Mengungkap Misteri: Di Kota Manakah Surah Al-Ikhlas Diturunkan?

Surah Al-Ikhlas, surah ke-112 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang paling dikenal, dihafal, dan dicintai oleh umat Islam di seluruh dunia. Empat ayatnya yang singkat namun padat makna menjadi pilar utama dalam pemahaman konsep Tauhid, yaitu keesaan mutlak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena kedudukannya yang fundamental, surah ini sering disebut sebagai sepertiga Al-Qur'an dari segi bobot teologisnya. Namun, di balik kemasyhurannya, terdapat sebuah diskusi menarik di kalangan para ulama mengenai sejarah penurunannya: di kota manakah Surah Al-Ikhlas diturunkan?

Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan geografis. Mengetahui lokasi dan waktu turunnya sebuah surah—apakah di Mekkah (Makkiyah) atau di Madinah (Madaniyah)—membuka jendela pemahaman yang lebih luas terhadap konteks dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap periode memiliki tantangan, audiens, dan fokus pesan yang berbeda. Jawaban atas pertanyaan ini akan membawa kita menyelami lebih dalam lautan hikmah di balik surah yang agung ini, memahami alasan di balik setiap firman-Nya, dan merasakan relevansi pesannya yang abadi.

Kaligrafi Kufi Geometris dari kata 'Ahad' Sebuah representasi artistik dari kata 'Ahad' yang berarti Yang Maha Esa, inti dari Surah Al-Ikhlas.

Representasi kaligrafi dari konsep 'Ahad' (Keesaan).

Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai pendapat ulama, menelusuri riwayat-riwayat yang menjadi landasan argumen mereka, dan menganalisis karakteristik Surah Al-Ikhlas itu sendiri. Dengan demikian, kita tidak hanya akan menemukan jawaban atas pertanyaan "di mana", tetapi juga memahami "mengapa" dan "bagaimana" surah ini menjadi fondasi akidah setiap Muslim.

Memahami Kategori Makkiyah dan Madaniyah

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan istilah 'Makkiyah' dan 'Madaniyah'. Klasifikasi ini bukan semata-mata berdasarkan letak geografis kota Mekkah atau Madinah. Para ulama Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Al-Qur'an) mendefinisikan keduanya berdasarkan tiga pendekatan, dengan yang paling populer adalah pendekatan waktu (zaman).

Menurut definisi yang paling kuat, surah Makkiyah adalah setiap surah atau ayat yang diturunkan sebelum peristiwa Hijrah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah. Ini berlaku bahkan jika ayat tersebut turun di luar kota Mekkah, misalnya di Tha'if atau saat dalam perjalanan. Sebaliknya, surah Madaniyah adalah setiap surah atau ayat yang diturunkan setelah peristiwa Hijrah, meskipun turunnya di Mekkah, seperti saat Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah) atau Haji Wada'.

Klasifikasi ini sangat penting karena setiap periode memiliki ciri khasnya sendiri:

Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat menempatkan Surah Al-Ikhlas dalam konteks yang tepat. Apakah temanya yang murni tentang Tauhid lebih cocok dengan atmosfer dakwah di Mekkah yang memerangi syirik? Ataukah ia diturunkan untuk menjawab pertanyaan teologis dari Ahlul Kitab di Madinah? Mari kita telusuri bukti-buktinya.

Pendapat Mayoritas: Surah Al-Ikhlas Diturunkan di Mekkah (Makkiyah)

Jumhur ulama, atau mayoritas besar para ahli tafsir dan sejarah Islam, berpendapat bahwa Surah Al-Ikhlas adalah surah Makkiyah. Argumen mereka sangat kokoh, didasarkan pada dua pilar utama: riwayat sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) dan analisis terhadap isi serta gaya bahasanya.

1. Bukti dari Asbabun Nuzul

Riwayat paling kuat yang menjelaskan latar belakang turunnya Surah Al-Ikhlas menunjuk langsung pada sebuah peristiwa di Mekkah. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, bahwa kaum musyrikin Quraisy mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata:

"Wahai Muhammad, nasabkanlah Tuhanmu kepada kami! (Sebutkan silsilah Tuhanmu)."

