Dalam setiap percakapan, tulisan, dan doa kaum Muslimin di seluruh dunia, nama Allah senantiasa diiringi dengan sebuah frasa agung yang penuh hormat: Subhanahu wa Ta'ala. Frasa ini bukan sekadar pelengkap kalimat, melainkan sebuah pilar akidah, sebuah deklarasi teologis yang memisahkan Sang Pencipta dari ciptaan-Nya. Seiring berjalannya waktu, terutama di era digital, frasa ini seringkali diringkas menjadi sebuah simbol kaligrafi yang elegan: ﷺ. Simbol ini, yang tertera sebagai Arabic Ligature Allah Jalla Jalaluhu, telah menjadi penanda visual yang lazim ditemukan dalam teks-teks keislaman. Namun, di balik kemudahan dan keindahan visualnya, tersembunyi makna yang sangat dalam, sejarah yang kaya, serta perdebatan yang menarik mengenai penggunaannya. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek dari frasa dan simbol mulia ini, dari akar teologisnya hingga manifestasinya dalam seni dan teknologi modern.
Bab 1: Dekonstruksi Makna Teologis yang Fundamental
Untuk memahami pentingnya frasa Subhanahu wa Ta'ala, kita harus membedahnya menjadi dua komponen utama: Subhanahu dan Ta'ala. Masing-masing kata membawa bobot teologis yang fundamental dalam konsep ketuhanan Islam, yang dikenal sebagai Tauhid. Tauhid adalah keyakinan mutlak akan keesaan Allah, yang tidak hanya esa dalam jumlah, tetapi juga esa dalam kesempurnaan, sifat, dan perbuatan-Nya.
1.1. Subhanahu: Konsep Tanzih, Kesucian Absolut
Kata Subhanahu berasal dari akar kata s-b-h (س-ب-ح), yang memiliki arti dasar "berenang" atau "bergerak cepat". Dari sini, makna kiasannya berkembang menjadi "menjauhkan diri dari". Dalam konteks teologis, Subhanahu adalah bentuk masdar yang berarti "penyucian" atau "pemuliaan". Ketika kita mengatakan "Subhanahu," kita secara aktif menyatakan bahwa Allah Maha Suci dan jauh dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, atau keserupaan dengan makhluk-Nya. Konsep ini dalam ilmu akidah disebut Tanzih.
Tanzih adalah doktrin yang menegaskan transendensi mutlak Allah. Artinya, Allah tidak dapat disamakan dengan apa pun yang dapat dijangkau oleh panca indera, imajinasi, atau pemikiran manusia. Dia tidak memiliki tubuh, tidak terikat oleh ruang dan waktu, tidak memiliki permulaan atau akhir, tidak lelah, tidak tidur, dan tidak memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti marah dalam artian emosi, sedih, atau gembira yang bergantung pada kondisi eksternal. Sifat-sifat ini, jika dinisbatkan kepada Allah, akan menjadi bentuk penyerupaan (tasybih) yang dilarang keras dalam Islam. Oleh karena itu, mengucapkan Subhanahu adalah sebuah tindakan aktif untuk membersihkan pikiran dan keyakinan kita dari segala bentuk antropomorfisme atau penyekutuan terselubung. Ini adalah pengakuan bahwa keagungan-Nya berada di luar jangkauan pemahaman kita yang terbatas.
1.2. Ta'ala: Konsep 'Uluww, Ketinggian yang Tak Tertandingi
Komponen kedua, Ta'ala, berasal dari akar kata '-l-w (ع-ل-و), yang berarti "tinggi", "luhur", atau "agung". Ta'ala adalah fi'il madhi (kata kerja lampau) yang bermakna "Dia Maha Tinggi". Ketinggian yang dimaksud di sini bukanlah ketinggian fisik atau spasial, seperti berada di atas langit secara harfiah. Sebaliknya, ini adalah konsep ketinggian dalam status, kekuasaan, dan esensi yang disebut 'Uluww.
