Memaknai Tauhid Rububiyah
Pengantar: Jantung Keimanan Islam
Dalam samudra ajaran Islam yang luas, terdapat satu konsep inti yang menjadi fondasi bagi seluruh bangunan akidah dan amal seorang muslim. Konsep tersebut adalah Tauhid, yaitu keyakinan mutlak akan keesaan Allah. Tauhid bukanlah sekadar pengakuan lisan bahwa Tuhan itu satu, melainkan sebuah keyakinan mendalam yang meresap ke dalam hati, pikiran, dan termanifestasi dalam setiap sendi kehidupan. Para ulama, dalam upaya untuk memudahkan pemahaman umat, membagi pembahasan Tauhid menjadi tiga pilar utama: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat. Masing-masing pilar ini saling berkaitan dan menyempurnakan satu sama lain, membentuk sebuah pemahaman yang utuh tentang siapa Allah dan bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan-Nya.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam salah satu dari tiga pilar tersebut, yang merupakan gerbang pertama dan paling fundamental dalam mengenal Allah, yaitu Tauhid Rububiyah. Tauhid Rububiyah adalah pengakuan dan keyakinan penuh bahwa hanya Allah semata yang merupakan Rabb semesta alam. Ia adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Pengatur segala sesuatu yang ada di langit, di bumi, dan di antara keduanya. Pemahaman yang benar terhadap Rububiyah akan menuntun seseorang pada konsekuensi logis berikutnya: jika hanya Allah yang menciptakan, menguasai, dan mengatur, maka hanya Dia-lah yang berhak untuk disembah (Tauhid Uluhiyah). Dengan demikian, memahami Rububiyah bukan hanya sebuah latihan intelektual, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk meneguhkan pilar pertama dan terpenting dalam keimanan seorang hamba.
Definisi dan Tiga Pilar Utama Rububiyah
Secara etimologis, kata "Rububiyah" berasal dari akar kata "Rabb" (ربّ). Dalam bahasa Arab, kata "Rabb" memiliki makna yang sangat kaya dan luas, mencakup pengertian sebagai Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur, Pemberi rezeki, dan Pendidik (yang menumbuhkan dan memelihara). Ketika kita membaca "Alhamdulillāhi Rabbil 'ālamīn" (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam) dalam Surat Al-Fatihah, kita sesungguhnya sedang mengakui seluruh makna agung ini. Tauhid Rububiyah, dengan demikian, adalah keyakinan untuk mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya yang berkaitan dengan makna-makna tersebut.
Para ulama menyimpulkan bahwa esensi dari Tauhid Rububiyah berdiri di atas tiga pilar utama yang tak terpisahkan. Mengimani ketiganya secara utuh adalah syarat sahnya keimanan terhadap Rububiyah Allah. Ketiga pilar tersebut adalah:
- Al-Khalq (Penciptaan): Keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya Pencipta.
- Al-Mulk (Kepemilikan dan Kekuasaan): Keyakinan bahwa hanya Allah Pemilik dan Penguasa absolut atas segala sesuatu.
- At-Tadbir (Pengaturan): Keyakinan bahwa hanya Allah yang mengatur dan mengurus seluruh alam semesta.
Pilar Pertama: Al-Khalq (Penciptaan)
Pilar pertama dan yang paling mendasar adalah meyakini bahwa Allah adalah Al-Khaliq, satu-satunya Sang Pencipta. Tidak ada pencipta lain selain Dia. Dia menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Alam semesta yang terbentang luas, dari galaksi terjauh hingga partikel terkecil, dari malaikat yang tak terlihat hingga mikroorganisme di dasar lautan, semuanya adalah ciptaan-Nya. Keyakinan ini menafikan adanya pencipta tandingan atau adanya sesuatu yang muncul dengan sendirinya secara kebetulan.
Al-Qur'an berulang kali menekankan hak prerogatif Allah sebagai satu-satunya Pencipta. Ini adalah argumen paling kuat untuk membantah segala bentuk kesyirikan. Allah menantang manusia dan segala sesembahan mereka untuk membuktikan kemampuan menciptakan.
"Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan, maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak akan dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali darinya. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah." (QS. Al-Hajj: 73)
Ayat ini dengan sangat jelas menunjukkan kelemahan mutlak makhluk dan menegaskan bahwa penciptaan adalah domain eksklusif Allah. Bahkan sesuatu yang dianggap paling sepele seperti seekor lalat pun tidak mampu diciptakan oleh selain-Nya. Lebih dari itu, penciptaan Allah bersifat sempurna, penuh hikmah, dan tanpa cacat. Setiap detail dalam ciptaan-Nya menunjukkan kebesaran, ilmu, dan kekuasaan Sang Pencipta.