Pertanyaan ini lahir dari cara berpikir mereka yang materialistis dan politeistis. Mereka terbiasa dengan dewa-dewa yang memiliki keluarga, orang tua, dan anak. Latta, Uzza, dan Manat, berhala-berhala utama mereka, dianggap sebagai "anak-anak perempuan Tuhan". Mereka juga membayangkan tuhan terbuat dari materi berharga seperti emas atau perak. Pertanyaan mereka adalah sebuah tantangan untuk mendeskripsikan Tuhan yang disembah oleh Muhammad dengan standar duniawi mereka. Sebagai jawaban atas pertanyaan inilah, Allah menurunkan Surah Al-Ikhlas: "Qul Huwallahu Ahad..." (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa...).

Riwayat serupa juga datang dari jalur Jabir bin Abdullah, yang mengindikasikan bahwa seorang Arab Badui mengajukan pertanyaan yang sama. Konteks ini sangat khas Mekkah. Pada periode ini, perjuangan utama Rasulullah adalah meluruskan konsep ketuhanan yang paling dasar dari penyimpangan syirik yang sudah mengakar di masyarakat Arab jahiliyah. Pertanyaan tentang "silsilah Tuhan" adalah cerminan langsung dari kebingungan dan penolakan mereka terhadap konsep Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak serupa dengan makhluk apa pun.

Interaksi semacam ini jarang terjadi dengan format yang sama di Madinah. Di Madinah, lawan diskusi teologis lebih sering adalah Ahlul Kitab, yang meskipun memiliki penyimpangan akidah, sudah memiliki konsep dasar tentang Tuhan Yang Esa dari kitab suci mereka.

2. Analisis Tema dan Gaya Bahasa

Karakteristik Surah Al-Ikhlas sendiri berteriak "Makkiyah". Mari kita bedah lebih dalam:

Jika kita membandingkan Surah Al-Ikhlas dengan surah Makkiyah lainnya seperti Al-Kafirun ("Qul ya ayyuhal kafirun...") atau An-Nasr, kita akan menemukan kesamaan dalam kekuatan, keringkasan, dan sifat deklaratifnya. Oleh karena itu, berdasarkan bukti asbabun nuzul yang paling kuat serta analisis konten, pendapat bahwa surah ini Makkiyah menjadi sangat dominan dan meyakinkan.

Pendapat Minoritas: Surah Al-Ikhlas Diturunkan di Madinah (Madaniyah)

Meskipun mayoritas ulama meyakini Surah Al-Ikhlas adalah Makkiyah, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa surah ini adalah Madaniyah. Argumen ini juga memiliki dasar riwayatnya sendiri, yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

1. Riwayat yang Menunjuk ke Konteks Madinah

Beberapa riwayat mengisahkan bahwa yang bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah kaum musyrikin Mekkah, melainkan kaum Yahudi di Madinah. Diceritakan bahwa sekelompok pemuka Yahudi, seperti Ka'ab bin Al-Asyraf dan Huyayy bin Akhtab, datang kepada Nabi dan berkata, "Wahai Muhammad, gambarkanlah Tuhanmu yang mengutusmu itu kepada kami."

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa pertanyaan tersebut datang dari kaum Nasrani dari Najran. Konteks pertanyaannya sedikit berbeda dari kaum musyrikin. Ahlul Kitab bertanya bukan karena mereka tidak mengenal Allah, tetapi karena mereka ingin membandingkan konsep Tuhan dalam Islam dengan teologi mereka sendiri yang telah mengalami distorsi. Misalnya, sebagian kaum Yahudi pada masa itu ada yang meyakini Uzair adalah anak Allah, sementara kaum Nasrani meyakini Isa (Yesus) adalah Anak Allah dan bagian dari Trinitas.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan inilah, menurut pendapat ini, Surah Al-Ikhlas diturunkan. Jika kita perhatikan ayat ketiga, "Lam yalid wa lam yulad" (Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan), ayat ini terasa seperti jawaban yang sangat telak dan langsung terhadap doktrin Kristen tentang "Anak Tuhan" dan "Tuhan Bapa". Interaksi intensif dan perdebatan teologis dengan Ahlul Kitab merupakan ciri khas yang sangat menonjol dari periode dakwah di Madinah.