'Uluww Allah mencakup beberapa aspek. Pertama, 'Uluww al-Qadr, yaitu ketinggian dalam hal kedudukan, martabat, dan sifat. Sifat-sifat-Nya adalah yang paling sempurna dan tidak ada sifat makhluk yang dapat menandingi-Nya. Kedua, 'Uluww al-Qahr, yaitu ketinggian dalam hal kekuasaan dan penaklukan. Dia Maha Menguasai segala sesuatu, dan tidak ada satu pun yang bisa lepas dari kehendak dan kendali-Nya. Ketiga, 'Uluww al-Dzat, yaitu ketinggian Dzat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya, terpisah dan tidak menyatu dengan mereka. Mengucapkan Ta'ala adalah sebuah afirmasi bahwa Allah adalah sumber segala otoritas, kekuatan, dan keagungan. Tidak ada yang setara dengan-Nya, apalagi lebih tinggi dari-Nya. Ini adalah penolakan terhadap segala bentuk deifikasi makhluk, baik itu manusia, malaikat, atau benda alam.
1.3. Gabungan Frasa sebagai Pilar Tauhid
Ketika digabungkan, Subhanahu wa Ta'ala (سبحانه وتعالى) menjadi sebuah deklarasi Tauhid yang komprehensif. "Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia." Frasa ini secara ringkas menegaskan dua pilar utama dalam mengenal Allah: menafikan segala kekurangan dari-Nya (Tanzih) dan menetapkan segala kesempurnaan bagi-Nya (melalui konsep 'Uluww). Ini adalah inti dari apa yang diajarkan dalam banyak ayat Al-Qur'an. Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surah Al-Isra' ayat 43:
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يَقُولُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا
"Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan, dengan ketinggian yang setinggi-tingginya."
Ayat ini secara eksplisit menggunakan kedua kata tersebut untuk membantah klaim kaum musyrikin yang menyekutukan Allah. Demikian pula, frasa ini menjadi bantahan terhadap keyakinan-keyakinan lain yang mencoba memanusiakan Tuhan atau merendahkan status-Nya. Dalam tradisi Kristen, misalnya, konsep Trinitas dan penyebutan Tuhan sebagai "Bapa" dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak bagi keagungan Allah menurut perspektif Islam. Frasa Subhanahu wa Ta'ala berfungsi sebagai koreksi teologis instan setiap kali nama-Nya disebut.
Bab 2: Jejak Sejarah dan Evolusi Penggunaan
Penggunaan frasa pujian setelah menyebut nama Allah memiliki akar yang sangat kuat dalam tradisi Islam, dimulai dari zaman Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Meskipun simbol ﷺ adalah inovasi tipografi yang lebih modern, semangat di baliknya—yaitu untuk senantiasa memuliakan Asma Allah—adalah praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad.
2.1. Akar Penggunaan di Era Klasik
Frasa Subhanahu wa Ta'ala dan variasi lainnya seperti 'Azza wa Jalla (Maha Perkasa dan Maha Agung) atau Jalla Jalaluhu (Maha Agung Keagungan-Nya) ditemukan secara melimpah dalam Al-Qur'an dan Hadits. Para sahabat Nabi, ketika meriwayatkan sabda beliau atau berbicara tentang Allah, secara alami akan menyisipkan frasa-frasa pujian ini. Ini bukan hanya kebiasaan linguistik, tetapi manifestasi dari adab (etika) yang mendalam terhadap Sang Pencipta.
Dalam tradisi penulisan manuskrip Islam, para juru tulis (khattat) memberikan perhatian khusus pada penulisan nama Allah dan frasa-frasa pujian yang menyertainya. Seringkali, nama "Allah" ditulis dengan tinta yang berbeda, biasanya merah atau emas, dan frasa Subhanahu wa Ta'ala ditulis lengkap dengan gaya kaligrafi yang indah. Tidak ada penyingkatan atau simbol. Setiap penyebutan adalah kesempatan untuk berdzikir dan menunjukkan penghormatan melalui seni tulis. Para ulama klasik dalam kitab-kitab mereka, mulai dari kitab hadits, tafsir, hingga fiqih, secara konsisten menuliskan frasa ini secara utuh. Hal ini dianggap sebagai bagian dari keberkahan (barakah) dalam menulis dan sebagai bentuk pengamalan langsung dari ajaran untuk senantiasa mengagungkan Allah.
