhasil mengalahkan lawan-lawan mereka, memberikan pukulan psikologis pertama kepada pasukan Quraisy. Setelah itu, pertempuran umum pun berkecamuk. Kaum Muslimin, dengan semangat iman yang membara dan disiplin yang tinggi, bertempur dengan gagah berani. Mereka merasa seolah-olah tidak berperang sendirian. Al-Quran mengisahkan bagaimana Allah mengirimkan bala bantuan berupa para malaikat untuk mengokohkan hati kaum beriman. Meskipun jumlah mereka sedikit, mereka berhasil memporak-porandakan barisan musuh yang jauh lebih besar. Kemenangan diraih secara gemilang. Banyak pemimpin utama Quraisy tewas, termasuk Abu Jahal, musuh bebuyutan Nabi. Kemenangan di Badar adalah sebuah titik balik krusial. Ia mengukuhkan posisi kaum Muslimin sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan di Jazirah Arab dan memberikan dorongan moral yang luar biasa.

Perang Uhud: Pelajaran Pahit tentang Ketaatan

Kekalahan telak di Badar meninggalkan luka yang dalam dan rasa malu yang luar biasa bagi kaum Quraisy. Mereka bersumpah untuk membalas dendam. Persiapan besar-besaran pun dilakukan. Mereka mengumpulkan pasukan yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih termotivasi. Kali ini, mereka tidak meremehkan lawan. Pasukan Quraisy, dipimpin oleh Abu Sufyan, bergerak menuju Madinah dengan tujuan menghancurkan komunitas Muslim hingga ke akarnya.

Mendengar berita kedatangan pasukan Quraisy, Nabi Muhammad SAW kembali mengadakan musyawarah. Para sahabat senior, termasuk Nabi sendiri, cenderung untuk bertahan di dalam kota Madinah, memanfaatkan benteng-benteng alami dan lorong-lorong sempit untuk melawan musuh. Namun, para pemuda Muslim yang tidak ikut serta dalam Perang Badar bersemangat untuk menyongsong musuh di luar kota, mencari kesyahidan dan kemuliaan seperti para pahlawan Badar. Menghargai semangat mereka, Nabi akhirnya memutuskan untuk menghadapi musuh di luar kota, di kaki Gunung Uhud.

Strategi Nabi sangat brilian. Beliau menempatkan pasukan utama di dataran, sementara punggung mereka dilindungi oleh Gunung Uhud. Titik paling krusial dalam strategi ini adalah penempatan lima puluh pemanah terbaik di atas sebuah bukit kecil bernama Jabal Ainain. Mereka dipimpin oleh Abdullah bin Jubair dan diberi perintah yang sangat tegas dan jelas: "Jangan pernah tinggalkan posisi kalian dalam kondisi apa pun, baik kita menang maupun kalah. Lindungi punggung kami dari serangan kavaleri musuh. Bahkan jika kalian melihat kami disambar oleh burung-burung, jangan beranjak dari tempat kalian."

Pada fase awal pertempuran, kaum Muslimin menunjukkan keperkasaan yang luar biasa. Mereka berhasil mendesak dan mengobrak-abrik barisan pasukan Quraisy. Pasukan Mekkah mulai kacau balau, meninggalkan harta benda dan perlengkapan perang mereka di medan pertempuran. Kemenangan seolah sudah di depan mata. Melihat pemandangan ini, sebagian besar pasukan pemanah di atas bukit melupakan pesan tegas Nabi. Tergoda oleh harta rampasan perang (ghanimah), mereka berteriak, "Ghanimah, ghanimah!" dan turun dari bukit untuk ikut mengumpulkannya, mengabaikan peringatan dari pemimpin mereka, Abdullah bin Jubair.

Khalid bin Walid, seorang komandan kavaleri Quraisy yang jenius (saat itu belum masuk Islam), melihat celah fatal ini. Dengan cepat, ia memimpin pasukannya memutari bukit dan menyerang barisan belakang kaum Muslimin dari posisi yang ditinggalkan oleh para pemanah. Serangan mendadak ini menimbulkan kepanikan dan kekacauan total di barisan Muslim. Situasi berbalik seratus delapan puluh derajat. Kaum Muslimin yang tadinya di ambang kemenangan kini terkepung dan diserang dari dua arah.