2. Relevansi dengan Dialog Antar-Agama di Madinah

Di Madinah, Islam tidak lagi hanya berhadapan dengan paganisme Arab, tetapi juga dengan tradisi keagamaan monoteistik yang lebih tua. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang majemuk. Wahyu yang turun pada periode ini sering kali berfungsi untuk mengoreksi penyimpangan akidah Ahlul Kitab dan menegaskan kembali ajaran Tauhid murni yang dibawa oleh semua nabi, termasuk Musa dan Isa 'alaihimassalam. Surah Al-Ikhlas, dengan penekanannya pada penolakan konsep anak dan orang tua bagi Tuhan, sangat cocok dengan konteks dialog dan perdebatan yang terjadi di Madinah.

Oleh karena itu, para ulama yang mendukung pendapat ini melihat bahwa asbabun nuzul yang melibatkan Ahlul Kitab memiliki relevansi kontekstual yang kuat dengan masyarakat Madinah, menjadikan argumen bahwa surah ini Madaniyah cukup beralasan.

Jalan Tengah: Mungkinkah Surah Al-Ikhlas Turun Berulang Kali?

Menghadapi dua kelompok riwayat yang sama-sama memiliki dasar, sebagian ulama menawarkan sebuah solusi yang indah dan penuh hikmah, yaitu konsep takrar an-nuzul atau "turun berulang kali".

Konsep ini menjelaskan bahwa sebuah ayat atau surah bisa jadi diturunkan lebih dari satu kali dalam kesempatan yang berbeda. Penurunan yang berulang ini tidak berarti wahyu tersebut baru diciptakan lagi, melainkan Jibril menurunkannya kembali kepada Nabi untuk menegaskan kembali pesan penting di dalamnya atau untuk merespons situasi baru yang relevan dengan pesan tersebut. Hal ini menunjukkan betapa krusialnya ayat atau surah tersebut.

Dalam kasus Surah Al-Ikhlas, skenario ini menjadi jalan tengah yang sangat elegan. Sangat mungkin surah ini pertama kali diturunkan di Mekkah sebagai jawaban fundamental atas pertanyaan kaum musyrikin Quraisy tentang hakikat Allah. Inilah penurunan pertamanya yang menetapkan statusnya sebagai surah Makkiyah.

Kemudian, setelah Nabi hijrah ke Madinah dan berinteraksi dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang mengajukan pertanyaan serupa dari sudut pandang teologis mereka, Allah menurunkan kembali surah ini. Penurunan kedua ini berfungsi sebagai pengingat dan penegasan atas pesan yang sama, namun kini dalam konteks baru untuk menjawab keraguan atau tantangan dari Ahlul Kitab.

Pendapat ini didukung oleh ulama besar seperti Imam As-Suyuthi. Pandangan ini memiliki beberapa kelebihan:

  1. Menghormati Semua Riwayat: Ia tidak melemahkan salah satu riwayat, melainkan menggabungkan keduanya dan menunjukkan bahwa semua riwayat tersebut bisa jadi benar dalam konteksnya masing-masing.
  2. Menunjukkan Keagungan Surah: Penurunan yang berulang kali menandakan betapa penting dan sentralnya pesan dalam Surah Al-Ikhlas. Ia adalah jawaban universal untuk setiap pertanyaan tentang esensi Tuhan, baik dari kaum pagan, Ahlul Kitab, maupun filsuf sepanjang zaman.
  3. Menjelaskan Relevansi Abadi: Ia menunjukkan bahwa pesan Tauhid dalam surah ini dibutuhkan di setiap fase dakwah dan di setiap zaman.

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa Surah Al-Ikhlas pada dasarnya adalah Makkiyah, karena penurunan pertamanya terjadi di Mekkah. Namun, pesannya ditegaskan kembali di Madinah, yang menunjukkan urgensi dan universalitasnya.

Menyelami Samudra Makna Surah Al-Ikhlas

Terlepas dari di mana ia diturunkan, kekuatan Surah Al-Ikhlas terletak pada kedalaman maknanya yang terkandung dalam empat ayatnya yang ringkas. Memahami tafsirnya adalah kunci untuk mengapresiasi keagungannya.

Ayat 1: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (Qul huwallāhu aḥad)

"Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa'."