2.2. Transisi ke Era Cetak dan Tipografi
Munculnya teknologi percetakan pada abad ke-15 dan penyebarannya ke dunia Islam beberapa abad kemudian membawa tantangan baru. Efisiensi ruang dan biaya menjadi pertimbangan penting. Menulis frasa pujian secara lengkap setiap kali nama Allah atau Nabi Muhammad disebut akan memakan banyak ruang pada halaman cetak dan meningkatkan biaya produksi. Di sinilah ide penyingkatan mulai muncul. Awalnya, penyingkatan dilakukan dengan menggunakan singkatan sederhana, mirip dengan bagaimana "SAW" digunakan untuk Sallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Namun, untuk menjaga estetika dan rasa hormat, para tipografer Arab mulai merancang ligatur—sebuah glif tunggal yang menggabungkan beberapa huruf atau kata. Ligatur untuk Sallallahu 'Alaihi wa Sallam (ﷺ) dan Subhanahu wa Ta'ala (seperti yang kita kenal sekarang, meskipun variasinya ada) diciptakan untuk tujuan ini. Simbol ini memungkinkan teks tetap ringkas tanpa mengorbankan—setidaknya secara visual—penghormatan yang terkandung dalam frasa tersebut. Ia menjadi kompromi antara kesakralan tradisi dan kepraktisan modernitas. Simbol ini menggabungkan keindahan kaligrafi dengan fungsi tipografi yang efisien.
2.3. Era Digital dan Standarisasi Unicode
Revolusi digital membawa tantangan standardisasi. Agar komputer di seluruh dunia dapat menampilkan teks Arab secara konsisten, diperlukan sebuah standar pengkodean karakter. Konsorsium Unicode mengambil peran ini. Mereka mengalokasikan titik kode unik untuk setiap karakter dari berbagai bahasa, termasuk simbol-simbol khusus dalam tradisi Islam.
Simbol untuk Subhanahu wa Ta'ala secara resmi diberi kode titik U+FDFB dalam standar Unicode, dengan nama resmi "ARABIC LIGATURE ALLAH JALLA JALALUHU". Meskipun nama resminya merujuk pada frasa lain (Jalla Jalaluhu), dalam praktiknya, simbol ﷺ ini secara luas diadopsi dan dipahami oleh pengguna sebagai representasi dari Subhanahu wa Ta'ala, dan terkadang juga untuk frasa pujian lainnya kepada Allah. Standardisasi ini memungkinkan simbol tersebut untuk dengan mudah diketik, dikirim, dan ditampilkan di berbagai perangkat, dari komputer desktop hingga ponsel pintar, memastikan kelestariannya di era digital. Namun, kemudahan ini juga memicu perdebatan baru mengenai kepantasan penggunaannya, yang akan kita bahas lebih lanjut.
Bab 3: Simbol ﷺ dari Perspektif Seni dan Teknologi
Simbol ﷺ bukan hanya sekadar karakter tipografi; ia adalah perpaduan antara seni kaligrafi Islam yang agung dan teknologi pengkodean modern. Memahaminya dari kedua perspektif ini membuka wawasan tentang bagaimana tradisi beradaptasi dengan perubahan zaman.
3.1. Estetika Kaligrafi dalam Sebuah Simbol
Kaligrafi Islam (khat) dianggap sebagai salah satu bentuk seni tertinggi dalam peradaban Islam. Ini karena kaligrafi menjadi medium untuk menuliskan firman Allah (Al-Qur'an) dengan cara yang paling indah dan terhormat. Simbol ﷺ, dalam bentuknya yang paling umum, adalah miniatur dari seni ini. Ia dirancang untuk menjadi representasi visual yang ringkas namun tetap mempertahankan keanggunan kaligrafi Arab.
Desain simbol ini biasanya mengambil inspirasi dari gaya kaligrafi Naskh atau Thuluth, yang dikenal dengan kejelasan dan keindahannya. Lekukan huruf, ketebalan garis, dan keseimbangan komposisi dalam satu glif kecil ini adalah hasil dari prinsip-prinsip desain yang telah diasah selama berabad-abad oleh para master kaligrafer. Meskipun ukurannya kecil, simbol ini mampu membangkitkan rasa hormat dan keindahan yang sama dengan frasa lengkap yang ditulis tangan. Dalam banyak fon digital modern, desainer fon memberikan perhatian khusus untuk merancang simbol ﷺ agar serasi dengan gaya keseluruhan fon, baik itu fon klasik maupun modern.