Dalam kekacauan itu, banyak sahabat gugur sebagai syuhada, termasuk paman Nabi yang sangat dicintai, Hamzah bin Abdul Muthalib. Nabi Muhammad SAW sendiri terluka parah. Gigi beliau patah, bibir beliau robek, dan pelipisnya tertancap lingkaran perisai. Bahkan sempat tersiar kabar bohong bahwa Nabi telah terbunuh, yang semakin meruntuhkan semangat sebagian pasukan Muslim. Namun, di tengah situasi kritis itu, para sahabat yang paling setia membentuk lingkaran pelindung di sekitar Nabi, mempertaruhkan nyawa mereka untuk melindunginya. Mereka berhasil membawa Nabi ke tempat yang lebih aman di lereng Gunung Uhud. Meskipun kaum Muslimin menderita kerugian besar dan secara teknis mengalami kekalahan militer, pasukan Quraisy tidak mampu mencapai tujuan utama mereka, yaitu memusnahkan komunitas Muslim atau menduduki Madinah. Mereka akhirnya menarik diri kembali ke Mekkah.

Perang Uhud menjadi pelajaran yang sangat pahit namun berharga. Ia mengajarkan tentang pentingnya ketaatan mutlak kepada pemimpin dalam strategi perang, bahaya cinta dunia (dalam hal ini, harta rampasan perang), dan bahwa kemenangan tidak datang secara otomatis, melainkan harus diraih dengan disiplin dan kesabaran. Allah SWT menurunkan ayat-ayat Al-Quran yang menegur dan sekaligus menghibur kaum Muslimin, menjelaskan bahwa ujian seperti ini adalah bagian dari proses untuk membedakan antara orang yang benar-benar beriman dengan orang munafik.

Perang Khandaq: Ujian Kesabaran dan Kecerdikan

Kegagalan Quraisy di Uhud untuk mencapai kemenangan total membuat mereka semakin frustrasi. Mereka menyadari bahwa untuk menghancurkan Islam, mereka membutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar. Maka, dimulailah sebuah lobi politik besar-besaran untuk membentuk koalisi raksasa. Kaum Quraisy berhasil menghasut berbagai suku Arab di sekitar Madinah, termasuk suku Ghathafan yang terkenal kuat, untuk bergabung dalam serangan besar-besaran. Selain itu, mereka juga bersekongkol dengan suku Yahudi Bani Nadhir yang telah diusir dari Madinah karena pengkhianatan, dan kemudian membujuk suku Yahudi Bani Quraizhah yang masih tinggal di Madinah untuk melanggar perjanjian damai mereka dengan kaum Muslimin.

Koalisi ini, yang dikenal sebagai Al-Ahzab (pasukan sekutu), berhasil mengumpulkan kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Arab, diperkirakan mencapai sepuluh ribu prajurit. Berita tentang pergerakan pasukan raksasa ini sampai ke Madinah dan menimbulkan ketakutan yang wajar di kalangan kaum Muslimin. Ancaman kali ini bersifat eksistensial; Madinah akan dikepung dari luar dan berpotensi dikhianati dari dalam.

Nabi Muhammad SAW kembali menggelar musyawarah darurat. Dalam situasi genting inilah, seorang sahabat asal Persia, Salman Al-Farisi, mengusulkan sebuah strategi pertahanan yang sama sekali tidak dikenal dalam tradisi perang Arab. Ia menyarankan untuk menggali parit (khandaq) di sisi utara Madinah, satu-satunya sisi yang terbuka dan rentan terhadap serangan kavaleri besar-besaran. Sisi-sisi lain Madinah sudah terlindungi oleh pegunungan berbatu dan kebun-kebun kurma yang lebat.

Ide ini diterima dengan baik. Nabi Muhammad SAW dan seluruh kaum Muslimin, tanpa terkecuali, bekerja siang dan malam untuk menggali parit yang dalam dan lebar. Nabi sendiri ikut mengangkat batu dan mencangkul tanah, memberikan teladan dan semangat yang luar biasa bagi para sahabatnya. Proses penggalian ini diwarnai oleh berbagai kesulitan, seperti cuaca dingin dan kelaparan, namun semangat kebersamaan dan iman membuat mereka mampu menyelesaikan pekerjaan besar itu tepat pada waktunya, sebelum pasukan sekutu tiba.