Pilar Kedua: Al-Mulk (Kepemilikan dan Kekuasaan)
Setelah meyakini Allah sebagai satu-satunya Pencipta, pilar selanjutnya adalah meyakini bahwa Dia juga Al-Malik, satu-satunya Pemilik dan Penguasa absolut. Jika Dia yang menciptakan, maka secara logis Dia-lah yang memiliki. Kepemilikan Allah bersifat hakiki dan mutlak, sedangkan kepemilikan manusia bersifat sementara, terbatas, dan majazi (metaforis). Harta, takhta, dan kekuasaan yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan dari Sang Pemilik Sejati.
Konsekuensi dari keyakinan ini adalah tumbuhnya kesadaran bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Semua yang ada pada diri kita—tubuh, jiwa, keluarga, harta—adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kesadaran ini akan melahirkan sifat rendah hati, menghilangkan kesombongan, dan membuat seseorang mudah untuk bersyukur saat diberi dan bersabar saat diambil kembali. Allah berfirman:
"Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’" (QS. Ali 'Imran: 26)
Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan sejati hanya ada di tangan Allah. Dia-lah yang mengangkat dan menjatuhkan, memuliakan dan menghinakan. Manusia hanya menjalankan skenario yang telah digariskan oleh-Nya. Pengakuan terhadap pilar Al-Mulk ini membersihkan hati dari ketergantungan kepada makhluk dan mengembalikannya hanya kepada Al-Malikul Mulk, Raja di atas segala raja.
Pilar Ketiga: At-Tadbir (Pengaturan)
Pilar ketiga, yang melengkapi pemahaman Rububiyah, adalah keyakinan bahwa Allah adalah Al-Mudabbir, satu-satunya yang mengatur dan mengurus seluruh urusan alam semesta. Setelah menciptakan dan memiliki, Allah tidak membiarkan ciptaan-Nya begitu saja. Dia secara aktif dan terus-menerus mengatur pergerakan planet, silih bergantinya siang dan malam, turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, detak jantung setiap makhluk, hingga rezeki yang diterima oleh seekor semut di lubang yang gelap.
Keteraturan dan harmoni yang kita saksikan di alam semesta adalah bukti nyata adanya Sang Maha Pengatur. Hukum-hukum alam (sunnatullah) yang ditemukan oleh sains, seperti gravitasi, termodinamika, dan proses biologis, sejatinya adalah manifestasi dari tadbir (pengaturan) Allah yang presisi. Tidak ada satu daun pun yang gugur melainkan atas sepengetahuan dan izin-Nya.
"Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang memberimu rezeki dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’" (QS. Yunus: 31)
Ayat ini menyoroti bahwa bahkan kaum musyrikin di zaman Nabi pun mengakui bahwa Allah-lah yang mengatur segala urusan. Namun, pengakuan mereka tidak berlanjut pada pengesaan ibadah. Inilah letak pentingnya memahami Rububiyah secara utuh. Pengaturan Allah mencakup segala aspek, mulai dari yang terbesar seperti peredaran galaksi hingga yang terkecil seperti nasib dan takdir setiap individu. Percaya pada tadbir Allah akan melahirkan ketenangan jiwa dan tawakal, karena seorang hamba tahu bahwa hidupnya berada dalam genggaman Pengatur yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih.
Dalil-Dalil Rububiyah dalam Al-Qur'an dan Fitrah Manusia
Al-Qur'an, sebagai firman Allah, dipenuhi dengan ayat-ayat yang meneguhkan Tauhid Rububiyah. Dalil-dalil ini tidak hanya bersifat doktrinal, tetapi juga mengajak manusia untuk menggunakan akal dan nuraninya untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta (ayat kauniyah) dan dalam diri mereka sendiri.
Argumen Penciptaan dan Keteraturan Alam
Salah satu metode Al-Qur'an yang paling sering digunakan adalah mengajak manusia untuk memperhatikan alam sekitar. Keteraturan, kompleksitas, dan keindahan alam semesta merupakan bukti tak terbantahkan akan adanya Pencipta dan Pengatur Yang Maha Esa.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. Al-Baqarah: 164)
Ayat yang agung ini menyajikan tujuh fenomena alam yang luar biasa. Masing-masing darinya, jika direnungkan secara mendalam, akan mengantarkan akal yang sehat pada kesimpulan bahwa semua ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Pasti ada Dzat yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana di baliknya. Dari siklus air yang menghidupkan bumi hingga angin yang membawa manfaat dan mudarat, semuanya berjalan dalam sebuah sistem yang terkoordinasi secara sempurna, menunjukkan adanya satu Pengatur Tunggal.
