Meraih Ketenangan Hakiki: Menyelami Samudra Makna Rodhitubillah

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang sering kali membawa kegelisahan, ketidakpastian, dan pencarian makna yang tak berujung, terdapat sebuah kalimat agung yang menjadi sauh bagi jiwa seorang mukmin. Kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah deklarasi fundamental, sebuah ikrar yang menggetarkan Arsy, dan sebuah kunci untuk membuka gerbang ketenangan sejati. Kalimat itu adalah:

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُولًا

Rodhitu billahi Robba, wa bil Islami diina, wa bi Muhammadin Nabiyyan wa Rosula.

Artinya: "Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku."

Kalimat ini, yang sering kita ucapkan sebagai zikir pagi dan petang, menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Ia bukanlah pengakuan pasif, melainkan sebuah pernyataan aktif yang penuh kesadaran, cinta, dan penerimaan total. Ia adalah pondasi di mana seluruh bangunan keimanan seorang Muslim berdiri kokoh. Untuk memahami kekuatannya, kita harus membedah setiap frasa, menyelami setiap kata, dan merasakan getaran maknanya dalam setiap helaan napas kehidupan kita.

Bagian Pertama: Rodhitu Billahi Robba (Aku Ridha Allah sebagai Tuhanku)

Frasa pembuka ini adalah inti dari tauhid, esensi dari seluruh ajaran para nabi. "Ridha" di sini bukanlah sekadar pasrah tanpa daya. Kata "ridha" (رضي) dalam bahasa Arab mengandung makna kepuasan, kegembiraan, penerimaan yang tulus dari hati, dan ketenangan atas sebuah pilihan. Ini adalah sebuah sikap proaktif. Ketika kita berkata "Aku ridha Allah sebagai Tuhanku," kita sedang mendeklarasikan:

Memahami Konsep "Rabb"

Kata "Rabb" sering diterjemahkan sebagai "Tuhan" atau "Lord". Namun, maknanya jauh lebih luas dan komprehensif. Rabb mencakup setidaknya empat pilar utama:

  1. Al-Khaliq (Sang Pencipta): Ridha kepada Allah sebagai Rabb berarti mengakui dengan sepenuh hati bahwa hanya Dia yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Kita melihat alam semesta yang maha luas, dari galaksi yang berputar hingga partikel sub-atomik yang bergerak, dan kita menyaksikan keteraturan yang sempurna. Kita merenungi penciptaan diri kita sendiri, sebuah keajaiban biologis yang kompleks. Pengakuan ini menumbuhkan rasa takjub dan kerendahan hati, menyadari betapa kecilnya kita di hadapan keagungan Sang Pencipta.
  2. Ar-Razzaq (Sang Pemberi Rezeki): Ridha kepada Allah sebagai Rabb berarti meyakini bahwa hanya Dia yang menjamin rezeki seluruh makhluk. Rezeki bukan hanya soal materi seperti makanan dan uang, tetapi juga kesehatan, ilmu, keluarga yang harmonis, teman yang baik, keamanan, dan yang terutama, hidayah iman dan Islam. Keyakinan ini membebaskan jiwa dari kecemasan berlebihan akan masa depan. Ia mengajari kita untuk berusaha (ikhtiar) secara maksimal, namun menyerahkan hasilnya (tawakal) kepada-Nya, karena kita tahu Sang Pemberi Rezeki tidak akan pernah lalai.
  3. Al-Malik & Al-Mudabbir (Sang Penguasa & Sang Pengatur): Ridha kepada Allah sebagai Rabb adalah menerima kedaulatan mutlak-Nya atas seluruh alam. Dialah yang menetapkan hukum-hukum alam (sunnatullah) dan hukum-hukum syariat. Dialah yang mengatur setiap kejadian, besar maupun kecil. Saat kita menghadapi ujian, musibah, atau kesulitan, ridha ini menjadi perisai. Kita yakin bahwa di balik setiap peristiwa, ada hikmah dan rencana agung dari Sang Pengatur yang Maha Bijaksana. Ini menumbuhkan kesabaran (sabar) saat diuji dan mencegah kita dari keluh kesah dan menyalahkan takdir.
  4. Al-Murabbi (Sang Pendidik & Pemelihara): Kata "Rabb" juga berakar dari kata "tarbiyah" yang berarti pendidikan dan pemeliharaan. Allah tidak hanya menciptakan dan meninggalkan kita. Dia secara aktif mendidik dan memelihara kita melalui nikmat dan ujian. Nikmat diberikan agar kita bersyukur, dan ujian diberikan agar kita kembali, bersabar, dan menjadi lebih kuat. Ridha kepada-Nya sebagai Al-Murabbi berarti kita melihat setiap episode kehidupan sebagai bagian dari kurikulum ilahi yang dirancang untuk menyempurnakan jiwa kita.

Dengan demikian, "Rodhitu Billahi Robba" adalah sebuah revolusi batin. Ia mengubah cara pandang kita dari yang penuh kekhawatiran menjadi penuh keyakinan, dari yang penuh keluhan menjadi penuh kesyukuran, dan dari yang berpusat pada diri sendiri menjadi berpusat pada Allah.

