Kajian Mendalam Surah An-Nasr: Saat Pertolongan Allah Tiba

Dalam samudra hikmah Al-Qur'an, terdapat sebuah surah pendek yang sarat dengan makna kemenangan, keikhlasan, dan persiapan menuju akhir sebuah tugas mulia. Surah itu adalah Surah An-Nasr, surat ke-110 dalam mushaf. Meski hanya terdiri dari tiga ayat, surah ini merangkum puncak dari perjuangan dakwah selama puluhan tahun. Fokus utama dari pembahasan ini adalah ayat pertamanya yang agung, yang surah an nasr ayat pertama diawali dengan lafal إِذَا جَاءَ (Idzaa jaa-a), sebuah frasa pembuka yang menandakan kepastian akan datangnya sebuah peristiwa besar yang telah dijanjikan.

Surah An-Nasr diturunkan di Madinah, dan para ulama sepakat bahwa surah ini termasuk salah satu surah yang terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, bahkan ada yang berpendapat inilah surah terakhir yang turun secara lengkap. Penurunannya menjadi penanda sebuah fase baru, fase kemenangan total bagi Islam dan kaum muslimin, sekaligus menjadi sebuah isyarat halus akan dekatnya waktu wafat Rasulullah ﷺ. Memahami surah ini bukan hanya tentang mengetahui terjemahannya, tetapi menyelami setiap kata dan konteksnya untuk menarik pelajaran yang relevan sepanjang zaman.

Ilustrasi simbolis Surah An-Nasr: Pertolongan dan Kemenangan dari Allah Pertolongan dan Kemenangan

Tafsir Ayat demi Ayat: Menggali Lautan Makna

Untuk memahami keagungan Surah An-Nasr, kita perlu membedah setiap ayatnya, menelaah pilihan kata (diksi) yang digunakan, dan merenungkan pesan yang terkandung di dalamnya.

Ayat Pertama: Janji Kemenangan yang Pasti

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat ini adalah inti dari kabar gembira yang dibawa surah ini. Mari kita urai setiap bagiannya.

Lafal إِذَا (Idzaa): Dalam tata bahasa Arab, kata 'Idzaa' digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi di masa depan yang kedatangannya bersifat pasti, sebuah keniscayaan. Ini berbeda dengan kata إِنْ (In) yang berarti 'jika' dan mengandung unsur ketidakpastian atau kemungkinan. Penggunaan 'Idzaa' di awal surah ini memberikan penegasan yang sangat kuat dari Allah SWT bahwa peristiwa yang akan disebutkan—pertolongan dan kemenangan—adalah sesuatu yang absolut akan terjadi. Ini bukan harapan, bukan angan-angan, melainkan sebuah janji ilahi yang pasti akan terwujud. Seolah-olah Allah berfirman, "Perhatikanlah, karena saatnya akan tiba, dan ketika itu tiba..."

Lafal جَاءَ (Jaa-a): Kata ini berarti 'telah datang'. Penggunaan bentuk kata kerja lampau (fi'il madhi) untuk peristiwa di masa depan adalah salah satu keindahan gaya bahasa Al-Qur'an (balaghah). Tujuannya adalah untuk lebih menekankan kepastian terjadinya peristiwa tersebut. Seakan-akan, dalam pengetahuan Allah yang azali, peristiwa itu sudah terjadi dan selesai. Ini memberikan ketenangan dan optimisme yang luar biasa bagi Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin yang saat itu telah melalui berbagai cobaan berat.

Frasa نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullahi): Ini diterjemahkan sebagai 'pertolongan Allah'. Kata 'Nashr' (pertolongan) disandarkan (idhafah) kepada lafal 'Allah'. Penyandaran ini memiliki makna yang sangat dalam. Ini menunjukkan bahwa pertolongan yang datang bukanlah pertolongan biasa. Bukan karena kekuatan militer, strategi perang yang jenius, atau jumlah pasukan yang banyak. Kemenangan ini murni berasal dari Allah. Ia adalah pertolongan yang bersifat ilahiah, yang melampaui segala perhitungan manusia. Ini adalah pengingat bahwa sumber segala kekuatan dan kemenangan hanyalah Allah semata. Pelajaran ini menanamkan benih tauhid yang paling murni di dalam hati seorang mukmin, yaitu keyakinan bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah (Laa haula wa laa quwwata illa billah).