Pengakuan Fitrah Manusia
Selain dalil rasional dari alam semesta, Tauhid Rububiyah juga berakar kuat dalam fitrah (disposisi alami) setiap manusia. Jauh di dalam lubuk hati setiap individu, ada sebuah pengakuan bawaan akan adanya kekuatan yang lebih tinggi, Sang Pencipta. Inilah sebabnya mengapa, dalam keadaan terjepit dan putus asa, ketika semua pertolongan duniawi lenyap, manusia secara naluriah akan menengadah ke langit dan berseru kepada Tuhan.
Al-Qur'an mengisahkan tentang perjanjian primordial antara Allah dengan seluruh jiwa manusia sebelum mereka dilahirkan ke dunia.
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’" (QS. Al-A'raf: 172)
Ayat ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap Rububiyah Allah telah tertanam dalam jiwa manusia sejak awal. Tugas para rasul adalah untuk mengingatkan kembali manusia akan perjanjian ini, membangkitkan fitrah mereka yang mungkin telah tertutup oleh debu kelalaian, kesombongan, atau doktrin-doktrin yang keliru. Oleh karena itu, dakwah kepada Tauhid Rububiyah pada hakikatnya adalah seruan untuk kembali kepada jati diri kemanusiaan yang paling asasi. Bahkan orang-orang yang mengaku ateis sekalipun, dalam momen-momen kejujuran batin yang paling dalam, sering kali merasakan kekosongan spiritual yang hanya bisa diisi oleh pengakuan akan adanya Sang Rabb.
Keterkaitan Rububiyah dengan Pilar Tauhid Lainnya
Memahami Tauhid Rububiyah secara terpisah tanpa mengaitkannya dengan pilar tauhid lainnya akan menghasilkan pemahaman yang pincang dan tidak lengkap. Rububiyah adalah fondasi, namun bangunan iman tidak akan tegak tanpanya dan pilar-pilar lainnya.
Rububiyah sebagai Pintu Menuju Uluhiyah
Hubungan antara Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah (mengesakan Allah dalam ibadah) adalah hubungan sebab-akibat yang sangat logis. Tauhid Rububiyah adalah pengakuan (ilmu dan keyakinan), sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah konsekuensi dari pengakuan tersebut dalam bentuk tindakan (amal dan ibadah).
Logikanya sederhana: Jika kita telah meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah yang menciptakan kita, memberi kita rezeki, menjaga kita, mengatur hidup dan mati kita, serta menguasai seluruh alam semesta, maka kepada siapa lagi kita harus menyembah, berdoa, meminta pertolongan, bertawakal, dan menyerahkan diri? Mengarahkan ibadah kepada selain Allah—baik itu kepada nabi, orang saleh, malaikat, jin, atau benda mati—adalah sebuah tindakan yang tidak rasional dan merupakan kezaliman yang paling besar. Bagaimana mungkin kita menyembah sesuatu yang sama-sama diciptakan, tidak memiliki kuasa, dan tidak dapat memberi manfaat atau mudarat?
Inilah inti dakwah seluruh nabi dan rasul. Mereka tidak diutus kepada kaum yang sama sekali tidak mengenal Tuhan. Sebagian besar dari kaum yang mereka dakwahi, seperti kaum musyrikin Quraisy, telah mengakui Tauhid Rububiyah Allah. Mereka percaya Allah adalah Pencipta langit dan bumi. Namun, pengakuan ini tidak mereka wujudkan dalam pengesaan ibadah. Mereka masih menyembah berhala-berhala dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah mengkritik inkonsistensi mereka:
"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah,’ tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Luqman: 25)
Mereka mengakui Rububiyah, tetapi mengingkari konsekuensinya, yaitu Uluhiyah. Oleh karena itu, sekadar pengakuan terhadap Tauhid Rububiyah tidaklah cukup untuk memasukkan seseorang ke dalam Islam hingga ia juga merealisasikan Tauhid Uluhiyah, yaitu dengan mempersembahkan seluruh ibadahnya hanya untuk Allah semata. Rububiyah adalah dalil, dan Uluhiyah adalah tuntutannya.
Rububiyah dan Kaitannya dengan Asma' wa Sifat
Tauhid Asma’ wa Sifat adalah keyakinan untuk menetapkan bagi Allah nama-nama dan sifat-sifat yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur'an atau melalui lisan Rasul-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna), ta'thil (menolak), takyif (menanyakan bagaimana), atau tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Hubungan antara Rububiyah dengan Asma’ wa Sifat sangat erat. Perbuatan-perbuatan Rububiyah Allah (mencipta, menguasai, mengatur) merupakan manifestasi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang agung.
