Di dalam Al-Qur'an, setiap surah, setiap ayat, bahkan setiap kata, adalah lautan hikmah yang tak bertepi. Di antara surah-surah yang singkat namun padat makna adalah Surah An-Nasr, sebuah surah yang diturunkan di Madinah dan menjadi salah satu penanda penting dalam fase akhir risalah kenabian Muhammad ﷺ. Fokus perenungan kita kali ini akan tertuju pada ayat pertamanya, sebuah kalimat agung yang merangkum esensi perjuangan, kesabaran, dan keyakinan.
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat ini, meskipun pendek, menyimpan dimensi historis, teologis, dan spiritual yang luar biasa. Ia bukan sekadar pengabaran berita gembira, melainkan sebuah deklarasi ilahiah tentang sunnatullah (ketetapan Allah) dalam perjuangan menegakkan kebenaran. Untuk memahaminya secara utuh, kita perlu menyelami setiap kata, menelusuri konteks sejarahnya, dan menarik benang merah pelajaran abadi yang terkandung di dalamnya.
Konteks Historis: Gema Kemenangan Fathu Makkah
Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini secara spesifik merujuk pada peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Peristiwa monumental ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan puncak dari perjuangan panjang yang sarat dengan pengorbanan, kesabaran, dan strategi brilian yang dipandu wahyu. Untuk memahami kedalaman makna "pertolongan Allah dan kemenangan", kita harus kembali ke akar sejarahnya.
Perjanjian Hudaibiyah: Kemenangan yang Tertunda
Sebelum Fathu Makkah, terjadi Perjanjian Hudaibiyah. Secara kasat mata, perjanjian ini tampak merugikan kaum Muslimin. Mereka datang dari Madinah untuk melaksanakan umrah, namun dihalangi oleh kaum kafir Quraisy. Hasil perundingan melahirkan beberapa poin yang terasa berat, seperti keharusan kaum Muslimin untuk kembali pada tahun itu dan klausul tentang pengembalian orang-orang Makkah yang hijrah ke Madinah tanpa izin.
Banyak sahabat yang merasa kecewa, termasuk Umar bin Khattab. Namun, di sinilah letak visi kenabian yang agung. Allah SWT menyebut perjanjian ini sebagai "fathan mubina" (kemenangan yang nyata) dalam Surah Al-Fath. Mengapa? Karena gencatan senjata selama sepuluh tahun yang disepakati membuka pintu dakwah yang sebelumnya tertutup. Islam menyebar dengan pesat dan damai. Orang-orang dapat melihat akhlak kaum Muslimin secara langsung, tanpa dibayangi peperangan. Jumlah pemeluk Islam melonjak drastis dalam periode singkat antara Hudaibiyah dan Fathu Makkah. Ini adalah bentuk "nashrullah" (pertolongan Allah) yang subtil namun sangat efektif, sebuah kemenangan diplomatik dan ideologis sebelum kemenangan militer.
Pelanggaran Perjanjian dan Momentum Penaklukan
Sunnatullah menunjukkan bahwa kebatilan seringkali menghancurkan dirinya sendiri. Kaum Quraisy dan sekutunya melanggar perjanjian secara sepihak dengan menyerang Bani Khuza'ah, yang merupakan sekutu kaum Muslimin. Pelanggaran fatal ini memberikan legitimasi penuh bagi Rasulullah ﷺ untuk mengambil tindakan. Inilah saat di mana janji Allah mulai menampakkan wujud fisiknya.
Rasulullah ﷺ mempersiapkan pasukan terbesar dalam sejarah Islam saat itu, dengan jumlah sekitar 10.000 prajurit. Namun, tujuan utamanya bukanlah pertumpahan darah, melainkan menaklukkan Makkah, jantung spiritual Jazirah Arab, dengan cara yang paling damai. Strategi kerahasiaan diterapkan dengan sangat baik sehingga Quraisy Makkah terkejut dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Inilah manifestasi dari pertolongan Allah yang nyata. Allah membutakan mata-mata Quraisy dan menanamkan rasa gentar di hati mereka.