Ketika pasukan Al-Ahzab yang perkasa tiba di depan Madinah, mereka terkejut dan kebingungan. Mereka melihat parit besar yang menghalangi laju pasukan kavaleri mereka. Strategi perang konvensional mereka menjadi lumpuh. Mereka tidak punya pilihan selain melakukan pengepungan, berharap kaum Muslimin akan kehabisan persediaan dan menyerah. Maka, dimulailah perang urat syaraf yang panjang dan melelahkan.

Pengepungan berlangsung selama hampir sebulan. Hanya ada pertempuran-pertempuran kecil berupa saling lempar panah dan beberapa upaya nekat dari para ksatria musuh untuk melompati parit. Salah satu momen paling menegangkan adalah ketika seorang jagoan Quraisy, Amr bin Abd Wud, berhasil menyeberangi parit bersama beberapa rekannya dan menantang duel. Situasi menjadi genting hingga Ali bin Abi Thalib maju menyambut tantangannya dan berhasil mengalahkannya dalam sebuah pertarungan yang legendaris. Kemenangan ini mengangkat kembali moral kaum Muslimin yang sedang diuji.

Di tengah pengepungan, Nabi tidak hanya mengandalkan pertahanan fisik. Beliau juga melakukan manuver diplomasi yang cerdas. Melalui seorang mualaf yang kepribadiannya belum diketahui oleh pihak musuh, Nu'aim bin Mas'ud, Nabi berhasil menabur benih perpecahan dan saling curiga di antara barisan pasukan sekutu, khususnya antara kaum Quraisy dan suku Yahudi Bani Quraizhah. Keretakan dalam koalisi musuh mulai tampak.

Puncak dari pertolongan Allah datang dalam bentuk yang tak terduga. Pada suatu malam yang sangat dingin, Allah mengirimkan angin badai yang dahsyat. Angin itu merobohkan tenda-tenda pasukan sekutu, memadamkan api mereka, dan menerbangkan perlengkapan mereka. Kepanikan dan demoralisasi melanda perkemahan mereka. Abu Sufyan, sebagai panglima tertinggi, menyadari bahwa pengepungan ini telah gagal total. Ia memerintahkan pasukannya untuk membubarkan diri dan kembali ke Mekkah. Keesokan paginya, kaum Muslimin mendapati medan di depan mereka telah kosong.

Kemenangan dalam Perang Khandaq adalah kemenangan strategis dan psikologis yang mutlak. Setelah peristiwa ini, keseimbangan kekuatan secara permanen bergeser. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Mulai hari ini, kita yang akan menyerang mereka, dan mereka tidak akan bisa lagi menyerang kita." Inisiatif peperangan kini berada di tangan kaum Muslimin.

Dari Hudaybiyyah Menuju Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah

Beberapa waktu setelah Perang Khandaq, suasana menjadi lebih tenang. Nabi Muhammad SAW bermimpi bahwa beliau dan para sahabatnya memasuki Mekkah dengan aman dan melakukan ibadah umrah. Berdasarkan mimpi ini, beliau mengumumkan niatnya untuk berangkat ke Mekkah untuk umrah, bukan untuk berperang. Sekitar seribu empat ratus kaum Muslimin menyambut seruan ini. Mereka berangkat dalam keadaan ihram, tidak membawa senjata perang kecuali pedang dalam sarungnya, sebuah perlengkapan standar bagi para musafir saat itu, sambil membawa hewan-hewan kurban.

Berita kedatangan rombongan besar ini membuat para pemimpin Quraisy di Mekkah panik. Mereka menganggap ini sebagai sebuah provokasi dan penghinaan. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan Muhammad dan pengikutnya memasuki kota mereka. Pasukan Quraisy dikerahkan untuk menghadang rombongan Muslim di sebuah tempat bernama Hudaybiyyah, di perbatasan wilayah suci Mekkah.