Qul (Katakanlah): Perintah langsung kepada Nabi Muhammad, dan melalui beliau kepada seluruh umatnya, untuk mendeklarasikan kebenaran ini. Ini bukan opini pribadi, melainkan wahyu yang harus disampaikan.
Huwa (Dia): Kata ganti yang merujuk pada Dzat yang sudah dikenal keagungannya, meskipun tak terjangkau oleh indra. Ia menegaskan eksistensi-Nya yang mutlak.
Allah: Nama Dzat Yang Maha Agung, satu-satunya yang berhak disembah. Nama ini mencakup seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Ahad (Yang Maha Esa): Kata ini adalah inti dari surah. 'Ahad' lebih dalam dari 'Wahid' (satu). 'Wahid' bisa menjadi bagian dari hitungan (satu, dua, tiga), tetapi 'Ahad' berarti Esa yang unik, tunggal mutlak, tidak tersusun dari bagian-bagian, tidak ada duanya, dan tidak dapat dibagi. Ia menafikan segala bentuk kemitraan (syirik), trinitas, atau dualisme dalam ketuhanan. Allah itu Esa dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya.

Ayat 2: اللَّهُ الصَّمَدُ (Allāhuṣ-ṣamad)

"Allah tempat meminta segala sesuatu."

As-Samad: Ini adalah salah satu nama Allah yang paling kaya makna. Para ulama menafsirkannya sebagai:

Ayat ini melengkapi ayat pertama. Setelah menyatakan keesaan-Nya, ayat ini menyatakan kemandirian-Nya yang absolut dan ketergantungan seluruh alam semesta kepada-Nya. Semua butuh Allah, sementara Allah tidak butuh siapa pun.

Ayat 3: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (Lam yalid wa lam yūlad)

"Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan."

Ayat ini adalah penafian total terhadap konsep-konsep yang merendahkan kesempurnaan Allah.
Lam yalid (Dia tidak beranak): Ini adalah sanggahan langsung terhadap keyakinan kaum musyrikin Mekkah yang menganggap malaikat sebagai anak perempuan Allah, keyakinan sebagian Yahudi yang menganggap Uzair anak Allah, dan keyakinan Nasrani yang menganggap Isa Al-Masih sebagai Anak Allah. Memiliki anak adalah ciri makhluk yang membutuhkan penerus dan memiliki hawa nafsu. Allah Maha Suci dari semua itu.
Wa lam yulad (dan tidak pula diperanakkan): Ini adalah sanggahan terhadap keyakinan bahwa Tuhan memiliki asal-usul, orang tua, atau leluhur. Diperanakkan adalah ciri makhluk yang diawali oleh ketiadaan. Allah adalah Al-Awwal (Yang Pertama) tanpa permulaan.

Ayat 4: وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ (Wa lam yakul lahụ kufuwan aḥad)

"Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia."

Ini adalah ayat penutup yang menyempurnakan konsep Tauhid.
Kufuwan (setara, sepadan): Tidak ada satu pun makhluk atau apa pun yang bisa disetarakan atau dibandingkan dengan Allah. Kesetaraan ini mencakup segala hal:

Ayat ini menutup semua celah imajinasi manusia untuk mencoba menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Ia adalah penegasan final dari keunikan dan transendensi mutlak Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kesimpulan: Pesan yang Melampaui Ruang dan Waktu

Setelah menelusuri berbagai dalil dan pendapat, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa argumen terkuat menempatkan Surah Al-Ikhlas sebagai surah Makkiyah, yang diturunkan di Mekkah pada fase awal dakwah untuk menjawab pertanyaan fundamental kaum musyrikin. Namun, kemungkinan ia ditegaskan kembali di Madinah untuk menghadapi tantangan teologis dari Ahlul Kitab juga merupakan pandangan yang dapat diterima dan menunjukkan betapa pentingnya surah ini.

Pada akhirnya, pertanyaan "di mana" surah ini turun mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih penting, yaitu "mengapa" ia diturunkan. Surah Al-Ikhlas adalah manifesto Tauhid. Ia adalah pemurnian akidah, identitas seorang Muslim, dan pernyataan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Sempurna, dan tiada tara. Baik di tengah gurun pasir Mekkah yang penuh berhala maupun di tengah masyarakat majemuk Madinah, pesannya tetap sama: kenali Allah dengan benar, dan sembahlah hanya Dia. Inilah pesan yang melampaui batas geografi dan zaman, terus bergema di hati setiap mukmin hingga akhir masa.

🏠 Homepage