3.2. Aspek Teknis: Unicode dan Rendering Fon
Seperti yang telah disebutkan, simbol ﷺ memiliki kode titik U+FDFB. Keberadaannya dalam standar Unicode memastikan interoperabilitas global. Ketika Anda mengetik simbol ini, komputer sebenarnya hanya mengirimkan kode U+FDFB. Tugas untuk menampilkan kode ini sebagai gambar visual yang kita lihat di layar jatuh pada sistem operasi dan aplikasi melalui apa yang disebut "proses rendering fon".
Di sinilah tantangan teknis bisa muncul. Jika sebuah perangkat tidak memiliki fon yang mengandung glif untuk U+FDFB, maka simbol tersebut tidak akan ditampilkan dengan benar. Pengguna mungkin akan melihat kotak kosong (disebut "tofu"), tanda tanya, atau simbol pengganti lainnya. Inilah sebabnya mengapa di masa lalu, pada sistem operasi atau peramban yang lebih tua, simbol-simbol seperti ini seringkali "rusak". Namun, dengan semakin canggihnya sistem operasi modern (seperti Windows, macOS, Android, dan iOS) yang menyertakan fon sistem yang komprehensif, masalah ini sudah jauh berkurang. Fon seperti Times New Roman, Arial, Noto Naskh Arabic, dan banyak lainnya kini telah menyertakan desain yang indah untuk simbol ﷺ, memastikan ia tampil dengan baik di hampir semua platform.
3.3. Variasi Desain dan Penggunaannya dalam Desain Grafis
Di luar konteks teks berjalan, simbol ﷺ juga sering digunakan sebagai elemen dekoratif dalam desain grafis Islami. Para desainer seringkali tidak terbatas pada versi standar yang ada di fon. Mereka membuat versi kustom dari simbol ini dalam berbagai gaya kaligrafi, seperti Diwani yang artistik dan mengalir, atau Kufi yang geometris dan kaku.
Dalam poster, sampul buku, atau konten media sosial, simbol ini dapat diperbesar, diberi warna, atau dihiasi dengan ornamen floral (arabesque) untuk menjadi titik fokus visual. Penggunaannya dalam konteks ini tidak lagi murni fungsional sebagai penyingkat, melainkan sebagai pernyataan artistik yang merayakan keagungan nama Allah. Ia menjadi jembatan visual yang menghubungkan teks digital yang modern dengan warisan seni kaligrafi Islam yang kaya dan abadi.
Bab 4: Penggunaan Kontemporer dan Perdebatan Etis
Kemudahan yang ditawarkan oleh simbol ﷺ di era digital telah membuatnya sangat populer. Namun, popularitas ini tidak datang tanpa perdebatan. Kalangan ulama dan cendekiawan Muslim memiliki pandangan yang beragam mengenai apakah penggunaan simbol ini sudah mencukupi sebagai bentuk penghormatan.
4.1. Argumen yang Mendukung Penggunaan Simbol
Pihak yang mendukung atau membolehkan penggunaan simbol ini biasanya berargumen dari sisi kepraktisan dan niat. Dalam media dengan ruang terbatas seperti media sosial (misalnya, Twitter dengan batasan karakternya), pesan singkat, atau judul berita, menggunakan simbol menjadi solusi yang sangat efisien. Menulis "Allah ﷺ" jauh lebih ringkas daripada "Allah Subhanahu wa Ta'ala".
Selain itu, mereka berpendapat bahwa yang terpenting adalah niat di dalam hati. Selama seseorang yang menulis atau membaca simbol tersebut memahami bahwa itu adalah representasi dari frasa pujian yang agung, maka tujuan penghormatan telah tercapai. Simbol ini, bagi mereka, berfungsi sebagai pengingat visual (visual cue) untuk secara mental atau lisan mengucapkan frasa lengkapnya. Ia juga membantu menjaga konsistensi dan kejelasan dalam teks, terutama bagi pembaca non-Arab yang mungkin tidak familiar dengan frasa lengkapnya tetapi dapat mengenali simbolnya. Dalam konteks ini, simbol dianggap lebih baik daripada tidak ada pujian sama sekali.
