Peristiwa pembunuhan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, merupakan salah satu tragedi terbesar dalam sejarah awal Islam. Beliau, yang merupakan Khalifah keempat dalam urutan Khulafaur Rasyidin, meninggal dunia akibat tikaman pedang yang berlumuran racun saat sedang menunaikan salat Subuh di Masjid Agung Kufah. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 17 Ramadan, menandai berakhirnya masa kepemimpinan beliau yang penuh gejolak dan tantangan politik.
Masa kekhalifahan Sayyidina Ali ditandai oleh serangkaian konflik internal yang dikenal sebagai Fitnah Akbar. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, Ali diangkat menjadi pemimpin. Namun, ketidakpuasan beberapa pihak, terutama mengenai penanganan isu balas dendam atas kematian Utsman, memicu perpecahan yang mendalam. Pertempuran Jamal dan Perang Shiffin adalah babak-babak penting yang menguras energi dan sumber daya umat saat itu. Meskipun Ali berusaha keras menjaga persatuan, polarisasi politik semakin tajam.
Keputusan untuk membunuh Khalifah tidak datang dari satu kelompok tunggal, melainkan hasil konspirasi yang melibatkan kelompok ekstremis yang menolak semua bentuk kompromi politik. Kelompok ini dikenal sebagai Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa baik Ali, Muawiyah, maupun Amr bin Ash—tokoh sentral dalam konflik yang terjadi—semuanya telah keluar dari ajaran Islam karena menerima arbitrase (tahkim). Bagi mereka, jalan satu-satunya adalah membersihkan kepemimpinan umat dengan cara kekerasan.
Ali, yang dikenal dengan keberanian dan kebijaksanaannya, menjadi target utama karena dianggap sebagai figur sentral yang mempersatukan kembali umat. Para konspirator Khawarij bersepakat untuk menyerang tiga pemimpin utama secara bersamaan pada waktu yang sama, berharap kekacauan akan menguntungkan tujuan mereka. Tiga orang ditunjuk untuk tugas spesifik: Abdurrahman bin Muljam ditugaskan untuk membunuh Ali, Barrad bin Abir untuk membunuh Muawiyah, dan Amr bin Bakr untuk membunuh Amr bin Ash.
Kisah menjelang kematian Sayyidina Ali penuh dengan firasat. Beliau dilaporkan seringkali menyampaikan petunjuk terkait kematiannya, seolah-olah telah mengetahui takdirnya. Pada pagi hari yang menentukan itu, Sayyidina Ali berjalan menuju masjid untuk memimpin salat Subuh. Ibnu Muljam telah menanti di salah satu pintu masjid, menyembunyikan pedang yang telah ia racuni secara hati-hati.
Ketika Ali sujud dalam rakaat pertama salat, Ibnu Muljam melancarkan serangannya. Serangan itu fatal. Racun yang digunakan sangat kuat, dan meskipun Ali sempat dibawa pulang dan dirawat, luka tersebut tidak dapat disembuhkan. Dunia Islam kehilangan salah satu tokoh paling berpengaruh dan dicintai, penerima ilmu langsung dari Rasulullah SAW, yang dikenal dengan gerbang ilmu tersebut.
Kematian Sayyidina Ali mengakhiri periode Khulafaur Rasyidin dan secara efektif membuka era baru dalam sejarah politik Islam. Pembunuhan ini tidak hanya menjadi luka historis yang mendalam tetapi juga menjadi titik tolak bagi terbentuknya sekte-sekte keagamaan lebih lanjut. Warisan Sayyidina Ali tetap hidup melalui ajaran-ajaran hikmahnya yang tertuang dalam Nahj al-Balaghah, yang terus dipelajari hingga kini sebagai sumber kebijaksanaan dan keadilan. Kesyahidan Sayyidina Ali menjadi pengingat pahit akan bahaya ekstremisme dan perpecahan internal dalam tubuh umat.