Bagian Kedua: Wa bil Islami Diina (Dan Aku Ridha Islam sebagai Agamaku)

Setelah mengikrarkan keridhaan kepada Sang Rabb, konsekuensi logisnya adalah menerima petunjuk yang datang dari-Nya. Frasa kedua ini adalah deklarasi penerimaan total terhadap Islam sebagai "Diin" atau jalan hidup. Kata "Diin" di sini jauh lebih luas dari sekadar "agama" dalam pengertian ritual semata. "Diin" adalah sistem kehidupan yang komprehensif, mencakup seluruh aspek, mulai dari hubungan vertikal dengan Allah hingga hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam semesta.

Islam sebagai Jalan Hidup yang Sempurna

Ridha terhadap Islam sebagai Diin berarti kita menerima dan meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh para nabi, yang disempurnakan melalui Nabi Muhammad ﷺ, adalah satu-satunya jalan hidup yang benar, adil, dan membawa kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Keridhaan ini mencakup:

1. Ridha terhadap Aqidah (Sistem Kepercayaan) Islam

Ini adalah fondasi. Kita ridha dengan pilar-pilar keimanan yang enam: beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qada dan qadar (ketetapan baik dan buruk). Kita menerima konsep tauhid yang murni tanpa keraguan, meyakini keesaan Allah dalam Zat, Sifat, dan perbuatan-Nya. Kita menerima tanpa protes informasi gaib yang disampaikan melalui Al-Qur'an dan Sunnah, meskipun akal kita terbatas untuk menjangkaunya. Aqidah yang kokoh ini memberikan kita peta realitas yang jelas, menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental manusia: dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali.

2. Ridha terhadap Ibadah (Sistem Peribadatan) Islam

Kita menerima dengan gembira seluruh bentuk ibadah yang telah ditetapkan, baik yang wajib maupun sunnah. Kita memandang salat lima waktu bukan sebagai beban, melainkan sebagai kebutuhan jiwa, sebuah momen intim untuk berkomunikasi dengan Rabb. Kita melihat puasa bukan sebagai siksaan, melainkan sebagai sarana pelatihan spiritual untuk mengendalikan hawa nafsu dan menumbuhkan empati. Kita memandang zakat bukan sebagai kerugian harta, melainkan sebagai cara mensucikan jiwa dan kekayaan, serta memperkuat ikatan sosial. Kita memandang haji bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan puncak perjalanan spiritual seorang hamba. Keridhaan ini membuat ibadah terasa ringan dan nikmat.

3. Ridha terhadap Syariah (Sistem Hukum dan Aturan) Islam

Ini seringkali menjadi ujian terberat dalam keridhaan. Ridha terhadap Islam sebagai Diin berarti kita meyakini bahwa syariah Islam, yang mencakup hukum keluarga (pernikahan, waris), hukum ekonomi (larangan riba, anjuran jual beli yang adil), hukum pidana (hudud, qisas), dan etika sosial, adalah sistem yang paling adil dan membawa maslahat terbesar bagi umat manusia. Kita mungkin tidak selalu memahami hikmah di balik setiap aturan, tetapi keimanan kita kepada kebijaksanaan Allah membuat kita tunduk dan patuh. Kita yakin bahwa hukum yang dibuat oleh Sang Pencipta manusia pastilah yang paling sesuai untuk ciptaan-Nya, jauh melampaui hukum buatan manusia yang seringkali berubah-ubah dan penuh kekurangan.

4. Ridha terhadap Akhlak (Sistem Moral dan Etika) Islam

Islam datang dengan seperangkat standar moral yang luhur. Kita ridha untuk menjadikan akhlak mulia seperti kejujuran, amanah, kesabaran, kasih sayang, memaafkan, dan keadilan sebagai pakaian kita sehari-hari. Kita juga ridha untuk menjauhi akhlak tercela seperti kebohongan, khianat, iri dengki, sombong, dan ghibah. Kita menerima bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidak diukur dari harta atau statusnya, melainkan dari tingkat ketakwaannya, yang tercermin dalam akhlaknya.

Dengan mendeklarasikan "Wa bil Islami Diina," kita sebenarnya sedang mengatakan, "Ya Allah, aku menyerahkan seluruh hidupku untuk diatur oleh sistem-Mu. Aku percaya panduan-Mu adalah yang terbaik. Aku tidak akan mencari ideologi, isme, atau jalan hidup lain untuk kujadikan pedoman, karena aku telah menemukan kepuasan dan kesempurnaan di dalam Islam."