Fathu Makkah: Puncak Kemenangan
Ketika pasukan Muslimin memasuki Makkah dari berbagai penjuru, hampir tidak ada perlawanan berarti. Rasulullah ﷺ, yang dahulu diusir, dihina, dan diperangi, kini kembali sebagai seorang pemenang. Namun, ini bukanlah kemenangan yang diwarnai arogansi dan balas dendam. Beliau memasuki kota dengan kepala tertunduk, penuh tawadhu' di hadapan Allah yang telah memberikan kemenangan.
Beliau membersihkan Ka'bah dari 360 berhala yang mengotorinya, sambil mengumandangkan ayat Al-Qur'an, "Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (QS. Al-Isra': 81). Puncaknya adalah ketika beliau memberikan amnesti massal kepada penduduk Makkah yang selama bertahun-tahun memusuhi beliau. "Pergilah, kalian semua bebas!" Sabda beliau yang legendaris ini menjadi bukti bahwa "Al-Fath" dalam ayat ini bukan sekadar penaklukan teritorial, tetapi juga penaklukan hati, kemenangan moral, dan pembukaan lembaran baru bagi peradaban manusia.
Analisis Linguistik: Membedah Setiap Kata
Keindahan Al-Qur'an terletak pada pilihan katanya yang presisi. Setiap kata dalam ayat pertama Surah An-Nasr memiliki makna yang dalam dan tidak dapat digantikan.
إِذَا (Idzaa) - Apabila
Dalam bahasa Arab, ada dua kata utama untuk "jika" atau "apabila", yaitu "in" (إِنْ) dan "idzaa" (إِذَا). "In" digunakan untuk sesuatu yang bersifat kemungkinan, belum pasti terjadi. Sedangkan "idzaa" digunakan untuk sesuatu yang sudah pasti akan terjadi. Penggunaan "idzaa" di awal ayat ini merupakan sebuah penegasan dari Allah bahwa datangnya pertolongan dan kemenangan itu adalah sebuah keniscayaan, sebuah janji ilahi yang tidak akan diingkari. Ini memberikan keyakinan mutlak kepada Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin bahwa penantian dan perjuangan mereka tidak akan sia-sia.
جَآءَ (Jaa-a) - Telah Datang
Kata "jaa-a" adalah fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau). Penggunaan bentuk lampau untuk peristiwa yang akan terjadi di masa depan adalah salah satu gaya bahasa Al-Qur'an yang disebut sebagai "majaz mursal". Ini mengisyaratkan bahwa dari perspektif Allah yang ilmunya meliputi segala zaman, peristiwa itu seakan-akan sudah terjadi karena kepastiannya. Ini memberikan kekuatan psikologis yang luar biasa, seolah-olah kemenangan itu sudah berada di depan mata. Kata "jaa-a" juga mengandung makna kedatangan sesuatu yang besar, agung, dan signifikan, berbeda dengan kata "ataa" yang bisa berarti kedatangan yang biasa.
نَصْرُ ٱللَّهِ (Nashrullah) - Pertolongan Allah
Kata "nashr" (نَصْر) bukan sekadar "bantuan" biasa ('aun). "Nashr" secara spesifik berarti pertolongan untuk mengalahkan musuh, bantuan yang membawa kepada kemenangan dan dominasi atas lawan. Ini adalah pertolongan yang bersifat menentukan.
Lebih penting lagi adalah penyandaran kata ini kepada Allah (Nashrullah). Ini adalah sebuah penegasan teologis yang fundamental: kemenangan hakiki bukanlah hasil dari kekuatan militer, kecerdasan strategi, atau jumlah pasukan. Itu semua hanyalah sebab-akibat (asbab) di alam materi. Sumber utama dan penentu kemenangan adalah Allah semata. Kaum Muslimin pada Perang Badar berjumlah sedikit namun menang. Pada Perang Hunain, mereka sempat terdesak meski jumlahnya sangat banyak karena adanya sedikit rasa bangga pada jumlah mereka. Ayat ini mengingatkan bahwa kemenangan hanya akan datang jika ia berasal dari "sisi" Allah. Ini menanamkan sifat tawakal yang mendalam dan menjauhkan dari sifat sombong ketika kemenangan diraih.