- Perbuatan-Nya menciptakan (Al-Khalq) adalah bukti bahwa Dia memiliki nama Al-Khaliq (Maha Pencipta), Al-Bari' (Maha Mengadakan), dan Al-Mushawwir (Maha Membentuk Rupa), serta memiliki sifat Ilmu, Qudrah (Kekuasaan), dan Hikmah (Kebijaksanaan).
- Perbuatan-Nya menguasai (Al-Mulk) adalah bukti bahwa Dia memiliki nama Al-Malik (Maha Raja), Al-Malik (Maha Memiliki), dan Al-Qahhar (Maha Memaksa), serta memiliki sifat Keagungan dan Kekayaan Mutlak.
- Perbuatan-Nya mengatur (At-Tadbir) adalah bukti bahwa Dia memiliki nama Al-Mudabbir (Maha Mengatur), Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), Al-Hafizh (Maha Memelihara), dan Al-Muhyi Al-Mumit (Maha Menghidupkan dan Mematikan), serta memiliki sifat Pengasih, Penyayang, dan Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Dengan demikian, merenungi alam semesta dan segala fenomena di dalamnya (domain Rububiyah) adalah cara yang efektif untuk mengenal dan mengagungkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Semakin dalam pemahaman seseorang tentang keajaiban ciptaan, semakin ia akan takjub pada kehebatan sifat-sifat Sang Pencipta.
Implikasi dan Buah Iman kepada Tauhid Rububiyah
Keimanan yang benar terhadap Tauhid Rububiyah bukanlah sekadar konsep teologis yang pasif. Ia adalah sebuah keyakinan hidup yang menghasilkan buah-buah manis dalam jiwa dan perilaku seorang mukmin. Implikasinya merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan, mengubah cara pandang seseorang terhadap dunia, dirinya sendiri, dan Tuhannya.
Melahirkan Ketenangan Jiwa dan Tawakal
Orang yang benar-benar meyakini bahwa segala urusan di alam semesta ini berada dalam genggaman dan pengaturan Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih, hatinya akan dipenuhi ketenangan. Ia tidak akan dilanda kecemasan yang berlebihan terhadap masa depan, tidak akan panik menghadapi kesulitan, dan tidak akan putus asa saat ditimpa musibah. Ia sadar bahwa apa yang menimpanya adalah bagian dari skenario besar dari Sang Sutradara Agung yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Keyakinan ini melahirkan sikap tawakal yang sejati: berusaha sekuat tenaga dengan anggota badan, namun menyandarkan hasil sepenuhnya kepada Allah di dalam hati.
Menumbuhkan Rasa Syukur yang Mendalam
Dengan memahami Rububiyah, seseorang akan menyadari bahwa setiap nikmat yang ia rasakan, sekecil apa pun, berasal dari Allah, Sang Rabb. Helaan napas, detak jantung, kesehatan, makanan yang tersaji, keluarga yang menyayangi, hingga hidayah iman dan Islam, semuanya adalah anugerah dari-Nya. Kesadaran ini akan memupuk rasa syukur yang tulus dan berkelanjutan, bukan hanya di lisan, tetapi juga di hati dan diwujudkan melalui ketaatan. Ia tidak akan pernah merasa berhak atas nikmat, melainkan selalu merasa berutang budi kepada Sang Pemberi Nikmat.
Menghilangkan Kesombongan dan Keangkuhan
Akar dari kesombongan adalah perasaan memiliki kekuatan, kehebatan, atau kelebihan yang berasal dari diri sendiri. Tauhid Rububiyah mencabut akar ini hingga ke dasarnya. Seorang mukmin yang paham Rububiyah tahu bahwa kecerdasannya, kekuatannya, hartanya, dan jabatannya adalah murni pemberian dan titipan dari Allah, Sang Pemilik Mutlak. Kapan pun Allah berkehendak, semua itu bisa dicabut dalam sekejap. Kesadaran ini membuatnya senantiasa rendah hati di hadapan Allah dan di hadapan sesama makhluk, karena ia tahu hakikat dirinya yang fakir dan lemah di hadapan Rabb-nya yang Maha Kaya dan Maha Kuat.
Membangun Sikap Optimis dan Tidak Mudah Putus Asa
Keyakinan pada Rabb yang mengatur segala urusan menanamkan optimisme yang kuat. Ketika menghadapi kegagalan atau rintangan, ia tidak akan melihatnya sebagai akhir dari segalanya. Ia yakin bahwa di balik setiap kesulitan, ada kemudahan dan hikmah yang telah disiapkan oleh Allah. Ia percaya pada kuasa Allah untuk mengubah keadaan. Keyakinan ini memberinya kekuatan untuk bangkit kembali, mencoba lagi, dan terus berjuang dengan harapan akan pertolongan dan rahmat dari Rabb-nya.