Situasi menjadi sangat tegang. Perang bisa pecah kapan saja. Namun, Nabi Muhammad SAW tetap teguh pada niat damainya. Beliau mengirim beberapa utusan untuk bernegosiasi, menjelaskan bahwa tujuan mereka murni untuk beribadah. Setelah serangkaian negosiasi yang alot, diutuslah Suhail bin Amr oleh pihak Quraisy untuk membuat perjanjian. Proses perundingan ini menunjukkan kebijaksanaan dan kesabaran luar biasa dari Nabi.

Isi Perjanjian Hudaybiyyah pada awalnya tampak sangat merugikan kaum Muslimin. Beberapa poin utamanya adalah: Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun. Kaum Muslimin harus kembali ke Madinah saat itu dan baru boleh melaksanakan umrah pada tahun berikutnya. Jika ada orang Quraisy yang melarikan diri ke Madinah untuk masuk Islam tanpa izin walinya, ia harus dikembalikan ke Mekkah. Sebaliknya, jika ada orang Muslim yang murtad dan lari ke Mekkah, ia tidak akan dikembalikan. Banyak sahabat, termasuk Umar bin Khattab, merasa sangat kecewa dan terhina dengan syarat-syarat ini. Mereka merasa berada di pihak yang benar dan kuat, mengapa harus menerima perjanjian yang seolah-olah menginjak-injak harga diri mereka?

Namun, Nabi Muhammad SAW, dengan pandangan jauh ke depan yang dibimbing wahyu, menerima perjanjian tersebut. Beliau memahami hikmah di baliknya. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu dari Allah, Surah Al-Fath, yang menyatakan bahwa Perjanjian Hudaybiyyah adalah sebuah "kemenangan yang nyata" (Fathan Mubina).

Sejarah membuktikan kebenaran wahyu tersebut. Gencatan senjata membuka pintu interaksi yang luas antara kaum Muslimin dan suku-suku Arab lainnya. Dakwah Islam dapat menyebar dengan bebas tanpa dihalangi oleh peperangan. Selama periode damai setelah Hudaybiyyah, jumlah orang yang masuk Islam jauh lebih banyak daripada jumlah keseluruhan sebelumnya. Perjanjian ini juga secara implisit merupakan pengakuan resmi dari Quraisy terhadap eksistensi negara Madinah dan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin yang setara. Selain itu, klausul tentang pengembalian mualaf Quraisy justru menjadi bumerang bagi Mekkah. Para mualaf yang dikembalikan ini membentuk kelompok sendiri di luar Mekkah dan mengganggu jalur kafilah dagang Quraisy, sehingga Quraisy sendiri yang akhirnya meminta klausul itu dibatalkan.

Periode damai ini tidak berlangsung lama. Sebuah suku sekutu Quraisy, Bani Bakr, menyerang suku sekutu Muslim, Bani Khuza'ah, dengan bantuan dari beberapa oknum Quraisy. Tindakan ini merupakan pelanggaran yang jelas terhadap Perjanjian Hudaybiyyah. Pemimpin Bani Khuza'ah segera pergi ke Madinah untuk meminta keadilan. Nabi Muhammad SAW melihat ini sebagai akhir dari perjanjian dan mulai mempersiapkan langkah berikutnya.

Beliau secara rahasia mempersiapkan pasukan terbesar yang pernah dikumpulkan kaum Muslimin, berjumlah sekitar sepuluh ribu orang. Pergerakan pasukan ini dijaga kerahasiaannya untuk menghindari pertumpahan darah. Tujuannya adalah untuk menaklukkan Mekkah dengan damai, bukan dengan perang. Ketika pasukan raksasa ini tiba di dekat Mekkah, kaum Quraisy benar-benar terkejut dan menyadari bahwa perlawanan sama sekali tidak mungkin dilakukan. Abu Sufyan, pemimpin Mekkah, datang menemui Nabi dan akhirnya menyatakan keislamannya.