Bagian Ketiga: Wa bi Muhammadin Nabiyyan wa Rosula (Dan Aku Ridha Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku)

Deklarasi keimanan tidak akan lengkap tanpa pilar ketiga ini. Setelah ridha kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai Diin, kita membutuhkan sosok teladan yang menjadi penyampai risalah dan penerjemah praktis dari ajaran tersebut. Frasa ini adalah ikrar kesetiaan, cinta, dan komitmen kita kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Membedakan "Nabi" dan "Rasul"

Ridha kepada beliau sebagai "Nabi" berarti kita meyakini seyakin-yakinnya bahwa beliau menerima wahyu dari Allah. Beliau adalah manusia pilihan yang diberikan berita dari langit. Kepercayaan kita pada Al-Qur'an sebagai firman Allah bergantung pada kepercayaan kita bahwa sang penerimanya adalah seorang Nabi yang jujur dan terpercaya (Al-Amin).

Ridha kepada beliau sebagai "Rasul" berarti kita meyakini bahwa beliau tidak hanya menerima wahyu untuk dirinya sendiri, tetapi juga diutus dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Beliau adalah utusan terakhir, penutup para nabi, yang risalahnya bersifat universal dan berlaku hingga akhir zaman. Menerima kerasulannya berarti menerima bahwa tidak ada lagi syariat baru setelah syariat yang beliau bawa.

Implikasi Ridha kepada Nabi Muhammad ﷺ

Keridhaan ini menuntut konsekuensi nyata dalam kehidupan kita, yang terangkum dalam empat poin utama:

  1. Membenarkan Apa yang Beliau Sampaikan (Tashdiq): Kita wajib membenarkan seluruh berita yang datang dari beliau, baik itu tentang umat terdahulu, peristiwa yang sedang terjadi pada masanya, maupun kabar tentang masa depan dan alam gaib (seperti tanda-tanda kiamat, surga, dan neraka). Kepercayaan ini bersifat mutlak, karena apa yang beliau sampaikan bukanlah dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan.
  2. Menaati Apa yang Beliau Perintahkan (Tha'ah): Menaati Rasul adalah bentuk ketaatan kepada Allah. Al-Qur'an berulang kali menegaskan hal ini. Perintah-perintah beliau, yang terangkum dalam hadis-hadis sahih, adalah petunjuk praktis bagi kita. Ridha kepadanya sebagai Rasul berarti kita berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya, baik dalam urusan ibadah, muamalah, maupun akhlak.
  3. Mengikuti Jejak dan Tuntunannya (Ittiba'): Inilah puncak dari keridhaan. Kita tidak hanya taat, tetapi menjadikan seluruh hidup beliau sebagai suri teladan terbaik (uswatun hasanah). Kita berusaha meniru cara beliau makan, tidur, berinteraksi dengan keluarga, memimpin masyarakat, berbisnis, hingga cara beliau beribadah. Mengikuti sunnahnya bukan hanya soal pahala, tetapi juga wujud cinta dan bukti bahwa kita benar-benar ridha menjadikannya panutan. Inilah yang membedakan Islam dari sekadar filsafat; ia adalah jalan hidup yang memiliki contoh nyata yang sempurna untuk diikuti.
  4. Mencintainya Melebihi Siapapun (Mahabbah): Rasa cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ harus melebihi cinta kita kepada diri sendiri, orang tua, anak, dan seluruh manusia. Cinta ini bukanlah cinta buta, melainkan cinta yang lahir dari pengenalan akan keagungan akhlaknya, kedalaman kasih sayangnya kepada umatnya, dan besarnya pengorbanan beliau dalam menyampaikan risalah. Cinta ini diwujudkan dengan sering berselawat kepadanya, mempelajari sirah (perjalanan hidup) beliau, membela kehormatannya, dan merindukan pertemuan dengannya di akhirat.

Oleh karena itu, "Wa bi Muhammadin Nabiyyan wa Rosula" adalah komitmen untuk menjadikan Sunnah sebagai kompas kehidupan, setelah Al-Qur'an sebagai petanya. Keduanya adalah dua warisan tak ternilai yang tidak akan membuat kita tersesat selama kita berpegang teguh padanya.

Buah Manis dari Keridhaan Sejati

Mengucapkan dan menghayati kalimat "Rodhitubillah..." setiap hari bukan sekadar rutinitas tanpa makna. Ia adalah proses peneguhan kembali komitmen, pengisian ulang energi spiritual, dan kalibrasi ulang arah hidup. Ketika ketiga pilar keridhaan ini tertanam kuat dalam jiwa, ia akan menghasilkan buah-buah manis yang tak ternilai harganya:

Pada akhirnya, perjalanan seorang mukmin adalah perjalanan menuju keridhaan. Kita berusaha untuk ridha kepada Allah, dan tujuan akhirnya adalah agar Allah pun ridha kepada kita. Kalimat "Rodhitu billahi Robba, wa bil Islami diina, wa bi Muhammadin Nabiyyan wa Rosula" adalah kompas sekaligus bekal dalam perjalanan tersebut. Ia adalah pernyataan cinta, deklarasi kesetiaan, dan kunci menuju kebahagiaan sejati—sebuah kehidupan yang dijalani dengan kepuasan penuh di bawah naungan Rabb semesta alam, dalam bingkai Diin yang sempurna, dan di atas jejak sang teladan termulia.

🏠 Homepage