Kata وَالْفَتْحُ (Wal-Fath): Kata 'Fath' secara harfiah berarti 'pembukaan'. Dalam konteks ini, mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud adalah Fathu Makkah, yaitu penaklukan atau pembebasan kota Mekkah. Mekkah adalah jantung spiritual Jazirah Arab, tempat Ka'bah berdiri, dan kota kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Selama bertahun-tahun, kota ini dikuasai oleh kaum musyrikin Quraisy yang memusuhi dakwah Islam. Pembebasan Mekkah bukan sekadar kemenangan militer; ia adalah sebuah 'pembukaan' simbolis. Terbukanya Mekkah berarti runtuhnya benteng kesyirikan terbesar di Arab, terbukanya hati manusia untuk menerima kebenaran, dan terbukanya jalan bagi Islam untuk menyebar luas tanpa halangan berarti. Kemenangan ini terjadi nyaris tanpa pertumpahan darah, sebuah bukti nyata dari 'Nashrullah' yang dijanjikan.

Ayat Kedua: Buah dari Kemenangan

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat kedua ini menjelaskan dampak langsung dari datangnya pertolongan Allah dan Fathu Makkah. Ia melukiskan sebuah pemandangan yang luar biasa, yang menjadi buah dari kesabaran dan perjuangan selama lebih dari dua dekade.

Frasa وَرَأَيْتَ النَّاسَ (Wa ra-aitan naas): "Dan engkau melihat manusia". Kata ganti 'engkau' (anta, yang tersirat dalam kata ra'ayta) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah sebuah pengakuan dan penghiburan dari Allah kepada Rasul-Nya. Setelah sekian lama melihat penolakan, cemoohan, penganiayaan, dan permusuhan, kini Allah memperlihatkan dengan mata kepala beliau sendiri hasil dari jerih payahnya. Manusia, yang dahulu menentangnya, kini datang untuk beriman. Kata 'An-Naas' (manusia) bersifat umum, mencakup berbagai kabilah dan suku dari seluruh penjuru Arab.

Frasa يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ (Yadkhuluuna fii diinillaah): "Mereka masuk ke dalam agama Allah". Kata 'yadkhuluun' menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan mendatang (fi'il mudhari'), yang menunjukkan sebuah proses yang terjadi terus-menerus dan berkelanjutan. Ini bukan peristiwa sesaat. Setelah Fathu Makkah, arus konversi ke dalam Islam menjadi sebuah gelombang besar yang tak terbendung. Frasa 'agama Allah' (diinillaah) menegaskan bahwa mereka tidak masuk ke dalam kelompok Muhammad atau suku Quraisy yang telah muslim, melainkan mereka tunduk dan berserah diri kepada satu-satunya agama yang benar di sisi Allah.

Kata أَفْوَاجًا (Afwaajaa): "Berbondong-bondong" atau "dalam kelompok-kelompok besar". Inilah kata kunci yang membedakan fase ini dengan fase dakwah sebelumnya. Di awal-awal Islam di Mekkah, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan sering kali harus menanggung risiko besar. Namun, setelah 'Nashrullah' dan 'Al-Fath' tiba, situasinya berbalik 180 derajat. Seluruh suku dan kabilah mengirimkan delegasi mereka ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara kolektif. Tahun setelah Fathu Makkah dikenal sebagai 'Aamul Wufud' atau Tahun Delegasi, karena begitu banyaknya rombongan yang datang dari berbagai pelosok untuk memeluk Islam. Kata 'Afwaajaa' melukiskan pemandangan agung ini dengan sangat indah dan ringkas.

Ayat Ketiga: Respon yang Tepat Atas Nikmat

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Setelah Allah menyebutkan dua nikmat terbesar—kemenangan dan sambutan manusia terhadap Islam—ayat terakhir ini memberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya seorang hamba merespon nikmat tersebut. Responnya bukanlah euforia, kesombongan, atau pesta pora, melainkan sikap spiritual yang mendalam.

Frasa فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (Fasabbih bihamdi Rabbika): "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini terdiri dari dua bagian:

Perintah وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirh): "Dan mohonlah ampun kepada-Nya". Perintah ini mungkin terasa aneh bagi sebagian orang. Mengapa Rasulullah ﷺ, seorang yang ma'shum (terjaga dari dosa), diperintahkan untuk beristighfar justru di puncak kemenangannya? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang sangat indah:

  1. Sebagai Pelajaran bagi Umatnya: Perintah ini menjadi teladan bagi seluruh umat Islam. Jika Rasulullah ﷺ saja, di puncak kejayaannya, diperintahkan untuk beristighfar, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Ini mengajarkan bahwa dalam kondisi apapun, baik susah maupun senang, seorang hamba harus selalu merasa butuh akan ampunan Allah.
  2. Bentuk Ketawadhuan (Kerendahan Hati): Istighfar adalah puncak dari kerendahan hati. Ia adalah pengakuan bahwa seberapa pun besar usaha dan ibadah yang telah dilakukan, pasti ada kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam menunaikan hak-hak Allah. Dengan beristighfar, seorang hamba menafikan segala rasa bangga diri (ujub) dan mengembalikan semua keagungan hanya kepada Allah.
  3. Isyarat Selesainya Tugas: Sebagian besar sahabat senior, seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab, memahami perintah istighfar ini sebagai isyarat bahwa tugas Rasulullah ﷺ sebagai penyampai risalah telah paripurna. Istighfar di akhir sebuah amal besar adalah sunnah para nabi. Ini adalah permohonan ampun atas segala hal yang mungkin kurang sempurna dalam menjalankan amanah agung tersebut, sekaligus sebagai persiapan untuk kembali menghadap Sang Pemberi Tugas, Allah SWT.

Penutup إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahu kaana tawwaabaa): "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Setelah memerintahkan untuk beristighfar, Allah langsung meyakinkan bahwa Dia adalah At-Tawwab. Nama Allah 'At-Tawwab' berasal dari kata 'taubah' (tobat) dan memiliki makna yang sangat luas. Ia tidak hanya berarti 'Penerima Tobat', tetapi juga 'Yang Terus-menerus Memberi jalan untuk bertaubat dan Menerima tobat'. Penggunaan kata 'kaana' (adalah/selalu) menunjukkan bahwa sifat ini adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah sejak dahulu dan selamanya. Ini adalah sebuah pintu harapan yang terbuka lebar, mengajak siapa saja untuk kembali kepada-Nya, karena ampunan dan rahmat-Nya senantiasa tersedia bagi hamba-hamba yang mau kembali.

Konteks Sejarah dan Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surah)

Memahami Surah An-Nasr tidak akan lengkap tanpa menengok kembali peristiwa monumental yang menjadi latar belakangnya: Fathu Makkah. Peristiwa ini bukanlah hasil dari satu pertempuran, melainkan puncak dari sebuah proses panjang yang dimulai dari Perjanjian Hudaibiyah.

Perjanjian Hudaibiyah, yang pada awalnya tampak merugikan kaum muslimin, disebut oleh Al-Qur'an sebagai 'Fathan Mubiina' (kemenangan yang nyata). Mengapa? Karena perjanjian ini menghentikan permusuhan terbuka dan memungkinkan dakwah Islam menyebar dengan damai. Orang-orang dapat melihat akhlak kaum muslimin secara langsung, mendengar ajaran Islam tanpa tekanan, dan hasilnya, jumlah pemeluk Islam meningkat pesat dalam dua tahun setelah perjanjian tersebut, jauh lebih banyak daripada 19 tahun sebelumnya.

Namun, pihak Quraisy melanggar perjanjian tersebut dengan membantu sekutu mereka, Bani Bakar, untuk menyerang sekutu kaum muslimin, Bani Khuza'ah. Pelanggaran fatal ini memberikan justifikasi bagi Rasulullah ﷺ untuk membatalkan perjanjian dan bergerak menuju Mekkah. Dengan pasukan sekitar 10.000 orang, Rasulullah ﷺ bergerak menuju kota kelahirannya.

Melihat kekuatan yang tidak mungkin dilawan, para pemimpin Quraisy, termasuk Abu Sufyan, menyerah. Rasulullah ﷺ memasuki Mekkah dengan penuh ketawadhuan, menundukkan kepalanya di atas untanya hingga hampir menyentuh pelana, sebagai tanda syukur kepada Allah. Beliau memberikan jaminan keamanan bagi siapa saja yang berlindung di rumahnya, di rumah Abu Sufyan, atau di Masjidil Haram.

Di hadapan para pemuka Quraisy yang pernah menyiksanya, mengusirnya, dan membunuh para sahabatnya, Rasulullah ﷺ bertanya, "Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka menjawab, "Yang baik, wahai saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia." Maka, Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimat bersejarahnya yang mengutip perkataan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya, "Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian, semoga Allah mengampuni kalian. Dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. Pergilah, kalian semua bebas!"