4.2. Argumen yang Menganjurkan Penulisan Lengkap
Di sisi lain, banyak ulama dan Muslim yang lebih konservatif berpendapat bahwa menulis frasa pujian secara lengkap adalah yang paling utama (afdhal). Argumen mereka didasarkan pada beberapa poin. Pertama, dari segi pahala. Menulis setiap huruf dari Al-Qur'an dan dzikir diyakini mendatangkan pahala. Dengan menyingkatnya, seseorang berpotensi kehilangan pahala dari menulis frasa yang mulia tersebut secara utuh.
Kedua, dari segi penghormatan (ta'zhim). Menulis lengkap menunjukkan usaha dan kesungguhan yang lebih besar dalam mengagungkan Allah. Menggunakan singkatan atau simbol dapat dianggap sebagai bentuk kemalasan atau kurangnya penghormatan, seolah-olah menganggap remeh penyebutan nama-Nya. Para ulama salaf (generasi awal Islam) selalu memberikan contoh dengan menuliskan pujian secara lengkap, dan meneladani mereka dianggap sebagai jalan yang lebih aman dan lebih baik.
Ketiga, untuk menghindari ambiguitas. Meskipun simbol ﷺ sudah umum, ia bisa saja tidak dikenali oleh semua orang, terutama mualaf atau mereka yang baru belajar Islam. Menulis lengkap memastikan bahwa pesan penghormatan tersampaikan dengan jelas tanpa keraguan. Oleh karena itu, anjuran utamanya adalah: jika tidak ada halangan atau keterbatasan ruang yang signifikan, tulislah frasa "Subhanahu wa Ta'ala" secara lengkap.
4.3. Mencari Jalan Tengah
Banyak Muslim mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Mereka mungkin menggunakan simbol ﷺ dalam komunikasi informal dan cepat seperti pesan teks atau media sosial, tetapi beralih ke penulisan lengkap dalam konteks yang lebih formal seperti penulisan buku, artikel, email resmi, atau karya ilmiah. Pendekatan ini mencoba menyeimbangkan antara kepraktisan teknologi modern dan adab tradisi klasik.
Pada akhirnya, masalah ini kembali kepada kesadaran dan niat individu. Baik menggunakan simbol maupun tulisan lengkap, yang terpenting adalah hati yang senantiasa hadir dan sadar akan keagungan Allah SWT setiap kali nama-Nya disebut, dibaca, atau ditulis. Simbol hanyalah alat; substansinya terletak pada pengagungan yang tulus dari seorang hamba kepada Rabb-nya.
Bab 5: Signifikansi Spiritual dan Dampaknya bagi Keimanan
Jauh melampaui sekadar frasa teologis atau simbol tipografi, pengucapan dan penulisan Subhanahu wa Ta'ala memiliki dampak spiritual yang mendalam bagi seorang Muslim. Ia adalah praktik dzikir yang membentuk cara pandang dan kondisi batin seseorang.
5.1. Sebagai Bentuk Dzikir dan Ibadah
Setiap kali seorang Muslim menulis atau mengucapkan "Subhanahu wa Ta'ala," ia sedang melakukan sebuah bentuk ibadah yang disebut dzikir (mengingat Allah). Dzikir adalah nyawa dari spiritualitas Islam. Ia menjaga hati agar senantiasa terhubung dengan Sang Pencipta di tengah kesibukan dunia. Dengan membiasakan diri menyertakan pujian ini, seseorang secara konstan diingatkan akan hakikat Allah.
Praktik ini mengubah tindakan duniawi seperti menulis atau berbicara menjadi sebuah ibadah. Sebuah artikel yang sedang ditulis, sebuah email yang dikirim, atau sebuah status media sosial yang diunggah, seketika menjadi bernilai ibadah ketika di dalamnya terkandung pengagungan kepada Allah. Ini adalah cara untuk menanamkan kesadaran ilahiah (muraqabah) dalam setiap aspek kehidupan. Bahkan simbol ﷺ, ketika dilihat, dapat memicu lidah atau hati untuk berdzikir, berfungsi sebagai pengingat otomatis untuk kembali kepada Allah.
