Dalam khazanah kebudayaan dan keilmuan Nusantara, terdapat berbagai sistem penulisan yang menjadi saksi bisu perkembangan peradaban. Salah satu yang menarik dan memiliki kekayaan tersendiri adalah aksara Pegon. Istilah "rujukan Pegon" merujuk pada sumber-sumber, referensi, atau literatur yang ditulis menggunakan aksara Pegon. Aksara ini merupakan adaptasi dari aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Sunda pada masa lampau, terutama pada masa kesultanan dan masa kolonial awal.
Sejarah penggunaan aksara Pegon tidak terlepas dari pengaruh penyebaran agama Islam di tanah Sunda. Aksara Arab yang merupakan media utama dalam teks-teks keagamaan, kemudian diadaptasi dengan menambahkan beberapa modifikasi untuk mengakomodasi fonem-fonem khas bahasa Sunda yang tidak terdapat dalam bahasa Arab. Transformasi ini menjadi jembatan penting bagi masyarakat Sunda untuk mengakses dan memahami ajaran agama serta berbagai ilmu pengetahuan lainnya melalui bahasa ibu mereka.
Aksara Pegon, yang juga dikenal sebagai Jawi Sunda atau Arab Sunda, sejatinya adalah sebuah abjad Arab yang diperkaya dengan diakritik (harakat tambahan) dan penyesuaian huruf untuk melambangkan bunyi-bunyi dalam bahasa Sunda. Beberapa huruf ditambahkan titik di atas atau di bawahnya untuk membedakan bunyi. Misalnya, huruf 'ca' dalam bahasa Sunda yang tidak ada dalam bahasa Arab, bisa dilambangkan dengan penambahan titik pada huruf jim (ج). Demikian pula huruf 'nga' (ڠ) yang merupakan penyesuaian dari huruf ghain (غ).
Penggunaan Pegon mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, sebelum aksara Latin mulai mendominasi dunia tulis-menulis. Rujukan Pegon pada masa itu mencakup berbagai jenis naskah, mulai dari kitab-kitab keagamaan seperti Al-Qur'an dan kitab-kitab fikih, karya sastra, hingga catatan-catatan tentang pengetahuan lokal seperti pengobatan tradisional, hukum adat, dan astronomi.
Meskipun kini aksara Latin lebih umum digunakan, rujukan Pegon memiliki peran krusial dalam menjaga kelestarian warisan budaya Sunda. Naskah-naskah kuno yang ditulis dalam Pegon menyimpan khazanah pengetahuan, nilai-nilai luhur, dan kearifan lokal yang mungkin telah terlupakan. Mempelajari dan menginterpretasikan kembali teks-teks dalam Pegon membuka pintu untuk memahami cara pandang leluhur Sunda, sistem kepercayaan mereka, serta perkembangan intelektual masyarakat Sunda di masa lalu.
Penelitian terhadap rujukan Pegon memungkinkan para akademisi, budayawan, dan peneliti untuk merekonstruksi sejarah linguistik, sastra, dan sosial masyarakat Sunda. Banyak cerita rakyat, legenda, dan syair yang hanya bisa diakses melalui naskah-naskah Pegon. Oleh karena itu, upaya revitalisasi aksara Pegon melalui pembelajaran dan digitalisasi naskah-naskah menjadi sangat penting.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengakses rujukan Pegon adalah minimnya generasi muda yang menguasai aksara ini. Seiring berjalannya waktu dan perubahan sistem pendidikan, pengajaran Pegon semakin jarang ditemukan. Hal ini menciptakan kesenjangan antara generasi tua yang masih bisa membaca Pegon dengan generasi muda yang tidak mengenalnya.
Namun, di tengah tantangan tersebut, muncul pula peluang baru. Dengan kemajuan teknologi, inisiatif-inisiatif digitalisasi naskah Pegon semakin marak. Berbagai komunitas, lembaga arsip, dan universitas mulai mengumpulkan, merawat, dan membuat salinan digital dari manuskrip-manuskrip Pegon. Selain itu, kursus-kursus singkat dan lokakarya mengenai aksara Pegon mulai bermunculan, baik secara daring maupun luring, untuk memperkenalkan kembali aksara ini kepada publik.
Studi tentang rujukan Pegon juga terus berkembang. Para peneliti terus menggali makna mendalam dari teks-teks tersebut, mengaitkannya dengan konteks sejarah dan budaya yang lebih luas. Harapannya, pemahaman yang lebih baik terhadap Pegon dapat mendorong apresiasi yang lebih besar terhadap kekayaan intelektual dan budaya Sunda.
Rujukan Pegon bukan sekadar sekumpulan tulisan kuno, melainkan jendela menuju masa lalu masyarakat Sunda. Ia adalah bukti kemampuan adaptasi budaya dan intelektual dalam menerima serta mengolah pengaruh dari luar untuk kepentingan pengembangan diri. Melalui kajian dan pelestarian aksara Pegon, kita tidak hanya menyelamatkan warisan budaya, tetapi juga membuka kembali percakapan dengan leluhur kita, mempelajari kebijaksanaan mereka, dan mengintegrasikannya dalam kehidupan masa kini untuk membentuk identitas budaya Sunda yang lebih kaya dan berakar.