Nabi Muhammad SAW kemudian memasuki kota kelahirannya, kota yang telah mengusir dan menyiksanya, bukan sebagai seorang penakluk yang sombong, melainkan dengan kepala tertunduk penuh rasa syukur kepada Allah. Beliau memberikan pengumuman yang melegenda: "Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan, ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumahnya, ia aman. Barangsiapa masuk ke Masjidil Haram, ia aman." Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Mekkah yang selama ini memusuhinya. "Pergilah kalian semua, kalian bebas," sabda beliau. Tidak ada balas dendam, tidak ada pertumpahan darah. Beliau kemudian membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala yang telah mencemarinya selama berabad-abad, mengembalikan fungsinya sebagai pusat tauhid.

Fathu Makkah (Pembebasan Mekkah) adalah puncak dari perjuangan Nabi. Ini adalah kemenangan moral, spiritual, dan politik yang diraih melalui kesabaran, kebijaksanaan, dan pengampunan, bukan melalui pedang. Ini menunjukkan bahwa tujuan akhir dari semua perjuangan dan peperangan sebelumnya adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam suasana damai.

Konsolidasi dan Akhir Era Peperangan Nabi

Setelah Fathu Makkah, sebagian besar Jazirah Arab tunduk pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Namun, beberapa suku yang masih kuat dan pagan, terutama Hawazin dan Tsaqif, melihat kebangkitan Islam sebagai ancaman. Mereka mengumpulkan pasukan besar di lembah Hunain untuk menghadapi kaum Muslimin. Pertempuran Hunain menjadi ujian baru. Kaum Muslimin, yang kini berjumlah dua belas ribu orang, sempat merasa sombong dengan jumlah besar mereka. Kesombongan ini hampir berakibat fatal. Ketika mereka memasuki lembah yang sempit, mereka disergap oleh pasukan Hawazin yang telah bersembunyi di lereng-lereng. Barisan depan Muslim panik dan lari tunggang langgang. Nabi Muhammad SAW tetap teguh di posisinya bersama segelintir sahabat setia. Dengan suara lantang, beliau memanggil pasukannya untuk kembali. Seruan itu berhasil mengkonsolidasikan kembali barisan, dan dengan pertolongan Allah, mereka berhasil membalikkan keadaan dan meraih kemenangan besar.

Peperangan besar terakhir yang dipimpin langsung oleh Nabi adalah Ekspedisi Tabuk. Kabar sampai ke Madinah bahwa Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) sedang mempersiapkan pasukan besar di perbatasan utara untuk menyerang negara Islam yang baru tumbuh. Menghadapi ancaman dari sebuah negara adidaya, Nabi menyerukan mobilisasi total. Ekspedisi ini terjadi pada musim panas yang sangat terik dan masa paceklik, sehingga menjadi ujian berat bagi keimanan. Pasukan yang berhasil dikumpulkan sangat besar. Mereka menempuh perjalanan yang sangat jauh dan sulit menuju Tabuk. Namun, sesampainya di sana, tidak ditemukan pasukan Romawi. Kabar itu ternyata hanya rumor atau pasukan Romawi telah menarik diri setelah mendengar kesiapan kaum Muslimin. Meskipun tidak terjadi pertempuran, Ekspedisi Tabuk memiliki signifikansi strategis yang luar biasa. Ia menunjukkan kekuatan militer dan jangkauan pengaruh negara Islam hingga ke perbatasan utara, mengamankan perbatasan, dan membuat suku-suku di wilayah tersebut tunduk pada Madinah.

Peperangan di zaman Nabi Muhammad SAW bukanlah tujuan, melainkan sarana yang tidak bisa dihindari untuk melindungi dakwah dan komunitas. Setiap konflik memberikan pelajaran yang berbeda: Badar mengajarkan tentang pertolongan ilahi dan kekuatan iman, Uhud tentang pentingnya ketaatan dan bahaya cinta dunia, Khandaq tentang kecerdikan, kesabaran, dan diplomasi, serta Fathu Makkah tentang kebesaran jiwa dan kemenangan melalui pengampunan. Semua ini membentuk sebuah narasi agung tentang bagaimana sebuah komunitas yang tertindas dapat bangkit, membela diri, dan akhirnya membangun sebuah peradaban yang berlandaskan keadilan, perdamaian, dan ketauhidan.

🏠 Homepage