وَٱلْفَتْحُ (Wal-Fath) - Dan Kemenangan
Kata "al-fath" (ٱلْفَتْحُ) secara harfiah berarti "pembukaan". Ini adalah pilihan kata yang jenius. Kemenangan yang dimaksud bukanlah sekadar "ghalabah" (mengalahkan) atau "zhafar" (menang). "Al-Fath" memiliki makna yang jauh lebih luas:
- Pembukaan Fisik: Terbukanya gerbang kota Makkah untuk kaum Muslimin.
- Pembukaan Hati: Terbukanya hati penduduk Makkah dan kabilah-kabilah Arab lainnya untuk menerima cahaya Islam. Ini terbukti pada ayat selanjutnya, "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
- Pembukaan Jalan Dakwah: Runtuhnya benteng paganisme terbesar di Jazirah Arab membuka jalan bagi dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tanpa ada lagi penghalang utama.
- Pembukaan Lembaran Baru: Terbukanya era baru, yaitu era di mana Islam menjadi kekuatan dominan yang mengatur tatanan sosial, politik, dan spiritual di Jazirah Arab.
Hubungan antara "Nashrullah" dan "Al-Fath" sangat erat. "Nashrullah" adalah intervensi ilahi yang menjadi sebab, sedangkan "Al-Fath" adalah hasil atau buah dari pertolongan tersebut. Pertolongan dari Allah-lah yang memungkinkan terjadinya "pembukaan" yang multi-dimensi ini.
Isyarat Tersembunyi: Pertanda Selesainya Misi Kenabian
Di balik kabar gembira yang tersurat, ayat ini juga membawa sebuah isyarat yang tersirat, sebuah pesan yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki pemahaman spiritual yang dalam. Ketika sebuah misi besar telah mencapai puncaknya, itu berarti tugas sang pembawa misi telah selesai.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata bahwa ketika Surah An-Nasr turun, Rasulullah ﷺ memanggil putrinya, Fatimah, dan berkata, "Sesungguhnya telah diberitakan kepadaku tentang kematianku." Mendengar itu, Fatimah menangis. Lalu beliau bersabda, "Jangan menangis, sesungguhnya engkau adalah keluargaku yang pertama kali akan menyusulku." Maka Fatimah pun tersenyum.
Para sahabat senior seperti Abu Bakar As-Siddiq dan Ibnu Abbas memahami isyarat ini dengan sangat baik. Ketika surah ini turun, banyak sahabat yang bergembira karena melihatnya sebagai berita kemenangan. Namun, Abu Bakar justru menangis. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda wafatnya Rasulullah ﷺ."
Logikanya sederhana. Tujuan utama diutusnya seorang rasul adalah untuk menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah. Ketika pertolongan Allah telah datang secara paripurna dan kemenangan telah diraih dengan terbukanya Makkah serta manusia berbondong-bondong masuk Islam, maka misi tersebut telah tuntas. Selesainya tugas menandakan dekatnya waktu bagi sang utusan untuk kembali kepada Sang Pengutus. Inilah sebabnya mengapa perintah pada ayat selanjutnya adalah bertasbih, memuji, dan memohon ampunan, sebagai persiapan untuk bertemu dengan Allah SWT.
Pelajaran dan Relevansi Abadi
Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik, pesan dan pelajarannya bersifat universal dan abadi, berlaku bagi setiap Muslim di setiap zaman dan tempat.
Hakikat Kemenangan Milik Allah
Pelajaran pertama dan utama adalah tentang tauhid. Ayat ini menancapkan keyakinan bahwa kemenangan dalam bentuk apa pun—baik dalam perjuangan personal melawan hawa nafsu, perjuangan dalam berdakwah, maupun perjuangan dalam skala komunal atau nasional—sumbernya hanyalah Allah. Manusia hanya bisa berusaha, berikhtiar dengan segenap kemampuan, menyusun strategi, dan berdoa. Namun, keputusan akhir dan "pertolongan yang menentukan" (Nashrullah) adalah hak prerogatif Allah. Kesadaran ini akan melahirkan sikap tawakal yang benar dan menjauhkan dari keputusasaan saat menghadapi kesulitan serta mencegah kesombongan saat meraih keberhasilan.