Inilah 'Al-Fath' yang sesungguhnya. Bukan sekadar penaklukan kota, tetapi penaklukan hati dengan kemaafan dan rahmat. Setelah peristiwa inilah, kabilah-kabilah Arab melihat bahwa kebenaran ada di pihak Rasulullah ﷺ. Mereka pun berbondong-bondong masuk Islam, persis seperti yang digambarkan dalam ayat kedua surah ini. Surah An-Nasr diyakini turun setelah peristiwa agung ini, sebagai konfirmasi ilahi dan sebagai petunjuk untuk langkah selanjutnya.

Isyarat Perpisahan dan Pelajaran Abadi

Meskipun surah ini berisi kabar gembira tentang kemenangan, para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam merasakan adanya nada perpisahan di dalamnya. Diriwayatkan bahwa ketika surah ini turun, Rasulullah ﷺ membacakannya kepada para sahabat. Semua orang bergembira, kecuali Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Al-Abbas yang menangis. Ketika ditanya, mereka menjawab, "Ini adalah isyarat ajal Rasulullah ﷺ telah dekat."

Logikanya sederhana: jika tugas utama seorang Rasul, yaitu menyampaikan risalah hingga meraih kemenangan, telah tuntas, maka tidak ada lagi alasan baginya untuk tinggal lebih lama di dunia. Misi telah selesai. Karena itulah, perintah yang datang bukanlah untuk menikmati kemenangan, melainkan untuk bersiap kembali kepada Allah dengan memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar.

Kisah masyhur lainnya adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab mengundang Abdullah bin Abbas, yang saat itu masih muda, untuk duduk di majelis para senior sahabat peserta Perang Badar. Sebagian sahabat merasa heran. Untuk menunjukkan keilmuan Ibnu Abbas, Umar bertanya kepada mereka tentang makna Surah An-Nasr. Sebagian menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta ampunan-Nya ketika kita diberi pertolongan dan kemenangan." Sebagian lagi diam. Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah begitu pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?"

Ibnu Abbas menjawab, "Bukan. Itu adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman (yang artinya), 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda dekatnya ajalmu, 'maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya'." Mendengar jawaban itu, Umar berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surah ini kecuali apa yang engkau ketahui."

Dari surah yang agung ini, kita dapat memetik pelajaran abadi yang sangat relevan bagi kehidupan kita, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas:

  1. Hakikat Pertolongan: Kemenangan sejati dan pertolongan hakiki hanya datang dari Allah. Ketergantungan total kepada-Nya adalah kunci keberhasilan, bukan pada kekuatan material atau jumlah.
  2. Sikap Saat Berjaya: Ketika meraih kesuksesan dalam hidup—baik dalam karir, studi, atau urusan lainnya—respon terbaik bukanlah kesombongan, melainkan kerendahan hati. Kembalikan semua pujian kepada Allah (tahmid), sucikan Dia dari anggapan bahwa kita berhasil karena kehebatan diri sendiri (tasbih), dan mohon ampun atas segala kekurangan dalam proses meraihnya (istighfar).
  3. Pentingnya Istighfar: Istighfar bukan hanya untuk para pendosa. Ia adalah zikir para nabi dan orang-orang saleh, sebuah tanda pengakuan akan keagungan Allah dan kehinaan diri di hadapan-Nya. Ia membersihkan hati dan menyempurnakan amal.
  4. Optimisme dan Harapan: Lafal 'Idzaa' mengajarkan kita untuk selalu optimis akan janji Allah. Seberat apapun tantangan yang dihadapi, pertolongan Allah pasti akan datang pada waktu yang telah Dia tentukan.
  5. Tujuan Akhir: Setiap amanah dan tugas di dunia ini akan berakhir. Surah ini mengingatkan kita bahwa tujuan hidup bukanlah kemenangan duniawi itu sendiri, tetapi persiapan untuk bertemu Allah dalam keadaan terbaik. Setiap pencapaian seharusnya menjadi pengingat bahwa kita semakin dekat dengan akhir perjalanan, sehingga kita harus lebih giat mempersiapkan bekal.

Surah An-Nasr, yang ayat pertamanya diawali dengan lafal إِذَا جَاءَ, adalah sebuah mahakarya ilahi yang ringkas namun padat makna. Ia adalah surah tentang harapan, kemenangan, syukur, kerendahan hati, dan persiapan. Ia mengajarkan kita siklus kehidupan seorang mukmin: berjuang dengan sabar, yakin akan pertolongan Allah, dan ketika kemenangan tiba, menyambutnya dengan tasbih, tahmid, dan istighfar, seraya terus menatap tujuan akhir: keridhaan Allah SWT.

🏠 Homepage