Penyimpangan dalam Tauhid Rububiyah
Meskipun pengakuan terhadap Rububiyah adalah fitrah, sejarah manusia menunjukkan adanya berbagai bentuk penyimpangan dari tauhid ini. Penyimpangan ini bisa berupa penolakan total atau pengakuan yang tidak sempurna yang mengarah pada kesyirikan.
Ateisme: Penolakan Total terhadap Sang Pencipta
Bentuk penyimpangan paling ekstrem adalah ateisme, yaitu keyakinan bahwa alam semesta ada dengan sendirinya tanpa pencipta. Paham ini bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia. Akal sehat menyatakan bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, dan setiap karya pasti ada pembuatnya. Mempercayai bahwa alam semesta yang begitu kompleks, teratur, dan penuh desain ini muncul dari ketiadaan secara kebetulan adalah seperti mempercayai sebuah kamus tebal tercipta dari ledakan di sebuah percetakan. Al-Qur'an menantang logika ini:
"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." (QS. At-Tur: 35-36)
Ayat ini menyajikan tiga kemungkinan yang mustahil secara logis, menyisakan satu-satunya kemungkinan yang rasional: mereka diciptakan oleh Sang Pencipta, yaitu Allah. Ateisme modern sering kali berlindung di balik sains, padahal semakin dalam sains menggali rahasia alam, semakin terlihat betapa luar biasanya keteraturan dan kerumitan desain di dalamnya, yang seharusnya semakin menguatkan iman akan adanya Sang Desainer Agung.
Syirik dalam Rububiyah
Syirik dalam Rububiyah berarti meyakini adanya sekutu bagi Allah dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Meskipun ini lebih jarang terjadi dibandingkan syirik dalam Uluhiyah, bentuk-bentuknya tetap ada sepanjang sejarah. Contohnya antara lain:
- Meyakini ada pencipta selain Allah: Seperti kepercayaan Majusi (Zoroastrianisme) yang meyakini adanya dua tuhan: tuhan cahaya (kebaikan) yang menciptakan kebaikan, dan tuhan kegelapan (kejahatan) yang menciptakan keburukan.
- Meyakini ada yang mengatur alam bersama Allah: Seperti kepercayaan sebagian kaum sufi ekstrem yang meyakini bahwa para wali memiliki kekuasaan untuk mengatur sebagian alam semesta (wali qutub). Atau kepercayaan pada dewa-dewa yang memiliki spesialisasi tertentu (dewa laut, dewa angin, dewi kesuburan).
- Meyakini makhluk memiliki kekuatan independen: Seperti meyakini bahwa seorang dukun, jimat, atau benda keramat memiliki kekuatan sendiri untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudarat, terlepas dari kehendak Allah. Ini adalah bentuk syirik yang samar namun berbahaya.
Islam dengan tegas menolak segala bentuk syirik dalam Rububiyah. Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Pengatur tanpa ada satu pun sekutu bagi-Nya.
Kesimpulan: Fondasi yang Kokoh untuk Kehidupan
Tauhid Rububiyah adalah samudra ilmu dan hikmah yang tak bertepi. Ia adalah titik awal perjalanan seorang hamba dalam mengenal Tuhannya. Dengan memahami dan meyakini sepenuh hati bahwa hanya Allah-lah Sang Pencipta, Pemilik, dan Pengatur semesta, seorang muslim telah meletakkan fondasi yang paling kokoh bagi bangunan imannya. Pengakuan ini, jika direnungkan secara jujur dan mendalam, secara niscaya akan menuntunnya pada kesimpulan logis untuk hanya menyembah, berserah diri, dan bergantung kepada-Nya semata.
Dalam dunia modern yang penuh dengan ketidakpastian, kecemasan, dan materialisme, kembali kepada pemahaman Tauhid Rububiyah adalah obat penawar yang paling manjur. Ia mengembalikan perspektif kita ke tempat yang semestinya, menyadarkan kita akan hakikat diri yang kecil di hadapan kebesaran Rabb, dan mengisi hati dengan ketenangan, rasa syukur, serta optimisme yang bersumber dari keyakinan pada Pengatur segala urusan. Maka, marilah kita senantiasa merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya di sekeliling kita, agar iman kita kepada Rububiyah-Nya semakin kokoh, dan dari kekokohan itu, tumbuhlah pohon ibadah yang buahnya dapat kita petik di dunia dan di akhirat.