5.2. Menanamkan Kerendahan Hati (Tawadhu')
Salah satu penyakit hati yang paling berbahaya adalah kesombongan (kibr). Manusia, dengan segala pencapaian dan pengetahuannya, cenderung lupa akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang lemah dan terbatas. Frasa Subhanahu wa Ta'ala adalah penawarnya. Dengan secara rutin menyatakan bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan dan Maha Tinggi di atas segalanya, kita secara implisit mengakui kelemahan, keterbatasan, dan kehinaan diri kita di hadapan-Nya.
Pengakuan ini menumbuhkan benih kerendahan hati (tawadhu'). Kita diingatkan bahwa segala kekuatan, ilmu, dan kekayaan yang kita miliki hanyalah titipan dari Yang Maha Tinggi. Tidak ada ruang untuk berbangga diri. Semakin sering kita mengagungkan-Nya, semakin kita menyadari posisi kita yang sebenarnya sebagai hamba. Spiritualitas yang sehat dalam Islam dibangun di atas fondasi kerendahan hati ini, dan frasa ini adalah salah satu alat utamanya.
5.3. Memperkuat Akidah dan Melindungi dari Syirik
Di dunia yang penuh dengan ideologi dan keyakinan yang dapat mengikis kemurnian tauhid, frasa Subhanahu wa Ta'ala berfungsi sebagai perisai akidah. Setiap kali kita mengucapkannya, kita memperbarui deklarasi tauhid kita. Kita menegaskan kembali bahwa hanya Allah yang layak disembah, hanya Dia yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, dan segala selain-Nya adalah makhluk.
Ini secara aktif melindungi hati dari syirik (menyekutukan Allah), baik syirik yang jelas (jali) seperti menyembah berhala, maupun syirik yang tersembunyi (khafi) seperti mengagungkan materi, jabatan, atau bahkan diri sendiri secara berlebihan. Dengan terus-menerus menyucikan dan meninggikan Allah, ruang di dalam hati untuk "tuhan-tuhan" lain akan semakin menyempit. Ia adalah pemurnian keyakinan yang dilakukan berulang-ulang, memastikan bahwa fondasi keimanan seorang Muslim tetap kokoh dan lurus.
Kesimpulan: Simbol Kecil dengan Makna Tanpa Batas
Dari sebuah frasa singkat, Subhanahu wa Ta'ala, hingga representasi visualnya dalam simbol ﷺ, kita telah melakukan perjalanan yang melintasi teologi, sejarah, seni, dan teknologi. Kita menemukan bahwa di balik kesederhanaannya, terkandung lautan makna yang menjadi esensi dari keimanan seorang Muslim. Ia adalah pernyataan tentang transendensi mutlak (Tanzih) dan keagungan tak tertandingi ('Uluww) Allah.
Sebagai warisan tradisi, ia menunjukkan adab dan penghormatan para ulama terdahulu. Sebagai produk tipografi, ia merefleksikan bagaimana tradisi beradaptasi dengan modernitas, menyeimbangkan antara kesakralan dan efisiensi. Perdebatan mengenai penggunaannya pun mengajak kita untuk merenungkan kembali esensi dari penghormatan: apakah terletak pada bentuk atau pada substansi niat di dalam hati?
Pada akhirnya, baik ditulis lengkap maupun diringkas dalam sebuah simbol, Subhanahu wa Ta'ala adalah panggilan abadi untuk setiap jiwa. Panggilan untuk berhenti sejenak, mengangkat pandangan dari hiruk pikuk dunia, dan mengakui keagungan Sang Pencipta. Ia adalah dzikir, penawar kesombongan, dan perisai akidah. Simbol ﷺ mungkin hanya sebuah karakter kecil di layar kita, namun ia adalah gerbang menuju pengenalan akan Tuhan yang keagungan-Nya tidak terbatas, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari segala apa yang kita sifatkan.