Proses Menuju Kemenangan
"Nashrullah wal Fath" tidak datang dalam semalam. Ia adalah buah dari proses panjang yang melibatkan hijrah, kesabaran di Makkah selama 13 tahun, membangun komunitas di Madinah, menghadapi berbagai peperangan, menjalin diplomasi, dan konsistensi dalam dakwah selama total 23 tahun. Ini mengajarkan bahwa pertolongan Allah tidak turun kepada orang-orang yang hanya berdiam diri. Ia turun kepada mereka yang bergerak, berjuang, berkorban, dan menunjukkan kesungguhan dalam menapaki jalan kebenaran. Sunnatullah menuntut adanya usaha maksimal dari hamba sebelum intervensi ilahi datang menyempurnakan.
Tujuan Kemenangan: Pembukaan Hati
Ayat ini menggeser paradigma kita tentang kemenangan. Kemenangan sejati dalam Islam bukanlah tentang menaklukkan wilayah atau menundukkan lawan. Tujuan akhirnya adalah "Al-Fath", terbukanya hati manusia untuk menerima hidayah. Kemenangan militer hanyalah sarana untuk menghilangkan penghalang-penghalang fisik (kezaliman, penindasan) yang menghalangi sampainya cahaya kebenaran. Oleh karena itu, cara meraih kemenangan dan sikap setelah meraihnya harus mencerminkan tujuan mulia tersebut. Maaf dan pengampunan yang ditunjukkan Rasulullah ﷺ saat Fathu Makkah jauh lebih efektif dalam menaklukkan hati daripada ribuan pedang.
Sikap Setelah Meraih Kemenangan
Implikasi langsung dari ayat pertama ini dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya." Ini adalah adab seorang hamba. Ketika nikmat terbesar (kemenangan) datang, respons yang tepat bukanlah pesta pora atau euforia yang melupakan Tuhan. Respons yang benar adalah:
- Tasbih (Menyucikan Allah): Mengakui bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan dan kemenangan ini murni karena keagungan-Nya, bukan karena kehebatan kita.
- Tahmid (Memuji Allah): Bersyukur dan memuji Allah atas segala karunia dan pertolongan-Nya.
- Istighfar (Memohon Ampun): Memohon ampunan atas segala kekurangan, kelalaian, atau bahkan perasaan bangga yang mungkin terselip di hati selama proses perjuangan hingga meraih kemenangan.
Ini adalah formula abadi dalam menyikapi setiap kesuksesan dalam hidup, baik kecil maupun besar.
Kesimpulan
Ayat pertama dari Surah An-Nasr, "Idzaa jaa-a nashrullahi wal fath," adalah sebuah kristalisasi dari seluruh perjalanan dakwah Islam. Ia adalah proklamasi kemenangan yang bersumber dari pertolongan ilahi, bukan dari kekuatan manusiawi. Ia adalah pelajaran tentang kepastian janji Allah bagi mereka yang sabar dan istiqamah di jalan-Nya. Ia adalah penanda sejarah yang monumental, Fathu Makkah, yang bukan hanya berarti penaklukan sebuah kota, tetapi "pembukaan" gerbang hidayah bagi seluruh umat manusia.
Lebih dari itu, ayat ini adalah cermin bagi setiap jiwa. Dalam setiap perjuangan kita, kita diajarkan untuk senantiasa menyandarkan harapan hanya kepada "Nashrullah". Dan dalam setiap keberhasilan yang kita raih, kita diingatkan bahwa itu adalah "Al-Fath" dari-Nya, sebuah "pembukaan" yang harus disikapi dengan tasbih, tahmid, dan istighfar. Dengan memahami kedalaman makna ayat agung ini, kita tidak hanya membaca sejarah, tetapi juga menyerap spirit dan pedoman untuk menavigasi perjuangan hidup kita sendiri, hingga kita pun meraih kemenangan hakiki di sisi-Nya.